Oleh: Dr. Chairul Huda, S.H.,
M.H.
Pengantar
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) adalah salah satu undang-undang yang paling sering
diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena KUHAP bersentuhan
langsung dengan kepentingan hakiki setiap individu, seperti antara lain
kodifikasi itu berkaitan dengan kebebasan (freedom)
individu. Pembatasan kebebasan yang ditentukan dalam KUHAP menjadi pangkal
tolak dari upaya konstitusional dari mereka yang merasa haknya dilanggar, untuk
“melawan” penerapan KUHAP terhadap dirinya. Namun demikian, seringnya pengajuan judicial review terhadap KUHAP boleh
jadi karena disana-sini terdadapat perumusan norma yang buruk (bad formulation), yang memicu timbulnya
ketidakpastian hukum (legal uncertainty)
dan perlakuan yang tidak adil (unfair
treatment), ketika hal itu
diimplementasikan dalam kejadian-kejadian konkrit. Padahal maksud semula (original intent) pembentukan KUHAP justru
adalah dalam rangka melindungi hak-hak asasi manusia, sehingga perumusan proses
dan prosedur penegakan hukum yang tidak menjamin kepastian hukum dan tidak menjamin
perlakukan yang adil pada hakekatnya akan berujung pada “kegagalan” negara menjalankan
fungsinya (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia) seperti yang diamanatkan Konstitusi.
Sejak semula seharusnya disadari bahwa KUHAP adalah instrumen
perlindungan masyarakat dari
kesewenang-wenangan aparatur sistem peradilan pidana, termasuk penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum. Jadi hakekat dasar pengaturannya adalah “membatasi”
kekuasaan negara. Namun demikian, ketika
implementasinya tidak mencapai maksud semula, maka masalah sebenarnya bukan hanya pada persoalan
struktural (kendala kelembagaan) dan kultural (kendala pemahaman), tetapi juga
secara substansial (kendala penormaan). Hal ini terlihat dari berbagai kerancuan,
kekeliruan dan ketidakjelasan makna rumusan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP, apabila dibandingkan dengan asas-asas yang
mendasari dan melatarbelakangi pengaturan masalah tersebut. Kenyataan itu telah menimbulkan
masalah-masalah dalam praktek hukum, terutama tidak dapat diterapkannya equal treatment terhadap tersangka dan
terdakwa tindak pidana, padahal kejadian konkritnya kurang lebih sama (similar), yang berujung pada pengabaian
hak segala warga negara secara kolektif untuk tidak diperlakukan secara
diskriminatif dan hak setiap orang secara individual untuk dijamin mendapatkan
perlakuan yang sama dan adil.
Salah satu persoalan mendasar
mengenai hal ini yang terkait dengan penyelengaraan peradilan pidana, berkenaan
dengan peralatan pembuktian yang
digunakan sistem, untuk memastikan adanya perbuatan yang secara faktual
memenuhi isi larangan undang-undang tentang suatu tindak pidana (factual guilt), dan persyaratan secara
yuridis untuk dapat menunjuk seseorang
bertanggungjawab atas hal itu (legal
guilt), yang dikonstruksikan mulai dalam tahap penyidikan sampai dengan
dinyatakan demikian dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Kekeliruan sistem menentukan hal itu, sama
artinya dengan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara terstruktur.
Sistem yang tadinya dirancang untuk melindungi hak asasi, justru berbuah
sebaliknya. Ibarat pepatah sistem yang dirancang KUHAP terkadang seperti “pagar makan tanaman” dalam kerangka hak-hak tersangka/terdakwa.
Pada awal pembentuannya KUHAP
disebut-sebut sebagai “karya agung”, tetapi seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan praktek hukum, semakin terlihat betapa kelemahan sistemik yang
di-design didalamnya membutuhkan
respons yang bukan hanya menjadi tanggung jawab legislator, tetapi juga
diperlukan langkah antisipatif konstitusional. Hal ini sebagai konsekuensi
langsung diabaikannya amanat konstitusi dalam substansi KUHAP. Salah satu
persoalan mengenai hal ini telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 28
April 2015, sebagaimana dimaksud dalam Putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang kemudian
begitu mengguncang praktek hukum, karena terjadi pergeseran makna yang cukup
mendalam berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembuktian pada
tahap penyelidikan dan penyidikan, dan tentunya hal itu berkaitan langsung dengan
perkembangan kewenangan hakim prapreadilan, tempat menguji keabsahan tindakan
aparatur penegak hukum yang demikian itu.
Putusan
MK No. 21/PUU-XII/2014 memuat beberapa pokok
hal kaidah hukum baru, antara lain:
- Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP;
- Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
Dengan amar putusan yang demikian
itu, maka pada dasarnya Mahkamah Konstitusi telah memberikan batasan yang lebih
“strict” tentang kriteria penetapan
tersangka, penangkapan dan penahanan. Selain itu, tentunya putusan Mahkamah
Konstitusi dimaksud telah “menambah” kewenangan hakim praperadilan sehingga
meliputi pula pengujian tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penangkapan dan penahanan.
Pada satu sisi Mahkamah
Konstitusi memperketat persyaratan yang harus dipenuhi penyidik untuk melakukan
penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan,
dengan mengurangi acuan yang
mungkin digunakan oleh penyidik untuk melakukan hal itu, sehingga hal ini hanya
berkorelasi dengan alat bukti yang menjadi acuan bagi hakim menyatakan seseorang
bersalah melakukan tindak pidana. Namun demikian, pada sisi lain Mahkamah
Konstitusi juga menentukan bahwa mekanisme pengendalian terhadap kewenangan
penyidik dalam rangka mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang
tindang pidana yang terjadi dan menemukaan tersangkanya, termasuk dalam
menggunakan kewenangannya melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan
penahanan, tidak sepenuhnya berada
dalam kendali penuntut umum,
tetapi juga kini dalam kendali pengadilan, melalui hakim praperadilan. Oleh karena
itu, perkembangan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 ini perlu disikapi
secara gradual oleh Polri, sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana pada umumnya.
Tentang Makna “bukti”,
“bukti permulaan”, atau “alat bukti”,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21
ayat (1), serta Pasal 184 KUHAP
Pada dasarnya, dengan
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 maka istilah “bukti”, “bukti permulaan”, dan “alat
bukti”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 17 dan
Pasal 21 ayat (1), serta Pasal 184 KUHAP,
secara substansial tidak lagi memiliki perbedaan makna. Perbedaannya tinggal
terletak pada aspek formalitasnya. Maksudnya, perbedaan istilah-istilah tersebut
ditentukan oleh tata cara pemerolehannya dan tentu penggunaanya. Dalam hal
ini, prosedur pemerolehannya
menyebabkan suatu hal menjadi bukti”,
“bukti permulaan”, atau justru sebagai “alat bukti”. Oleh karena itu, dengan
ini Mahkamah ingin menegaskan bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut
tidak dimaksudkan sebagai suatu bentuk
“gradasi” sarana pembuktian, melainkan semata-mata hanya berkenaan dengan
tempat penggunaanya.
Selain itu, istilah
“yang cukup” atau “cukup” yang melekat pada istilah “bukti”, “bukti permulaan”, dan “alat bukti”,
baik yang mendahului atau dibelakangnya, sama sekali tidak berbeda dari segi kuantitasnya satu dengan
yang lain. Kesemuanya harus dimaknai berhubung dengan ketentuan minimal yang
harus ada sebelum suatu keputusan dalam proses penyidikan dilakukan. Dalam hal
ini, hukum menentukan
sekurang-kurangnya terdapat dua “bukti”,
“bukti permulaan”, atau “alat bukti”, untuk dapat dikatakan memenuhi
persyaratan (yang cukup atau cukup). Dalam hal ini untuk menetapkan seseorang
sebagai tersangka atau melakukan penahanan harus didasarkan pada minimal dua
bukti untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”),
sedangkan untuk melakukan penangkapan harus didasarkan minimal dua bukti
permulaan untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”).
Keharusan adanya minimal dua bukti atau bukti permulaan itu, sebangun kriteria
yang digunakan oleh hakim untuk menyatakan seseorang melakukan tindak pidana
dan bersalah oleh karenanya, yaitu dengan minimal dua alat bukti untuk dapat
dikatakan memenuhi persyaratan (“yang cukup” atau “cukup”).
Pengetatan kriteria
itu, dimaksudkan MK untuk menjamin proses
dan prosedur yang ditentukan dalam Hukum Pidana formiel (Hukum Acara Pidana) benar-benar
mengacu pada asas legalitas (principle of
legality), yang termaktub dalam Pasal 3 KUHAP (peradilan dilakukan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini), sehingga Hukum Acara Pidana juga memiliki sifat lex scripta, lex stricta,
lex certa, sebagai komponen dasar
dari asas legalitas. Dalam hal ini tekanan pengaturan Hukum Acara Pidana ada menyebabkan
setiap proses (pengurangan hak individu) dan prosedur (perlindungan hak
individu) yang dijalankan oleh aparatur
peradilan pidana berlangsung secara lebih “ketat”.
Hal ini membawa
konsekuensi bahwa pengaturan terkait dengan definisi yang sifatnya operasional yang
selama ini ada dan menjadi acuan, tidak lagi dapat dijadikan rujukan, seperti: Keputusan Bersama Mahkamah
Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No.
M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984
tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan
Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan
Tindak Pidana jo Peraturan Kapolri
Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara
Pidana.
Putusan MK di atas, juga dimaksudkan untuk mengakhiri
kesimpangsiuran dan inkonsistensi penggunaan istilah-istilah dimaksud dalam
KUHAP. Ketika Pasal 1 angka 14 KUHAP tersangka didefiniskan dengan menggunakan istilah
“bukti
permulaan” sebagai dasar untuk menyatakan seseorang patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana”,
yang tentunya sepintas lalu penggunaan istilah yang demikian itu tidak sejalan
dengan definisi penyidikan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 2, yaitu
pencarian dan pengumpulan “bukti” yang dengannya “membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”, maka dengan Putusan MK No.
21/PUU-XII/2014 ketidakakuratan penggunaan istilah-istiilah dimaksud tidak lagi
perlu dipersoalkan. Kesemuanya istilah-istilah tersebut sebenarnyan bisa
diartikan sama (evidence), sehingga
membedakan antara bukti dan bukti permulaan, atau bahkan dengan alat bukti tidak
lagi bernilai.
Begitu pula inkonsistensi
penggunaan istilah ketika mengatur kewenangan penyidik melakukan penangkapan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP, yang hanya dapat dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang
cukup”, sementara perintah penahanan yang merupakan
kelanjutannya dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti
yang cukup”, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, karena
adanya kekhawatiran yang bersangkutan akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidananya, seharusnya kini tidak
lagi berbeda secara prinsipiel maknanya. Keduanya kini dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
harus dipersamakan.
Pemaknaan yang sama
atas istilah-istilah yang beragam itu, dimaksudkan agar fungsi negara hukum
dapat dilaksanakan, yaitu kemampuan negara melalui pembentuk undang-undang
untuk membuat atau memaknainya lewat putusan mahkamah, sehingga dapat
dilaksanakan secara netral (neutrality),
seragam (uniformity), dan dapat
diprediksiakan (predictability).
Keputusan penyidik
melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, sekarang ini dengan
adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, menjadi “linear” dengan pengambilan
keputusan oleh hakim, melalui putusannya yang menyatakan suatu tindak pidana telah terbukti dan terdakwa
bersalah oleh karenanya. Dalam hal ini,
penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurang
pada:
- Adanya Keterangan Saksi dan Surat;
- Adanya Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli;
- Adanya Surat dan Keterangan Ahli.
Dalam hal ini, bukti
atau bukti permulaan atau alat bukti tersebut untuk dapat digunakan dalam
penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, harus diperoleh “dalam hal dan
menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang. Bahan keterangan dari seorang
saksi yang diperoleh dalam tahap penyelidikan “harus diambil kembali” dalam
rangka penyidikan. Dengan demikian, Berita Acara Klarifikasi yang dibuat dalam
penyelidikan harus diubah dalam format pro justisia berbentuk Berita Acara
Pemeriksaan dari saksi tersebut. Demikian
pula pendapat ahli yang diperoleh dalam tahap penyelidikan, dimuat lagi
substansinya dalam Berita Acara Pemeriksaan dari seorang Ahli. Baik Keterangan
Saksi maupun Keterangan (pendapat Ahli) yang diperoleh dari perkara lain, yang
berkaitan (spliitzing), sekalipun
sudah dimuat dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, harus
diambil ulang untuk kepentingan pemeriksaan dalam penyidikan perkara tersebut.
Begitu pula halnya
dengan bukti, bukti permulaan atau alat bukti surat, yang merupakan barang
bukti, harus diperoleh secara resmi,
melalui penyitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerolehan surat sebagai
barang bukti yang tidak melalui proses yang demikian itu hanya berfungsi
sebagai bahan bukti dalam penyelidikan, dan tidak menjadi bukti, bukti
permulaan atau alat bukti dalam penyidikan.
Lain halnya dengan surat-surat yang dikeluarkan instansi yang
berwenangan yang memang dimintakan oleh penyidikan untuk membuat terang suatu
perkara pidana yang sedang disidik, seperti
visum et repertum atau misalnya surat keterangan tentang tanah yang menjadi
objek perkara dari Badan Pertanahan Nasional, dapat langsung menjadi bukti,
bukti permulaan atau alat bukti tanpa melalui penyitaan.
Sementara itu Barang
Bukti (material evidence) yang semula
dapat menjadi “bukti” atau “bukti permulaan”, untuk penetapan tersangka,
penangkapan dan penahanan, dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 harus
diubah bentuknya menjadi Surat atau Keterangan Ahli. Barang bukti tidak lagi
dapat dipandang “bukti” atau “bukti permulan” secara langsung, mengingat dalam
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, konstitusionalitas bersyarat dari pasal-pasal
yang diujikan sepanjang dimaknai dengan susunan alat bukti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 184 KUHAP. Sementara alat bukti “petunjuk” dan “keterangan
terdakwa” hanya menjadi domain hakim ataupun baru ada dalam pemeriksaan di muka
sidang pengadilan, sehingga tertutup kemungkinannya untuk digunakan di
penyidikan.
Berdasarkan
hal itu pula, keterangan tersangka atau calon tersangka (keterangan terlapor
atau keterangan tersangka yang untuk sementara diperiksa sebagai saksi) sama
sekali tidak menjadi bukti, bukti
permulaan atau alat bukti. Dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 disyaratkan
pemeriksaan calon tersangka hanya menjadi persyaratan tambahan bagi keabsahan
penetapan tersangka. Pemeriksanaan tersangka hanya menjadi syarat kelengkapan
berkas perkara dan tentunya dalam rangka pemenuhan hak tersangka untuk didengar
perkara yang dipersangkakan terhadapnya menurut versinya. Dengan kata lain,
pemeriksaan calon tersangka (keterangan terlapor, atau keterangan terlapor atau
tersangka yang sementara diperiksa sebagai saksi) atau keterangan tersangka
tidak dapat dijadikan tumpuan pembuktian, karena sebenarnya tidak mempunyai
nilai pembuktian untuk membuktikan kebersalahan tersangka atas tindak pidana
yang dipersangkakan terhadapnya.
Hal ini merupakan
pengejawantahan asas non self
incrimination, yang berlaku secara universal, yang diadakan guna terwujudkanya
due process, pada satu sisi dan fair
procedure pada sisi yang lain. Dalam
penyidikan hal ini berarti, seseorang
tidak boleh dikatakan telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana hanya
karena keterangannya sendiri sebagai seorang tersangka.
Tentang Relevansi bukti atau bukti permulaan dengan tindak pidana yang
dipersangkakan, keadaan dimana seseorang diduga keras melakukan tindak pidana
Asas Praduga Tak
Bersalah (presumption of innocence) menempatkan
pembentukan Hukum Acara Pidana harus didedikasikan
untuk “mengambil jarak sejauh mungkin
dengan anggapan bahwa seseorang telah bersalah”, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, yang memuncak melalui penerapan proses dan prosedur di pengadilan. Dengan cara demikian itulah perlakuan terhadap
tersangka/terdakwa tentang dugaan
kebersalahannya atas suatu tindak pidana berada dalam “tataran yang wajar”.
Hukum Acara Pidana
harus dapat mencegah dan menghalangi pelaksanaan sistem peradilan yang dapat
dilandasi pada selera penegak hukum, “like
or dislike” ataupun “praktek wani
piro”, ataupun “unfair and partial
trial”. Dalam hal ini dengan sejumlah pengaturannya praktek peradilan harus
dilaksanakan secara “equal”, “proportional and professional”, sehingga tercipta “fair and impartial trial” perlakuan. Oleh karena itu, dalam
tataran penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan hanya dapat
dilakukan jika secara substansial hasil
penyidikan menunjukkan adanya korelasi antara bukti dan bukti permulaan
yang ada dengan tindak pidana yang dipersangkakan atau keadaan dimana seseorang
diduga keras melakukan tindak pidana.
Dalam hal ini perlu
diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Agustus 2011 No.
65/PUU-VIII/2010, yang telah memperluas pengertian saksi dan keterangan saksi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116
ayat (3) dan ayat (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Putusan tersebut menyebabkan
pengertian saksi tidak terbatas pada
orang yang memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pengadilan, tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian, arti penting dari kesaksian
bukan lagi terletak pada kenyataan bahwa seseorang dalam hal dan menurut cara
yang ditentukan dalam undang-undang telah memberikan penjelasan tentang
peristiwa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, melainkan terletak pada
“relevansi” antara kesaksiannya dengan perkara yang sedang diproses.
Kontruksi tentang
relevansi antara keterangan saksi dengan perkara yang sedang diproses dalam
penyidikan, berlaku juga untuk bukti, bukti permulaan atau alat bukti lain.
Artinya, tidak sekedar terdapat surat yang telah disita yang diperlukan untuk
membuktikan tentang suatu sangkaan tindak pidana sehingga seseorang diduga
keras melakukannya, tetapi juga secara substansial terdapat korelasi dengan
unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Demikian pula halnya, keterangan ahli
yang bukan semata-mata menyimpulkan tentang terjadinya suatu perbuatan atau
adanya suatu keadaan, tetapi perbuatan dan keadaan itu berkorelasi dengan unsur
atau unsur-unsur tertentu dari suatu tindak pidana.
Berdasarkan hal itu,
relevansi keterangan saksi dengan unsur-unsur tindak pidana yang sedang
dilakukan penyidikan menjadi sangat penting. Keterangan saksi bukan hanya
membuktikan seseorang melakukan tindak pidana atau tidak, tetapi lebih jauh
lagi apakah peristiwa yang dipersangkakan padanya tersebut benar-benar terjadi
atau tidak. Oleh karena itu, keterangan saksi-saksi yang dihimpun penyidik,
dipersyaratkan harus memiliki kesesuaian satu sama lain untuk dapat dipandang
sebagai satu alat bukti. Tambahan lagi untuk dapat dipandang telah memiliki
nilai pembuktian, keterangan saksi-saksi tersebut itu harus berkesesuaian
dengan alat bukti lain.
Ketika keseluruhan
bukti, bukti permulaan atau alat bukti tersebut telah cukup dari segi kuantitas
dan kualitas, maka masih perlu dilakukan cross
examination dengan keterangan calon tersangka, keterangan tersangka ataupun
keterangan saksi a de charge atau
ahli yang diajukan tersangka. Beberapa
keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri, tidak mempunyai nilai pembuktian
jika bertolak belakang dengan keterangan calon tersangka, keterangan tersangka
ataupun keterangan saksi a de charge
atau ahli yang diajukan tersangka. Oleh karena itu, kesesuaian diantara alat
bukti itu menjadi kata kuncinya, dan seperti diperintahkan Putusan Mahkamah
Konstitusi tanggal 8 Agustus 2011 No. 65/PUU-VIII/2010, penyidik tidak
mempunyai kewenangan menilai relevansi keterangan keterangan calon tersangka,
keterangan tersangka ataupun keterangan saksi a de charge atau ahli yang diajukan tersangka dengan dugaan tindak
pidana yang perkaranya sedang diproses, kecuali keterangan-keterangan itu telah
diperoleh penyidik melalui proses pemeriksaan.
Pada dasarnya proses
penyidikan, yang sebagian tujuan akhirnya “menemukan tersangkanya”, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, tidak boleh dimaknai imperatif. Artinya,
tidak tepat jika hal itu dipandang mengandung makna bahwa seolah-olah
penyidikan harus sampai dengan adanya penetapan seseorang sebagai tersangka.
Dengan kata lain, setelah adanya surat perintah penyidikan (sprindik), penyidik
harus dapat menemukan tersangka. Ketentuan ini berhadap-hadapan dengan
ketentuan lain bahwa penyidik dapat menghentikan penyidikan, jika berdasarkan
bukti yang telah ditemukan dan dikumpulkannya, peristiwa yang terjadi ternyata
bukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Bagaimana mungkin penyidikan “harus” menemukan “tersangka”, yang tercermin dari
istilah “dan” yang bermakna kumulatif yang terhubung dengan pekerjaan “mencari
dan menemukan bukti”, jika kemudian suatu penyidikan dapat dihentikan karena
“bukan tindak pidana”. Bagaimana mungkin jika seseorang ditetapkan sebagai
tersangka karena berdasarkan bukti permulaan yang bersangkutan diduga keras
melakukan tidak pidana, lalu penghentian penyidikan dapat dilakukan karena
tidak cukup bukti sebagai tindak pidana.
Konstruksi di atas dapat menyebabkan timbulnya
perlakuan yang diskriminatif pada individu yang tersangkut hukum. Ada yang
menjadi tersangka karena dilaporkan sebagai orang yang disangka melakukan tindak
pidana, ada pula yang menjadi tersangka karena ditetapkan sebagai tersangka
oleh penyidik berdasarkan bukti yang cukup, dan ada pula yang harus ditetapkan
sebagai tersangka untuk dapat dihentikan penyidikannya, karena pemberitahuan
penghentian penyidikan hanya diberikan kepada seseorang yang berstatus
tersangka, serta ada yang menjadi tersangka karena dialah orang yang harus
ditemukan sebagai pelaku tindak pidana.
Penutup
Uraian di atas menggambarkan betapa kini penyidik dituntut lebih
professional dan lebih berhati-hati
dalam melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, karena begitu “ketatnya”
persyaratan untuk dapat dikatakan telah ada keadaan adanya bukti, bukti
permulaan atau alat bukti yang cukup lagi sah. Persyaratan ini seyogianya juga
tidak membuat proses penegakan hukum menjadi “lambat”, karena tuntutan profesionalitas
dan kehati-hatian tidak menghilangkan keharusan adanya speed trial, sesuai dengan
asas penyelenggaran peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
Wallahualam