Melawan Hukum dalam Hukum Pidana
Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Dosen Fak. Hukum UMJ |
Dalam definisi suatu
tindak pidana harus tercermin adanya perbuatan melawan hukum. Rumusan tindak
pidana harus disusun dalam kata-kata yang menggambarkan perbuatan berkonotasi
negatif, sehingga dengannya saja sifat melawan hukum dari perbuatan itu menjadi
nyata. Dalam hal pembentuk undang-undang tidak menemukan istilah yang dari arti
leksikonnya saja sudah mencerminkan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan,
maka rumusan delik itu harus ditambahkan dengan kata-kata “melawan hukum”.
Hal ini menjadi
konsekuensi dari keyakinan bahwa “melawan hukum” selalu menjadi unsur mutlak
setiap tindak pidana, seperti pada umumnya selalu dianut para ahli hukum
pidana, begitu juga dengan penulis. Namun demikian, dalam konteks hukum pidana
formil, “melawan hukum” baru harus dibuktikan apabila menjadi “bagian inti”
dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain, baru dibuktikan “melawan
hukum” jika perkataan tersebut disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Apabila
tidak disebutkan maka, dipandang melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur-unsur
lain dari suatu tindak pidana, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya.
Dalam tindak pidana
korupsi perkataan “melawan hukum” hanya menjadi bagian inti yang harus
dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan kata
lain, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan
hukum perbuatan itu direpresentasikan dengan kata-kata “secara melawan hukum”
itu sendiri, sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi.
Misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan
hukumnya termaktub dari istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau
kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Demikian pula
misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan
hukumnya direpresentasikan dengan perkataan “dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Mengingat melawan hukum
menjadi sifat umum dari suatu delik, maka tidak terpenuhinya unsur melawan
hukum dalam suatu perbuatan menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana.
Apabila suatu perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun
perbuatan itu tidak akan menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis
hakim dalam suatu putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi
unsur melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi, maka perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun, termasuk bukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi ataupun
ketentuan pidana lainnya. Begitu penting sebenarnya posisi pertimbangan tentang
terpenuhi atau tidak terpenuhinya unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak
pidana, yang boleh jadi tanpa disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana
lainnya dalam kasus itu.
Sementara itu, pada saat
sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih mendalam, apakah tindak pidana
adalah “species” dari suatu kelompok
(genus) perbuatan, yaitu perbuatan
yang melawan hukum, atau justru sebaliknya,
melawan hukum itu hanya menjadi ciri, unsur atau bagian inti utama dalam
setiap tindak pidana. Kecenderungan praktek peradilan telah menempatkan bahwa
suatu tindak pidana adalah salah satu jenis dari sekelompok perbuatan yang
melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan tidak ada lagi pengertian khusus
”melawan hukum” dalam hukum pidana, melainkan sama dan sebangun dengan melawan
hukum pada umumnya, termasuk pemaknaan yang diberikan dalam bidang hukum perdata
ataupun hukum administrasi. Dengan kata lain, memandang pengertian melawan
hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang
hukum lain, seperti misalnya dipersamakan dengan perbuatan melawan hukum dalam
hukum perdata, menyebabkan tindak pidana dipandang sebagai species dari suatu kelompok (genus)
perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum.
Hal ini berakibat tindakan
penegakan hukum yang diambil atas suatu peristiwa, boleh jadi merupakan
“keputusan politik” semata. Artinya, kalaupun digunakan instrumen hukum pidana
dalam menyelesaikan suatu peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena perbuatan
yang dipersoalkan bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi hal itu
semata-mata sebagai “plilihan tindakan yang mungkin dilakukan” pemerintah.
Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat
pertahanan paling akhir (ultimum
remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian menyebabkan
penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang keputusan politik, tidak
benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara berlandaskan hukum.
Kosekuensi di atas
sepertinya tidak selalu disadari oleh para akademisi hukum yang mendukung
pemikiran pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian
melawan hukum dalam bidang hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum
(advokat, penyidik, penuntut umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus
melawan hukum dalam hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan
di luar hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian,
yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah memiliki
sifat melawan hukum yang umum itu.
Dalam lintasan sejarah memang dapat disaksikan
fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan. Hal ini tergambar dari praktek
peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang
unsur “dengan melawan hukum”. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel
(bertentangan dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah
materil, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pergeseran
selanjutnya, melawan hukum materil diartikan pada pengertian dalam fungsinya
yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan
dengan perundang-undangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan
Terdakwa adalah “tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak
sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya,
bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat
dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Mengartikan
melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif sama artinya
memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata.
Berbeda dengan para
praktisi (praktek peradilan), kalangan akademisi justru umumnya menolak
penerapan melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif. Roeslan Saleh
menyatakan sebagai berikut:
“Pandangan mengenai melawan hukum
materiil hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan yang meskipun termasuk
dalam rumusan undang-undang dan karenanya diangap sebagai perbuatan pidana.
Jadi suatu perbuatan perbuatan yang dilarang undang-undang dapat dikecualikan
oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.
Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum
materil. Fungsinya yang positif, yaitu walapun tidak dilarang undang-undang
tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu
menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum
kita mengingat bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP”.[2]
Sementara itu, sekalipun
Komariah E. Sapardjaja mengakui adanya pergesaran paradigma melawan hukum, dari
melawan hukum formil kepada melawan hukum materil (kasus Machrus Efendi), dan
melawan hukum materil dari fungsinya yang negatif menjadi melawan hukum materil
dalam fungsinya yang positif (kasus Sonson Natalegawa), tetapi beliau tetap
memandang sebaiknya melawan hukum hanya diterapkan dalam fungsinya yang
negatif. Hal ini didasarkan pada pernyataan beliau:
“Khusus bagi Indonesia, walaupun
penafsiran itu dimungkinkan bahkan karena mengingat keadaan perundang-undangan
pidana Indonesia sekarang kadang-kadang diperlukan untuk mengantisipasi
bentuk-bentuk kejahatan baru, tetapi penafsiran ekstensif ini perlu dibatasi.
Hendaknya untuk membatasi penafsiran ekstensif tentang arti sifat melawan
hukum, setidak-tidaknya untuk menetapkan hilangnya sifat melawan hukum sebagai
alasan pembenar….” [3]
Dengan ini, berarti
Komariah E. Sapardjaja, juga berpendapat bahwa praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum materil
dalam fungsinya yang positif, harus dibatasi. Bahkan dengan menerima hal itu
sebagai alasan pembenar, maka hal ini berarti keinginan beliau mengembalikannya
kepada penerapan ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya yang
negatif.
Sebenarnya tidak satupun
ahli-ahli hukum pidana (akademisi) dapat membenarkan penerapan pengertian
melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Bahkan Indriyanto Seno Adji
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
“Bagi pandangan materiel, ditemukan
suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiel hanyalah digunakan
melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya diperlukan untuk
meniadakan suatu tidak pidana dengan mempergunakan alasan-alasannya di luar
undang-undang.”[4]
Mengenai praktek hukum
yang menerapkan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif,
memang mulanya memiliki dasar dalam undang-undang
yaitu penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun demikian, perlu
diingat dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum”
tidak selalu identik dengan
“undang-undang”. suatu ‘aturan undang-undang’ dapat kehilangan kekuatan
mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai ‘aturan hukum’, misalnya
jika hal itu oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu “aturan
undang-undang” yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Berkenan
dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar
diterapkanya pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, “telah
ditertibkan” dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006
tanggal 25 Juli 2006, yang dengan menyatakannya bahwa hal itu “bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Namun
demikian, berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai
pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam
putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007, yang tidak
jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi “latah” menggunakan
kembali penafsiran demikian.
Sifat keras kepala praktek
peradilan, termasuk yang diperlihatkan oleh Mahkamah Agung, dengan tetap
menggunakan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang poitif dan
tidak hanya menerapkannya dalam
fungsinya yang negatif, akan berbuah tindakan penegakan hukum yang semata-mata
didasarkan pada pilihan dan kehendak politik dari penegak hukum dan hakim.
Keingingan mereka sajalah sebenarnya yang menyebabkan suatu perbuatan dikatakan
sebagai melawan hukum dalam hukum pidana, dan bukan bersumber dari amanat
pembentuk undang undang ketika melarang dan mengancam dengan pidana suat
perbuatan
Salah satu keberatan mendasar dari
pengertian melawan hukum materiil dalam
fungsi positif, termasuk yang digunakan dalam memaknai unsur “dengan melawan
hukum” dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya kecenderungan untuk menerapkan “setiap perbuatan
yang tidak hukum” (unlawfully) sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri
sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dalam tindak pidana korupsi. Sebenarnya
Oemar Seno Adji telah mengingtakan ekses
dari penerapan unsur melawan hukum tersebut sebagai berikut:
“Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan pada para
penegak, ”hanteerder”
kewenangan dan pengadilan pula,
dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam
perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan,
apabila tidak terapat hambatan, pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap
berkelanjutan, dan agak eksessif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka
kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan
penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam
jangkauan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.” “Timbullah suatu
kesan, seolah-olah peraturan pidana yang
luas/umum tersebut merupakan suatu “all purposes act”, suatu perundang-undangan Pidana yang sifatnya
adalah “all embracing” dan yang menggiring lain perbuatan pidana ke dalam lingkungan
peraturan pidana yang umum/luas dan terbuka, walaupun bukanlah maksud semula
untuk memperlakukan tindak pidana lain sebagai tindak pidana yang luas itu “.[5]
Kiranya tidak berlebihan bila
dikemukakan juga pendapat PAF. Lamintang terhadap hubungan antara sifat melawan‑hukum
(onrechtmatige daad) dalam hukum perdata dengan sifat melawan hukum
dalam hukum pidana (wederrechtelijk), yang menurut beliau belum tepat
untuk menyamakan kedua hal tersebut di Indonesia.
"Apabila di dalam bidang hukum Perdata orang berpendapat bahiwa
setiap "onrechtmatige
daad " atau setiap perilaku yang
bersifat melawan hukum itu dapat menjadi dasar untuk menuntut ganti rugi
seperti yang dimaksud Pasal 1365 BW, maka saya kira tidak akan seorang pun akan
mengajukan keberatannya, akan tetapi masalahnya menjadi lain apabila setiap
perilaku yang di dalam bidang hukum perdata itu dapat dikualifikasikan sebagai onrechtmatige daad itu secara material harus dianggap sebagai
bersifat
"wederrechtelijk" hingga
pelakunya dapat dihukum, walaupun tindakanya itu tidak diatur di dalam sesuatu
ketentuan pidana menurut undang‑undang, oleh karena hal tersebut sudah jelas
akan bertentangan dengan usaha manusia yang telah berjalan berabad‑abad lamanya
untuk mendapatkan suatu kepastian hukum bagi setiap manusia, dan bagi kita di
Indonesia hal tersebut sudah jelas bertentangan dengan bunyinya Pasal 1 ayat 1
KUHP".[6]
Sifat keterlaluan dan kebablasan dari praktek
peradilan dalam menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya
yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan
perbuatan melawan hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang
menurut ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan
kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi
pelanggaran-pelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu
perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi,
yang dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad),
justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum (wedderchtelijk heid). Apabila pada bagian awal dari tulisan ini
telah penulis kemukakan bahwa adanya kecenderungan untuk menjadikan seluruh
tidak pidana sebagai bagian dari kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka
lebih parah lagi disini, dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu
perjanjian juga dipandang sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara
melawan hukum dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige
daad), melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk heid), maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi.
Kontrak yang tadinya hanya dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat “layaknya
undang-undang bagi yang membuatnya” (pacta sunc servanda), kini dipandang
kontrak sebagai ”identik dengan undang-undang”. Sama kekuatannya antara undang-undang,
yang tidak lain merupakan pengejawatahan kehendak rakyat melalui parlemen, dengan
kontrak yang menjadi kehendak pribadi dari individu-idividu yang melaksanakan
kontrak.
Pelanggaran
kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu perbuatan melawan
hukum, baik dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad) maupun dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk heid). Kalaupun terjadi
perbuatan melawan hukum terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak,
maka peristiwa itu bukan pelanggaran kontraknya, tetapi aturan hukum yang
menjadi dasar diadakannya hubungan-hubungan kontraktual tersebut. Perbuatan
melawan hukumnya terjadi karena adanya pelanggaran dari peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan dalam kontrak
tersebut.
Product Sharing Contract (PSC) adalah
bentuk kontrak yang dapat diadakan berkenaan
kegiatan hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan Undang-Undang No. 22
Tahun 2001. Dengan demikian, pelanggaran suatu PSC semata tidak dapat dipandang
sebagai suatu perbuatan melawan hukum, baik
dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige
daad) maupun dalam lingkup hukum pidana
(wedderchtelijk heid). Pelanggaran
PSC tidak dpat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara materiel dalam
fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat kemungkinan adanya perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan
dan pelaksanaan PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak
diturutinya perintah maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 berserta peraturan pelaksanaannya.
Analisis
Putusan No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013
Putusan
No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013 atas nama terdakwa WIDODO,
dalam amarnya memutus sebagai berikut:
- Menyatakan terdakwa WIDODO tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dalam Dakwaan Primair;
- Membebaskan Terdakwa oleh karena
itu dari Dakwa Primair;
- Menyatakan terdakwa WIDODO telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam Dakwaan
Subsidiair;
- Menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidan kurungan selama 3 (tiga) bulan;
- Menetapkan dst
Berdasarkan hal tersebut,
majelis hakim perkara No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013
tersebut telah memutus “dengan suara terbanyak” WIDODO melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dikatakan “dengan suara terbanyak” karena majelis tidak berhasil
mengambil keputusan dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dari anggota majelis tersebut.
Dalam pertimbangannya,
mayoritas anggota majelis perkara yang diputus dengan putusan No
82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, berpendapat dalam hlm 235 sebagai berikut:
“bahwa terdakwa WIDODO selaku Team
Leade Waste Management SLN Duri PT. Chevron Pacific Indonesia, memiliki tugas antara
lain untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor telah
sesuai dengan isi kontrak yang sudah dibuat oleh tim pengadaan perusahaan.
Menimbang bahwa dengan karakter, status/kedudukan atau sifat Terdakwa tersebut
tidak terdapat dalam Dakwaan Primair sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari
Dakwaan Primair”
Sebenarnya, tidak jelas
betul apa yang dimaksud dengan pertimbangan tersebut di atas. Namun demikian,
apabila yang dimaksud adalah bahwa Terdakwa WIDODO tidak memiliki kapasitas
untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan
Primair, sehingga harus dibebaskan, sama artinya Terdakwa WIDODO tidak akan
dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Mengingat salah satu usur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
adalah unsur “dengan melawan hukum”,
maka dalam perkara ini Terdakwa WIDODO
tidak (akan dapat) memenuhi unsur “melawan hukum”. Dengan demikian, perbuatan Terdakwa WIDODO
tidak memiliki sifat umum dari setiap tindak pidana, yaitunsifat melawan hukum,
sehingga menjadi pertimbangan yang saling bertentangan jika Majelis Hakim pada bagian
lain justru memutuskan Terdakwa WIDODO terbukti bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,
yang didakwakan dalam Dakwaan Primair. Bukankah “menyalahgunakan kewenangan”
disini hanya menjadi representasi sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi tersebut, sehingga
dibebaskannya yang bersangkutan dari Dakwaa Primair mutatis mutandis
menyebabkan yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana apapun, termasuk
yang didakwakan dalam Dakwaan Susidiair.
Hakim Anggota II (Annas
Mustaqim, SH, MH) yang memberikan pendapat berbeda tentang hal ini, yang dengan
terang benderang memaknai melawan hukum
meliputi pengertian melawan hukum
materiel dalam fungsinya yang positif,
dalam halaman 284, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terdakwa selaku Team
Leader Waste management PT. Chevron Pacific Indonesia terhadap pekerjaan
Bioremediasi yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku
Direktur PT. Green Planet Indonesia yaitu membiarkan pekerjaan bioremediasi
dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM,
menyalahi Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, maka Hakim Anggota II
berpendapat perbuatan terdakwa telah bersifat melawan hukum”.
Dalam pertimbangan
tersebut, Hakim Anggota II berpandangan bahwa perbuatan Terdakwa WIDODO
bersifat melawan hukum karena hal-hal sebagai berikut:
- Membiarkan (nalaten) orang lain (Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku
Direktur PT. Green Planet Indonesia) melanggar peraturan
perundang-undangan (Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003). Hakim
Anggota II tidak menjelaskan lebih lanjt, apakah perbuatan pembiaran
tersebut melanggar peraturan perundang-undangan bagi Terdakwa Widodo. Jika
dihbungkan dengan pertimbangan mayoritas anggota Majelis Hakim yang
memandang Terdakwa WIDODO tidak memiliki kapasitas melakukan perbuatan
sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair, maka tidak terdapat
perintah peraturan perundang-undangan yang dilanggar Terdakwa WIDODO dalam
melaksanakan tugasnya itu. Dengan demikian, Hakim Anggota II telah
menerapkan dua dikonstruksi hukum yang tidak lazim, yaitu:
a.
Menerapkan vicarious liability atas perbuatan Ir.
Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia terhadap
Terdakwa WIDODO, padahal keduanya tidak berada dalam satu korporasi;
b.
Menerapkan
hubungan penyertaan antara Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT.
Green Planet Indonesia dan Terdakwa WIDODO dalam bentuk “participation by omission”, padahal tidak ada ketentuan
undang-undang yang menetapkan perbuatan demikian sebagai delik.
- Dalam hal pelaksanaan Bioremediasi
yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur
PT. Green Planet Indonesia dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir.
Ricksy Prematuri, Dipl, MM tersebut yang telah dituangkan dalam kontrak
antara PT. Chevron Pacific Indonesia dan PT. Green Planet memang benar tidak
merujuk atau bertentangan Lampiran
II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, maka perbuatan melawan hukum tersebut
sebenarnya dilakukan oleh pihak PT. Chevron Pacific Indonesia sebagai
suatu korporasi, sebagai pihak
berkewajiban membersihkan lingkungan yang tercemar karena
kegiatannya. Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003 tidak memberikan
kewajiban pribadi ataupun jabatan kepada Terdakwa WIDODO untuk menentukan
kontrak bioremediasi secara demikian.
Dengan demikian, Terdakwa WIDODO dipertanggungjawabkan atas
perbuatan korporasinya tempatnya bekerja, padahal Terdakwa WIDODO bukan
unsur fungsional yang mempunyai tugas dan fungsi menentukan hubungan hukum
dengan Direktur PT. Green Planet Indonesia, yang ruang lingkup hubungan
kontraktualnya ditentukan dalam Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003;
- Dalam hal pelaksanaan Bioremediasi
yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur
PT. Green Planet Indonesia dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir.
Ricksy Prematuri, Dipl, MM menyimpang dari kontrak antara PT. Chevron
Pacific Indonesia dan PT. Green Planet, sehingga pelaksanaannya
bertentangan Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, Terdakwa WIDODO
dipandang melakukan perbuatan melawan hukum karena membiarkan Ir. Ricksy
Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia
wanprestasi/cidera janji;
- Perbuatan melawan hukum yang
dinyatakan oleh Hakim Anggota II tersebut, sama sekali berlainan atau
sangat berbeda dengan apa yang didakwa dan dituntut oleh Penuntut Umum
terhadap Terdakwa WIDODO, yaitu dalam kedudukan selaku Petugas Lapangan
maupun telah melakukan penandatangan OE/HPS dalam proses pemilihan
Penyedia Jasa Biremediasi di wilayah SLS Minas telah bertentangan dengan
Pedoman Tata Kerja Pengolaan Rantai SUplai Kontraktor Kontrak Kerjasama BP
Migas No. 007/PTKIV/2004 dihubungkan dengan Pengawasan yang dilakukan BP
Migas sebagaimana diatur dalam Pedoman Tata Kerja BP Migas No. 007
Revisi-1/PTK/IX/2009 dalam Bab II tentang Kewenangan dan Pengawasan. Dalam
hal ini Hakim Anggota II telah “mengambilalih” kewenangan penyidik dan
penuntut sekaligus atau menyatakan kebersalahan seorang terdakwa padahal
hal itu tidak didakwakan dalam Surat Dakwaan (ultra petita);
Pemahaman pengertian
melawan hukum Hakim Anggota II jelas keliru karena menggunakan pengertian yang
bukan saja bertentangan dengan asas legalitas, tetapi juga bertentangan dengan
konstitusi. Undang-undang, doktrin, atau yurisprudensi yang bertentangan dengan
konstitusi sebagai the supreme law in the
land menunjukkan adanya perkosaan terhadap hak-hak dasar individu. Selain
itu, pertimbangan Hakim Anggota II tersebut menunjukkan adanya “logika yang
dipaksakan” tentang fakta dan hukum yang menjadi dasar pendapatnya.
Sementara itu, Hakim
Anggota IV (SOFIALDI, SH), memberikan dissenting
opinion terhadap pekara ini dengan menyatakan hal-hal sebagai berikut dalam
halaman 304:
“Menimbang, bahwa terhadap tuntutan di
atas menurut Hakim Anggota IV adalah tidak beralasan karena tidak ada satu
pasalpun dalam Kepmen KLH No. 128 Tahun
2003 yang mengatur tentang pengawasan terhadap pelaksanaan pengolahan tanah
terkontaminasi dari pekerjaannya yang diserahkan kepada pihak
ketiga/kontraktor…”
Pendapat Hakim Anggota IV ini dengan
sendirinya mematahkan dasar dari penentuan perbuatan melawan hukum oleh
Terdakwa WIDODO, yaitu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Kepmen LH N.
128 Tahun 2003. Bagaimaa mungkin seseorang dikatakan melakukan perbuatan
melawan hukum, karena perbuatannya bertentangan dengan Kepmen LH N. 128 Tahun
2003, padahal tidak terdapat satu ketentuanpun yang mengatur berkenaan
pekerjaan atau tugas dan fungsi yang bersangkutan.
Analisis
Putusan No. 85/PID.B/TPK/2012/PN. JKT.PST tanggal 07 Mei 2013
Putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
tanggal 07 Mei 2013 atas nama terdakwa Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, dalam
amarnya memutus sebagai berikut:
- Menyatakan terdakwa Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana KORUPSI SECARA
BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT;
- Menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selam 2 (dua) bulan;
- Menghukum dst
Berdasarkan hal tersebut,
majelis hakim perkara No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 07 mei 2013
tersebut telah memutus “dengan suara terbanyak” Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM melakukan tindak
pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dikatakan “dengan suara terbanyak” karena majelis tidak
berhasil mengambil keputusan dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dari anggota majelis tersebut.
Dalam pertimbangannya,
mayoritas anggota majelis perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST,
berpendapat dalam hlm 192 sebagai berikut:
“Menimbang, berdsarkan argumentasi
hukum di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa disamping hukum formil sebagai
sumber hukum positif maka doktrin dan yurisprudensi juga harus dipandang
sebagai sumber hukum, dengan demikian majelis sependapat dengan pendapat
Majelis Hakim MA RI di atas yang memaknai perbuatan melawan hukum dalam arti
formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya
konsistensi penerapannya dalam perkara tindak pidana korupsi….”
Pandangan majelis hakim perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
yang demikian itu mencerminkan betapa tidak bergunanya mekanisme yang dibangun dalam Konstitusi
yang memberikan hak kepada semua orang untuk menguji keberlakuan suatu norma
dan interpretasinya apabila dihubungkan dengan staats fundamental norm. Selain itu, demokratisasi penegakan hukum
juga telah menjadi sirna, yang membedakan kewenangan pembentuk undang-undang
dan pengadilan yang mengadili pelanggarannya. Menganut paham bahwa melawan
hukum dalam hukum pidana dapat diwujudkan hanya dengan melanggar kepatutan atau
kepantasan membuat hakim dapat menentukan menuliskan suatu norma baru dan
sekaligus menerapkannya.
Dalam
halaman 199 dipertimbangkan majelis hakim
perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa karena Perusahaan
PT. Green Planet tidak mempunyai ijin untuk melakukan pekerjaan bioremediasi
dari KLH sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Kepmen No. 128 Tahun 2003, dengan
demikin perbuatan terdakwa selaku DIrektur PT. GPI melakukan kontrak kerja
dengan PT. CPI untuk melakukan pekerjaan bioremediasi sebagaimana tersebut di
atas adalah suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40
ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun
2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”
Terhadap pertimbangan tersebut Ir. RICKSY
PREMATURI, Dipl., MM dipandang melakukan perbuatan melawan hukum karena hal-hal
sebagai berikut:
- Melakukan kontrak kerja
Bioremediasi dengan PT CPI sekalipun tidak mempunyai ijin untuk melakukan
pekerjaan bioremediasi dari KLH. Padahal dari segi hukum jikalau ijin
tersebut membuat PT. Green Planet Indonesia “tidak cakap” dalam bertindak
dalam suatu kontrak, maka hal itu hanya memiliki konsekuensi secara
keperdataan, berupa batalnya kontrak demi hukum (null en void), yang menjadi dasar bagi BP MIGAS untuk menolak
klaim cost recovery yang
diajukan PT. Chevron Pacific Indonesia.
- Melakukan kontrak kerja
Bioremediasi dengan PT CPI sekalipun tidak mempunyai ijin untuk melakukan
pekerjaan bioremediasi dari KLH tidak dapat dipandang sebagai perbuatan
melawan hukum Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, baik
sebagai pribadi maupun sebagai Direktur PT. Green Planet Indonesia. Apabila
bernar demikian hal itu merupakan perbatan melawan hukum PT. Chevron
Pacific Indonesia telah menyerahkan sebagian tanggungjawabnya memulihkan
keadaan lingkungan yang tercemar akibat kegiatannya kepada pihak yang
“tidak cakap” untuk bertindak untuk dan atas namanya. Dikatakan melawan
hukum karena kontrak Bioremediasi dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak
menuruti perintah peraturan perundang-undangan. Ketiadaan ijin tersebut
dapat menjadi dasar untuk tidak menerima tawaran ataupun proposal kerja
dari PT. Green Planet Indonesia oleh PT. Chevron Pacific Indonesia;
- Perbuatan melawan hukum Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM dipandang
dapat terjadi karena perbuatannya melakukan pekerjaan bioremediasi adalah
suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat
(1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31
tahun 2009 tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal
benar demikian pada dasarnya kontrak bioremediasi antara PT. Chevron
Pacific Indonesia dan PT. Green Planet Indonesia dipandang “tidak memiliki
kausa yang halal” dalam suatu mengadakan suatu kontrak, maka hal itu hanya
memiliki konsekuensi secara keperdataan, berupa batalnya kontrak demi
hukum (null en void), yang
menjadi dasar bagi BP Migas untuk menolak klaim cost recovery yang diajukan PT. Chevron Pacific
Indonesia;
- Perbuatan melawan hukum Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM dipandang
dapat terjadi karena perbuatannya melakukan pekerjaan bioremediasi adalah
suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat
(1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31
tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kalaupun
berakibat pada lapangan hukum publik, hanya menimbulkan dasar untuk
memberi sanksi administratif (jika ada) pada perbuatan demikian atau
sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang
No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Dalam hal cost recovery yang
diajukan PT. Chevron Pacific Indonesia tetapi disetujui BP MIGAS,
sekalipun kontrak bioremediasi yang dilakukannya dengan PT. Green Planet Indonesia
melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59
ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perbuatanmelawan hukum pertama-tama
terjad karena tindakan BP Migas, karen dari sinilah “keuangan negara”
dalam bentuk cost recovery disetujui;
Konstruksi penerapan
pengertian melawan hukum dalam putusan
No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST menempatkan hukum pidana sebagai primum
remedium, dan menempatkan undang-undang tindak pidana korupsi sebagai “multy purposes act” (undang-undang
keranjang sampah), dan bukan sebagai special
purposes act yang menjadi pengelolaan keuangan negara atau perekonomian
negara berjalan pada tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Hakim
Anggota II (Sofiandi, SH) memberikan dissenting
opinion dalam halaman 234 dengan
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan
hukum di atas tidak ada keharusan memperoleh ijin bagi kontraktor yang
melakukan sebagian pekerjaan atas permintaa perusahaan/industry yang telah
memperoleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup…”
Pertimbangan ini
sebenarnya membuat jelas dan terang benderang, bahwa untuk melakukan kontrak
bioremediasi kewajiban memiiki ijin ada pada penanggung jawab usaha yang
kegiatannya menghasilkan limbah, yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh
karena itu, perbuatan Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM sebagai Direktur
PT. Green Planet tidak dapat dipandang
sebagai perbuatan melawan hukum karena perbuatannya tidak bertentangan dengan
Kepmen No. 128 Tahun 2003 ataupun Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No.
18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal
59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, sebagaimana dipertimbangkan oleh mayoritas majelis hakim
lainnya.
[1] Ketiga istilah ini digunakan untuk
menggambarkan substansi perbuatan yang dengan itu ternyata definisi suatu tindak pidana. Bahkan khusus
berkenaan dengan “elemen” (unsur) dan
“bestanddeel” (bagian inti) digunakan
secara ‘terbolak-balik’ oleh para ahli. Seorang ahli hukum pidana menyebut
sesuatu sebagai “elemen”, tetapi hal
yang sama menurut ahli yang lain sebagai “bestanddeel”.
Begitu sebaliknya. Sekalipun demikian, istilah “elemen” atau “elementen”,
yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “unsur” atau “unsur-unsur”,
adalah istilah yang paling popular.
[3]Komarian
E Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum
Materiel Dalam hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan perkembangannya
dalam Yurisprudensi, (Bandung:
Alumni, 2002), 225-226,
[4]Indriyanto Seno Adji, Korupsi
dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara Prof. Dr. Oemar
Seno Adji, 2002), 306.
[6](lihat Drs. P.A.F.
LAMINTANG, S.H., Dasar‑dasar Hukum Pidana
Indonesia, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997).