19 Mei 2017

PEMBUKTIAN KEJAHATAN KESUSILAAN



Oleh:
Dr. CHAIRUL HUDA, SH, MH.
 Pengantar
Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Selama ini Hukum Pembuktian umumnya diidentikkan dengan aturan, asas dan kebijakan berkenaan dengan proses meyakinkan hakim  atau pembentukan keyakinan hakim, atas  kesalahan terdakwa di muka sidang pengadilan.  Lihatlah ketentuan Pasal 183 sd 189 KUHAP dibawah titel “pembuktian (dan putusan-pen) dalam acara pemeriksaan biasa“, kesemuanya terutama bicara tentang aturan pembuktian kepada atau oleh hakim. Padahal sebenarnya pembuktian dalam perkara pidana, meliputi skala yang sangat luas, dan bukan sebatas pada pembuktian di muka sidang pengadilan.
Hukum Pembuktian itu seperti disinyalir  Floris J. Bex, dibedakan kedalam dua bagian, yaitu study of evidence law, yang titik beratnya pada ratiocinative process of contencious persuasion dari bukti dan alat-alat bukti dan the study of process of proof, yang titik tekannya pada admissibility dari Hukum Acara Pidana tentang hal itu.[1] Oleh karena itu, Hukum Pembuktian semestinya meliputi antara lain:
  1. Pembuktian pada tahap penyelidikan dan penyidikan;
  2. Pembuktian pada sidang pra peradilan;
  3. Pembuktian pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan (pemeriksaan tingkat pertama);
  4. Pembuktian pada tahap pemeriksaan ulangan (banding) dan kasasi;
  5. Pembuktian pada tahap pemeriksaan peninjuan kembali.
 Memang harus diakui pembuktian di muka sidang pengadilan merupakan proses terpenting dari seluruh proses perkara pidana. Pada prinsipnya, “pengadilan tempat memisahkan orang bersalah dari orang yang tidak bersalah”, sehingga pembuktian yang terjadi dalam tahap tersebut paling penting. Hasil pembuktian dalam tahap penyidikan dan oleh hakim pra peradilan, diuji kembali di muka sidang pengadilan ini (dalam pemeriksaan perkara pokoknya). Selain itu, pembuktian dalam tahap pemeriksaan banding, kasasi dan peninjauan kembali berpangkal tolak dari yang terbukti di muka sidang pengadilan. Namun demikian, hal ini seharusnya bukan alasan dapat dibenarkan minimnya pengaturan (under legislation) berkenaan dengan hal ini, dan kemudian  tetap membiarkan pengaturannya tanpa sistematika yang komplit, seperti yang sekarang ada dalam KUHAP, dan tampaknya masih sementara terlihat demikian dalam RKUHAP (edisi 2012).

Pembuktian pada dasarnya proses rasional membuktikan fakta-fakta dalam suatu perkara dengan bukti atau alat bukti. Problematika yang penting untuk didiskusikan terkait dengan pembuktian terhadap kejahatan kesusilaan, terutama berkenaan dengan sangat tergantungnya proses pidana kejahatan kesusilaan dengan bukuti atau alat bukti “Keterangan Ahli”, baik terhadap facta probanda (the facts that need to be proven)  maupun terhadap facta explananda (the facts has to be explained).[2] Bukan berarti pembuktian dengan bukti atau alat-alat bukti yang lain (saksi atau dokumen) menjadi tidak penting, tetapi kecenderungan menunjukkan pembuktian dengan Keterangan Ahli menjadi sangat dominan, terutama kejahatan kesusilaan yang konvensional (perkosaan, pencabulan, perzinahan, dan sodomi). Alexei Trusov mengatakan bahwa ahli itu tidak ubahnya sebagai “scientific judge”  dan tugasnya “finding as a sort of ‘scientific verdic’ on the particular qustion”.[3]  
Bahkan pembuktian dengan Keterangan Ahli terhadap delik ini, bukan hanya berkenaan dengan kausalitas antara suatu kelakuan dengan akibat, tetapi lebih jauh lagi kadangkala pembuktian dengan pendapat ahli ini juga menjurus pada persoalan subyek. Mengingat kejahatan kesusilaan biasanya merupakan invisible crime, dimana minimnya saksi-saksi menjadi satu alasan menyebabkan sulitnya pembuktian kejahatan ini.

Sementara itu, KUHAP sendiri tidak memberikan tuntunan yang cukup jelas tentang tentang bukti atau alat bukti keterangan ahli ini, terutama siapakah yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu. KUHAP juga tidak cukup memberikan pedoman penilaian keabsahan dari alat bukti ini. Bahkan tidak terdapat ukuran yang cukup terang tentang kekuatan mengikatnya. Ketiga problem mendasar berkenaan dengan bukti dan alat bukti Keterangan Ahli inilah yang dibicarakan dalam makalah ini, yang disana-sini ditempatkan konteks pembahasannya dengan pembuktian kejahatan kesusilaan.

Pembuktian dengan Pendapat/Keterangan Ahli dalam Penyidikan
Dalam tahap penyidikan, termasuk ketika melakukan penyidikan kejahatan kesusilaan, Penyidik dapat membuat tindak pidana yang ditanganinya itu menjadi terang benderang dengan meminta Pendapat Ahli dari “orang ahli” atau “orang yang memiliki keahlian khusus” (Pasal 120 KUHAP). Dalam haal ini KUHAP menggunakan istilah “Pendapat Ahli”, dan tidak jelas betul siapakah yang pembentuk undang-undang maksudkan sebagai orang yang memiliki kualifikasi sebagai demikian itu. Sementara itu, dalam bagian lain KUHAP juga menentukan bahwa khusus berkenaan dengan “korban luka, keracunan ataupun mati” penyidik berwenang mengajukan permintaan Keterangan Ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Disini istilahnya dalah “Keterangan Ahli”. Persoalannya, apakah Pendapat Ahli (Passal 120 KUHAP dan Keterangan Ahli (Pasal 133 ayat (1) KUHAP) dalam hal ini merupakan sinonim ataukah dua pengertian yang berbeda? Apa konsekuensinya jika dibedakan? Sepertinya mengenai hal ini harus dicermati dengan hati-hati tentunya.

Tidak banyak literatur yang memberikan penjelasan tentang kualifikasi dari bukti pendapat atau keterangan ahli. Namun demikian, menurut pendapat saya, secara terminologis “orang ahli” tertuju pada pengertian sarjana dalam bidang ilmu tertentu. Hal ini sepertinya yang menjadi amanat penyelenggaraan pendidikan kesarjanaan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dimana seperti dikataka Paul B. Weston dan Kenneth M. Wellss,  “scientific area s related to academic dicipline, it is  desirable  that te expert  have at least a basic degree in the his choses field.[4]  Sedangkan “orang yang memiliki keahlian khusus” adalah orang yang menekuni bidang tertentu secara terus menerus, sehingga dipandang memiliki keahlian khusus tentang hal yang ditekuninya. Oleh karena itu “orang yang memiliki keahlian khusus” ini keahliannya didasarkan pada pengalaman empiris tentang satu hal secara terus menerus, yang bukan didasarkan pada pendidikan formalnya. 

Berdasarkan definisi di atas menurut pendapat saya, yang perlu diperhatikan  bahwa seharusnya Pendapat Ahli yang  disampaikan kepada penyidik, merupakan pandangan  dalam bentuk normatif, sehingga tidak langsung berkenaan dengan perkara yang sedang ditangani penyidik, kecuali ilustratif belaka. Dengan kata lain, kualifikasi pendapat ahli disini (deskundige) adalah pendapat yang diberikan  tanpa melakukan pemeriksaan materi perkara. Dalam hal ini,“the expert’s opinion is advisory, no more”.[5] Dengan demikian,  pendapat ahli ini  terbebas dari faktor objektif perkara yang sedang ditangani penyidik. Mengacu pada pengertian  ini, orang ahli yang boleh jadi diperlukan dalam pengungkapan kejahatan kesusilaan sekarang ini misalnya Sarjana Psikologi. Pendapatnya diperlukan untuk mendapatkan gambaran (verklaring) tentang tindak kekerasan yang dialami oleh seseorang dengan trauma psikologis yang mungkin timbul akibat kejahatan tersebut, berapa lama trauma tersebut bisa bertahan, dan bagaimana menghubungkannya dengan perilaku orang yang diduga sebagai penyebabnya. Demikian pula para Sarjana Krimilonogi bisa memberikan penjelasan tentang penyebab umum dari tinak pidana ini. Para Sarjana Hukum dengan  konsentrasi hukum pidana dapat memberikan pendapat tentang beberapa konteks yuridis dari tindak pidana dimaksud, seperti makna unsurnya dan spesialitas logis ataupun sistematis yang mungkin timbul dalam peristiwa yang diduga sebagai suatu kejahatan kesusilaan. Sedangkan “orang yang memiliki keahlian khusus” yang pendapatnya boleh jadi diperlukan  dalam pembuktian kejahatan kesusilaan misalnya orang-orang yang menekuni masalah prilaku seksual tertentu. Pendapat  Ahli Seksiologi  (biasanya dokter atau krminolog) dibutuhkan untuk mendalami deviasi seksual tertentu yang mungkin terjadi dalam perkara itu.

Berbeda dengan Pendapat Ahli, pada dasarnya Keterangan Ahli, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 KUHAP, menjurus pada pengertian  keterangan yang  diberikan oleh ahli (getuige deskundige) tersebut dengan terlebih dahulu  memeriksa barang bukti (material evidence) atau materi perkara lainnya. Dengan demikian, keterangan ahli disini “lebih mendekati” keterangan saksi (expert-opinion testimony), hanya saja jika saksi memberikan keterangan berdasarkan pengalaman  panca inderanya, tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya, sedangkan ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya terhadap barang bukti yang diperlihatkan kepadanya. 

Memang KUHAP memberi batasan hal ini hanya berkaitan dengan korban luka, keracunan ataupun mati, dimana keterangan ahli diberikan oleh Ahli Kedokteran Kehakiman, yang menjadi kompetensi  Dokter Spesialis Forensik. Namun demikian, KUHAP juga membuka peluang bahwa Keterangan Ahli  juga dapat  diberikan oleh dokter pada umumnya atau ahli lainnya. Oleh karena itu, hal ini membuka peluang permintaan keterangan ahli dari dokter pada umumnya atau dokter yang memiliki bidang keahlian lainnya (selain kedokteran forensik), dan juga ahli lainnya. Bukan saja terkait masalah luka, keracunan atau kematian, melainkan terbuka peluang pula meminta keterangan ahli tidak hanya terbatas pada objek berupa luka, keracunan ataupun kematian dimaksud, tetapi pada hal-hal lain yang terkait dengan masalah tersebut.

Dalam tahap penyidikan, selain keterangan ahli  yang diberikan Dokter Forensik, keterangan ahli dari Psikolog misalnya, dapat mengungkap “trauma psikologis” yang diderita korban akibat kejahatan kesusilaan yang dideritanya. Selain itu, di era teknologi informasi, jejak-jejak kejahatan kesusilaan banyak yang dapat ditelusuri apa yang tersimpan dalam gadget korban dan pelaku. Oleh karena itu, Sarjana IT memainkan peran penting untuk mengungkap keterkaitan potingan gambar, video, atau pesan singkat yang mengkaitkan korban dengan pelakunya. Kesemuanya hanya dapat memberikan Keterangan Ahli setelah mengamati, mempelajari atau mengkaji barang bukti, keadaan korban dan/atau bekas-bekas kejahatan dimaksud.

Sementara itu, keterangan ahli yang diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus dalam kasus kejahatan kesusilaan cukup beragam, tergantung tingkat kesulitan pengungkapan perkara itu.  Misalnya, Penyidik dapat meminta keterangan ahli dari Ahli Hipnotis, yang diharapkan dapat mengungkap trauma yang disimpan dalam alam bawah sadar dari korban, atau sekarang ini yang lagi trend penyidik dapat meminta keterangan dari Ahli Gestur, yang dapat menilai kecenderungan prilaku korban, termasuk sifat dan karakter dasarnya,  setelah memperhatikan garis muka, pengamatan pupil mata ataupun perilaku yang bersifat khusus  boleh jadi terkait dengan kejahatan dimaksud. Keterlibatan ahli-ahli ini kemudian akan memberi kontribusi penting pembuktian kejahatan kesusilaan yang terjadi dengan minim saksi mata.
Visum et Repertum
Salah satu persoalan yang masih tersisa berkenaaan dengan Keterangan Ahli dalam penyidikan menyangkut  hal ihwal  mengeni Visum et Repertum.  Visum et repertum adalah istilah dalam Bahasa Latin yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, yang dalam Bahasa Inggris bisa dipersamakan dengan Visual Report. “Visum” atau bentuk tunggalnya “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan.  Sedangkan “Repertum” berarti melapor,  yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap barang bukti (tubuh, bagian tubuh atau mayat). Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Dari segi yuridis kedudukan Visum et Repertum masih menimbulkan  silang pendapat, apakah hanya menjadi kompetensi Dokter Spesialis Forensik atau juga  menjadi kewenangan Dokter pada umumnya. Jika mengacu pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP, jelas sekali bahwa Visum et Repertum merupakan kompetensi Dokter Forensik, tetapi jika mengacu padda Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, tidak dipersyaratkan dengan tegas harus Doker Forensik, tetapi dokter pada umumnya dapat menerbitkan visum Visum et Repertum.

Selain itu, posisi Visum et Repertum dalam dalam sistem pembuktian menurut KUHAP cukup unit, yang menempatkannya sacara berbeda ketika digunakan dalam penyidikan,  dengan ketika hal itu digunakan dalam pembuktian di muka sidang pengadilan. Ketika dipenyidikan, mengacu pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP, Visum et Repertum adalah “Keterangan Ahli”, tetapi jika mengacu pada definisinya yang ditentukan dalam  Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, Visum et Repertum dalam pembuktian di muka sidang pengadilan tergolong alat bukti surat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, yaitu “keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Persoalannya  ada kecendrungan  praktek peradilan yang menggunakan posisi Visum et Repertum secara bergonta ganti, termasuk dalam pembuktian kejahatan kesusilaan.

Dalam pembuktian kejahatan kesusilaan, Visum et Repertum menempati posisi strategis. Misalnya, untuk mendapatkan pembuktian tentang unsur paksaan dalam perkosaan, ataupun bekas-bekas aktivitas seksual yang ditinggalkan dalam kemaluan atau dubur dalam kasus pencabulan. Namun demikian, praktek peradilan kadangkala menunjukan gejala unpredictable berkenaan dengan kedudukan dan kekuatan pembuktian Visum et Repertum dalam pembuktian tindak pidana kesusilaan, termasuk masalah kekuatan mengikatnya. Lihatlah dalam kasus pencabulan terhadap siswa Jakarta Internasional School, Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dua dokter dari dua rumah sakit yang berbeda (dokter RSCM dan RSPI), menyimpulkan: “tidak ditemukan luka” atau ”tidak ada kelainan”  pada lubang pelepasan (anus) anak yang dilaporkan menjadi korban tindak pidana kesusilaan, tetapi penyidik tetap meneruskan perkara ini ke penuntutan dan pada akhirnya sekalipun sempat ada terdakwa yang dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (dua guru JIS), namun Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bersalah semua  terdakwa (guru dan OB) karena melakukan sodomi, sekalipun tidak ada saksi yang melihat peristiwa itu. Hanya “keterangan” korban yang kemudian menunjuk kepada para terdakwa sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
 
Visum et Repertum Kasus JIS (RSCM)
Visum et Repertum Kasus JIS (RSPI)

Selain itu, Visum et repertum hanya sah apabila didasarkan pada pemeriksaan barang bukti (tubuh, darah dan jaringan tubuh, organ tubuh ataupun mayat), dan karenanya hanya diterbitkan atas permintaan penyidik. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen menentukan bahwa  Visum Et Repertum diterbitkan hanya  “untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang”, yang dalam Pasal 133 ayat (2) KUHAP dipersyaratkan permintaan itu disampaikan “secara tertulis”, dengan secara tegas menyebutkan “tujuan pemeriksaan”.

Visum et Repertum karenanya tidak dapat diberikan dokter berdasarkan permintaan perseorangan (korban atau keluarganya), atau hanya didasarkan pada medical record seseorang, sekalipun dokter tersebut yang melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya itu. Ketika seseorang meminta “visum” kepada dokter atas apa yang dialaminya, maka pada dasarnya hubungan yang terjadi adalah antara dokter dan pasien, sedangkan Visum et Repertum bukan diberikan karena  dokter tersebut memeriksa pasiennya, tetapi memerika barang bukti (sekalipun barang buktinya melekat pada tubuh seseorang). Tentunya barang bukti yang dimintakan visum harus disampaikan oleh penyidik kepada dokter yang diminta memberikan visum tersebut.

          Dalam banyak kejadian, ketika suatu Visum et Repertum dibandingan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari  dokter yang menerbitkannya, terlihat bahwa visum dimaksud  sebenarnya bukan didasarkan pada hasil pemeriksaan barang bukti pada waktu hal itu diterbitkan. Menurut Laura B. Myers, forensic misconduct seperti ini justru disebabkan oleh tindakan aparatur peradilan pidana (termasuk lawyers) yang “menghalangi”  juri  atau hakim dalam sistem hukum Indonesia, mendapatkan tinjauan  terhadap bukti secara sah.[6] Jadi pada dasarnya keawaman dokter forensik terhadap sistem hukum, “dimanfatkan” aparatur sistem memanipulasi bukti, atau memanipulasi sistem yang menjurus pada pembentukan bukti secara tidak proporsiaonal.

Berikut ini adalah contoh Visum et Repertum  yang diterbitkan berdasarkan catatan hasil pemeriksaan medis (medical record) yang dilakukan tiga hari sebelumnya, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam BAP dokter yang bersangkutan. Sekalipun diberikan oleh dokter yang sama, medical record dan visum et repertum. Mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama sekali berbeda satu sama lain.


   


Kerterangan Ahli di Pengadilan

Sementara itu, selain pembuktian dengan Keterangan Ahli oleh Penuntut Umum, berdasarkaan Pasal 180 KUHAP hakim ketua sidang juga diberi kewenangan untuk meminta Keterangan Ahli. Keterangan Ahli disini dapat dimintakan baik karena yang berhubungan dengaan perbuatan maupun berkenaan dengan orangnya. Berkenaan dengan perbuatan terdakwa dimaksud terutama apabila dari ahli-ahli yang dihadirkan Penuntut Umum dan terdakwa, ternyata terdapat perbedaan pendapat yang sangat tajam, maka “untuk menjernihkan duduknya persoalan” hakim ketua sidang karena jabatanya dapat memanggil ahlinya sendiri. Permintaan Keterangan Ahli juga dapat diminta oleh hakim ketua sidang dalam hal terdapat keraguan tentang kemampuan bertanggungjawab seorang terdakwa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Dalam hal ini ahli dimaksud adalah Ahli Psikiatri Kehakiman yang menjadi kompetensi Dokter Spesialis Penyakit Jiwa.

Terkait dengan pembuktian kejahaatan kesusilaan, terdapat sejumlah kendala yang khas terkait dengan Keterangan Ahli dalaam hal ini, yang dapat timbul karena:
1.   Faktor korban, umumnya lambat melaporkan dengan berbagai alasan;
2.   Faktor penyidik, umumnya karena rendahnya pengetahuan medis/forensik;
3.   Faktor dokter/ahli, umumnya karena rendahnya pengetahuan tentang hukum dan teknis forensik penanganan korban kejahatan kesusilaan;
4.   Tempat kejadian perkara yang sudah berubah, sehingga sedikit bekas kejahatan yang bisa dtemukan;
5.   Barang bukti yang hilang atau rusak (baju, pakaian dalam, luka  pada tubuh, cairan sperma atau cairan vagina dll)

Pada korban yang sangat jelas bekas kekerasannya, seperti korban perkosaan dengan luka memar di sekujur tubuhnya pada gambar berikut ini, memang pembuktian relatif lebih mudah. Namun demikian, luka bekas kekerasan seperti itu kadang mudah hilang seiring waktu. Dengan demikian, faktor waktu menjadi sangat menentukan dalam hal ini. Dalam banyak kasus perkosaan atau kejahatan seksual lain karena alasan tertentu, seperti malu atau korban cukup berpartisipasi pada terjadinya kejahatan itu, rentang waktu pelaporan/pengaduan dan pemeriksaan untuk pemberian visum sudah sangat jauh, sehingga bekas kejahatan tidak lagi tampak.                              




Seyogianya penyidik-penyidik yang ditugaskan di unit/satuan/sub direktorat kesusilaan mestinya memiliki pengetahuan dasar medis/forensik yang cukup. Terutama berkenaan dengan beberapa hal teknis forensik. Hal ini yang disebut sebagai Brian Forts sebagai “tactical solution”, yang sangat diperlukan dalam pemecahan suatu perkara.[7] Misalnya, pengetahuan tentang originalitas barang bukti menjadi sangat penting bagi kepentingan forensik, dimana korban harus dibawa ke dokter sejauh mungkin pada keadaan yang belum mengalami perubahan, sejak peristiwa kejahatan yang dialaminya. Dalam beberapa kasus kejahatan kesusilaan penyidik dengan alasan “kasihan” justru memberikan pengobatan sekedarnya pada korban, bahkan cukup banyak yang tidak menjadikan perhatian berkenaan pakaian yang dipakai korban ketika kejahatan dilakukan.

Sebaiknya, dokter yang melakukan pemeriksaan korban juga terkadang minim pengetahuan hukumnya. Cukup banyak dokter yang memberikan visum hanya berdasarkan medical record, yang bahkan medical record itu bukan dibuat olehnya. Hal ini tentu berpengaruh pada keabsahan dari visum et repertum dimaksud. Visum et repertum  yang diberikan tidak berdasarkan hasil pengamatan terhadap barang bukti pada waktu  laporan tersebut disampaikan, bukan hanya tidak sah tetapi dapat dikualifikasi sebagai surat keterangan dokter palsu, ex Pasal 268 KUHP.

Selain itu, tidak sedikit kegagalan pembuktian kejahatan kesusilaan karena tidak lagi dapat dilihat bekas kejahatan  tersebut di TKP. Sehingga pengamanannya sangat penting, karena mungkin saja ceceran darah, epitel, sperma, rambut, dll. tertinggal, baik milik  korban maupun pelaku. Sebenarnya dari segi yuridis telah menjadi good practices adanya  suatu  “pemeriksaan  setempat” atau “gerechtelijke plaatsopneming”,   yang dengannya dapat membawa hakim  ke dalam suasana  ketika kejahatan kesusilaan berlangsung. Sayangnya, KUHAP dan RKUHAP belum mengatur pembuktian dengan acara pemeriksaan setempat dimaksud.

Padahal strategic solution seperti ini boleh jadi merupakan bagian jawaban dari kebuntuan metode mempertemukan rasa keadilan korban dan pelaku, ketika pendekatan yang bersifat teknologis, demografik dan kecenderungan politik,[8] belum juga menuntaskan masalah tersebut.   Wallahualam.



[1] Floris J. Bex, Arguments, Stories and Criminal Evidence; A Formal Hybrid Theory, (London: Springer, 2011), 1.
[2]Ibid, 12

[3]Alexei Trusov, An Introduction to The Theory of Evidence, (Moscow: Foreign Languages Publishing House, tt), 131. 
[4]Paul B. Weston,  and Kenneth M. Wellss, Criminal Evidence for Police, (New York: Prentice-Hall Inc, 1971), 40.
[5]Ibid, 39.  
[6]Laura B. Myers, “The Ethic of Criminal Justice Administration” dalam  Handbook of Criminal Justice Administration, Ediitor:   M.A. DuPont-Morales et.al., (NewYok: Marcel Dekker Inc., 2001), 10.
[7]Brian Frost, “Managing Criminal Investigation”, dalam Handbook of Criminal Justice Administration, Ediitor:   M.A. DuPont-Morales et.al., (NewYok: Marcel Dekker Inc., 2001), 114.
[8]Ibid