19 Mei 2016

TANGGAPAN TERHADAP PENDEKATAAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYEBARAN KOMUNISME


Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Sebagai Penanggap Aktif dalam FGD yang diselenggarakan MABES POLRI tentang Kajian Yuridis Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang diselenggarakan pada hari Kamis, 12 Mei 2016
  1. FGD ini tidak dalam konteks “menguji” Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,   terhadap Undang-Undang Dasar 1945 atau prinsip-prinsip hak asasi manusia. Juga tidak sedang mempersoalkan “pertentangan” antara Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP tersebut dengan berbagai UU ataupun membahas ide atau gagasan untuk membuat/merevisi UU tersebut, terkait larangan penyebaran komunisme.
  2.  Saya kira FGD ini tidak diperlukan jika TREND, MODE, KAOS, MEREK dan lain-lain itu tidak muncul dimasa sebagian masyarakat MENUNTUT pemerintah/negara MEMINTA MAAF kepada keluarga, anggota, pengikut atau simpatisan PKI yang dilanggar haknya pasca penumpasan G.30S/PKI. FGD ini justru lebih banyak untuk menghilangkan kegamangan POLRI terhadap pelaksanaan tugasnya menegakkan hukum dan ketertiban 
  3. Pada prinsipnya saya setuju penerapan UU No. 27 Tahun 1999 harus ditempatkan dalam konteks historis, baik terhadap UU tersebut, maupun peristiwa G.30S/PKI, suatu sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun demikian, perlu diingat konteks peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini tidak sepenuhnya berangkat dari keinginan “membalik sejarah” atau mengungkit peristiwa pasca G.30S/PKI yang disana sini disebut-sebut ditandai oleh pelanggaran hak asasi mereka yang terlibat/terkait, tetapi cukup  banyak mereka yang misalnya menggunakan atribut yang mempunyai simbol-simbol PKI, hanya karena TREND, MODE, IKUT-IKUTAN dan lain-lain
  4. Oleh karena itu, faktor KONTEKS sangat penting, yang menggambarkan MOTIF dan NIAT dari tindakan-tindakan yang bersangkutan, yang tentunya menjadi suatu bagian penting dalam pemenuhan unsur: MENYEBARKAN dan MENGEMBANGKAN ajaran komunisme/leninisme. Dua istilah ini yang menurut saya perlu dibuat suatu pedoman teknis yang lebih mudah dimengerti masyarakat dan penegak hukum. Jika menurut Prof. Muladi diperlukan kebijakan NON PENAL terkait dengan hal ini, yang menjadi media PREVENSI bagi masyarakat luas. Misalnya, mengikuti langkah yang dilakukan KAPOLRI terhadap HATE SPEECH, yang ternyata tanpa membuat undang-undang baru, cukup efektif menurunkan frekuensi ujaran kebencian di media sosial.
  5.  Unsur MENYEBARKAN atau MENGEMBANGKAN  komunisme disini harus dipahami sebagai upaya untuk membawa keyakinan PRIBADI ke ranah PUBLIK. Saya pernah menyatakan: “menjadi komunis adalah hak pribadi seseorang, tetapi MENGAJAK ORANG LAIN menganut paham yang sama adalah persoalan lain”. Menjadi hak publik untuk mengatur termasuk melarangnya dengan sanksi pidana jika perbuatan yang demikian itu mengajak orang-orang lain itu “memusuhi” ideologi Pancasila.
  6.  UU No. 27 Tahun 1999 dalam beberapa bagian mempersyaratkan adanya unsur “MELAWAN HUKUM”, tentu menjadi katup pengaman untuk menghindari penerapan UU tersebut terlepas dari konteks historis dan kekiniannya. Sejauh ini rambu-rambu umum tentang hal tersebut terutama tidak ditujukan bagi mereka yang bermaksud mempelajari ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme untuk tujuan ilmiah. Dalam perkembangannya perlu parameter yang lebih lebar, untuk menempatkan pengertian melawan hukum dalam konteks kekinian dimaksud. Misalnya, dengan menyatakan pula bahwa tidak melawan hukum jika materi yang akan disampaikan telah melalui mekanisme sesuai UU. Misalnya, FILM yang telah lewat LEMBAGA SENSOR FILM,  PENEBITAN yang  telah menyebutkan dengan jelas PENERBIT dan lolos “screening” KEJAGUNG, Produk PERS telah melalui mekanisme ETIKA/HUKUM JURNALISTIK dan lain-lain.
  7. Diskusi-diskusi tentang paham KOMUNIS tidak menjadi melawan hukum jika memperhatikan KESEIMBANGAN narasumber (meminjam istilah jurnalistik jika hal itu dilakukan dengan memperhatikan prinsip COVER BOTH SIDE) dari apa yang dibahas, dengan tentunya memperhatikan UU, seperti UU Penyampaian Pendapat dimuka umum atau UU Gangguan dan lain-lain.

KETERANGAN AHLI Tentang Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 139 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945



 oleh:
Dr. Chairul Huda, SH., MH
(Ahli Hukum Pidana)

Yang Mulia,  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin yang berbahagia.

Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan  pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan  Pasal 139 KUHAP yang diuji konstitusionalitasnya, merupakan ketentuan yang mengatur berbagai permasalahan dalam Hukum Acara Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan utamanya saja, yaitu beberapa masalah dalam pra penuntutan.

Pendapat saya ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: pertama, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP. Kedua, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 109 ayat (1) KUHAP, dan ketiga, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139 KUHAP. Pembagian demikian, karena pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut berkaitan satu sama lain dan atau setidak-tidaknya menyangkut persoalan yang berkaitan sehingga harus dipahami dalam satu perspektif. Pendapat yang saya ajukan lebih banyak berkenaan dengan pemaknaan ketentuan-ketentuan tersebut dalam ranah filosofis, teoretis maupun sosiologisnya, sehingga diharapkan membantu Mahkamah dalam mengambil keputusan terkait dengan permohonan judicial review tersebut.



Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP

Secara sederhana prapenuntutan dapat diartikan sebagai tahap dalam proses perkara pidana, dimana dalam berkas perkara bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya. Sesungguhnya hal ini merupakan kelaziman, mengingat tidak selalu berkas perkara yang dipersiapkan oleh penyidik, dipandang (telah) lengkap oleh penuntut umum. Disamping itu tugas penyidik yang semata-mata menemukan factual guilt dari tersangka, belum tentu dipandang “cukup” oleh penuntut umum yang harus memformulasi hal itu dalam konstruksi yuridis, sehingga dapat dengan terang tergambar legal guilt dari pelaku tindak pidana tersebut. Selebihnya, prapenuntutan merupakan mekanisme kontrol horizontal, dari penuntut umum terhadap penyidik, begitu pula sebaliknya, sehingga penyidik dan penuntut umum dapat memainkan perannya secara maksimal dan proporsional pada masing-masing subsistem.

Dalam Pasal 14 huruf b KUHAP prapenuntutan dirumuskan secara fakultatif, dan bukan bersifat imperatif. Artinya, penggunaan kewenangan ini dilakukan “apabila diperlukan”, dan tidak sebagai suatu kewajiban yang “selalu” dilakukan penuntut umum. Sebenarnya hal ini merupakan manifestasi dari penempatannya sebagai “wewenang” dan bukan “tugas” atau “kewajiban”. Kewenangan memang dari sananya bersifat demikian, yaitu digunakan dimana perlu. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menghendaki agar sifat fakultatif dari ketentuan tersebut dicabut, dan menjadikan prapenuntutan sebagai keharusan yang dilakukan penuntut umum terhadap berkas perkara yang disampaikan penyidik, justru telah “keluar” dari makna “wewenang” itu sendiri. Dari sisi ini permohonan Pemohon sama sekali tidak berdasar.

Tambahan lagi sejatinya dikembalikan atau tidak suatu berkas perkara oleh penuntut umum kepada penyidik, sifatnya kasuistis. Tidak benar jika penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara yang disampaikan penyidik, lalu dikatakan penuntut umum telah bertindak “pasif” dalam hal ini. Pada dasarnya pasif atau tidak, bukan ditentukan oleh dikembalikan atau tidak dikembalikannya berkas, tetapi sejauhmana penelaahan penuntut umum terhadap berkas dimaksud. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 139 KUHP ditentukan: “setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Artinya, berkas perkara yang lengkap saja yang dapat diterima oleh penuntut umum, yang didalamnya menunjukkan adanya penilaian aktif terhadap berkas perkara yang disampaikan oleh penyidik. Dari sini sifat kontrol aktif penuntut umum tetap terlaksana sekalipun berkas perkara langsung dinyatakan lengkap atau tidak dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi, sehingga sangat tergantung dari keadaan berkas itu kasus per kasus. Oleh karena itu sama sekali tidak berdasar Pemohonan aquo, dalam bagian ini.

Berdasarkan hal di atas, permohonan Pemohon yang meminta agar frasa “apabila ada kekurangan pada penyidikan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Konstitusi, merupakan dalil yang sama sekali tidak beralasan, karena bertentangan dengan hakekat hal itu sebagai “wewenang” penuntut umum dan tidak memberi keleluasaan peran aktif penuntut umum untuk mengarahkan proses penyidikan sehingga dapat mengkonstruksi legal guilt tersangka  berdasarkan hasil penyidikan yang menggambarkan factual guilt-nya.

Sementara itu, Pasal 14 huruf i KUHAP sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan prapenuntutan. Ketentuan ini merupakan pasal blanko yang disediakan untuk mengantisipasi kebutuhan praktek penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Ketentuan yang sama juga terdapat pengaturan kewenangan penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf j KUHAP. KUHAP tidak lagi menempatkan penyidik sebagai hulp magistraat, melainkan berdiri secara horizontal sejajar dengan penuntut umum,  dengan tugas dan kewenangannya masing-masing, sehingga ketentuan ini sama sekali tidak dimaksudkan seperti apa yang didalilkan Pemohon.

Permohonan Pemohon yang meminta Pasal 14 huruf i KUHAP dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi kecuali ditafsirkan “meliputi melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan” merupakan kekeliruan fatal Pemohon, tentang apakah yang dimaksud pembentuk undang-undang dari ketentuan tersebut. Sebenarnya penjelasan Pasal 14 huruf i KUHAP yang menentukan yang dimaksud “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan”, telah menegaskan bahwa penerapan pasal ini tidak boleh mengabaikan prinsip diferensiasi fungsional. Dengan memberi tafsiran seperti yang dimohonkan Pemohon justru telah mengaburkan batas-batas antara penyidikan dan penuntutan, yang secara mutatis mutandis justu telah mengaburkan atau menghilangkan fungsi prinsip diferensiasi fungsional yang menjadi asas fundamental KUHAP.  Dengan kata lain, “meliputi melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan” bukanlah termasuk makna “tindakan lain” yang telah diisyaratkan dalam penjelasan pasal dimaksud, yaitu: “meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas  batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan”


Konstitusionalitas Pasal 109 ayat (1) KUHAP

Pasal 109 ayat (1) KUHAP juga bagian dari mekanisme kontrol horizontal penuntut umum terhadap penyidik. Dalam istilah praktek, hal ini merupakan kewajiban penyidik menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, sehingga sejak dimulainya penyidikan, hal itu  “dalam pengendalian” penuntut umum.   Dengan demikian, sama sekali tidak benar jika Pemohon mendalilkan ketentuan ini tidak dengan jelas menyebutkan kapan SPDP disampaikan, tetapi disampaikan “segera” setelah dimulainya penyidikan. Artinya, pada kesempatan pertama ketika telah ada surat perintah penyidikan (sprindik).             

Dalam prakteknya, memang kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung “cukup” lama. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kendala geografis, dan kendala teknis, yaitu tingkat kerumitan perkara dimaksud, yang menyebabkan sudah dalam tahap penyidikanpun  masih diperlukan pendalaman tentang anatomy of crime yang terjadi. Sedangkan kendala yuridisnya justru dalam SPDP itu mengharuskan telah menyebutkan seseorang sebagai tersangkanya. Padahal untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, diperlukan dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, sehingga diperlukan waktu untuk memastikan hal itu.

Berdasarkan hal ini, sama sekali tidak berdasar jika Permohonan dalam perkara ini menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP tidak konstitusional karena dengannya tidak terdapat kontrol horizontal penuntut umum terhadap penyidik. Menyadari adanya kendala geografis, teknis dan yuridislah yang menyebabkan  pembentuk KUHAP tidak menyebutkan secara definitif tentang waktu kapan SPDP disampaikan penyidik kepada penuntut umum. Oleh karena itu, penggunaan istilah “segera” disini sangat wajar, konstitusional dan menyadari akan problematika yang ada. Justru jika dibakukan, misalnya 1 (satu) hari setelah ada sprindik atau pada saat yang bersamaan dengan penerbitan sprindik, dapat melanggar hak-hak seseorang, yaitu ditetapkan sebagai tersangka “secara tergesa-gesa” dan “tidak didasarkan dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP”, seperti diperintahkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang lain. Oleh karena itu, memberi tafsir ketentuan ini seperti yang dikehendaki Pemohon, justru lebih banyak sisi negatifnya, yang dapat melanggar hak-hak seseorang, atau hak-hak tersangka, yang penegasan perlindungannya juga telah dinyatakan dalam Konstitusi atau bahkan sangat tidak realistis melihat betapa luasnya Indonesia dengan beragam karakteristik tempat, termasuk kantor penyidik dan penuntut umum yang boleh jadi berada dalam jarak yang tidak dapat ditempuh dalam satu hari.


Konstituionalitas Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139 KUHAP

Pada dasarnya jika dipahami secara tepat Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139 KUHAP, tidak ada norma  yang tidak memberi kejelasan tentang berapa kali berkas perkara dapat bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum dan begitu sebaliknya. Normanya cukup jelas, bahwa yang ditetapkan oleh penuntut umum sebagai berkas perkara yang memenuhi persyarataan untuk dapat dilimpahkan  atau tidak ke pengadilan adalah “berkas perkara yang lengkap”. Jadi ukurannya adalah berkas perkara yang lengkap itu. Mengingat penilaian itu menjadi kewenangan penuntut umum, maka pada satu sisi, hal ini sangat tergantung dari pendirian yang bersangkutan dalam kasus konkrit. Jadi persoalan ini, sama sekali bukan persoalan norma yang dapat diuji konstitusionalitasnya, melainkan wilayah penerapan dari norma itu dalam alam kenyataan.

Tambahan lagi jika dibaca secara seksama, bahwa berkas dinyatakan lengkap oleh penuntut umum ketika pejabat itu “menerima” atau “menerima kembali” berkas itu dari penyidik, cenderung harus ditafsirkan sebagai berikut:

1)    Penuntut umum yang “menerima” berkas perkara dari penyidik langsung menyatakan berkas tersebut telah lengkap;
2)    Penuntut umum yang “menerima kembali” berkas perkara dari penyidik setelah dilengkapi sesuai petunjuk yang diberikan berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP;

Dengan demikian, berkas perkara hanya satu kali dapat dikembalikan disertai petunjuk  oleh penuntut umum  kepada penyidik, dan setelah itu berdasarkan Pasal 139 jo Pasal 140 KUHAP penuntut umum harus menentukan apakah akan melakukan penuntutan dengan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara itu ke pengadilan, atau menghentikan penuntutan. Demikian, jika ditafsirkan demikian, maka permohonan Pemohon cukup beralasan untuk dikabulkan. Dalam hal ini menafsirkan bolak baliknya berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2) jo Pasal 139 KUHP “hanya berlangsung 1 (satu) kali”.

Demikian pendapat saya. Wallaualam.

13 Mei 2016

Keterangan Ahli Tentang Konstitusionalitas Pasal 35 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH (Ahli Hukum Pidana)
Yang Mulia,  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin yang berbahagia.

Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 35 huruf c dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) yang diuji konstitusionalitasnya, terkait dengan permasalahan dalam  Hukum Acara Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan utamanya saja, yaitu masalah tugas dan wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sekalipun disana sini mengkaitkannya dengan masalah lain yang diatur dalam KUHAP, yaitu penuntutan dan pengentiannya.