12 Oktober 2015

Kekhilafan Dalam Pajak Dan Pidana

Tinjauan dari Aspek Hukum Pidana  tentang Pengertian “KEKHILAFAN” dan perbedaannya dengan  “KESENGAJAAN” atau “KESALAHAN”  dikaitkan dengan Peraturan Perundang-Undangan dibidang Perpajakan

oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.

 Pengantar

            Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, memuat ketentuan yang sangat penting bagi Wajib Pajak, yaitu:

“Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”

Ketentuan ini sepertinya merupakan pengejawantahan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, yaitu:    

(1) “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau permohonan Wajib Pajak   dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan  dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”

18 September 2015

PEMAHAMAN TENTANG ALAT BUKTI SEBAGAI “BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP” DAN SEBAGAI “BUKTI YANG CUKUP”



  Oleh: Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
 Pengantar
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah salah satu undang-undang yang paling sering diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena KUHAP bersentuhan langsung dengan kepentingan hakiki setiap individu, seperti antara lain kodifikasi itu berkaitan dengan kebebasan (freedom) individu. Pembatasan kebebasan yang ditentukan dalam KUHAP menjadi pangkal tolak dari upaya konstitusional dari mereka yang merasa haknya dilanggar, untuk “melawan” penerapan KUHAP terhadap dirinya. Namun demikian, seringnya pengajuan judicial review terhadap KUHAP boleh jadi karena disana-sini terdadapat perumusan norma yang buruk (bad formulation), yang memicu timbulnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan perlakuan yang tidak adil (unfair treatment),  ketika hal itu diimplementasikan dalam kejadian-kejadian konkrit. Padahal maksud semula (original intent) pembentukan KUHAP justru adalah dalam rangka melindungi hak-hak asasi manusia, sehingga perumusan proses dan prosedur penegakan hukum yang tidak menjamin kepastian hukum dan tidak menjamin perlakukan yang adil pada hakekatnya akan berujung pada “kegagalan” negara menjalankan fungsinya (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia) seperti yang diamanatkan Konstitusi.

10 Juni 2015

LAPORAN KUNJUNGAN KE NEGERI BELANDA TERKAIT PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA


Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH.

A.       Kodifikasi Hukum dan Hukum Pidana Khusus
Pada dasarnya Hukum Pidana Indonesia mewarisi civil law system, mengingat asas konkordansi yang menempatkan Hukum Pidana Kerajaan Belanda diterapkan di Hindia Belanda. Sekalipun setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dilakukan pertumbuhan peraturan perundang-undangan baru, termasuk dalam bidang Hukum Pidana,  tetapi pendekatan kodifikasi hukum hingga kini tetap dipertahankan, seperti juga di Negeri Belanda.

Pada umumnya tindak pidana di Negeri Belanda diatur dalam KUHP. Perkembangan bentuk-bentuk kejahatan baru, yang mengharuskan penambahan perumusan delik-delik baru, dilakukan dengan hanya dengan mengadakan amandemen KUHP, dan tidak membentuk undang-undang Hukum Pidana di luar KUHP. Kalaupun terdapat bentuk-bentuk Hukum Pidana Khusus, maka kecenderungannya kini dalam Hukum Pidana Belanda hanya berkenaan dengan delik-delik administratif, yang dalam penegakan hukumnya tidak dilakukan oleh Penyidik  Kepolisian Nasional Belanda (Ducth National Police), tetapi dilakukan oleh Penyidik Khusus (Special Investigative Service), yang diberada di bawah koordinasi kementerian atau lembaga tertentu pula.

Hukum Pidana Khusus yang memuat tindak pidana khusus, yang dilakukan penyidikan oleh Penyidik Khusus (Special Investigative Service), dan bahkan penuntutannya juga dilakukan oleh Penuntut Umum sendiri (National Office for Financial, Enviromental and Food Safety Offences), yang dipisahkan dari Penuntut Umum untuk tindak pidana umum lainnya (National Procsecutors’Office), sekalipun keduanya berada dalam organisasi Kejaksaan Belanda (Dutch Public Prosecutor Service) yang sama, yaitu:
a.       Tindak Pidana dibidang Keuangan
b.      Tindak Pidana dibidang Ekonomi (termasuk Pertanahan);
c.       Tindak Pidana dibidang Masalah-masalah Sosial dan Ketenagakerjaan;
d.      Tindak Pidana dibidang Infrastruktur dan Lingkungan

Peradilan Militer di Indonesia



BEBERAPA ISU PENTING DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN TERKAIT DENGAN HUKUM PIDANA BELANDA

Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH

A.    Kodifikasi Hukum dan Hukum Pidana Khusus
Pada dasarnya Hukum Pidana Indonesia mewarisi civil law system, mengingat asas konkordan yang menempatkan Hukum Pidana Kerajaan Belanda diterapkan di Hindia Belanda. Sekalipun setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dilakukan pertumbuhan perundnag-undangan baru, termasuk dalam bidang Hukum Pidana,  tetapi pendekatan kodifikasi hukum hingga kini tetap dipertahankan, seperti juga di Negeri Belanda.

Pada dasarnya pula, perkenalan dengan Hukum Pidana Khusus, seperti pembentukan Undang-Undang Pidana Khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga diperkenalkan oleh Sistem Hukum Belanda, sehingga di Indonesia bertumbuh kembang, hingga hampir tidak terkendali, pembentukan undang-undang pidana di luar KUHP, seperti melalui pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Tindak Piana Pornografi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya.

Hukum Pidana Khusus bidang hukum pidana materil keberlakukananya didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Sedangkan Hukum Pidana Khusus bidang hukum acara pidana keberlakuannya didasarkan pada ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Hukum Pidana Khusus diadakan mengingat berbagai kepentingan khusus, yaitu antara lain:
(1)   Subyeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut kualitas tertentu yang harus dipenuhi untuk mengujudkan suatu delik;
(2)   Objeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut benda-benda hukum tertentu yang mempunyai sifat kekhususan tertentu;
(3)   Diperlukan hukum acara yang bersifat khusus untuk penegakannya, yaitu menyangkut proses dan prosedur khusus, yang memberikan kewenangan khusus dan terbatas kepada aparat penegak hukum tertentu.

PERKEMBANGAN TERAKHIR KORELASI ANTARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENJATUHAN PIDANA

Dr. CHAIRUL HUDA, SH, MH

Abstract
This is thesis on criminal law conceprtion, exspecially  about correlation  criminal liability and criminal of punishment. Tendency of teorethical buildings is old fashioned still stage around of individual liability, and yet perfectly develop for complex crime. There are at least three correlation discussed, related corporate crime, organized crime and collective crime or collective violence.


Pendahuluan
            Ilmu Hukum pidana adalah science about fault, yang menyebabkan kesalahan (schuld)  sebagai pusat perhatiannya, baik ketika menentukan perbuatan mana yang sepatutnya dijadikan tindak pidana, menentukan kriteria bahwa seseorang sepantasnya dicela karena perbuatannya sehingga dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan menentukan jenis dan jumlah pidana yang tepat bagi seseorang yang melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatannya itu. Ketiga masalah mendasar di atas, kerapkan dibicarakan secara parsial oleh para ahli, yang menyebabkan diantara ketiga terfagmentasi secara konseptual.
Berkaitan dengan hal di atas, salah satu masalah penting yang hingga kini masih terus dikembangkan oleh para ahli hukum pidana adalah korelasi antara ketiga masalah mendasar tadi. Terlebih-lebih khususnya korelasi antara  pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana. Sebelumnya hal itu kerap kedua konsep di atas dipandang identik sama lain, sehingga tidak relevan memikirkan korelasinya. Dalam hal ini “dapat dipertanggungjawabkan” dalam hukum pidana berarti “dapat dipidana”. Namun demikian, belakangan ternyata dapat dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana (karena melakukan tindak pidana), tidak serta merta menyebabkan seorang itu dipidana. Penormaan tujuan pidana, pedoman pemidanaan dan pedoman penjatuhan pidana penjara, yang telah pula diadopsi dalam RUU KUHP, out of court settlement yang semakin mendesak untuk diperkenalkan dalam RUU KUHAP, atau prinsip restorative justice yang telah pula diintrodusir dalam sistem peradilan pidana anak (Undang-Undang No. 11 Tahun 2012), menyebabkan terdapat hal-hal lain yang harus dipertimbangkan hakim ketika akan menjatuhkan pidana, termasuk menjatuhkan pidana penjara. Artinya, “dapat dipertanggungjawabkan” dalam hukum pidana, karena satu dan lain hal “dapat tidak dijatuhi pidana”.

Menggeser “Ajaran Penyertaan” untuk Menyeret Habieb Rizieq ke Meja Hijau



Dr. Chairul Huda, SH. MH.

     Umumnya suatu tindak pidana dirumuskan untuk pembuat tunggal, hanya beberapa diantaranya yang dirancang untuk menjangkau peristiwa yang melibatkan banyak orang. Untuk memperluas daya jangkau rumusan undang-undang tentang suatu delik yang di-design untuk pembuat tunggal tersebut, dibuat ketentuan tentang “penyertaan” (deelneming). Dilihat dari teori pembuat yang restriktif, ketentuan tentang penyertaan mutlak adanya, yang dengan dianya dapat membuat orang-orang lain selain pelaku (pleger) dari suatu kejahatan, dipandang juga melakukan perbuatan yang dilarang  (strafbaar). Undang-undang dengan demikian membatasi  pemidanaan terhadap orang yang turut campur dari suatu kejahatan sepanjang memenuhi kriteria sebagai peserta perbuatan pidana dalam “Ajaran Penyertaan”.
    Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap ketentuan undang-undang tentang penyertaan. Hal ini menyebabkan perubahan tentang pola hubungan pelaku dan peserta (dalam suruh lakukan (doenpelegen), turut serta melakukan (medeplegen), penganjuran (uitlokken) dan pembantuan) hanya terjadi dalam praktik hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Apabila perkembangan oleh praktisi sangat dipengaruhi politik hukum yang berlaku, maka para akademisi selalu mencoba menjawab kebutuhan-kebutuhan praktik itu, berdasarkan faktor-faktor kriminogen yang timbul. 
   Dalam kasus Habieb Rizieq, “pergeseran” tentang ajaran penyertaan dari apa yang ditentukan oleh undang-undang, dengan keadaan  yang diharapkan timbul karena perubahan arah kebijakan (politik) hukum, dipertontonkan dengan sangat telanjang. Paling tidak hal itu terlihat dari dua hal, yaitu: penentuan tindak pidana yang dilakukan Habieb Rizieq dan pertanggungungjawaban pidananya atas hal itu.

MENYOAL PIDANA TAMBAHAN “PEMBAYARAN UANG PENGGANTI” DALAM PERKARA KORUPSI


Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum
 Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pemberantasan tindak pidana korupsi masih selalu menarik untuk diperbincangkan, karena disana sini diliputi oleh berbagai kontraversi. Misalnya, baru-baru ini perhatian masyarakat Indonesia  tersita (bahkan konon menarik perhatian masyarakat dunia) oleh hingar bingar penanganan kasus dugaan korupsi Bibit-Candra. Semua pihak ikut berkomentar, mulai dari tukang-tukang becak, sopir angkot, ibu rumah tangga, Anggota DPR, para Advokad dan pakar hukum, sampai kemudian Presiden RI juga ikut bicara. Masing-masing mempunyai versi pandangan, yang bukan hal yang aneh apabila diantaranya saling bertolak belakang secara ekstrim.

Pada kesempatan ini penulis tidak ingin lebih jauh menyoalperdebatankasus tersangka non aktif” Bibit dan Candra, tetapi membicarakan hal lain dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yang sekalipun tidak banyak mengundang kontraversi tetapi cukup menyita perhatian. Kajian ini memusat pada persoalan-persoalan berkenaan dengan penjatuhannya dalam proses peradilan dan terkait hukum pelaksanaan pidana, khususnya pelaksanaan pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”. Persoalan ini menjadi penting mengingat paling tidak dua alasan.

“Manipulasi” Ajaran Penyertaan dalam kasus pembunuhan Nasaruddin


DR. Chairul Huda, SH., MH


Umumnya suatu tindak pidana dirumuskan untuk pembuat tunggal, hanya beberapa diantaranya yang dirancang untuk menjangkau peristiwa yang melibatkan banyak orang. Untuk memperluas daya jangkau rumusan undang-undang tentang suatu delik yang di-design untuk pembuat tunggal tersebut, dibuat ketentuan tentang “penyertaan” (deelneming). Dilihat dari teori pembuat yang restriktif, ketentuan tentang penyertaan mutlak adanya, yang dengan dianya dapat membuat orang-orang lain selain pelaku (pleger) dari suatu kejahatan, dipandang juga melakukan perbuatan yang dilarang (strafbaar). Undang-undang dengan demikian membatasi pemidanaan terhadap orang yang turut campur dari suatu kejahatan sepanjang memenuhi kriteria sebagai peserta perbuatan pidana dalam “Ajaran Penyertaan”.
Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap ketentuan undang-undang tentang penyertaan. Hal ini menyebabkan perubahan tentang pola hubungan pelaku dan peserta (dalam suruh lakukan (doenpelegen), turut serta melakukan (medeplegen), penganjuran (uitlokken) dan pembantuan (medeplichtige)) hanya terjadi dalam praktik hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Apabila perkembangan oleh praktisi sangat dipengaruhi politik hukum yang tengah berlaku dan kebutuhan-kebutuhan praktis pemecahan suatu kasus, maka para akademisi selalu mencoba menjawab perkembangan praktis tersebut, berdasarkan faktor-faktor kriminogen yang timbul.

REFORMASI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DALAM RKUHAP

DR. Chairul Huda, SH., MH.

Urgensi Reformasi Hukum Acara Pidana Indonesia

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada awal pemberlakuannya dipandang sebagai “karya agung” bangsa Indonesia bagi perhormatan hak asasi manusia pada umumnya, dan khususnya  mereka yang tersangkut perkara pidana. Namun demikian, setelah lebih dari duapuluh lima tahun diberlakukan, KUHAP dipandang tidak sesuai lagi dengan “perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru” (konsideran “menimbang huruf c” RKUHAP).  Dalam penjelasan umum RKUHAP dikemukakan sejumlah indikator yang menunjukkan KUHAP sudah ketinggalan zaman. Pertama, KUHAP masih belum mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam praktik penanganan perkara tindak pidana yang menjadi tugas para penegak hukum untuk menyelesaikan perkaranya secara baik dan adil. Kedua, perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global berpengaruh pula terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.
Lebih daripada itu, secara konseptual urgensi pembaharuan KUHAP tidak sesederhana seperti yang dikemukakan di atas. Setiap usaha untuk memperbaharui hukum, termasuk pembaharuan hukum acara pidana didalam KUHAP,  bukanlah semata-mata kegiatan untuk  ‘memperbaiki’ hukum yang ada, tetapi justru ‘mengganti’ hukum tersebut dengan yang lebih baik. Sementara itu, harus diingat pula bahwa pembangunan hukum merupakan proses perencanaan,[1] yang selalu berpangkal tolak dari kenyataan aktual menuju kepada keyakinan ideal.[2] Oleh karena itu, pikiran-pikiran untuk menjaga kesinambungan hukum juga harus diperhatikan.  
Pada dasarnya keadaan aktual hukum acara pidana Indonesia apabila dibandingkan dengan konsepsi ideal tentang hal itu memang jauh tertinggal, terutama mengenai designnya. Perlu diyakini KUHAP diantaranya merupakan substansi hukum yang meletakkan (mendesign) konsep dasar Criminal Justice System (CJS), yang umumnya di Indonesia dipadankan dengan istilah  “Sistem Peradilan Pidana” (SPP). Kata “justice” diterjemahkan dengan kata “peradilan”. Padahal “justice” itu mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari “judicial” atau “peradilan”. Kekeliruan pemadanan istilah menyebabkan ruang lingkup SPP “menyempit”.  Oleh karena itu, diperlukan redefinisi SPP, yang  sementara ini dipahami sebagai keteraturan kerja subsistem-subsistem dalam pemberatasan kejahatan melalui proses dalam subsistem kepolisian, subsistem penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pemidanaan, menjadi suatu definisi yang lain. Mengingat, dari definisi ini kinerja SPP yang dirancang dalam KUHAP terutama dalam  “fungsi represif”, sedangkan  “fungsi preventif” SPP hanya mempunyai arti “tidak langsung”, yaitu “mencegah” pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya, tetapi tidak mem-prevent “potential offender”, yaitu anggota masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan. Padahal pencegahan kejahatan juga berarti “pencegahan langsung”, yang membuat masyarakat “imun” terhadap kejahatan.  Hal ini menyebabkan pelibatan “lembaga-lembaga non judisial” dan seluruh potensi masyarakat secara keseluruhan dalam SPP tidak dapat dihindarai. Sayangnya mengenai hal ini belum terakomodasi dalam KUHAP, dan tampaknya juga demikian dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).[3] 

PIDANA MATI



Makalah Ini Disampaikan dalam "Seminar Nasional Dinamika Kontemporer Hukum Mati di Indonesia" 
Di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Purwokerto, Sabtu 30 Mei 2015




HAL IHWAL TENTANG HARTA KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.

 Pengantar
      Kontroversi seputar tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menimbulkan silang pendapat dikalangan para ahli maupun praktisi. Khususnya terkait harta kekayaan hasil tindak pidana, terutama soal pembuktian, penyitaan dan perampasannya. Dalam banyak hal, masalah-masalah tersebut berangkat dari rumusan-rumusan dalam (UU No. 8 Tahun 2010) yang sama-samar (vaagen normen), sehingga konstitusionalitasnya patut dipertanyakan.

Diskusi ini menjadi penting, sebagai telaahan mandiri yang tidak bias kepentingan pihak-pihak yang memepersoalkan dana/atau mempertahankan berbagai ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2010, yang sedang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.

Tinjauan dari Aspek Hukum Pidana tentang Pengertian “KEKHILAFAN” dan perbedaannya dengan “KESENGAJAAN” atau “KESALAHAN” dikaitkan dengan Peraturan Perundang-Undangan dibidang Perpajakan


 Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.

Pengantar

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, memuat ketentuan yang sangat penting bagi Wajib Pajak, yaitu:

“Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”

Ketentuan ini sepertinya merupakan pengejawantahan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983  Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, yaitu:    

(1) “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau permohonan Wajib Pajak   dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan  dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”

Pada satu sisi ketentuan ini menggambarkan adanya “kewenangan” yang sifatnya atributif dari Direktur Jenderal Pajak, tetapi pada sisi yang lain juga menggambarkan adanya “hak” Wajib Pajak untuk mengkoreksi sanksi administrasi perpajakan. Namun kedua aspek tersebut bukanlah titik berat pembahasan yang dimintakan oleh penyelenggara Seminar Perpajakan ini, selain juga bukan persoalan yang bersentuhan langsung berkenaan dengan Hukum Pidana, kecuali karena pelaksanaan kewenangan itu seorang mantan Dirjen Pajak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sekarang telah dibatalkan status tersangkanya tersebut oleh Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.