KETERANGAN AHLI
Tentang Konstitusionalitas Pasal 15 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik
Indonesia Tahun 1945
oleh:
Dr. Chairul
Huda, S.H., M.H.
(Ahli Hukum
Pidana)
Yang Mulia,
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin yang berbahagia.
Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana
mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam
persidangan pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 15 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi yang diuji
konstitusionalitasnya, merupakan norma Hukum Pidana, sehingga termasuk bidang
keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan
utamanya saja, yaitu “masalah
permufakatan jahat”, sekalipun disana sini mengkaitkannya dengan masalah
lain yang juga diatur didalam pasal yang diuji ini, yaitu percobaan dan pembantuan.
Dalam hal ini penjelasan dibagi kedalam dua bagian keterangan, yaitu: pertama
persoalan kedudukan norma “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 dikaitkan dengan sistem perundang-undangan pidana, dan yang kedua,
tentang makna norma “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 itu sendiri.
Kedudukan norma “permufakatan jahat” dalam sistem
perundang-undangan pidana
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 15
“Setiap
orang yang melakukan percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dalam tindak
pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal
5 sampai dengan Pasal 14”
Dilihat
dari substansinya pasal ini merupakan bentuk kriminalisasi tidak sempurna (uncomplete criminalization), karena
hanya memuat sanksi pidana yang dapat dijatuhkan (strafmaat dan strafsoort), itupun dengan merujuk sanksi pidana
yang ada di rumusan tindak pidana lainnya (Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai
dengan Pasal 14), tanpa memberikan rumusan unsur-unsur perbuatan yang
dilarangnya (strafbaar). Dalam hal
ini Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 melarang dan mengancam dengan
pidana perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
1)
Percobaan tindak pidana korupsi;
2)
Pembantuan tindak pidana korupsi, dan;
3)
Permufakatan Jahat tindak pidana korupsi.
Tidak ada unsur
(strafelemen), uraian cara melakukan (strafmodus) atau penjelasan lebih
lanjut mengenai maknanya, tentang apakah yang dimaksud perbuatan-perbuatan atau
istilah-istilah tersebut, dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999, ataupun
undang-undang tentang tindak pidana korupsi lainnya, seperti: Undang-Undang No.
20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption sebagai Undang-Undang dan lain
sebagainya. Seolah-olah telah jelaslah unsur-unsur dan maknanya dari perbuatan-perbuatan
atau istilah-istilah tersebut. Padahal suatu rumusan tindak pidana bukan hanya
harus secara tertulis (lex scripta),
tetapi juga tegas batas-batasnya (lex
stricta), dan tentunya jelas maksudnya hingga tidak dapat ditafsirkan lain (lex certa), karena dengannya hak-hak
konstitusional seseorang sedang dikurangi.
Memang, dilihat dari segi Ilmu Hukum
Pidana, istilah percobaan (poging), pembantuan (medeplightige)
dan permufakatan jahat (samenspanning) merupakan istilah-istilah
yang tidak asing lagi. Ketiganya merupakan konsep tentang perluasan berlakunya ketentuan undang-undang tentang suatu tindak
pidana (tatbestandausdehnungsgrud), dengan
cara menduplikasikannya. Suatu rumusan tindak pidana, dikaitkan dengan konsep
tersebut, menjadi suatu tindak pidana tersendiri. Namun demikian, ketika
menjadi suatu rumusan delik, jelas secara keilmuan (by science), belum
tentu jelas
secara perundang-undangan (by law).
KUHP
memang telah merumuskan unsur-unsur percobaan (Pasal 53 KUHP),
pembantuan (Pasal 56 KUHP) dan permufakatan jahat (Pasal 88 KUHP). Namun
demikian, “kedudukan” yang berbeda antara pasal-pasal tersebut terhadap ketentuan pidana
diluar KUHP, termasuk yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
berbeda satu sama lain, khususnya berbeda antara ketentuan pidana tentang percobaan/pembantuan,
dengan permufakatan jahat. Ketentuan tentang percobaan (Pasal 53 KUHP) dan
pembantuan (Pasal 56 KUHP) dapat digunakan bagi ketentuan pidana lainnya di
luar KUHP. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP, yang menentukan sebagai
berikut:
“Ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh peraturan
perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang-undang itu ditentukan lain.”
Dalam hal
ini, Pasal 53 yang didalamnya mengatur tentang unsur-unsur percobaan melakukan
kejahatan berada dalam Bab IV tentang
Percobaan, sedangkan Pasal 56 KUHP yang didalamnya mengatur tentang
unsur-unsur pembantuaan melakukan kejahatan, berada dalam Bab V Penyertaan Dalam Delik. Dengan demikian secara sistematis,
ketentuan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP tentang percobaan, dan pembantuan
merupakan unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam KUHP tetapi juga
berlaku bagi tindak pidana di luar KUHP,
jika undang-undang itu menggunakan istilah-istilah tersebut atau menentukan
perbuatan percobaan atau pembantuan tindak pidana itu juga turut dipidana. Dalam konteks permohonan dalam perkara ini,
maka secara sistememik, makna istilah “percobaan” dan “pembantuan” dalam Pasal
15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah identik dengan Pasal 53 dan Pasal 56
KUHP, karena Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menentukan definisinya sendiri,
sehingga berlaku ketentuan Pasal 103 KUHP.
Berbeda halnya dengan istilah
“permufakatan jahat”, yang didalam KUHP dirumuskan pengertiannya dalam Buku
Kesatu, Bab IX Tentang Arti Beberapa
Istilah Yang Dipakai Dalam Kitab Undang-Undang, Pasal 88 KUHP. Ketentuan ini tidak dapat dipakai dalam
perundang-undangan pidana atau perundang-undangan lainnya di luar KUHP, karena permufakatan jahat tidak masuk dalam Pasal 103 KUHP (hanya Bab I s/d Bab VIII Buku Kesatu KUHP), dan terdapat Bab IX Buku Kesatu KUHP. Artinya, dalam
konteks perkara ini, istilah “permufakan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tidak dapat mengacu pada Pasal 88 KUHP, kecuali ditegaskan
oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 itu
sendiri.
Mengingat Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tidak memberi rumusan unsur (strafelemen),
uraian cara melakukan (strafmodus)
atau penjelasan lebih lanjut mengenai makna perbuatan atau istilah
“permufakatan jahat”, dan juga tidak merujuk ketentuan Pasal 88 KUHP, sehingga
memperluas bekerjanya Pasal 103 KUHP, maka norma “permufakatan jahat” dapat dipandang
sebagai norma yang samar pengertiannya
(vaagennorm), yang bertentangan dengan Konstitusi karena tidak menjamin
“kepastian hukum”. Tampaknya ini merupakan “kelalaian” pembentuk undang-undang
yang potensial akan merugikan konstitusonal warga negara dan siapapun yang
menjadi subjek tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pada dasarnya “permufakatan jahat” adalah nama dan bukan perbuatan itu sendiri. Hal ini menyebabkan, makna “permufakatan jahat”
tidak boleh hanya didasarkan pada penafsiran, melainkan harus dirumuskan dalam
undang-undang dalam bentuk penguraian unsur-unsurnya. Mengingat pembentuk
undang-undang tindak pidana korupsi tidak memberi unsur-unsur tersebut, baik
dirumuskan sendiri maupun merujuk pada ketentuan yang ada, maka hal ini memberi
peluang untuk dilakukan pemaknaan atas hal itu dengan cara apapun juga, yang karenanya
dapat dipandang mengabaikan persyaratan lex
scripta, lex stricta dan lex certa.
Seperti misalnya mereka yang memaknai permufakatan jahat cukup hanya jika telah
ada “meeting
of minds” bukan perbuatan, yang pada dasarnya bukan konsep yang berasal dari Hukum Pidana
Indonesia, dan juga umumnya civil law
system. Meeting
of minds adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan adanya mens
rea (guilty mind) dalam kejahatan
conspiracy, yang terdapat dalam common
law system. Meeting of minds
adalah persesuaian kehendak atau persamaan niat diantara orang-orang yang akan
mengadakan conspiracy. Dengan
demikian, meeting of minds bukan
“perbuatan”, tetapi merupakan “sikap batin” ketika melakukan perbuatan. Oleh
karena itu, merupakan kekeliruan yang mendasar apabila memandang dapat
dipidananya permufakatan jahat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 88 KUHP, semata-mata dengan telah adanya meeting of minds terhadap perbuatan tersebut. Permufakan jahat
adalah perbuatan (actus reus), yang
untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana membutuhkan kesalahan (mes rea), sesuai dengan asas geen straf zonder schuld atau no liability without fault (tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Dengan demikian, permufakatan jahat
tidak sama dengan meeting of minds,
yang notabene merupakan unsur
kesalahan (mens rea) dalam
permufakatan jahat itu sendiri. Apabila permufakatan jahat dipersamakan dengan meeting of minds maka sama artinya
memidana “kehendak”, “niat” atau ”mens rea” semata. Suatu konstruksi
penafsiran terhadap “permufakatan jahat” yang sangat berbahaya, yang dapat
menyebabkan hak-hak konstitusional seseorang dirampas hanya karena ada “su’udzon” belaka berbentuk “meeting of minds” itu. Oleh karena itu,
sedikit berbeda dengan Pemohon dalam permohonan ini, menurut pendapat saya
sebagai Ahli Hukum Pidana, frasa
“permufakatan jahat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Hadirin
yang saya hormati
Makna norma “permufakatan jahat”
Dalam Hukum Pidana, dikatakan telah ada
permufakatan jahat apabila “dua
orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 KUHP. Dengan demikian, permufakatan jahat tidak dapat berdiri sendiri, melainkan bagian dari persiapan melakukan penyertaan tindak pidana,
yaitu membuat kesepakatan diantara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana
tertentu. Selain itu, tidak semua permufakatan merupakan tindak pidana,
tetapi hanya kesepakatan akan melakukan tindak
pidana-tindak pidana tertentu yang ditentukan secara tegas dalam undang-undang. Dengan kata lain,
tidak merupakan permufakatan jahat yang dapat dipidana, jika yang disepakati
akan dilakukan adalah kejahatan-kejahatan yang tidak dinyatakan oleh
undang-undang, bahwa permufakatan jahatnya juga dipidana.
Perbuatan permufakatan jahat tidak disiapkan dapat dipidana untuk semua
tindak pidana. Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud dalam “permufakatan jahat”
tidak diatur dalam Bab I s/d Bab VIII Buku Kesatu KUHP hanya untuk delik-delik yang tidak memerlukan
kualitas, yang berdasarkan Pasal 103 KUHP juga berlaku bagi
tindak pidana diluar KUHP. Permufakatan jahat hanya ditujukan terhadap
Kejahatan terhadap Keamanan Negara, antara lain : sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP, yang hal ini
ditentukan secara khusus dalam Pasal 110 KUHP. Hal ini merupakan isyarat
pembentuk WvS bahwa hanya kejahatan-kejahatan yang sangat-sangat serius dan
mengancam eksistensi negara saja yang bisa dipidana dengan ketentuan ini.
Perkembangan perundang-undangan pasca kemerdekaan, ternyata juga
mengkriminalisasi beberapa tindak pidana di luar KUHP, seperti misalnya tindak
pidana korupsi, sehingga dapat dipidana sekalipun baru berupa permufakatan
jahat, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Namun seperti telah saya jelaskan dalam bagian pertama penjelasan di atas, secara sistemik ketentuan
Pasal 88 KUHP tidak dapat dirujuk sebagai perumusan unsur-unsur permufakatan
jahat, karena tidak diamanatkan Pasal 103 KUHP. Meskipun demikian, kalaulah
konstruksi di atas dipandang “terlalu keras”, masalahnya kemudian memusat pada
persoalan, apakah pengertian permufakatakan jahat dalam Pasal 88 KUHP secara
substansial memang dapat dipandang memadai untuk diterapkan dalam delik-delik
korupsi, sebagaimna dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Pada dasarnya pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP hanya
ditujukan bagi delik-delik yang tidak memerlukan kualitas tertentu untuk
melakukannya, seperti Pasal 104, 106,
107 dan 108 KUHP. Pasal-pasal pidana lainnya yang dialamatkan terhadap orang
dengan kualitas khusus, seperti pegawai negeri, anggota tentara, dokter,
nahkoda, seorang ibu dan lain sebagainya sama sekali tidak ada yang ditetapkan
dapat dipidana karena permufakatan jahatnya. Berbeda dengan tindak pidana
korupsi, yang dapat dilakukan oleh orang pada umumnya, seperti dalam Pasal 2,
Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tetapi berkenaan dengan
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 sampai dengan Pasal 12
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, merupakan
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan kualitas khusus (kwaliteisdelicts).
Berdasarkan hal di atas, ketika permufakatan jahat
menurut versi Pasal 88 KUHP digunakan pula bagi tindak pidana korupsi, yang
hanya dapat dilakukan oleh orang dengan kualitas khusus (kwaliteisdelicts), maka “dua
orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan” tersebut, harus
diartikan hanya dapat diterapkan bagi
“perbuatan orang-orang dengan kualitas yang sama”. Oleh karena itu, terlepas
dari konstruksi dalam bagian pertama pendapat saya di atas, setidak-tidaknya ketentuan
Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 88 KUHP dinyatakaan konstitusional bersyarat, apabila frasa
“permufakatan jahat” diartikan “dua orang atau lebih dengan kualitas yang
sama telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Hal ini sepertinya sejalan
dengan yang mohonkan oleh Pemohon dalam perkara ini.
Pada sisi lain, perlu juga dipahami bahwa Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 merupakan tindak pidana korupsi yang berasal dari tindak pidana-tindak
pidana dalam KUHP, antara lain: Pasal 209, Pasal 210, Pasal 388, Pasal 415,
Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, ataupun Pasal 435 KUHP. Namun demikian,
tidak satupun pasal-pasal tersebut yang ditegaskan dalam KUHP juga dapat
dilakukan sekalipun dalam fase “permufakatan jahat”. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya pula
jika Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
menyatakan bahwa Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 KUHP. Hal ini merupakan bentuk overcriminalization yang telah dilakukan
pembentuk undang-undang, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang hendak dilindungi oleh Konstitusi. Dengan demikian, kembali berbeda dengan
konstruksi yang dimohonkan dalam permohonan ini, maka pada dasarnya Mahkamah
Konstitusi dapat memutuskan bahwa frase
“Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
bertentangan dengan undang-undang dasar dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
mengikat sebagai hukum.
Sementara itu, perlu diingat bahwa permufakatan
jahat terhadap tindak pidana korupsi, frasa “Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14” yang ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999, seharusnya selain berkedudukan sebagai penentuan sanksi pidana (strafmaat dan strafsoort) bagi permufakatan jahat tindak pidana korupsi, tetapi juga
menjadi delik inti (berstanddeelen
delicts) dari tindak pidana permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi
tersebut itu sendiri. Pasal 5 sampai dengan Pasal 14
merupakan delik kualitatif karenanya tidak dapat dijatuhkan delik permufaktan
jahat. Oleh karena itu, dalam menerapkan ketentuan Pasal
15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mutlak
harus ditentukan tindak pidana korupsi yang mana yang “disepakati oleh dua
orang atau lebih akan dilakukan”. Bukan adanya kesepakatan saja yang
penting diantara orang-orang itu, tetapi kesepakatan untuk melakukan suatu
tindak pidana korupsi tertentu, yaitu tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 199 jo
Undang-Undang No 20 Tahun 2001, jika frasa “Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”
dinyatakan inkonstitusional.
Berdasarkan uraian di atas, memidana permufakatan
jahat dalam tindak pidana korupsi, hanya apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a.
Komponen Perbuatan (actus reus), yaitu:
(1)
Adanya kesepakatan dua orang
atau lebih, atau kesepakatan dua orang atau lebih dengan kualitas yang sama;
(2)
Adanya perbuatan dari
orang-orang yang bersepakat itu yang tertuju pada suatu unsur atau unsur-unsur
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, baik suatu tujuan yang melawan hukum ataupun
suatu tujuan yang sah tetapi dilakukan dengan cara yang melawan hukum;
b.
Komponen Kesalahan (mens rea),
yaitu:
(1)
Terdapat “persesuaian kehendak”,
“kesamaan niat” atau “meeting of minds” diantara
dua orang atau lebih tersebut yang tertuju pada sasaran yang dilarang;
(2)
Adanya dampak terhadap kepentingan hukum
tertentu yang dituju dari sasaran perbuatan yang disepakati dua orang atau
lebih tersebut;
Demikian
pendapat saya. Wallaualam.