8 Oktober 2017

Menyoal Delik dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan



Oleh : 
Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta

Ahli Hukum Pidana
Persoalan mengenai Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) sejauh ini lebih ditekankan berkenaan masalah prasyarat “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time), yang disinyalir banyak pihak belum terpenuhi dalam situasi konkrit yang melatarbelakanginya. Makanya ramai berbagai pihak mempermasalahkan aspek ketatanegaraan hal itu  kepada MK, untuk melakukan judicial revieu terhadap  Perppu tersebut. Namun demikian, masih sedikit mereka yang menyoal adanya penggunaan sanksi pidana untuk menegakkan norma-norma administratif yang ada didalam Perppu Ormas. Padahal hal ini merupakan bagian perubahan UU No. 17 Tahun 2013  yang palig krusial dengan adanya Perppu ormas dimaksud.

2 Oktober 2017

Beberapa Catatan tentang Konsep Strict Liability dan Penerapannya dalam Praktek Penegakan Hukum Lingkungan dan Hukum Kehutanan dan Perkebunan



Oleh : Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Pengantar
Ahli Hukum Pidana FHUMJ
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009), menentukan:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola B3 dan/atau menimbulkan acaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa membuktikan unsur kesalahan.”

Sementara itu, ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU No. 41 Tahun 1999), menentukan:

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Ketentuan-ketentuan  di atas, seringkali menjadi dasar berlakunya “tanggung jawab mutlak (strict liability)” dalam pertanggungjawaban pidana.
Konsep strict liability merupakan hal “baru” dalam sistem hukum Indonesia, bahkan umumnya di negara-negara yang mewarisi sistem hukum Eropah Kontinental, kecuali  dalam hal pelanggaran,  karena sebenarnya konsep ini mula-mula hanya ada di common law system. Hal ini menyebabkan pemahaman sementara kalangan terhadap hal ini, baik para pakar maupun praktisi, apalagi di kalangan penegak hukum dan hakim,  belum cukup solid, masih meraba-raba tentang hal ini. Akibatnya,  penerapan ketentuan di atas kerapkali menimbulkan persoalan ketidakadilan, karena adanya permintaan tanggung jawab secara hukum lebih daripada apa yang seharusnya dipikul yang bersangkutan (versarii in reillicita).
Terutama terhadap mereka yang kemudian dituntut secara pidana atas pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup atau hutan, juga dipandang harus bertanggung jawab karena “perbuatan orang lain yang tidak ada hubungannya dengannya”. Diantaranya, kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena kegiatan atau perbuatan masyarakat atau oknum tertentu yang menggunakan “kelonggaran” yang diberikan Penjelasan  Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya), yang   kemudian dipersalahkan dan dibebankan berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap  perusahaan-perusahaan yang areal kegiatannya menjadi rembetan kebakaran hutan dan lahan tersebut. Padahal jika begitu kasus posisinya, perusahaan-perusahaan tersebut justru berposisi sebagai “korban” karena  mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit, berupa kehilangan aset berupa tanaman, dan mesti mengeluarkan biaya-biaya tambahan, seperti biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru.  
Mengacu pada hal di atas, sepertinya pemahaman tentang strict liability yang harus diluruskan, terutama berkenaan pasal dan ayat a quo yang mudah sekali ditafsirkan secara keliru, sehingga problem implementasi yang menimbulkan ketidakadilan, dapat ditekan seminimal mungkin. Penerapan strict liability karenanya tidak boleh  bertentangan atau setidaknya harus sejauh mungkin sejalan dengan maksud perumusannya semula (original intent). Diabaikannya hal ini pada gilirannya juga akan menabrak Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa  seharusnya negara, dengan undang-undang yang ditetapkannya, mampu memberikan “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap orang. Pemahaman tentang pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang tidak tepat, tentunya berdampak pada kekeliruan  penerapannya, yang boleh jadi dengan alsan-alasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman menimbulkan disparitas disana sini.

Strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund
atau tatbestand ausdehnungsgrund

Ketika konsep strict liability ditelaah lebih mendalam, maka sedikitnya ada dua pandangan yang saling bertolak belakang tentang hal ini. Pertama, sebagian pakar menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasar tanggung jawab mutlak adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (liabilitiy without fault). Dengan demikian, konsep ini adalah konsep Hukum Pidana Materiel, yaitu seseorang dikatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana (actus reus) sekalipun tidak ada niat jahat atau kesalahan pada dirinya (mens rea). Kedua, strict liability dipandang sebagai konsep Hukum Pidana Formiel, yaitu kegiatan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup maupun kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya menjadi tanggung jawabannya,  tanpa lebih jauh membuktikan pembuktian unsur kesalahan. Kesalahan (mens rea) yang bersangkutan tetap ada dan harus ada, hanya saja dianggap telah terbukti adanya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.
Penggunaan pandangan pertama menyebabkan titik berat persoalan menjadikan strict liability sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund). Artinya, ketika akibat yang dilarang telah timbul, maka ketentuan strict liability memperluas pertanggungjawaban pidana atas hal itu, terhadap siapapun yang ditentukan, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah ada kaitan yang wajar antara akibat dimaksud dengan perbuatan atau aktivitas yang bersangkutan. Tidak mengherankan ketika sejumlah pihak dipandang bertanggung jawab atas  akibat kebakaran hutan/lahan, pencemaran lingkungan, terlampaui batas baku mutu udara, yang timbul di areal yang menjadi tempat kegiatannya, walaupun tidak ada kontribusi kelakuan yang nyata terhadap  hal itu dari yang bersangkutan.
Berdasarkan penafsiran pertama, Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009  diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan kehutanan/perkebunan yang arealnya terbakar, karena sebab apapun. Perusahaan-perusahaan itu dipandang bertanggung jawab atas akibat yang timbul atas dasar strict liability, sekalipun hal itu bukan sebagai bagian mata rantai kegiatan usahanya. Kenyataan bahwa api bukan berasal dari kegiatan perusahaan-perusahaan itu, dan upayanya bahu membahu dengan masyarakat dan aparat negara memadamkan api, tidak menjadi pertimbangan. Pendeknya, mereka dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas hal itu. Disini sebenarnya strict liability diterapkan sebagai absolut liability.
Pandangan kedua menyebabkan strict liability adalah problem pembuktian semata, dan sama sekali bukan masalah perluasan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana  didasarkan pada syarat-syarat dapat dikenakannya pidana bagi seseorang, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) dan kesalahan (mens rea). Hanya saja persoalan mens rea dipandang telah ada tanpa harus dibuktikan lebih jauh kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Persoalannya, bagaimana kemudian seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam konsep strict libality, nah disini pembuktian bahwa adanya kelakuan yang memenuhi isi rumusan larangan undang-undang dan adanya akibat yang timbul dari kelakuan yang dilarang itu, menjadi syarat mutlak. Dalam keadaan  tertentu kelakuan dan akibat itu tidaklah perlu karena adanya perbuatan fisik secara langsung dari yang bersangkutan, tetapi cukup dengan  adanya hubungan tertentu dengan pelaku materielnya menyebabkan orang (perseroangan atau korporasi) juga dipandang sebagai perbuatannya. Oleh karena itu, strict liability adalah konsep tentang tatbestand ausdehnungsgrund, yaitu perluasan pengertian perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, hal ini menyebabkan perlu penyesuaian-penyesuaian tentang konsep perbuatan (actus reus), supaya pertanggungjawaban tetap berdasar pada kesalahan (liability based on fault).  Perbuatan orang-orang dalam lingkungannya dimana yang bersangkutan bertanggungjawab dalam  pengelolaan kegiatan dengan keterlibatan orang-orang itu, dipandang juga sebagai perbuatannya. Dengan demikian, pengaturan mengnai adanya hubungan-hubungan ini menjadi penting, supaya memenuhi syarat lex scripta, lex stricta dan lex certa. Disini strict liability diartikan sebagai strict liability crime.

Strict liability apakah dapat diterapkan pada manusia
atau hanya bagi korporasi

Persolan lain terkait penerapan strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund  diperparah dengan desain rumusan delik dalam umumnya peraturan perundangan, yang masih melulu dirancang untuk pembuat manusia. Akibatnya, seseorang dipandang bertanggung jawab secara mutlak terhadap kejadian-kejadian atau akibat-akibat  yang terjadi atau timbul dalam ruang lingkup pekerjaannya dan bukan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya atau perbuatan-perbuatan orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Walaupun tidak ada kehendak pribadi dari yang bersangkutan atas terjadinya atau timbulnya akibat-akibat dimaksud.
Semula di lingkungan common law, konsep strict liability diterapkan bagi korporasi, di Indonesia justu banyak diterapkan bagi individu. Padahal seharusnya tidak demikian, penerapan strict liability  dalam delik dibidang lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan, seharusnya diterapkan bagi korporasi saja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009, yang menentukan bahwa pertanggungjawaban mutlak atau strict liability menjadi konsep yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban tanpa membuktikan adanya kesalahan (liability without fault), pada dasarnya  tidak dapat diterapkan terhadap manusia (natuurlijke persoon), tetapi hanya dapat diterapkan pada korporasi. Pertanggungjawaban pada manusia selalu harus diartikan pada adanya kesalahan (liability base on fault), kecuali terhadap pelanggaran, sesuai dengan prinsip Geen Straf Zonder Schuld (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Hal ini telah cukup lama diakui dalam doktrin Hukum Pidana, seperti yang pernah dikemukakan Moeljatno, bahwa  pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil terhadap orang perseorangan, telah ditinggalkan sejak adanya Arrest HR tentang Susu dan Air. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil dahulunya diberlakukan terhadap tindak pidana pelanggaran telah ditinggalkan sejak Hoge Raad mengeluarkan  Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest, dengan menerima adanya dasar pemaaf pidana diluar dari yang ditentrukan dalam undang-undang, yang dikenal dengan  sebutan Awezigheid Van Alle Schuld (AVAS), dimana seseorang tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan sama sekali atau tidak ada sifat tercela sama sekali padanya.
Mengacu kepada hal di atas, kekeliruan yang kerapkali  muncul dalam penerapan  Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (strict liability) adalah ketika hal itu dijadikan dasar pemidanaan terhadap orang perseorangan manusia (natuurlijke persoon), karena dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas apapun yang terjadi dalam lahan atau hutan “tempatnya bekerja”, sekalipun hal itu terjadi bukan karena perbuatannya sendiri atau orang-orang yang bekerja bersamanya atau bekerja untuknya. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang diterapkan terhadap orang perseorangan, merupakan bentuk ketidakadilan dan kesewenangan.
 Selain itu, kalaupun pertanggungjawaban mutlak atau strict liability berdasarkan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya dianggap secara demikian pula berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  diterapkan terhadap korporasi, tetapi praktek hukum terkadang justru mengabaikan konsep pertanggungjawaban pidana itu sendiri, diamana pertanggungjawaban pidana hanya timbul karena perbuatan. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban pidana diterapkan tanpa memperhatikan apakah telah ada perbuatan yaang melawan hukum yang telah dilakukan suatu korporasi. Padahal dalam  Hukum Pidana, pertanggungjawaban hanya timbul karena adanya perbuatan, atau tiada pertanggungjawaban pidana tanpa adannya perbuatan melawan hukum (wedderechtelijke heid).  Dengan demikian, penerapan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  dilakukan dengan menabrak asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana” yang dilakukannya.

Strict liability dan Corporate Liability
 Korporasi dapat dipidana (dimintai pertanggungjawaban pidana) dengan  menggunakan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, apabila telah  memenuhi syarat-syarat suatu perbuatan sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).  Dalam hal ini asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana”, menjadi asas yang sangat fundamental dalam hal ini. Oleh karena itu untuk meminta pertanggungjawaban korporasi (corporate crime), termasuk dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liablity), maka terlebih dahlu harus dibuktikan adanya tindak pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi tentu tidak sama dengan tindak pidana oleh manusia, karena korporasi hanya bertindak melalui suatu kontruksi, dan bukan perbuatan langsung dengan tingkah laku jasmaniahnya. Korporasi hanya dapat bertindak “melalui orang-orangnya”. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan “orang-orang” dalam suatu korporasi itu, harus sedemikian rupa dapat dikonstruksi sebagai perbuatan korporasinya itu sendiri.
Dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, maka dalam  ranah teori dan juga sebenarnya telah diadopsi dalam berbagai undang-undang, tindak pidana korporasi dipandang ada jika:
a.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut terjadi karena perbuatan orang-orang dalam suatu korporasi (pengurus atau pegawai), baik berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hukungan lainnya. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut umumnya terjadi justru karena kegiatan masyarakat atau oknum tertentu yang tidak ada hubungannya dengan koporasi, maka sebenarnya akibat dari hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan terhdap korporasi;
b.   Terbukti bahwa kebakaraan hutan atau lahan tersebut terjadi karena untuk pencapaian tujuan korporasi yang ternyata dalam Anggaran Dasar. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan yang terjadi justru karena serangkaian tindakan okupasi lahan oknum atau masyarajat tertentu terhadap areal kegiatan korporasi, atau justru tidak diketahui sama sekali apa penyebabknya yang pasti, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;
c.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut menyebabkan korporasi mendapat keuntungan. Disini motivasi yang melatarbelakangi peristiwa itu menjadi sangat penting. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut bukan karena kegiatan koporasi yang menguntungkannya, atau bahkan justru merugikan korporasi secara finansial yang tidak sedikit, karena kehilangan aset berupa tanaman, biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;.
Hal-hal di atas seyogianya digunakan aparat penegak hukum dan otoritas administratif sebagai pedoman dalam memaknai ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009. Oleh karena itu,  ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, seharusnya dimaknai:
Setiap orang yang merupakan korporasi yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, sepanjang kerugian tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan konsepsi dan argumentasi yang sama, maka Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”, seharusnya juga  dimaknai bahwa: “Suatu korporasi sebagai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya, sepanjang kebakaran hutan tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan”.
Demikianlah kentuan tetang strict liability seharusnya dimaknai, sehingga peneraannya benar-benar sesuai dengan maksud semula penggunaan ini. Mereka yang telah menjalankan usahanya dengan baik, tetapi tetap juga mendulang masalah kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, tetap terlindungi dan mendapatkan perlakuan dengan adil. Wallahu’alam.

19 Mei 2017

PEMBUKTIAN KEJAHATAN KESUSILAAN



Oleh:
Dr. CHAIRUL HUDA, SH, MH.
 Pengantar
Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Selama ini Hukum Pembuktian umumnya diidentikkan dengan aturan, asas dan kebijakan berkenaan dengan proses meyakinkan hakim  atau pembentukan keyakinan hakim, atas  kesalahan terdakwa di muka sidang pengadilan.  Lihatlah ketentuan Pasal 183 sd 189 KUHAP dibawah titel “pembuktian (dan putusan-pen) dalam acara pemeriksaan biasa“, kesemuanya terutama bicara tentang aturan pembuktian kepada atau oleh hakim. Padahal sebenarnya pembuktian dalam perkara pidana, meliputi skala yang sangat luas, dan bukan sebatas pada pembuktian di muka sidang pengadilan.
Hukum Pembuktian itu seperti disinyalir  Floris J. Bex, dibedakan kedalam dua bagian, yaitu study of evidence law, yang titik beratnya pada ratiocinative process of contencious persuasion dari bukti dan alat-alat bukti dan the study of process of proof, yang titik tekannya pada admissibility dari Hukum Acara Pidana tentang hal itu.[1] Oleh karena itu, Hukum Pembuktian semestinya meliputi antara lain:
  1. Pembuktian pada tahap penyelidikan dan penyidikan;
  2. Pembuktian pada sidang pra peradilan;
  3. Pembuktian pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan (pemeriksaan tingkat pertama);
  4. Pembuktian pada tahap pemeriksaan ulangan (banding) dan kasasi;
  5. Pembuktian pada tahap pemeriksaan peninjuan kembali.
 Memang harus diakui pembuktian di muka sidang pengadilan merupakan proses terpenting dari seluruh proses perkara pidana. Pada prinsipnya, “pengadilan tempat memisahkan orang bersalah dari orang yang tidak bersalah”, sehingga pembuktian yang terjadi dalam tahap tersebut paling penting. Hasil pembuktian dalam tahap penyidikan dan oleh hakim pra peradilan, diuji kembali di muka sidang pengadilan ini (dalam pemeriksaan perkara pokoknya). Selain itu, pembuktian dalam tahap pemeriksaan banding, kasasi dan peninjauan kembali berpangkal tolak dari yang terbukti di muka sidang pengadilan. Namun demikian, hal ini seharusnya bukan alasan dapat dibenarkan minimnya pengaturan (under legislation) berkenaan dengan hal ini, dan kemudian  tetap membiarkan pengaturannya tanpa sistematika yang komplit, seperti yang sekarang ada dalam KUHAP, dan tampaknya masih sementara terlihat demikian dalam RKUHAP (edisi 2012).

Pembuktian pada dasarnya proses rasional membuktikan fakta-fakta dalam suatu perkara dengan bukti atau alat bukti. Problematika yang penting untuk didiskusikan terkait dengan pembuktian terhadap kejahatan kesusilaan, terutama berkenaan dengan sangat tergantungnya proses pidana kejahatan kesusilaan dengan bukuti atau alat bukti “Keterangan Ahli”, baik terhadap facta probanda (the facts that need to be proven)  maupun terhadap facta explananda (the facts has to be explained).[2] Bukan berarti pembuktian dengan bukti atau alat-alat bukti yang lain (saksi atau dokumen) menjadi tidak penting, tetapi kecenderungan menunjukkan pembuktian dengan Keterangan Ahli menjadi sangat dominan, terutama kejahatan kesusilaan yang konvensional (perkosaan, pencabulan, perzinahan, dan sodomi). Alexei Trusov mengatakan bahwa ahli itu tidak ubahnya sebagai “scientific judge”  dan tugasnya “finding as a sort of ‘scientific verdic’ on the particular qustion”.[3]  
Bahkan pembuktian dengan Keterangan Ahli terhadap delik ini, bukan hanya berkenaan dengan kausalitas antara suatu kelakuan dengan akibat, tetapi lebih jauh lagi kadangkala pembuktian dengan pendapat ahli ini juga menjurus pada persoalan subyek. Mengingat kejahatan kesusilaan biasanya merupakan invisible crime, dimana minimnya saksi-saksi menjadi satu alasan menyebabkan sulitnya pembuktian kejahatan ini.

Sementara itu, KUHAP sendiri tidak memberikan tuntunan yang cukup jelas tentang tentang bukti atau alat bukti keterangan ahli ini, terutama siapakah yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu. KUHAP juga tidak cukup memberikan pedoman penilaian keabsahan dari alat bukti ini. Bahkan tidak terdapat ukuran yang cukup terang tentang kekuatan mengikatnya. Ketiga problem mendasar berkenaan dengan bukti dan alat bukti Keterangan Ahli inilah yang dibicarakan dalam makalah ini, yang disana-sini ditempatkan konteks pembahasannya dengan pembuktian kejahatan kesusilaan.

Pembuktian dengan Pendapat/Keterangan Ahli dalam Penyidikan
Dalam tahap penyidikan, termasuk ketika melakukan penyidikan kejahatan kesusilaan, Penyidik dapat membuat tindak pidana yang ditanganinya itu menjadi terang benderang dengan meminta Pendapat Ahli dari “orang ahli” atau “orang yang memiliki keahlian khusus” (Pasal 120 KUHAP). Dalam haal ini KUHAP menggunakan istilah “Pendapat Ahli”, dan tidak jelas betul siapakah yang pembentuk undang-undang maksudkan sebagai orang yang memiliki kualifikasi sebagai demikian itu. Sementara itu, dalam bagian lain KUHAP juga menentukan bahwa khusus berkenaan dengan “korban luka, keracunan ataupun mati” penyidik berwenang mengajukan permintaan Keterangan Ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Disini istilahnya dalah “Keterangan Ahli”. Persoalannya, apakah Pendapat Ahli (Passal 120 KUHAP dan Keterangan Ahli (Pasal 133 ayat (1) KUHAP) dalam hal ini merupakan sinonim ataukah dua pengertian yang berbeda? Apa konsekuensinya jika dibedakan? Sepertinya mengenai hal ini harus dicermati dengan hati-hati tentunya.

Tidak banyak literatur yang memberikan penjelasan tentang kualifikasi dari bukti pendapat atau keterangan ahli. Namun demikian, menurut pendapat saya, secara terminologis “orang ahli” tertuju pada pengertian sarjana dalam bidang ilmu tertentu. Hal ini sepertinya yang menjadi amanat penyelenggaraan pendidikan kesarjanaan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dimana seperti dikataka Paul B. Weston dan Kenneth M. Wellss,  “scientific area s related to academic dicipline, it is  desirable  that te expert  have at least a basic degree in the his choses field.[4]  Sedangkan “orang yang memiliki keahlian khusus” adalah orang yang menekuni bidang tertentu secara terus menerus, sehingga dipandang memiliki keahlian khusus tentang hal yang ditekuninya. Oleh karena itu “orang yang memiliki keahlian khusus” ini keahliannya didasarkan pada pengalaman empiris tentang satu hal secara terus menerus, yang bukan didasarkan pada pendidikan formalnya. 

Berdasarkan definisi di atas menurut pendapat saya, yang perlu diperhatikan  bahwa seharusnya Pendapat Ahli yang  disampaikan kepada penyidik, merupakan pandangan  dalam bentuk normatif, sehingga tidak langsung berkenaan dengan perkara yang sedang ditangani penyidik, kecuali ilustratif belaka. Dengan kata lain, kualifikasi pendapat ahli disini (deskundige) adalah pendapat yang diberikan  tanpa melakukan pemeriksaan materi perkara. Dalam hal ini,“the expert’s opinion is advisory, no more”.[5] Dengan demikian,  pendapat ahli ini  terbebas dari faktor objektif perkara yang sedang ditangani penyidik. Mengacu pada pengertian  ini, orang ahli yang boleh jadi diperlukan dalam pengungkapan kejahatan kesusilaan sekarang ini misalnya Sarjana Psikologi. Pendapatnya diperlukan untuk mendapatkan gambaran (verklaring) tentang tindak kekerasan yang dialami oleh seseorang dengan trauma psikologis yang mungkin timbul akibat kejahatan tersebut, berapa lama trauma tersebut bisa bertahan, dan bagaimana menghubungkannya dengan perilaku orang yang diduga sebagai penyebabnya. Demikian pula para Sarjana Krimilonogi bisa memberikan penjelasan tentang penyebab umum dari tinak pidana ini. Para Sarjana Hukum dengan  konsentrasi hukum pidana dapat memberikan pendapat tentang beberapa konteks yuridis dari tindak pidana dimaksud, seperti makna unsurnya dan spesialitas logis ataupun sistematis yang mungkin timbul dalam peristiwa yang diduga sebagai suatu kejahatan kesusilaan. Sedangkan “orang yang memiliki keahlian khusus” yang pendapatnya boleh jadi diperlukan  dalam pembuktian kejahatan kesusilaan misalnya orang-orang yang menekuni masalah prilaku seksual tertentu. Pendapat  Ahli Seksiologi  (biasanya dokter atau krminolog) dibutuhkan untuk mendalami deviasi seksual tertentu yang mungkin terjadi dalam perkara itu.

Berbeda dengan Pendapat Ahli, pada dasarnya Keterangan Ahli, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 KUHAP, menjurus pada pengertian  keterangan yang  diberikan oleh ahli (getuige deskundige) tersebut dengan terlebih dahulu  memeriksa barang bukti (material evidence) atau materi perkara lainnya. Dengan demikian, keterangan ahli disini “lebih mendekati” keterangan saksi (expert-opinion testimony), hanya saja jika saksi memberikan keterangan berdasarkan pengalaman  panca inderanya, tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya, sedangkan ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya terhadap barang bukti yang diperlihatkan kepadanya. 

Memang KUHAP memberi batasan hal ini hanya berkaitan dengan korban luka, keracunan ataupun mati, dimana keterangan ahli diberikan oleh Ahli Kedokteran Kehakiman, yang menjadi kompetensi  Dokter Spesialis Forensik. Namun demikian, KUHAP juga membuka peluang bahwa Keterangan Ahli  juga dapat  diberikan oleh dokter pada umumnya atau ahli lainnya. Oleh karena itu, hal ini membuka peluang permintaan keterangan ahli dari dokter pada umumnya atau dokter yang memiliki bidang keahlian lainnya (selain kedokteran forensik), dan juga ahli lainnya. Bukan saja terkait masalah luka, keracunan atau kematian, melainkan terbuka peluang pula meminta keterangan ahli tidak hanya terbatas pada objek berupa luka, keracunan ataupun kematian dimaksud, tetapi pada hal-hal lain yang terkait dengan masalah tersebut.

Dalam tahap penyidikan, selain keterangan ahli  yang diberikan Dokter Forensik, keterangan ahli dari Psikolog misalnya, dapat mengungkap “trauma psikologis” yang diderita korban akibat kejahatan kesusilaan yang dideritanya. Selain itu, di era teknologi informasi, jejak-jejak kejahatan kesusilaan banyak yang dapat ditelusuri apa yang tersimpan dalam gadget korban dan pelaku. Oleh karena itu, Sarjana IT memainkan peran penting untuk mengungkap keterkaitan potingan gambar, video, atau pesan singkat yang mengkaitkan korban dengan pelakunya. Kesemuanya hanya dapat memberikan Keterangan Ahli setelah mengamati, mempelajari atau mengkaji barang bukti, keadaan korban dan/atau bekas-bekas kejahatan dimaksud.

Sementara itu, keterangan ahli yang diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus dalam kasus kejahatan kesusilaan cukup beragam, tergantung tingkat kesulitan pengungkapan perkara itu.  Misalnya, Penyidik dapat meminta keterangan ahli dari Ahli Hipnotis, yang diharapkan dapat mengungkap trauma yang disimpan dalam alam bawah sadar dari korban, atau sekarang ini yang lagi trend penyidik dapat meminta keterangan dari Ahli Gestur, yang dapat menilai kecenderungan prilaku korban, termasuk sifat dan karakter dasarnya,  setelah memperhatikan garis muka, pengamatan pupil mata ataupun perilaku yang bersifat khusus  boleh jadi terkait dengan kejahatan dimaksud. Keterlibatan ahli-ahli ini kemudian akan memberi kontribusi penting pembuktian kejahatan kesusilaan yang terjadi dengan minim saksi mata.
Visum et Repertum
Salah satu persoalan yang masih tersisa berkenaaan dengan Keterangan Ahli dalam penyidikan menyangkut  hal ihwal  mengeni Visum et Repertum.  Visum et repertum adalah istilah dalam Bahasa Latin yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, yang dalam Bahasa Inggris bisa dipersamakan dengan Visual Report. “Visum” atau bentuk tunggalnya “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan.  Sedangkan “Repertum” berarti melapor,  yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap barang bukti (tubuh, bagian tubuh atau mayat). Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Dari segi yuridis kedudukan Visum et Repertum masih menimbulkan  silang pendapat, apakah hanya menjadi kompetensi Dokter Spesialis Forensik atau juga  menjadi kewenangan Dokter pada umumnya. Jika mengacu pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP, jelas sekali bahwa Visum et Repertum merupakan kompetensi Dokter Forensik, tetapi jika mengacu padda Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, tidak dipersyaratkan dengan tegas harus Doker Forensik, tetapi dokter pada umumnya dapat menerbitkan visum Visum et Repertum.

Selain itu, posisi Visum et Repertum dalam dalam sistem pembuktian menurut KUHAP cukup unit, yang menempatkannya sacara berbeda ketika digunakan dalam penyidikan,  dengan ketika hal itu digunakan dalam pembuktian di muka sidang pengadilan. Ketika dipenyidikan, mengacu pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP, Visum et Repertum adalah “Keterangan Ahli”, tetapi jika mengacu pada definisinya yang ditentukan dalam  Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, Visum et Repertum dalam pembuktian di muka sidang pengadilan tergolong alat bukti surat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, yaitu “keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Persoalannya  ada kecendrungan  praktek peradilan yang menggunakan posisi Visum et Repertum secara bergonta ganti, termasuk dalam pembuktian kejahatan kesusilaan.

Dalam pembuktian kejahatan kesusilaan, Visum et Repertum menempati posisi strategis. Misalnya, untuk mendapatkan pembuktian tentang unsur paksaan dalam perkosaan, ataupun bekas-bekas aktivitas seksual yang ditinggalkan dalam kemaluan atau dubur dalam kasus pencabulan. Namun demikian, praktek peradilan kadangkala menunjukan gejala unpredictable berkenaan dengan kedudukan dan kekuatan pembuktian Visum et Repertum dalam pembuktian tindak pidana kesusilaan, termasuk masalah kekuatan mengikatnya. Lihatlah dalam kasus pencabulan terhadap siswa Jakarta Internasional School, Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dua dokter dari dua rumah sakit yang berbeda (dokter RSCM dan RSPI), menyimpulkan: “tidak ditemukan luka” atau ”tidak ada kelainan”  pada lubang pelepasan (anus) anak yang dilaporkan menjadi korban tindak pidana kesusilaan, tetapi penyidik tetap meneruskan perkara ini ke penuntutan dan pada akhirnya sekalipun sempat ada terdakwa yang dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (dua guru JIS), namun Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bersalah semua  terdakwa (guru dan OB) karena melakukan sodomi, sekalipun tidak ada saksi yang melihat peristiwa itu. Hanya “keterangan” korban yang kemudian menunjuk kepada para terdakwa sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
 
Visum et Repertum Kasus JIS (RSCM)
Visum et Repertum Kasus JIS (RSPI)

Selain itu, Visum et repertum hanya sah apabila didasarkan pada pemeriksaan barang bukti (tubuh, darah dan jaringan tubuh, organ tubuh ataupun mayat), dan karenanya hanya diterbitkan atas permintaan penyidik. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen menentukan bahwa  Visum Et Repertum diterbitkan hanya  “untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang”, yang dalam Pasal 133 ayat (2) KUHAP dipersyaratkan permintaan itu disampaikan “secara tertulis”, dengan secara tegas menyebutkan “tujuan pemeriksaan”.

Visum et Repertum karenanya tidak dapat diberikan dokter berdasarkan permintaan perseorangan (korban atau keluarganya), atau hanya didasarkan pada medical record seseorang, sekalipun dokter tersebut yang melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya itu. Ketika seseorang meminta “visum” kepada dokter atas apa yang dialaminya, maka pada dasarnya hubungan yang terjadi adalah antara dokter dan pasien, sedangkan Visum et Repertum bukan diberikan karena  dokter tersebut memeriksa pasiennya, tetapi memerika barang bukti (sekalipun barang buktinya melekat pada tubuh seseorang). Tentunya barang bukti yang dimintakan visum harus disampaikan oleh penyidik kepada dokter yang diminta memberikan visum tersebut.

          Dalam banyak kejadian, ketika suatu Visum et Repertum dibandingan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari  dokter yang menerbitkannya, terlihat bahwa visum dimaksud  sebenarnya bukan didasarkan pada hasil pemeriksaan barang bukti pada waktu hal itu diterbitkan. Menurut Laura B. Myers, forensic misconduct seperti ini justru disebabkan oleh tindakan aparatur peradilan pidana (termasuk lawyers) yang “menghalangi”  juri  atau hakim dalam sistem hukum Indonesia, mendapatkan tinjauan  terhadap bukti secara sah.[6] Jadi pada dasarnya keawaman dokter forensik terhadap sistem hukum, “dimanfatkan” aparatur sistem memanipulasi bukti, atau memanipulasi sistem yang menjurus pada pembentukan bukti secara tidak proporsiaonal.

Berikut ini adalah contoh Visum et Repertum  yang diterbitkan berdasarkan catatan hasil pemeriksaan medis (medical record) yang dilakukan tiga hari sebelumnya, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam BAP dokter yang bersangkutan. Sekalipun diberikan oleh dokter yang sama, medical record dan visum et repertum. Mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama sekali berbeda satu sama lain.


   


Kerterangan Ahli di Pengadilan

Sementara itu, selain pembuktian dengan Keterangan Ahli oleh Penuntut Umum, berdasarkaan Pasal 180 KUHAP hakim ketua sidang juga diberi kewenangan untuk meminta Keterangan Ahli. Keterangan Ahli disini dapat dimintakan baik karena yang berhubungan dengaan perbuatan maupun berkenaan dengan orangnya. Berkenaan dengan perbuatan terdakwa dimaksud terutama apabila dari ahli-ahli yang dihadirkan Penuntut Umum dan terdakwa, ternyata terdapat perbedaan pendapat yang sangat tajam, maka “untuk menjernihkan duduknya persoalan” hakim ketua sidang karena jabatanya dapat memanggil ahlinya sendiri. Permintaan Keterangan Ahli juga dapat diminta oleh hakim ketua sidang dalam hal terdapat keraguan tentang kemampuan bertanggungjawab seorang terdakwa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Dalam hal ini ahli dimaksud adalah Ahli Psikiatri Kehakiman yang menjadi kompetensi Dokter Spesialis Penyakit Jiwa.

Terkait dengan pembuktian kejahaatan kesusilaan, terdapat sejumlah kendala yang khas terkait dengan Keterangan Ahli dalaam hal ini, yang dapat timbul karena:
1.   Faktor korban, umumnya lambat melaporkan dengan berbagai alasan;
2.   Faktor penyidik, umumnya karena rendahnya pengetahuan medis/forensik;
3.   Faktor dokter/ahli, umumnya karena rendahnya pengetahuan tentang hukum dan teknis forensik penanganan korban kejahatan kesusilaan;
4.   Tempat kejadian perkara yang sudah berubah, sehingga sedikit bekas kejahatan yang bisa dtemukan;
5.   Barang bukti yang hilang atau rusak (baju, pakaian dalam, luka  pada tubuh, cairan sperma atau cairan vagina dll)

Pada korban yang sangat jelas bekas kekerasannya, seperti korban perkosaan dengan luka memar di sekujur tubuhnya pada gambar berikut ini, memang pembuktian relatif lebih mudah. Namun demikian, luka bekas kekerasan seperti itu kadang mudah hilang seiring waktu. Dengan demikian, faktor waktu menjadi sangat menentukan dalam hal ini. Dalam banyak kasus perkosaan atau kejahatan seksual lain karena alasan tertentu, seperti malu atau korban cukup berpartisipasi pada terjadinya kejahatan itu, rentang waktu pelaporan/pengaduan dan pemeriksaan untuk pemberian visum sudah sangat jauh, sehingga bekas kejahatan tidak lagi tampak.                              




Seyogianya penyidik-penyidik yang ditugaskan di unit/satuan/sub direktorat kesusilaan mestinya memiliki pengetahuan dasar medis/forensik yang cukup. Terutama berkenaan dengan beberapa hal teknis forensik. Hal ini yang disebut sebagai Brian Forts sebagai “tactical solution”, yang sangat diperlukan dalam pemecahan suatu perkara.[7] Misalnya, pengetahuan tentang originalitas barang bukti menjadi sangat penting bagi kepentingan forensik, dimana korban harus dibawa ke dokter sejauh mungkin pada keadaan yang belum mengalami perubahan, sejak peristiwa kejahatan yang dialaminya. Dalam beberapa kasus kejahatan kesusilaan penyidik dengan alasan “kasihan” justru memberikan pengobatan sekedarnya pada korban, bahkan cukup banyak yang tidak menjadikan perhatian berkenaan pakaian yang dipakai korban ketika kejahatan dilakukan.

Sebaiknya, dokter yang melakukan pemeriksaan korban juga terkadang minim pengetahuan hukumnya. Cukup banyak dokter yang memberikan visum hanya berdasarkan medical record, yang bahkan medical record itu bukan dibuat olehnya. Hal ini tentu berpengaruh pada keabsahan dari visum et repertum dimaksud. Visum et repertum  yang diberikan tidak berdasarkan hasil pengamatan terhadap barang bukti pada waktu  laporan tersebut disampaikan, bukan hanya tidak sah tetapi dapat dikualifikasi sebagai surat keterangan dokter palsu, ex Pasal 268 KUHP.

Selain itu, tidak sedikit kegagalan pembuktian kejahatan kesusilaan karena tidak lagi dapat dilihat bekas kejahatan  tersebut di TKP. Sehingga pengamanannya sangat penting, karena mungkin saja ceceran darah, epitel, sperma, rambut, dll. tertinggal, baik milik  korban maupun pelaku. Sebenarnya dari segi yuridis telah menjadi good practices adanya  suatu  “pemeriksaan  setempat” atau “gerechtelijke plaatsopneming”,   yang dengannya dapat membawa hakim  ke dalam suasana  ketika kejahatan kesusilaan berlangsung. Sayangnya, KUHAP dan RKUHAP belum mengatur pembuktian dengan acara pemeriksaan setempat dimaksud.

Padahal strategic solution seperti ini boleh jadi merupakan bagian jawaban dari kebuntuan metode mempertemukan rasa keadilan korban dan pelaku, ketika pendekatan yang bersifat teknologis, demografik dan kecenderungan politik,[8] belum juga menuntaskan masalah tersebut.   Wallahualam.



[1] Floris J. Bex, Arguments, Stories and Criminal Evidence; A Formal Hybrid Theory, (London: Springer, 2011), 1.
[2]Ibid, 12

[3]Alexei Trusov, An Introduction to The Theory of Evidence, (Moscow: Foreign Languages Publishing House, tt), 131. 
[4]Paul B. Weston,  and Kenneth M. Wellss, Criminal Evidence for Police, (New York: Prentice-Hall Inc, 1971), 40.
[5]Ibid, 39.  
[6]Laura B. Myers, “The Ethic of Criminal Justice Administration” dalam  Handbook of Criminal Justice Administration, Ediitor:   M.A. DuPont-Morales et.al., (NewYok: Marcel Dekker Inc., 2001), 10.
[7]Brian Frost, “Managing Criminal Investigation”, dalam Handbook of Criminal Justice Administration, Ediitor:   M.A. DuPont-Morales et.al., (NewYok: Marcel Dekker Inc., 2001), 114.
[8]Ibid