Oleh:
Dr. CHAIRUL HUDA,
SH, MH.
Pengantar
Dr. Chairul Huda, SH.MH. |
Hukum Pembuktian itu
seperti disinyalir Floris J. Bex, dibedakan kedalam dua bagian, yaitu study of evidence law, yang titik
beratnya pada ratiocinative process of
contencious persuasion dari bukti dan alat-alat bukti dan the study of process of proof, yang
titik tekannya pada admissibility dari
Hukum Acara Pidana tentang hal itu.[1]
Oleh karena itu, Hukum Pembuktian semestinya meliputi antara lain:
- Pembuktian pada tahap penyelidikan dan penyidikan;
- Pembuktian pada sidang pra peradilan;
- Pembuktian pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan (pemeriksaan tingkat pertama);
- Pembuktian pada tahap pemeriksaan ulangan (banding) dan kasasi;
- Pembuktian pada tahap pemeriksaan peninjuan kembali.
Memang
harus diakui pembuktian di muka sidang pengadilan merupakan proses terpenting
dari seluruh proses perkara pidana. Pada prinsipnya, “pengadilan tempat
memisahkan orang bersalah dari orang yang tidak bersalah”, sehingga
pembuktian yang terjadi dalam tahap tersebut paling penting. Hasil pembuktian
dalam tahap penyidikan dan oleh hakim pra peradilan, diuji kembali di muka
sidang pengadilan ini (dalam pemeriksaan perkara pokoknya). Selain itu,
pembuktian dalam tahap pemeriksaan banding, kasasi dan peninjauan kembali
berpangkal tolak dari yang terbukti di muka sidang pengadilan. Namun demikian,
hal ini seharusnya bukan alasan dapat dibenarkan minimnya pengaturan (under
legislation) berkenaan dengan hal ini, dan kemudian tetap membiarkan pengaturannya tanpa
sistematika yang komplit, seperti yang sekarang ada dalam KUHAP, dan tampaknya
masih sementara terlihat demikian dalam RKUHAP (edisi 2012).
Pembuktian
pada dasarnya proses rasional membuktikan fakta-fakta dalam suatu perkara
dengan bukti atau alat bukti. Problematika yang penting untuk didiskusikan
terkait dengan pembuktian terhadap kejahatan kesusilaan, terutama
berkenaan dengan sangat tergantungnya proses pidana kejahatan kesusilaan
dengan bukuti atau alat bukti “Keterangan Ahli”, baik terhadap facta
probanda (the facts that need to
be proven) maupun terhadap facta
explananda (the facts has to be
explained).[2]
Bukan berarti pembuktian dengan bukti atau alat-alat bukti yang lain (saksi
atau dokumen) menjadi tidak penting, tetapi kecenderungan menunjukkan
pembuktian dengan Keterangan Ahli menjadi sangat dominan, terutama kejahatan
kesusilaan yang konvensional (perkosaan, pencabulan, perzinahan, dan sodomi). Alexei Trusov mengatakan bahwa ahli itu
tidak ubahnya sebagai “scientific judge” dan tugasnya “finding as a sort of ‘scientific
verdic’ on the particular qustion”.[3]
Bahkan
pembuktian dengan Keterangan Ahli terhadap delik ini, bukan hanya berkenaan dengan kausalitas antara suatu kelakuan dengan
akibat, tetapi lebih jauh lagi kadangkala pembuktian dengan pendapat ahli
ini juga menjurus pada persoalan subyek.
Mengingat kejahatan kesusilaan biasanya merupakan invisible crime,
dimana minimnya saksi-saksi menjadi satu alasan menyebabkan sulitnya pembuktian
kejahatan ini.
Sementara
itu, KUHAP sendiri tidak memberikan tuntunan yang cukup jelas tentang tentang
bukti atau alat bukti keterangan ahli ini, terutama siapakah yang memiliki kapasitas
dan kompetensi untuk itu. KUHAP juga tidak cukup memberikan pedoman penilaian
keabsahan dari alat bukti ini. Bahkan tidak terdapat ukuran yang cukup
terang tentang kekuatan mengikatnya. Ketiga problem mendasar berkenaan
dengan bukti dan alat bukti Keterangan Ahli inilah yang dibicarakan dalam
makalah ini, yang disana-sini ditempatkan konteks pembahasannya dengan
pembuktian kejahatan kesusilaan.
Pembuktian
dengan Pendapat/Keterangan Ahli dalam Penyidikan
Dalam
tahap penyidikan, termasuk ketika melakukan penyidikan kejahatan kesusilaan,
Penyidik dapat membuat tindak pidana yang ditanganinya itu menjadi terang
benderang dengan meminta Pendapat Ahli dari “orang ahli” atau “orang
yang memiliki keahlian khusus” (Pasal 120 KUHAP). Dalam haal ini KUHAP
menggunakan istilah “Pendapat Ahli”, dan tidak jelas betul siapakah yang
pembentuk undang-undang maksudkan sebagai orang yang memiliki kualifikasi
sebagai demikian itu. Sementara itu, dalam bagian lain KUHAP juga menentukan
bahwa khusus berkenaan dengan “korban luka, keracunan ataupun mati” penyidik
berwenang mengajukan permintaan Keterangan Ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1)
KUHAP). Disini istilahnya dalah “Keterangan
Ahli”. Persoalannya, apakah Pendapat Ahli (Passal 120 KUHAP dan Keterangan
Ahli (Pasal 133 ayat (1) KUHAP) dalam hal ini merupakan sinonim ataukah dua pengertian
yang berbeda? Apa konsekuensinya jika dibedakan? Sepertinya mengenai hal ini
harus dicermati dengan hati-hati tentunya.
Tidak
banyak literatur yang memberikan penjelasan tentang kualifikasi dari bukti
pendapat atau keterangan ahli. Namun demikian, menurut pendapat saya, secara
terminologis “orang ahli” tertuju pada pengertian sarjana dalam
bidang ilmu tertentu. Hal ini sepertinya yang menjadi amanat
penyelenggaraan pendidikan kesarjanaan, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dimana seperti
dikataka Paul B. Weston dan Kenneth M. Wellss, “scientific
area s related to academic dicipline, it is
desirable that te expert have at least a basic degree in the his
choses field.[4]
Sedangkan “orang yang memiliki keahlian
khusus” adalah orang yang menekuni bidang tertentu secara terus menerus,
sehingga dipandang memiliki keahlian khusus tentang hal yang ditekuninya. Oleh
karena itu “orang yang memiliki keahlian khusus” ini keahliannya
didasarkan pada pengalaman empiris tentang satu hal secara terus menerus, yang bukan
didasarkan pada pendidikan formalnya.
Berdasarkan
definisi di atas menurut pendapat saya, yang perlu diperhatikan bahwa seharusnya Pendapat Ahli yang disampaikan kepada penyidik, merupakan pandangan dalam bentuk normatif, sehingga tidak
langsung berkenaan dengan perkara yang sedang ditangani penyidik, kecuali
ilustratif belaka. Dengan kata lain, kualifikasi pendapat ahli disini (deskundige)
adalah pendapat yang diberikan
tanpa melakukan pemeriksaan materi perkara. Dalam hal ini,“the expert’s opinion is advisory, no more”.[5] Dengan
demikian, pendapat ahli ini terbebas dari faktor objektif perkara yang
sedang ditangani penyidik. Mengacu pada pengertian ini, orang ahli yang boleh jadi diperlukan
dalam pengungkapan kejahatan kesusilaan sekarang ini misalnya Sarjana
Psikologi. Pendapatnya diperlukan untuk mendapatkan gambaran (verklaring)
tentang tindak kekerasan yang dialami oleh seseorang dengan trauma psikologis
yang mungkin timbul akibat kejahatan tersebut, berapa lama trauma tersebut bisa
bertahan, dan bagaimana menghubungkannya dengan perilaku orang yang diduga
sebagai penyebabnya. Demikian pula para
Sarjana Krimilonogi bisa memberikan penjelasan tentang penyebab umum dari
tinak pidana ini. Para Sarjana Hukum dengan konsentrasi hukum pidana dapat memberikan
pendapat tentang beberapa konteks yuridis dari tindak pidana dimaksud, seperti
makna unsurnya dan spesialitas logis ataupun sistematis yang mungkin timbul
dalam peristiwa yang diduga sebagai suatu kejahatan kesusilaan. Sedangkan
“orang yang memiliki keahlian khusus” yang pendapatnya boleh jadi
diperlukan dalam pembuktian kejahatan
kesusilaan misalnya orang-orang yang menekuni masalah prilaku seksual tertentu.
Pendapat Ahli Seksiologi (biasanya dokter atau krminolog)
dibutuhkan untuk mendalami deviasi seksual tertentu yang mungkin terjadi dalam
perkara itu.
Berbeda
dengan Pendapat Ahli, pada dasarnya Keterangan Ahli, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 133 KUHAP, menjurus pada pengertian keterangan yang diberikan oleh ahli (getuige
deskundige) tersebut dengan terlebih dahulu memeriksa barang bukti (material evidence)
atau materi perkara lainnya. Dengan demikian,
keterangan ahli disini “lebih mendekati” keterangan saksi (expert-opinion testimony),
hanya saja jika saksi memberikan keterangan berdasarkan pengalaman panca inderanya, tentang apa yang dilihat,
didengar dan dialaminya, sedangkan ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya terhadap barang bukti yang diperlihatkan
kepadanya.
Memang
KUHAP memberi batasan hal ini hanya berkaitan dengan korban luka, keracunan
ataupun mati, dimana keterangan ahli diberikan oleh Ahli Kedokteran
Kehakiman, yang menjadi kompetensi Dokter Spesialis Forensik. Namun demikian,
KUHAP juga membuka peluang bahwa Keterangan Ahli juga dapat
diberikan oleh dokter pada umumnya atau ahli lainnya. Oleh
karena itu, hal ini membuka peluang permintaan keterangan ahli dari dokter pada
umumnya atau dokter yang memiliki bidang keahlian lainnya (selain kedokteran
forensik), dan juga ahli lainnya. Bukan saja terkait masalah luka, keracunan
atau kematian, melainkan terbuka peluang pula meminta keterangan ahli tidak
hanya terbatas pada objek berupa luka, keracunan ataupun kematian dimaksud,
tetapi pada hal-hal lain yang terkait dengan masalah tersebut.
Dalam
tahap penyidikan, selain keterangan ahli
yang diberikan Dokter Forensik, keterangan ahli dari Psikolog misalnya,
dapat mengungkap “trauma psikologis” yang diderita korban akibat kejahatan
kesusilaan yang dideritanya. Selain itu, di era teknologi informasi,
jejak-jejak kejahatan kesusilaan banyak yang dapat ditelusuri apa yang
tersimpan dalam gadget korban dan pelaku. Oleh karena itu, Sarjana IT
memainkan peran penting untuk mengungkap keterkaitan potingan gambar, video,
atau pesan singkat yang mengkaitkan korban dengan pelakunya. Kesemuanya hanya
dapat memberikan Keterangan Ahli setelah mengamati, mempelajari atau mengkaji
barang bukti, keadaan korban dan/atau bekas-bekas kejahatan dimaksud.
Sementara
itu, keterangan ahli yang diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus
dalam kasus kejahatan kesusilaan cukup beragam, tergantung tingkat kesulitan
pengungkapan perkara itu. Misalnya,
Penyidik dapat meminta keterangan ahli dari Ahli Hipnotis, yang
diharapkan dapat mengungkap trauma yang disimpan dalam alam bawah sadar dari
korban, atau sekarang ini yang lagi trend
penyidik dapat meminta keterangan dari Ahli Gestur, yang dapat menilai
kecenderungan prilaku korban, termasuk sifat dan karakter dasarnya, setelah memperhatikan garis muka, pengamatan
pupil mata ataupun perilaku yang bersifat khusus boleh jadi terkait dengan kejahatan dimaksud.
Keterlibatan ahli-ahli ini kemudian akan memberi kontribusi penting pembuktian
kejahatan kesusilaan yang terjadi dengan minim saksi mata.
Visum
et Repertum
Salah satu persoalan
yang masih tersisa berkenaaan dengan Keterangan Ahli dalam penyidikan menyangkut hal ihwal mengeni Visum
et Repertum. Visum et repertum
adalah istilah dalam Bahasa Latin yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik,
yang dalam Bahasa Inggris bisa dipersamakan dengan Visual Report.
“Visum” atau bentuk tunggalnya “visa” berarti tanda melihat atau
melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu
hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan.
Sedangkan “Repertum” berarti melapor, yang artinya apa yang telah didapat dari
pemeriksaan dokter terhadap barang bukti (tubuh, bagian tubuh atau mayat).
Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor
350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, Visum
et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas
permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu
yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah
pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang
sebaik-baiknya.
Dari
segi yuridis kedudukan Visum et Repertum masih menimbulkan silang pendapat, apakah hanya menjadi
kompetensi Dokter Spesialis Forensik atau juga
menjadi kewenangan Dokter pada umumnya. Jika mengacu pada Pasal 133 ayat
(1) KUHAP, jelas sekali bahwa Visum et Repertum
merupakan kompetensi Dokter Forensik, tetapi jika mengacu padda Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350,
Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van Genesskundigen, tidak
dipersyaratkan dengan tegas harus Doker Forensik, tetapi dokter pada umumnya
dapat menerbitkan visum Visum et Repertum.
Selain
itu, posisi Visum et Repertum dalam dalam
sistem pembuktian menurut KUHAP cukup unit, yang menempatkannya sacara berbeda
ketika digunakan dalam penyidikan, dengan ketika hal itu digunakan dalam pembuktian
di muka sidang pengadilan. Ketika dipenyidikan, mengacu pada Pasal 133 ayat (1)
KUHAP, Visum et Repertum adalah
“Keterangan Ahli”, tetapi jika mengacu pada definisinya yang ditentukan
dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa
Reperta van Genesskundigen, Visum et
Repertum dalam pembuktian di muka sidang pengadilan tergolong alat bukti
surat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, yaitu
“keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”.
Persoalannya ada kecendrungan praktek peradilan yang menggunakan posisi Visum et Repertum secara bergonta ganti,
termasuk dalam pembuktian kejahatan kesusilaan.
Dalam
pembuktian kejahatan kesusilaan, Visum et Repertum menempati posisi
strategis. Misalnya, untuk mendapatkan pembuktian tentang unsur paksaan dalam
perkosaan, ataupun bekas-bekas aktivitas seksual yang ditinggalkan dalam
kemaluan atau dubur dalam kasus pencabulan. Namun demikian, praktek peradilan
kadangkala menunjukan gejala unpredictable berkenaan dengan kedudukan
dan kekuatan pembuktian Visum et Repertum dalam pembuktian tindak pidana
kesusilaan, termasuk masalah kekuatan mengikatnya. Lihatlah dalam kasus
pencabulan terhadap siswa Jakarta Internasional School, Visum et Repertum
yang dikeluarkan oleh dua dokter dari dua rumah sakit yang berbeda (dokter RSCM
dan RSPI), menyimpulkan: “tidak ditemukan luka” atau ”tidak ada
kelainan” pada lubang pelepasan
(anus) anak yang dilaporkan menjadi korban tindak pidana kesusilaan, tetapi
penyidik tetap meneruskan perkara ini ke penuntutan dan pada akhirnya sekalipun
sempat ada terdakwa yang dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (dua guru
JIS), namun Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bersalah semua terdakwa (guru dan OB) karena melakukan sodomi,
sekalipun tidak ada saksi yang melihat peristiwa itu. Hanya “keterangan” korban
yang kemudian menunjuk kepada para terdakwa sebagai pelaku tindak pidana
tersebut.
Visum
et Repertum Kasus JIS (RSCM)
Visum
et Repertum Kasus JIS (RSPI)
Selain
itu, Visum et repertum hanya sah apabila didasarkan pada
pemeriksaan barang bukti (tubuh, darah dan jaringan tubuh, organ tubuh ataupun
mayat), dan karenanya hanya diterbitkan atas permintaan penyidik. Staatsblad
Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang Visa Reperta van
Genesskundigen menentukan bahwa Visum
Et Repertum diterbitkan hanya “untuk kepentingan peradilan atas permintaan
yang berwenang”, yang dalam Pasal 133 ayat (2) KUHAP dipersyaratkan
permintaan itu disampaikan “secara tertulis”, dengan secara tegas
menyebutkan “tujuan pemeriksaan”.
Visum
et Repertum karenanya tidak dapat diberikan
dokter berdasarkan permintaan perseorangan (korban atau keluarganya), atau
hanya didasarkan pada medical record seseorang, sekalipun dokter
tersebut yang melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya itu. Ketika seseorang meminta
“visum” kepada dokter atas apa yang dialaminya, maka pada dasarnya hubungan
yang terjadi adalah antara dokter dan pasien, sedangkan Visum et Repertum
bukan diberikan karena dokter tersebut
memeriksa pasiennya, tetapi memerika barang bukti (sekalipun barang buktinya
melekat pada tubuh seseorang). Tentunya barang bukti yang dimintakan visum harus
disampaikan oleh penyidik kepada dokter yang diminta memberikan visum tersebut.
Dalam banyak kejadian,
ketika suatu Visum et Repertum dibandingan dengan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) dari dokter yang
menerbitkannya, terlihat bahwa visum dimaksud
sebenarnya bukan didasarkan pada hasil pemeriksaan barang bukti pada
waktu hal itu diterbitkan. Menurut Laura B. Myers, forensic
misconduct seperti ini justru disebabkan oleh tindakan aparatur peradilan
pidana (termasuk lawyers) yang “menghalangi” juri
atau hakim dalam sistem hukum Indonesia, mendapatkan tinjauan terhadap bukti secara sah.[6] Jadi pada dasarnya
keawaman dokter forensik terhadap sistem hukum, “dimanfatkan” aparatur sistem
memanipulasi bukti, atau memanipulasi sistem yang menjurus pada pembentukan
bukti secara tidak proporsiaonal.
Berikut ini adalah contoh
Visum et Repertum yang diterbitkan
berdasarkan catatan hasil pemeriksaan medis (medical record) yang
dilakukan tiga hari sebelumnya, sebagaimana dinyatakan sendiri dalam BAP dokter
yang bersangkutan. Sekalipun diberikan oleh dokter yang sama, medical record
dan visum et repertum. Mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama sekali
berbeda satu sama lain.
Kerterangan Ahli di
Pengadilan
Sementara
itu, selain pembuktian dengan Keterangan Ahli oleh Penuntut Umum, berdasarkaan Pasal
180 KUHAP hakim ketua sidang juga diberi kewenangan untuk meminta Keterangan
Ahli. Keterangan Ahli disini dapat dimintakan baik karena yang berhubungan
dengaan perbuatan maupun berkenaan dengan orangnya. Berkenaan dengan perbuatan
terdakwa dimaksud terutama apabila dari ahli-ahli yang dihadirkan Penuntut Umum
dan terdakwa, ternyata terdapat perbedaan pendapat yang sangat tajam, maka
“untuk menjernihkan duduknya persoalan” hakim ketua sidang karena jabatanya dapat
memanggil ahlinya sendiri. Permintaan Keterangan Ahli juga dapat diminta oleh
hakim ketua sidang dalam hal terdapat keraguan tentang kemampuan
bertanggungjawab seorang terdakwa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP.
Dalam hal ini ahli dimaksud adalah Ahli Psikiatri Kehakiman yang menjadi
kompetensi Dokter Spesialis Penyakit Jiwa.
Terkait
dengan pembuktian kejahaatan kesusilaan, terdapat sejumlah kendala yang khas
terkait dengan Keterangan Ahli dalaam hal ini, yang dapat timbul karena:
1.
Faktor korban,
umumnya lambat melaporkan dengan berbagai alasan;
2.
Faktor penyidik,
umumnya karena rendahnya pengetahuan medis/forensik;
3.
Faktor dokter/ahli,
umumnya karena rendahnya pengetahuan tentang hukum dan teknis forensik
penanganan korban kejahatan kesusilaan;
4.
Tempat kejadian
perkara yang sudah berubah, sehingga sedikit bekas kejahatan yang bisa
dtemukan;
5.
Barang bukti yang
hilang atau rusak (baju, pakaian dalam, luka
pada tubuh, cairan sperma atau cairan vagina dll)
Pada
korban yang sangat jelas bekas kekerasannya, seperti korban perkosaan dengan
luka memar di sekujur tubuhnya pada gambar berikut ini, memang pembuktian relatif
lebih mudah. Namun demikian, luka bekas kekerasan seperti itu kadang mudah
hilang seiring waktu. Dengan demikian, faktor waktu menjadi sangat menentukan
dalam hal ini. Dalam banyak kasus perkosaan atau kejahatan seksual lain karena
alasan tertentu, seperti malu atau korban cukup berpartisipasi pada terjadinya
kejahatan itu, rentang waktu pelaporan/pengaduan dan pemeriksaan untuk
pemberian visum sudah sangat jauh, sehingga bekas kejahatan tidak lagi tampak.
Seyogianya
penyidik-penyidik yang ditugaskan di unit/satuan/sub direktorat kesusilaan
mestinya memiliki pengetahuan dasar medis/forensik yang cukup. Terutama berkenaan
dengan beberapa hal teknis forensik. Hal ini yang disebut sebagai Brian Forts sebagai “tactical solution”, yang sangat
diperlukan dalam pemecahan suatu perkara.[7] Misalnya,
pengetahuan tentang originalitas barang bukti menjadi sangat penting bagi
kepentingan forensik, dimana korban harus dibawa ke dokter sejauh mungkin pada
keadaan yang belum mengalami perubahan, sejak peristiwa kejahatan yang
dialaminya. Dalam beberapa kasus kejahatan kesusilaan penyidik dengan alasan
“kasihan” justru memberikan pengobatan sekedarnya pada korban, bahkan cukup
banyak yang tidak menjadikan perhatian berkenaan pakaian yang dipakai korban
ketika kejahatan dilakukan.
Sebaiknya,
dokter yang melakukan pemeriksaan korban juga terkadang minim pengetahuan
hukumnya. Cukup banyak dokter yang memberikan visum hanya berdasarkan medical
record, yang bahkan medical record itu bukan dibuat olehnya. Hal ini
tentu berpengaruh pada keabsahan dari visum et repertum dimaksud. Visum
et repertum yang diberikan tidak
berdasarkan hasil pengamatan terhadap barang bukti pada waktu laporan tersebut disampaikan, bukan hanya
tidak sah tetapi dapat dikualifikasi sebagai surat keterangan dokter palsu, ex
Pasal 268 KUHP.
Selain
itu, tidak sedikit kegagalan pembuktian kejahatan kesusilaan karena tidak lagi
dapat dilihat bekas kejahatan tersebut
di TKP. Sehingga pengamanannya sangat penting, karena mungkin saja ceceran
darah, epitel, sperma, rambut, dll. tertinggal, baik milik korban maupun pelaku. Sebenarnya dari segi
yuridis telah menjadi good practices adanya suatu
“pemeriksaan setempat” atau “gerechtelijke
plaatsopneming”, yang dengannya
dapat membawa hakim ke dalam
suasana ketika kejahatan kesusilaan berlangsung.
Sayangnya, KUHAP dan RKUHAP belum mengatur pembuktian dengan acara pemeriksaan
setempat dimaksud.
Padahal
strategic solution seperti ini boleh
jadi merupakan bagian jawaban dari kebuntuan metode mempertemukan rasa keadilan
korban dan pelaku, ketika pendekatan yang bersifat teknologis, demografik dan
kecenderungan politik,[8]
belum juga menuntaskan masalah tersebut. Wallahualam.
[1] Floris J. Bex, Arguments, Stories
and Criminal Evidence; A Formal Hybrid Theory, (London: Springer, 2011), 1.
[3]Alexei Trusov, An Introduction
to The Theory of Evidence, (Moscow: Foreign Languages Publishing House,
tt), 131.
[4]Paul B. Weston, and Kenneth
M. Wellss, Criminal Evidence for Police,
(New York: Prentice-Hall Inc, 1971), 40.
[6]Laura B. Myers, “The Ethic of Criminal Justice Administration”
dalam Handbook of Criminal Justice Administration, Ediitor: M.A. DuPont-Morales et.al., (NewYok: Marcel
Dekker Inc., 2001), 10.
[7]Brian Frost, “Managing Criminal Investigation”, dalam Handbook of Criminal Justice Administration,
Ediitor: M.A. DuPont-Morales et.al.,
(NewYok: Marcel Dekker Inc., 2001), 114.