23 Maret 2018

Keterangan Ahli Tentang Konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d, sepanjang istilah “penahanan”, Pasal 11 sepanjang kalimat “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Oleh:

Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)


Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Kontitusi,
Yang Terhormat Pemohon dan/atau Kuasanya,
Yang Terhormat Pihak Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat Pihak Terkait,
Hadirin sekalian Yang Berbahagia.

Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan  pengujian undang-undang ini. Mengingat pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya, merupakan bagian norma yang mengatur Sistem Peradilan Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya.
Menurut hemat saya, permohonan judicial review No. 4/PUU-XVI/2018, ini menyangkut kewenangan Penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP  melakukan “penahanan” terhadap Tersangka. Persoalan pokoknya terkait dengan kenyataan bahwa penahanan merupakan pengurangan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan, yang didalilkan Pemohon seharusnya hanya menjadi kewenangan Hakim, dan bukan kewenangan Penyidik, atau setidak-tidaknya kalaupun hal itu diberikan kepada Penyidik, maka kewenangan itu hanya dapat digunakan atas izin Hakim. Terhadap persoalan ini, sebagaimana Keterangan Ahli yang pernah saya sampaikan dalam persidangan pengujian undang-undang lainnya, perkenankanlah saya mengemukakan pandangan-pandangan seputar masalah tersebut, terutama  dengan mengkaitkannya dengan  asas-asas hukum pidana dan acara pidana.

Kewenangan Penahanan  oleh Penyidik dan Asas Legalitas
Masalah “penahanan” memang berada dalam dua ranah, yaitu ranah “norma” dan ranah “pelaksanaan” dari norma tersebut. Berkenaan yang pertama, yaitu masalah norma hukum terkait dengan penahanan, persoalan konstitualitasnya menjadi domain Mahkamah Konstitusi, tetapi mengenai masalah yang kedua, tentu terkait keabsahan tindakan pejabat yang melakukan penahanan, pengujian validitasnya merupakan domain Praperadilan di Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, pertama-tama yang harus didudukkan dalam perkara permohonan uji materil ini,  harus dipastikan  benar bahwa yang dipersoalkan adalah norma hukum tentang penahanan, dan bukan masalah praktek hukum dimana penahanan yang diduga dilakukan secara  sewenang-wenang. 
Norma hukum terkait dengan penahanan berhubungan dengan masalah penegakan hukum pidana (law enforcement), dan sekaligus terkait pula dengan masalah perlindungan civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom dalam negara demokrasi. Dengan demikian, norma hukum berkenaan dengan penahanan sebagai bentuk pengurangan hak (proses) akan kebebasan, harus dilengkapi dengan mekanisme perlindungan hak (prosedur), dalam rangka memastikan bahwa setiap tindakan penahanan  masih dalam kerangka penegakan  rechtsstaat (rule of law). Prosedur ini merupakan  “the procedural guarantees”, yang diperlukan untuk “menjamin” bahwa tindakan penahanan   tidak lebih banyak lagi merusak hak atas kebebasan itu sendiri,  yang keberadaannya telah dijamin dalam negara demokratis.
Berdasarkan di atas, persoalan konstitusionalitasnya kemudian terletak pada kenyataan dimanakah norma terkait penahanan tersebut diatur, mengingat Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengisyaratkan bahwa hanya undang-undang yang dapat mengurangi kebebasan, untuk “memenuhi tuntutan yang adil… sesuai dengan pertimbangan… ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Dengan demikian, right to freedom dalam negara demokrasi dapat dikurangi sepanjang pengurangan itu ditentukan dalam undang-undang. Pengaturan penahanan dalam undang-undang merupakan wujud dari pertimbangan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, dalam rangka penegakan hukum. 
Berangkat dari hal di atas, kemudian pembentuk undang-undang menentukan dalam UU No. 8 Tahun 19981 (KUHAP) perihal kewenangan penahanan dimaksud. Hal ini menyebabkan proses dan prosedur dalam  penegakan hukum, terkait dengan penahanan, telah dilakukan dalam undang-undang. Dalam Hukum Pidana bahkan hal ini menjadi asas penting, dikenal dengan  asas legalitas, baik yang ditentukan dalam Hukum Pidana Materil, yang mempersyaratkan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat diadakan dengan undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, maupun dalam Hukum Acara Pidana keharusan untuk menyelenggarakan  peradilan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 KUHAP. Dalam hal ini, pengaturan mengenai penahanan bersifat konstitusional, jika ditentukan bahwa hal itu hanya dilakukan terhadap mereka yang disangka/didakwa melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam undang-undang (tindak pidana) tertentu, dan dilakukan dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.  Hukum  Pidana dan penegakannya seperti dikatakan Baker, seharusnya menjadi manifestasi perlindungan  “the right is not only  about having freedom do as one choose so long  as its does not wrong others,  but also about not being subjected to harmful consequences that flow from unfair criminalization” (Baker, 2001: 2).
Proses dan prosedur penahanan yang diatur memiliki sifat lex scripta, lex stricta, dan lex certa, sehingga tekanan konstritusionalitasnya disini terutama pada keharusan normanya dimuat dalam hukum tertulis, diatur hanya dapat diterapkan dengan persyaratan yang ketat, dan dirumuskan dalam ketentuan yang tidak multitafsir. Oleh karena itu, dilihat dari segi ini apakah “penahanan” yang notabene mengurangi hak akan kebebasan itu, dilakukan oleh Hakim, atau aparatur peradilan lainnya, semisal Penyidik atau Penuntut Umum, sama sekali bukan persoalan konstitusionalitas norma. Sepanjang dilakukan oleh pejabat yang “diberi wewenang” oleh undang-undang, siapapun itu, dan dilengkapi dengan prosedur tertentu sehingga dapat sejauh mungkin menghindari kesewenang-wenangan, maka pengaturan yang demikian sah dalam rechtsstaat (rule of law) atau konstitusional.
Berdasarkan hal di atas, apakah penahanan itu menjadi kewenangan Hakim, atau juga menjadi kewenangan pejabat peradilan lainnya, seperti Penyidik atau Penuntut Umum sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Hal itu merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy), yang tidak dicampuri Konstitusi. Pembentuk undang-undang (KUHAP) memilih untuk bukan saja memberikan kewenangan itu kepada Hakim, tetapi juga kepada Penyidik dan Penuntut Umum. Boleh jadi hal ini merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk memastikan peralihan dari sistem Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) menjadi sistem KUHAP berlangsung secara evolusioner.
Dalam hal pembentuk undang-undang menghendaki, dapat saja  sistem penahanan yang diatur dalam KUHAP tersebut diganti, dengan hanya memberikan kewenangan penahanan kepada Hakim atau setidak-tidaknya jika Penyidik diberikan kewenangan untuk menahan maka hal itu hanya dapat dilakukan atas izin Hakim, seperti konsep habes corpus di negara-negara common law. Akan tetapi tidak juga mengapa jika sekarang dan pada masa mendatang tetap dipertahankan sistem yang memberi kewenangan penahanan kepada Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim. Berkenaan dengan kewenangan Penyidik seperti yang sebagian ditentukan dalam  Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, berdasarkan konsepsi di atas, tidak ada sama sekali masalah  konstitusionalitasya dalam hal ini.

Penahanan oleh Penyidik, antara Atribution Power atau Unauthorized Discretion
Perlindungan terhadap  civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom, bukan berarti tidak dapat dikurangi, dengan  adanya pembatasan-pembatasan, termasuk diantaranya pengenaan penahanan, sepanjang dilakukan dengan undang-undang. Terhadap siapakah kewenangan penahanan tersebut diberikan, sepenuhnya merupakan domain pembentuk undang-undang. Apakah hal itu hanya diberikan kepada Hakim, atau juga kepada Penyidik dan/atau Penuntut Umum, merupakan pilihan-pilihan yang dapat ditentukan oleh pembentuk undang-undang sendiri, dengan memperhatikan berbagai aspek. Aspek historis, yaitu keharusan untuk membuat hukum berkesinambungan dari sistem HIR menuju kepada sistem KUHAP, atau aspek geografis yaitu keharusan untuk mempertimbangkan keluasan wilayah penegakan hukum (area law enforcement) yang tidak memungkinkan pengadilan berada di setiap pelosok, ataupun aspek pragmatis, yaitu keharusan memperhatikan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, tentunya merupakan parameter penting untuk menentukan kepada siapakah kewenangan melakukan penahanan tersebut diberikan.
Pemberian kewenangan melakukan penahanan kepada penyidik, setidaknya seperti yang ditentukan dalam   Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, merupakan pemberian kewenangan atributif (atribution power) yang diberikan pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang memberikan Penyidik kewenangan yang bersifat fakultatif, yang digunakan dalam keadaan yang benar-benar perlu. Asas  penggunaan kewenangan penahanan adalah, “non arrested is principle, and arrested is exception.” Oleh karena itu, penggunaan kewenangan penahanan berdasar prinsip  ini tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalime, terkait dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bukankah ketika Konstitusi berbicara masalah “kekuasaan kehakiman”, diakui pula “badan-badan lain yang fungsinya  berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.  Polri sebagai pengemban fungsi Penyidikan merupakan satu diantara badan-badan lain dimaksud, sehingga pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan yang diatur dalam KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, merupakan wewenang atribusi yang konstitusional.
Begitu pula ketika  gagasan “legal certainty” dan “equality before the law” diintrodusir dalam penegakan hukum, bersandar pada Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka tidak berarti hal itu merupakan “monopoli” pemegang kekuasaan kehakiman. Penahanan yang dilakukan Penyidik, atas dasar prinsip “non arrested is principle, and arrested is exception”, tidak berarti tidak mengakui, menjamin, dan melindungi “legal certainty” dan “equality before the law” yang menjadi hak setiap orang. Toh, Hakim di pengadilanpun menggunakan prinsip “non arrested is principle, and arrested is exception”, dan penahanan bukan “kewajiban” bagi Hakim.
Sama sekali merupakan logika yang absurd, jika ketika kewenangan melakukan penahanan diberikan hanya pada Hakim, sehingga  seolah-olah Penyidik tidak boleh diberi kewenangan tersebut, maka apa artinya Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Bukankah hal ini merupakan isyarat bahwa Kekuasaan Kehakiman tidak dapat “sendiri” menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, tetapi perlu sekali diadakan sharing power dengan badan-badan lain, termasuk institusi pengemban fungsi penyidikan, untuk melaksanakan tugas konstitusional tersebut. Selain itu, juga merupakan logika yang dangkal jika pengakuan, jaminan dan perlindungan setiap orang sehingga mendapatkan “legal certainty” dan  perlakuan “equality before the law”, hanya dapat diwujudkan oleh Hakim, sehingga penahanan hanya menjadi wewenangnya. Seolah-olah Penyidik tidak    mengakui, menjamin dan melindungi  kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum, sehingga tidak dapat diberikan kewenangan penahanan.
 Berdasarkan, common law system dengan habes corpus, yang membuat penahanan oleh Penyidik hanya dapat dilakukan oleh Hakim, sebatas pada persoalan teknis untuk memastikan bahwa penahanan oleh  Penyidik telah memperhatikan aspek rechtmatig dan doelmatig. Pada hakekatnya hal ini merupakan pilihan-pilihan pengaturan saja, untuk menghindari penggunaan diskresi yang tidak sah (unauthorized discretion).
Selain itu, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, yang dalam sistem KUHAP dapat dilakukan tanpa izin/persetujuan Hakim, tidak dapat diperbandingkan dengan keharusan Penyidik mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Tidak “apple to apple” perbandingan tersebut, karena perlakuan terhadap benda yang tidak mempunyai kehendak sendiri tidak dapat disebandingkan dengan  perlakuan terhadap Tersangka/Terdakwa, yang pada dasarnya mempunyai free will. Selain itu, hak asasi juga yang memungkinkan seseorang “mempunyai kekuasaan penuh” terhadap dirinya sendiri, sedangkan benda sitaan memungkinkan dimiliki oleh  pihak-pihak yang tidak terkait dengan suatu tindak pidana yang dipersangkakan/didakwakan terhadap Tersangka/Terdakwa.
Penahanan oleh Penyidik dan  Mekanisme Pengendaliannya (Control Mechanisme)
Skolnick menyatakan, dalam negara demokrasi, akan selalu terjadi konflik antara norma-norma yang diperlukan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dan mekanisme pertanggungjawabannya atas dasar prinsip  rechtsstaat (rule of law), yang menjadi dasar yang membenarkan berbagai kewenangan Polisi melaksanakan hal itu (Skolnick: 166:17). Tentunya sinyalemen Skolnick tersebut termasuk masalah norma hukum berkenaan dengan penahanan yang ditentukan dalam KUHAP dalam hal ini. Dengan  demikian, konstitusionalitas penahanan bukan ditentukan oleh dalam hal bagaimana dan menurut cara seperti apa Penyidik melakukan penahanan, tetapi terletak pada apakah norma undang-undang yang mengatur masalah penahanan menyebabkan tindakan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip  rechtsstaat (rule of law).
  Pengaturan mengenai penahanan oleh Penyidik, apakah konstitusional atau tidak, dapat dilihat dari mekanisme pengendalian (control mechanisme), yang disediakan KUHAP. Oleh karena itu, konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d,  Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP harus dikaitkan dengan pengaturan terkait hal itu dalam ketentuan lainnya, terutama yang memastikan adanya pengendalian yang komprehensif mengenai hal ini. Baik oleh Penyidik sendiri (self control), pengendalian oleh aparatur sistem peradilan pidana lainnya (horizontal control), mapun pengendalian oleh pengadilan (judicial control). Hal inilah yang membedakan  kewenangan penahanan oleh Penyidik menurut KUHAP dengan sistem lama dalam HIR.
Sekalipun KUHAP seperti juga HIR memberikan kewenangan kepada Penyidik melakukan penahanan, tetapi pengaturannya sangat jauh berbeda. Dalam hal ini pengaturan KUHAP berkenaan dengan penahanan telah  sungguh-sungguh memberikan perlindungan civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom  dalam negara demokrasi. Konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP tidak dapat semata-mata dilihat dari ketentuan pasal-pasal tersebut, tetapi harus dihubungkan dan dikaitkan dengan pengaturan lainnya dalam KUHAP. Memang benar Penyidik (dan Penuntut Umum) diberi kewenangan mengurangi hak atas kebebasan dengan penahanan, tetapi prosedur yang ditentukan dalam KUHAP cukup menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Hal ini setidaknya terlihat dari tiga hal. Pertama, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dihubungan dengan ketentuan tentang tenggang waktu penahanan yang relatif terbatas, yang menyebabkan institusi Penyidik “mengendalikan sendiri” terhadap perintah-perintah penahanan yang dikeluarkannya. Dalam hal ini penahanan yang dapat dilakukan Penyidik ditentukan secara limitatif, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 KUHAP. Berbeda dengan HIR yang memberi keleluasaan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan tanpa batas waktu.
Administrasi penyidikan, yang diantaranya berupa tenggang waktu dilakukannya penahanan yang dinyatakan dengan tergas dalam surat-surat perintah untuk melakukan penahanan, dengan sendirinya menjadi sarana pengendali “atasan” Penyidik terhadap pelaksanaan penahanan yang dilakukan “bawahannya”. Hal ini merupakan satu diantara sekian banyak mekanisme self control terhadap penahanan menurut KUHAP, yang tidak ditemukan dalam HIR.
Selain itu, juga merupakan self control penahanan, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dikaitkan dengan prosedur, dalam hal dan dengan cara bagaimana, penahanan dapat dilakukan oleh Penyidik. Penyidik dapat melakukan penahanan, ketika memiliki alasan subyektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun alasan obyektif (Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Alasan-alasan ini menjadi bagian yang paling diperhatikan ketika proses berlangsung oleh berbagai elemen di instansi Penyidik, seperti ketika diadakan “gelar perkara”.
   Alasan subyektif melakukan penahanan adalah dalam hal adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Hanya saja, karenai istilahnya (alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini kerap dipandang ada atau tidak tergantung pada subyektifitas penyidik, atau sering dipandang telah ada tanpa ukuran-ukuran yang objektif. Padahal ukuran objektif dari alasan subyektif ini juga telah tercermin dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan  dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”
Dalam hal ini  “berdasarkan bukti yang cukup” seharusnya bukan saja digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya alasan objektif, tetapi juga digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya alasan subjektif. Artinya penahanan dilakukan terhadap Tersangka/Terdakwa yang “berdasarkan bukti yang cukup” diduga keras melakukan tindak pidana, dan Tersangka/Terdakwa itu “berdasarkan bukti yang cukup” pula  adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana”. Dengan demikian, “bukti yang cukup” Tersangka/Terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi tindak pidana bukan suatu hal yang tergantung pada subjektifikas Penyidik semata. Misalnya, sebagai seseorang yang akan melarikan diri ke luar negeri, tersangka/terdakwa masih memiliki visa atau mengajukan visa ke negara tertentu. Demikian pula jika ternyata yang bersangkutan telah bersiap melakukan perjalanan jauh, seperti menyiapkan tiket perjalanan ataupun sejumlah uang. Begitu seterusnya, yang pasti “bukti yang cukup” untuk melarikan diri dan seterusnya itu telah benar-benar ada.
Berdasarkan hal di atas, sungguh pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan bukan suatu “blank check”, melainkan prosedur yang cukup ketat, yang dapat dikontrol sendiri oleh instansi penyidik.  Hal ini perlu diatur tidak lain dalam rangka  perlindungan civil rights, berupa hak atas kebebasan, yang  dengan adanya penahanan  dirancang dengan  prosedur  ketat sebagaimana  ditentukan dalam KUHAP, sehingga  cukup menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Kedua, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, yang diberikan  dalam tenggang waktu yang relatif terbatas,  dapat dilanjutkan oleh Penuntut Umum karena kewenangannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 KUHAP, dan dalam keadaan tertentu dapat diperpanjang oleh Hakim, sebagaimana dimaksud dalam 29 KUHAP. Dalam hal ini, alasan-alasan penahanan yang dijadikan dasar oleh Penyidik akan dikaji ulang ketika Penuntut Umum atau Hakim melaksanakan kewenangannya melakukan penahanan. Kewenangan yang bersifat fakultatif ini memungkinkan Penuntut Umum dan/atau Hakim bersikap berbeda dengan Penyidik terkait dengan penahanan, sehingga horizontal control sesama aparat peradilan pidana juga sebagai sarana untuk memastikan  perlindungan civil rights, berupa hak atas kebebasan, dan menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Ketiga, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dikaitkan dengan Pasal 77 KUHAP yang telah menentukan bahwa penahanan yang dilakukan oleh Penyidik (dan Penuntut Umum) dapat diuji keabsahannya melalui permohonan Praperadilan. Hal ini merupakan mekanisme kontrol dari Hakim (judicial control) terhadap Penyidik dalam menggunakan kewenangannnya itu, sehingga dapat dipastikan bahwa hal itu dilakukan atas dasar prinsip rechtsstaat (rule of law)
Dalam negara demokrasi, tidak boleh ada kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, termasuk kekuasaan (baca kewenangan) Penyidik untuk melakukan penahanan. Sekalipun sistem yang dianut KUHAP memberikan kewenangan ini kepada Penyidik, dan untuk pelaksanaannya Penyidik tidak memerlukan izin Hakim, tetapi bukan berarti pelaksanaan kewenangan ini tidak dalam kontrol Hakim.  Memang dalam hal ini, “semua penahanan yang dilakukan Penyidik (dan Penuntut Umum) adalah sah, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh Hakim Praperadilan. Dengan demikian, penahanan oleh Penyidik (dan Penuntut Umum) didasarkan pada asas praduga sah. Asas ini dimaksudkan untuk mengefisiensikan sistem peradilan pidana.
Pada dasarnya dengan undang-undang (KUHAP) kewenangan Penyidik melakukan penahanan diasumsikan “sah” karena dilakukan dengan mekanisme yang “ketat”, namun demikian karena kewenangannya Hakim dapat “mencabut” kewenangan itu, jika dalam permohonan Praperadilan Tersangka dapat membuktikan bahwa penahanan yang ditetapkan padanya melanggar  “the procedural guarantees”, yang  diperlukan untuk “menjamin” bahwa tindakan penahanan tidak lebih banyak lagi merusak hak atas kebebasan itu sendiri,  yang keberadaannya telah dijamin dalam negara demokratis.