Oleh:
Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH.
Persoalan penilaian tentang kesalahan
dalam Hukum Pidana, telah memasuki fase keempat. Fase ini diwarnai oleh
pertayaan-pertayaan bagaimana mengimplementasikan ajaran tentang kesalahan
dalam putusan hakim. Tentunya sebelum itu bagaimana mempertimbangkannya dalam
acara pidana. Dibawah ini akan saya kemukakan dialog saya, dengan seorang hakim
(Yang Mulia Wahyu Sudrajat, SH) yang sedang menulis tesis.
Pertanyaan-pertayaannya, sangat mendalam, khas seorang hakim, tetapi sangat
teoretik dan belakangan menjadi filosofis.
Untuk mendapatkan kesan dialog
yang sempurna, saya sengaja menampilkan pertanyaan yang bersangkutan dan
jawaban saya tanpa saya tambah dan kurangi sedikitpun, keculai perbaikan
pengetikan dan sedikit penambahan kata penghubung untuk menghindari kekeliruan
pemahaman. Semoga bermanfaat.
########PERTANYAAN################JAWABAN######################
1. Pada
hakikatnya baik putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum
sama-sama merupakan putusan bukan pemidanaan. Apakah perbedaan mendasar dari
kedua putusan tersebut yang menyebabkan keduanya harus diatur secara sendiri-sendiri?
-----1.
Perbedaan mendasar antara putusan lepas dan putusan bebas adalah sebagai berikut:
a. Putusan bebas merupakan kesimpulan Hakim atas
penilaian fakta-fakta yang terungkap di sidang pengadilan, sedangkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya merupakan masalah penilaian
hukumnya. Jadi putusan bebas masalah fakta sedangkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum merupakan masalah hukum;
b. Sebagai masalah fakta maka seharusnya putusan bebas
tidak dapat di Kasasi, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
karena berkenaan dengan penerapan hukum, maka dapat di Kasasi. Kekacauan
terjadi ketika diperkenalkan putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni,
yang mencampuradukkan dua persoalan ini;
c. Persoalan pokok yang selama ini terjadi dalam praktek
hukum adalah rumusan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP yang “multi tafsir”, yang
menyebabkan penggunaannya bealih-alih.
Dalam pandangan saya putusan bebas ketika terdakwa tidak terbukti melakukan tindak
pidana, sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum ketika terdakwa
sekalipun dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat
dipersalahkan (dimintai pertanggungjawaban pidana) atas hal itu;
d. Putusan bebas lebih terutama menggambarkan hasil “pertarungan” antara Penuntut Umum dan
Terdakwa/Penasihat Hukum, sedangkan putusan lepas dari dari segala tututan
hukum, didominasi oleh peran hakim untuk melihat pertanggungjawaban (kesalahan)
terdakwa karena perbuatannya. Jadi soal-soal yang berhubungan dengan
pertanggungjawaban pidana, diajukan sebagai dasar pembelaan ataupun tidak tetap
membuat hakim berkewajiban mendalami dan mempertimbangkannya;
2. Apakah
alasan yang menyebabkan pasal 244 KUHAP sebelum frasa “kecuali terhadap putusan
bebas” dibatalkan oleh MK melarang dilakukan upaya kasasi terhadap putusan
bebas tetapi tidak memberikan larangan itu terhadap putusan lepas dari segala
tuntutan hukum?
--------2.
Pertanyaan ini terjawab sebenarnya dari jawaban saya atas pertanyaan no. 1. Putusan
bebas merupakan masalah fakta, yang menjadi kewenagan pengadilan tingkat
pertama dan tingkat banding (sistem peradilan dua instansi), dan tidak menjadi
kewenangan MA, yang kewenangannya hanya masalah penerapan hukum di tingkat
kasasi. Pada dasarnya hakim Kasasi tidak pernah menilai bukti-bukti secara
langsung, yang berbeda dengan hakim tingkat pertama (dan hakim banding,
sekalipun prakteknya hampir tidak ditemukan hakim banding memeriksa kembali
saksi-saksi atau alat bukti lain secara langsung);
3. Pada
buku Bapak dengan judul “dari tiada
pidana tanpa kesalahan menuju...dst”tepatnya halaman 53. Bapak menyarankan
seharusnya bunyi putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah “apabila
terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka
diputus lepas dari segala tuntutan hukum” artinya ada tidaknya kesalahan
menjadi ukuran. Tetapi saat ini bunyi ketentuan putusan bebas sebagaimana
diatur pada pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan “apabila pengadilan berpendapat
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti maka terdakwa
diputus bebas” artinya kesalahan juga tolak ukur atas putusan bebas menurut
pasal tersebut. Atas hal tersebut bagaimana seharusnya ketentuan putusan bebas
itu menurut Bapak?
---------3.
Seperti telah saya jelaskan, seharusnya putusan bebas dijatuhkan ketika
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Namun perlu diingat, tindak
pidana disini adalah tindak pidana dalam pandangan monistis, yang berisi perbuatan yang dilarang
semata. Jadi orang dibebaskan bukan karena dirinya tidak bersalah, tetapi
karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya tidak terbukti. Sebaliknya orang
dinyatakan tidak bersalah, ketika tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban
(pada manusia terdiri dari mampu bertanggung jawab, sengaja atau alpa dan tidak
ada alasan pemaaf). Mengenai hal ini merupakan penilaian atas keadaan batin
terdakwa dan hubungan keadaan batinnya dengan perbuatannya. Disini lebih banyak
penilaian yuridis apakah yang bersangkutan dapat dicela karena perbuatannya
(yang notabene merupakan tindak pidana). Oleh karena itu, jika tidak terbukti
bersalah, terhadap terdakwa itu dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
4. Pasal
143 ayat (2) huruf b KUHAP menggunakan frasa “tindak pidana yang didakwakan”
sedangkan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP menggunakan frasa “perbuatan yang
didakwakan”. Apakah “tindak pidana yang didakwakan” yang disebut dalam pasal
143 ayat (2) huruf b KUHAP itu adalah
sama maknanya dengan “perbuatan yang didakwakan” sebagaimana digunakan dalam pasal
191 ayat (1) dan (2) KUHAP?
---------4.
Ini adalah bentuk inkonsistensi KUHAP dalam menggunakan istilah. Lihatlah Pasal
191 ayat (2) KUHAP menggunakan istilah “perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti”, tetapi kemudian ditambah anak kalimat “tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana”. Jadi seolah-olah yang didakwakan bukan
perbuatan yang merupakan tindak pidana. Dalam pandangan saya, ketika perbuatan
yang didakwakan terbukti, maka hal itu merupakan tindak pidana. Jika suatu peristiwa
yang terjadi ternyata suatu wanprestasi, maka tindak pidana yang didakwakan
tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan. Dalam konstruksi KUHAP, jika
yang terbukti adalah wanprestasi, justru terdakwa dilepaskan dari segala
tuntutan hukum. Oleh karena itu, yang
didakwakan harus merupakan tindak pidana, dan bukan sekedar perbuatan.
Perbuatan dalam pengertian disini harus merupakan perbuatan yang memenuhi isi
larangan undang-undang sebagai delik, dan tidak sekedar adanya perbuatan
semata. Penyidik dan karenanya juga Penuntut Umum, mempunyai kewajiban hukum
untuk memastikan bahwa perbuata terdakwa adalah tindak pidana, bukan sekedar
perbuatan yang dilaporkan Pelapor/Korban. Perbuatan yang dilaporkan, bisa
tindak pidana bisa juga bukan. Ketika dipastikan merupakan tindak pidana, maka
perbuatan inilah yang didakwakan.
Berbeda dengan kesalahan yang
menjadi domain hakim. Jika tindak pidana yang didakwakan terbukti, tetapi hakim
memandang hal itu tidak dapat dipersalahkan kepada terdakwa, maka terdakwa dilepaskan
dari segala tuntutan hukum. Makna “dilepaskan” dan bukan “dibebaskan” mempunyai
pesan bagi siapa saja, termasuk terdakwa, bahwa dirinya tetap saja telah
melakukan tindak pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidna).
Keadaan pada dirinya dan kaitan antara
perbuatannya dengan keadaan dirinya itu, menyebabkan yang bersangkutan dilepaskan dari segala
tuntutan hukum. Tindak pidana yang
didakwakan terbukti tetapi terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas hal itu,
semisal karena tidak waras, tidak ada kesalahan sama sekali (AVAS) ataupun
dalam keadaan adanya paksaan dari luar yang menyebabkan dirinya tidak dapat
berbuat lain.
5. Dalam
pendapat Bapak diatas, seharusnya
putusan bebas dijatuhkan ketika terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Sedangkan menurut Prof. Sudikno Mertokusumo (Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata, Liberty,
Yogjakarta, hlm. 92-94) ada tiga tahap hakim dalam mengadili, yaitu
konstatasi, kualifikasi dan konstitusi. Jika diterapkan dalam perkara pidana
artinya konstatasi adalah menentukan ada tidaknya perbuatan yang didakwakan
dalam arti ada tidaknya perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. Jika
terbukti maka hakim akan masuk ke tahap kualifikasi untuk menentukan apakah
perbuatan terdakwa itu merupakan tindak pidana atau bukan. Akan tetapi jika
hakim berpendapat perbuatan materiil yang didakwakan itu tidak ada maka dengan
sendirinya hakim tidak melakukan kualifikasi dan langsung mengkonstitusi hukum
bagi perbuatan materiil yang tidak terbukti itu.
a. Contoh : JPU mendakwa A melakukan perbuatan mengambil
HP di kamar B pada tanggal 1-1-2016 dan atas perbuatan yang didakwakan itu JPU mendakwa
Terdakwa melakukan tindak pidana pencurian dalam pasal 362 KUHP. Ternyata alat
bukti tidak cukup membuktikan dan meyakinkan hakim bahwa A mengambil HP bahkan
A berhasil membuktikan sejak tgl 25-12-2015 sampai tanggal 5-1-2016 A berada di luar negeri melalui bukti catatan
keimigrasian.
Dalam keadaan yang demikian apakah A itu dapat
dikategorikan dalam keadaan tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
atau tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan atau tidak terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan sekaligus tidak terbukti melakukan tindak
pidana yang didakwakan?
b. Jika
dalam tahap konstatasi, hakim berkeyakinan perbuatan yang didakwakan terbukti
maka hakim akan mempertimbangkan perbuatan yang didakwakan itu dalam tahap kualifikasi untuk menentukan
apakah perbuatan yang didakwakan terbukti adanya itu dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana dan apakah terdakwa dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana itu.
Menurut Prof. Eddy O.S. Hiariej, pada kasus Putusan
Arrest Hoge Raad tanggal (23 Mei 1921) dimana HR menentukan perbuatan dokter
gigi menyalakan listrik dikualifikasikan sebagai mengambil dan listrik dapat
dikualifikasikan barang sebagaimana
dimaksud dalam pasal pencurian dalam KUHP Belanda waktu itu, di pengadilan
tingkat pertama perdebatan bukan pada persoalan apakah dokter gigi yang
didudukan sebagai terdakwa itu benar menyambungkan listrik ke tetangganya dan
kemudian menyalakan saklar karena atas perbuatan yang didakwakan tersebut hakim
sudah yakin keterbuktiannya tetapi perdebatan terjadi pada tahap kualifikasi
yaitu persoalan apakah menyambungkan kabel sehingga listrik mengalir ke tempat
dokter gigi itu adalah perbuatan mengambil barang sebagaimana dimaksud unsur
dari rumusan tindak pidana pencurian dalam pasal yang didakwakan penuntutan
umum. Sehingga pada pengadilan tingkat
pertama putusan yang dijatuhkan adalah lepas dari segala tuntutan hukum dengan
pertimbangan tidak memenuhi unsur mengambil dan unsur barang dan atas putusan
itu diajukan kasasi meskipun pada tingkat kasasi HR menjatuhkan pidana dengan
alasan menyambungkan kabel dan menyalakan saklar sehingga listrik mengalir ke
ruang dokter gigi itu adalah perbuatan mengambil barang sebagaimana dimaksud
dalam tindak pidana pencurian.
Berkaca dari perkara yang demikian, artinya pada
pengadilan tingkat pertama, tidak terpenuhinya unsur mengambil barang
menyebabkan perbuatan yang didakwakan itu terbukti tetapi bukan tindak pidana
karena unsur dari rumusan tindak pidananya tidak terpenuhi dan ini berarti
berkaitan dengan persoalan penerapan dan penafsiran hukum oleh hakim sudah
tepat atau tidak ketika mengkualifikasikan perbuatan yang didakwakan tersebut.
Dalam keadaaan tersebut diatas, dalam pendapat bapak
apakah keadaan yang demikian itu dapat diartikan “tindak pidana tidak terbukti”
atau “perbuatannya terbukti tetapi bukan tindak pidana” atau makna “tindak
pidana tidak terbukti itu” sebenarnya dalam putusan pengadilan tingkat pertama
diatas sama dengan dengan “perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan
tindak pidana”?
---------5. Bagi
saya penganut dualistis, tahap konstatasi dapat diartikan sebagai tindakan
hakim dalam mepertimbangkan apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau
tidak. Disini yang untuk dapat dikatakan terbukti perlu dua alat bukti. Jadi
jika tidak ada alat bukti dimaksud maka perbuatan terdakwa tidak terbukti.
Dalam contoh pertama, maka A yang tidak terbukti berada di TKP ketika Hp
dimaksud hilang, menyebabkan A tidak terbukti melakukan tindak pidana, dan
karenanya harus dibebaskan. Dalam hal ini sama sekali tidak ada “problem
perbuatan”, dan juga karenanya secara mutatis mutandis tidak ada “problem kesalahan”. Terdakwa A
memang seharusnya dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
Sementara itu dalam contoh yang
kedua, persoalan pokoknya pada penafsiran hakim tentang apa yang dimaksud
perbuatan “mengambil” atau “barang”. Disini, masih masuk tahap konstatasi,
yaitu mempertimbangkan apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau
tidak. Seharusnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan dokter gigi
dimaksud tidak termasuk dalam pengertian “mengambil” dan listrik tidak masuk
dalam pengertian “barang”, maka dokter gigi itu harus dibebaskan. Jika
dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka suatu konstruksi yang keliru karena
berpandangan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada dokter itu terbukti, tetapi tidak dapat
dipersalahkan kepadanya. Tidak mengherankan ketika pengadilan diatasnya
kemudian menghukum dokter gigi tersebut karena dikonstatir perbuatan
menyambungkan kabel termasuk perbuatan “mengambil” dan listrik termasuk dalam
pengertian “barang” dalam pasal pencurian.
Jika dipikirkan terpisah antara
“perbuatan yang didakwakan tidak terbukti” dan “tindak pidana yang didakwakan
tidak terbukti”, maka akan ada persoalan pembuktian yang serius. Dengan apakah
dikatakan pebuatan yang didakwakan tidak terbukti? Konstruksi di atas
menimbulkan beban pembuktian bagi terdakwa, untuk membuktikan bahwa perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti. Jika tindak pidana yang didakwakan
tidak terbukti, maka penuntut umum yang tidak dapat membuktikan bahwa
persistiwa dimaksud adalah perbuatan terdakwa atau perbuatan itu bukan
perbuatan yang taatbestand denga nisi rumusan tindka pidana. Sejauh mungkin terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian, kecuali dalam tindak pidana-tindak pidana yang memerlukan perlakuan
khusus karena politik kriminal.
Bagi saya, sekali lagi sebagai
penganut dualistis, tahap kualifikasi adalah bagaimana hakim mempertimbangkan
kesalahan terdakwa. Bagaimana sikap batin dokter gigi itu ketika mencuri
listrik. Apakah perbuatannya dapat dicela? Apakah dokter gigi itu dapat berbuat
lain? Apakah orang-orang yang setara dengan dokter gigi itu akan melakukan hal
serupa dalam kejadian-kejadian yang serupa pula. Disini, tampaknya tidak ada
“problem kesalahan” sama sekali, jadi dokter gigi itu seharusnya memang
dijatuhi pidana.
Dengan demikian, dalam tahap konstatasi yang bermain
adalah minimal “dua alat bukti yang sah”, sedangkan dalam tahap kualifikasi
permainan berpusat pada “keyakinan hakim”. Kualifikasi adaah bicara soal
ketercelaan terdakwa atas tindak pidana yang dipandang terbuti secara sah dan
meyakinkan. Segala keraguan harus disingkirkan (beyond the reasonable doubt), sehingga hakim berteguh sikap bahwa
celaan yang objektif pada tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang
seharusnya diteruskan secara subyektif kepada yang bersangkutan.
Lihatlah dalam Aresst Hoge Raad
tentang penjual susu. Dakwaan terhadapnya terbukti, yaitu menjual susu yang diberi label susu murni
tetapi sebenarnya telah dicampur air, sehingga merupakan tindak pidana. Namun
demikian perbuatan itu, tidak dapat dipersalahkan kepada bujang penjual susu
itu, karena sebagai penjual tidak mempunyai kewajiban hukum sampai dengan
memastikan kemurnian mengenai susu yang dijualnya. Tahap konstatasinya
terpenuhi, tetapi tahap kualifikasinya tidak masuk. Disini si penjual susu
seharusnya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Konsekuensinya tuntutan hukum
diajukan kepada produsen susu itu. Jika penjual susu itu dibebaskan, maka tidak
ada alasan untuk menuntut pidana kepada kepada produsennya, karena perbuatan
materilnya dipandang bukan tindak pidana.
Tahap konstitutif, adalah
pertimbangan hakim tentang jenis dan jumlah pidana. Disini masih mungkin
terdakwa tidak dijatuhi pidana jika cara lain akan lebih baik buat semua. Namun
demikian, jika tidak ditemukan alasan-alasan yang bisa menolong terdakwa untuk
tidak dijatuhi pidana, atau pidana yang
berat daripada yang ringan, ataupun pidana dengan tindakan, maka “mau tidak
mau” atau “dengan berat hati” hakim harus menjatuhkan pidana. Penjatuhan pidana
adalah pilihan terakhir yang harus dijatuhkan hakim. Ultimum remedium, bukan
hanya dalam penegretian in abstracto tetapi juga in konkreto dalam tahapan ini.
Demikian pak Wahyu, jika
pandangan dualistis diikuti secara konsisten maka tahap konstatasi, kualifikasi
dan konstitusi diartikan secara demikian.
6. Dalam
tesis saya ini, batu uji yang digunakan selain teori dualistis adalah teori
pembuktian negatif sebagaimana dianut pasal 183 KUHAP dan sebagaimana Bapak, saya
juga adalah penganut ajaran dualistis. Namun sebelumnya saya kutipkan pendapat
(Alm) Prof Sudikno mengenai proses pertimbangan hakim sampai pada tahap
menjatuhkan putusan sbb:
Dalam mengadili suatu perkara,
hakim harus melakukan tiga tindakan secara bertahap sebagai berikut:[1]
1.
Pertama-tama
mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan. Mengkonstatir berarti
melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah
diajukan tersebut.
2.
Setelah hakim
berhasil mengkonstatir peristiwanya, tindakan yang harus dilakukannya kemudian
ialah harus mengkualifisir peristiwa itu. Mengkwalifisir berarti menilai
peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hokum
apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa
yang telah dikonstatir. Jadi mengkwalifisir pada umumnya berarti menemukan
hukumnya dengan jalan menerapakan peraturan hokum terhadap peristiwa, suatu
kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Mengadakan kwalifisering peristiwa
bolehlah diaktakan jauh lebih sukar daripada mengkonstatir peristiwa, karena
mengkonstatir peristiwa berarti melihat peristiwa konkrit, sesuatu yang dapat
dilihat, sedangkan kwalifikasi dalam hal
ini berarti abstraksi daripada peristiwa yang konkrit tersebut. Mengkwalifisir
pada hakikatnya tidak lain daripada menilai, dan menilai merupakan pertimbangan yang tidak semata-mata logis sifatnya seperti dalam mengkonstatir
peristiwa. Mengkwalifisir peristiwa mengandung unsur kreatif seperti yang telah
dikemukakan diatas dan ini sekaligus berarti melengkapi undang-undang. Maka
oleh karena itu daya cipta hakim besar sekali
peranannya.
3.
Dalam tahap terakhir,
sesudah mengkonstatir dan mengkwalifisir peristiwa, hakim harus mengkonstituir
atau memberi konstitusinya. Ini berarti bahwa hakim menetapkan hukumnya kepada
yang bersangkutan, memberi keadilan. Disini hakim mengambil kesimpulan dari
adanya premise mayor, yaitu (peraturan) hokum, dan premise minor, yaitu
peristiwanya.
Terhadap
pemaparan tersebut, dalam (maskudnya
Wahyu Sudrajat-pen) menyatakan
sebagai berikut:
Dari
uraian tersebut tampak pada perkara pidana dalam tahap konstatasi, yang diuji
adalah perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dengan menggunakan batu uji
berupa alat-alat bukti yang diajukan penuntut umum. Dalam tahap kualifikasi,
pertama, yang diuji adalah perbuatan yang telah terbukti dalam tahap konstatasi
dengan menggunakan batu uji berupa unsur dari rumusan tindak pidana dalam pasal
yang didakwakan oleh penuntut umum. Kedua, yang diuji adalah kesalahan terdakwa
yang diuji dengan motif, keadaan-keadaan yang melatarbelakangi timbulnya
perbuatan dan lain-lain. Tahap konstatasi ini bisa disebut sebagai wilayah
penerapan hukum sekaligus wilayah penemuan hukum dimana hakim dituntut
menggunakan penalaran hukumnya secara maksimal. Sedangkan dalam tahap
konstitusi, hakim memutuskan hukum atas perkara tersebut berdasarkan
pertimbangan yang dilakukan pada tahap konstatasi dan tahap kualifikasi.
Mohon
dengan hormat, pendapat Bapak, atas pernyataan-pernyataan diatas.
-------6.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang terlalu prinsipiel antara pernyataan di
atas dengan pandangan saya. Perbedaannya adalah untuk tahap pengujian perbuatan
yang terbukti dalam tahap kontatasi dengan batu uji unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan, saya
memasukkannya kedalam bagian tahap kontatasi. Sekali lagi karena yang
didakwakan bukan “perbuatan” atau “feit”,
tetapi yang didakwakan adalah “tindak pidana” atau “strafbaar feit”. Bagi saya membuktikan suatu dakwaan adalah
membuktikan tindak pidana dan bukan membuktikan perbuatan semata. Tahapan ini
belum merupakan suatu “pengkualifikasian” karena belum berkenaan dengan
penilaian tentang “tingkatan” atau “derajat” atau “batasan” tententu. Sesungguhnya
perbuatan itu tidak bertingkat-tingkat atau berwarna-warni. Kesalahanlah yang
bertingkat-tingkat atau berwarna-warni. Jadi mengkualifikasikan sesuatu adalah
menentukan tingkatan sesuatu. Sungguh sifat itu tidak ada pada “perbuatan”,
tetapi justru adanya pada “kesalahan”. Perbuatan hanya merujuk pada persoalan
dilarangnya hal itu oleh undang-undang. Sedangkan sengaja atau alpa yang
bersifat hirarkhis, begitu pula hal itu bermula dari kesengajaan karena kepastian dan kemudian
degradasinya berbatasan dengan kesengajaan karena kemungkinan, yang bertepi
pada kealpaan yang disadari dan berujung pada kealpaan yang tidak disadari,
menunjukkan terhadap tingkatan-tingkatan dan warna-warna tersendiri atas
kesalahan. Penentuan kesalahan adalah pengkualifikasian tentang tingkat
ketercelaan seseorang karena perbuatannya.
Perbuatan sama sekali tidak
bertingkat-tingkat apalagi berwarna-warni. Selagi pembentuk undang-undang
menyatakannya sebagai terlarang, maka derajatnya sama, sebagai tindak pidana,
apapun alasan pelarangannya. Dewasa ini mala
in se (rechtsdelic) dan mala in
prohibita (wetsdelic) tidak lagi
dapat dijadikan ukuran tentang “kualifikasi” suatu perbuatan. Pokoknya
semuanya itu adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang
siapa yang melakukannya. mala in se
(rechtsdelic) juga harus dilarang
dengan undang-undang, dan tidak dapat begitu saja dipandang sebagai delik tanpa
ketentuan undang-undang, sekalipun perbuatan-perbuatan itu “dari sananya” jahat.
Jadi penilaian tentang perbuatan, termasuk tindak pidana, antara yang dipandang
terbukti telah terjadi dengan unsur-unsur suatu tindak pidana adalah tahapan
konstatasi atas satu nafas yang tidak terpisahkan.
7. Hakim
Harjono dalam dissenting opinion Putusan 114/PUU-X/2012 yang menguji pasal 244
KUHAP menyatakan sebagai berikut:
“Dengan demikian jelas bahwa KUHAP membedakan antara
kedua hal
tersebut. Pasal 191 ayat (1) berkaitan dengan pembuktian di dalam persidangan yang tidak dapat membuktian bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan, sedangkan yang ayat (2) dalam persidangan terbukti terdakwa melakukan perbuatan tetapi perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana. Inti dari perbedaan tersebut menyangkut dua hal yang pertama masalah fakta (a question of fact), sedangkan yang kedua adalah persoalan hukum (a question of law).”
tersebut. Pasal 191 ayat (1) berkaitan dengan pembuktian di dalam persidangan yang tidak dapat membuktian bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan, sedangkan yang ayat (2) dalam persidangan terbukti terdakwa melakukan perbuatan tetapi perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana. Inti dari perbedaan tersebut menyangkut dua hal yang pertama masalah fakta (a question of fact), sedangkan yang kedua adalah persoalan hukum (a question of law).”
sejalan
dengan hal tersebut, Bapak juga berpendapat dalam jawaban nomor 1 diatas sbb:
“Putusan bebas merupakan kesimpulan Hakim atas
penilaian fakta-fakta yang terungkap di sidang pengadilan, sedangkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya merupakan masalah penilaian
hukumnya. Jadi putusan bebas masalah fakta sedangkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum merupakan masalah hukum”
Pertanyaannya adalah :
a. Apakah
yang dimaksud dengan “masalah fakta” dan “masalah hukum” itu?
b. sebagaimana
Bapak sampaikan dalam jawaban nomor 5 “...Sementara itu dalam contoh yang kedua, persoalan
pokoknya pada penafsiran hakim tentang apa yang dimaksud perbuatan “mengambil”
atau “barang”. Disini, masih masuk tahap konstatasi, yaitu mempertimbangkan
apakah tindak pidana yang didakwakan terbukti atau tidak..”.
apakah dengan demikian masalah penafsiran hakim tentang maksud dari suatu unsur
dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu merupakan persoalan fakta? dan
persoalan hukum dalam perkara pidana hanya mengenai kesalahan terdakwa saja?
Apakah alat bukti menjadi sarana dalam hakim menafsirkan suatu ketentuan atau sarana
dalam menentukan ada tidaknya perbuatan yang diduga sebagai perbuatan pidana?
------7. Adapun jawaban saya
adalah sebagai berikut:
a. Betul saya berpendapat mirip dengan Yang Mulia Hakim
Konstitusi Harjono, walaupun pandangan saya itu jauh sebelum adanya putusan MK
dimaksud. Masalah fakta adalah masalah pencocokan antara uraian dakwaan tentang
suatu tindak pidana dengan fakta-fakta
yang didasarkan pada alat-alat bukti. Disini
hakim memadupadankan antara perbuatan dalam tataran norma dan perbuatan dalam
tataran fakta. Apabila berkesesuaian, maka masalah fakta itu menjadi sesuatu
yang terbukti. Sedangkan masalah hukum adalah masalah perefleksian antara
pandangan umum tentang ketercelaan suatu tindak pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana itu.
Disini perefleksian dimaksud dilakukan dengan cermin yuridis. Bukan berarti
hakim harus mengadakan polling
tentang ketercelaan suatu kelakuan yang didakwakan terhadap seseorang, tetapi
hakim cukup menggunakan piranti lunaknya untuk mempertimbangkan batasan, ukuran
atau tingkat ketercelaan dimaksud.
Makanya dalam hal ini kacamata yuridis
hakim menjadi perspektif yang dipandang mewakili kemauan dan harapan
masyarakat.
b. Betul, penafsiran adalah masalah fakta. Disini hakim
menafsirkan bukan terlepas dengan konteks fakta, tetapi untuk menjawab
pertanyaan tentang dilarang tidaknya suatu fakta perbuatan. Penafsiran yang
dilakukan oleh hakim, tidak ada artinya jika tidak mengkait dengan fakta yang
dipersengketakan. Jadi hakim disini mencocokkan norma dengan fakta, dimana
makna yang digunakannya boleh jadi bukan makna leksikon lagi, sehingga telah
menjadi suatu penafsiran. Persoalan hukum dalam perkara pidana tentunya tinggal
penilaian tentang kesalahan. Hakim menuntun refleksinya dengan rasa keadilan
yang dimilikinya. Hukum adalah anak
kandung dari keadilan, sehingga adil tidaknya penilaian
hakim sangat tergantung dari mampu tidaknya mengukur tingkat ketercelaan (jika
memang ada) pada diri seseorang. Disini persolan pengukuran keadilan yang oleh
Sudikno dipandang sebagai tahap pengkualifikasian tersebut memusat pada
persoalan kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Persoalannya
bukan lagi terbukti atau tidak, karena hal itu merupakan persoalan fakta, tetapi tercela
atau tidak, dan ini persoalan hukum. Keseluruhan alat bukti yang membutikan unsur-unsur
tindak pidana pidana, secara tidak langsung menggambarkan celaan objektif
terhadap suatu perbuatan, yang kemudian apakah hal itu seharusnya diteruskan
secara subyektif kepada pembuatnya. Intuisi hakim lebih dominan dalam hal ini,
yang merupakan kelanjutan dari perspektifnya ketika hakim itu menyatakan tindak
pidana yang didakwakan telah terbukti.
8. Kapan
suatu perbuatan harus dipastikan sebagai perbuatan pidana? Waktu di tahap
penyidikan dan penuntutan ataukah ketika di persidangan? Tidakah cukup jika
penyidik dan penuntut umum menduga (kata “duga” bersinonim dengan “dakwa” dan
juga “tuduh”) suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana dan melimpahkan kepada
Hakim untuk memastikan dugaan mereka bahwa suatu perbuatan itu sebagai tindak
pidana sehingga penentuan tindak pidana atau tidaknya dipastikan di Pengadilan?
----8. Pada dasarnya pada setiap tahapan, yaitu mulain
dari penyidikan sampai pemeriksaan dimuka sidang pengadilan, suatu tindak
pidana tengah dipastikan. Perbedaannya bukan pada dimensi “apa”, tetapi
berkenaan dengan “bagaimana” hal itu dilakukan. Jadi perbedaan penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan dalam memastikan ada tidaknya
suatu tindak pidana, berbeda tentang cara dan pendekatan yang dilakukan,
sementara objek yang dipastikan itu tidak ada beda, yaitu suatu tindak pidana.
Makanya Mahkamah Kontitusi tidak lagi membedakan apa yang dimaksud “bukti”,
“bukti permukaan”, atau “alat bukti”, kesemuanya sama dalam bentuknya tetapi
cuma berbeda kekuatannya (kualitasnya) karena berhubungan dengan cara pemerolehan dan
tahap penggunaannya yang berbeda.
Penyidik tidak cukup menduga saja, atau
penuntut umum belum selesai tugasnya ketika telah mendakwa saja,
melainkan juga harus membuktikannya. Pembuktian bukan hanya di muka sidang
pengadilan, tetapi penyidik untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya juga
membuktikan suatu tindak pidana, ketika mempersangkakan hal itu kepada
seseorang, dan penuntut umum juga membuktikan bahwa hal itu telah terjadi
sehingga membawanya ke pengadilan dengan membuat surat dakwaan, dan tentunya
hakim juga “membuktikan” tentang
kebenaran dakwaan dimaksud dengan kemudian pada akhirnya mengambil kesimpulan
apakah yang bersangkutan bersalah karenanya.
9. Menarik
sekali pemaparan Bapak tentang Arrest HR terkait penjual susu. Terkait
kesalahan ini, ada juga kasus yang menjadi data saya yang ringkasnya sbb:
seorang anak (A) dipaksa dengan ancaman akan dibunuh oleh seseorang bernama B
untuk membeli Ganja. Setelah berkali-kali diancam dan diteror akhirnya A mau
membelikan ganja kepada seseorang di suatu tempat. Belum sempat ganja
diserahkan A kepada B, A ditangkap polisi dalam keadaan menguasai Ganja. Dari
alat-alat bukti hakim yakin perbuatan A membeli ganja dan menguasainya terbukti
dan mengkualifikasinya sebagai tindak pidana dalam UU Narkotika. Tetapi hakim
berpendapat ada daya paksa dalam perbuatan itu sehingga Terdakwa tidak dapat
dipidana karena tidak memiliki kesalahan. Yang menarik dalam pertimbangannya,
hakim tetap berpendapat bahwa daya paksa yang ada pada perbuatan A tidak
menyebabkan perbuatan yang dilakukan A kehilangan sifat melawan hukum sehingga
dapat dikatakan perbuatan A adalah tindak pidana tetapi A tidak memiliki kesalahan.
Artinya perbuatan pidana dipisah dari kesalahan pidana sebagaimana dikehendaki
oleh ajaran dualistis. Tetapi anehnya dalam amar putusannya hakim menyatakan
“perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak tindak pidana” dan
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Tampak jika dari amar itu hakim
memaksakan untuk menyesuaikan dengan bunyi ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP
agar dapat menjatuhkan putusan lepas.
Pertanyaannya:
Apakah
pertimbangan hakim ketika “menafsirkan” perbuatan terdakwa tetap sebagai tindak
pidana meskipun kesalahan terdakwa tidak ada berada dalam tahap konstatasi atau
dalam tahap kualifikasi?
-----9. Pertimbangan hakim tersebut benar dan tepat.
Saya menyetujuinya. Kemudian mengapa akhirnya putusannya menggunakan Pasal 191
ayat (2) KUHAP, dan menyatakan bahwa perbuatan terbukti tetapi tidak tindak
pidana, semata-mata karena hakim “terpaksa” menggunakan pasal yang rumusannya
tidak tepat tersebut, untuk mendapatkan konstitusi yang tepat. Tokh hakim telah melepaskan A dari
segala tuntutan hukum, yang bagi saya penganut dualistis, menunjukkan hakim
dimaksud memahami bahwa A tidak dapat berbuat lain sehingga melakukan perbuatan
yang tidak lahir dari kehendak bebasnya. Mengenai hal terakhir ini sudilah pak
Wahyu mengirimkan kepada saya putusan dimaksud, setidak-tidaknya menyebutkan
nomor dan tanggalnya. Wallahualam.