Dr.
CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.
Pengantar
Kontroversi
seputar tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, menimbulkan silang pendapat dikalangan para ahli maupun praktisi.
Khususnya terkait harta kekayaan hasil tindak pidana, terutama soal pembuktian,
penyitaan dan perampasannya. Dalam banyak hal, masalah-masalah tersebut
berangkat dari rumusan-rumusan dalam (UU No. 8 Tahun 2010) yang sama-samar (vaagen normen), sehingga
konstitusionalitasnya patut dipertanyakan.
Diskusi ini
menjadi penting, sebagai telaahan mandiri yang tidak bias kepentingan pihak-pihak yang memepersoalkan dana/atau
mempertahankan berbagai ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2010, yang sedang
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
Tentang
“diketahuinya atau “patut diduganya” harta kekayaan hasil tindak pidana
Penggunaan istilah
“patut diduganya” dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1), Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010, yang menimbulkan kesan bahwa harta kekayaan dimaksud tidak
perlu benar-benar merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, tetapi cukup sebagai harta kekayaan
yang “diduga” sebagai hasil tindak pidana-tindak pidana tersebut. Padahal
sebenarnya tidaklah demikian.
Istilah “patut
diduganya” atau istilah-istilah lain yang mempunyai makna serupa seperti “patut
diduga”, “menduga”, “menduga-duga”, “selayaknya dapat menduga”, “sepatutnya
menduga”, kesemuanya semula merupakan istilah yang dalam Hukum Pidana digunakan
sebagai ukuran adanya “kelalaian”, yaitu salah satu indicator of blame dari pembuat tindak pidana. Dalam hal ini
dipandang terdapat kelalaian, apabila pembuat mengabaikan suatu “kewajiban
hukum” terhadap suatu hal, yaitu: “menduga-duga sebagaimana diwajibkan orang
lain menduga-duga”. Pengabaian kewajiban hukum tersebut dapat dipandang suatu
bentuk “kelalaian”, jika menimbulkan kejadian tertentu yang dilarang.
Namun demikian,
ilmu pengetahuan dan praktek hukum menunjukkan bahwa, dirasakan sulitnya membuktikan
“ukuran” tentang “bila” kewajiban hukum tersebut telah timbul. Roeslan Saleh (1983: 122) menyatakan:
“sudah sejak dulu dirasakan sukar untuk membuktikan hal itu”, karenanya arrest
Hoge Raad tahun 1911 telah menegaskan: ”hal bahwa akibat yang dilarang itu
dapat diduga-duga sebelumnya tidaklah perlu disebutkan tersendiri dalam surat
tuduhan”. Kesukaran untuk menentukan parameter yang objektif tentang telah adanya
kewajiban untuk “menduga” suatu hal, sehingga bagi diri pembuat telah masuk
dalam kategori “patut diduganya” jika menimbulkan keadaan terlarang,
menyebabkan ketidakseragaman pola penerapan berkenaan dengan ketentuan pidana
yang memuat unsur ini.
Berbeda halnya apabila dalam menentukan adanya
“kelalaian” digunakan ukuran lain, seperti tuntutan atau keharusan adanya
“pengetahuan” pada orang tertentu, sebagai konsekuensi dianutnya teori
pengetahuan dalam kesalahan, sehingga hal itu dapat diukur secara normatif,
dengan melihat tingkat pendidikan, pengalaman hidup, tingkat
pergaulan ataupun pola hubungan sosial dari pembuat. Jika dalam istilah “patut
diduganya” tercermin adanya keharusan pembuat “berspekulasi” atas suatu hal,
disini ukurannya adanya “pengetahuan” pada diri pembuat sehingga yang
bersangkutan bereaksi dengan perbuatan tertentu dalam hal menghadapi suatu
keadaan tertentu. Dalam hal ini dikatakan ada kelalaian, jika pada dirinya
tidak terdapat “pengetahuan” tentang suatu hal sehingga menimbulkan keadaan
yang terlarang, padahal “seharusnya” hal itu ada pada yang bersangkutan. Dengan
parameter ini kelalaian relatif lebih mudah ditentukan, yaitu bilamana suatu
perbuatan telah terjadi diluar dari apa yang diharapkan masyarakat pada yang
bersangkutan (unzumuthbarkeit). Dengan
demikian, dilihat dari caranya berbuat atau tidak berbuat akan tergambar apakah
yang bersangkutan telah berprilaku seperti yang diharapkan oleh masyarakat atau
justru sebaliknya. Dengan ini “keharusan adanya pengetahuan” dimaksud merupakan
“ukuran yang lebih objektif ”tentang adanya “kelalaian”, daripada “kepatutan”
untuk “menduga” atau “menduganya”, yang tidak cukup terang kriterianya.
Pemikiran di
atas menyebabkan pengertian tentang “kelalaian” yang berbasis pada adanya
keadaan dimana seseorang “tidak menduga-duga sebagaimana orang lain diwajibkan
menduga-duga” berangusur-angsur beralih menjadi tuntutan untuk “berhati-hati”
dalam melakukan suatu hal. Pemaknaan demikian sebagai konsekuensi menguatnya
penerimaan teori resiko dalam memberi arti tentang kelalaian. Dipandang “tidak
berhat-hati” ketika melakukan sesuatu tanpa takut menimbulkan resiko yang
dilarang. Disini sama sekali yang dinilai bukan psike pembuat apakah dapat
menduga-duga akan timbulnya akibat yang terlarang, tetapi tingkah lakunya
apakah telah cukup berhati-hati sehingga telah memenuhi ukuran-ukuran yang
berlaku dalam pergaulan masyarakat. Hal ini menyebabkan, dari sejak lama
penggunaan istilah “menduga”, “menduga-duga”, “selayaknya dapat menduga”,
“sepatutnya menduga” atau kemudian “patut diduga” dan “patut diduganya” dalam pengertian
istilah atau rumusan tindak pidana yang telah menimbulkan kesulitan-kesulitan,
baik dalam ranah teoretis apalagi praktis, seharusnya berangsur-angsur
ditinggalkan dan diganti dengan istilah yang lebih clear maknanya, yaitu “seharusnya mengetahui”.
Istilah “seharusnya
mengetahui” lebih baik dan tidak ambigu daripada istilah “patut diduga” atau
“patut diduganya”, yang sebenarnya cukup sepadan dengan istilah“should have known”, yang telah mulai diintrodusir
dalam Pasal 28 Statuta Roma, yang dengannya tercermin tingkat “kehati-hatian”
pada diri seseorang dalam bertindak dilihat dari segi masyarakat. Dikaitkan
dengan harta kekayaan hasil tindak pidana dalam tindak pidana pencucuian uang,
maka kewajiban hukum seseorang itu ketika akan bertransaksi seperti “menempatkan”,
“mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”, “menghibahkan”,
“menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”, “menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau “menyamarkan”, “menerima
atau menguasai” harta kekayaan tertentu, harus dapat memastikan bahwa hal itu
bukan hasil tindak pidana. Dengan demikian, ketika yang bersangkutan tidak
memastikan hal itu, padahal seharusnya sebaliknya, yaitu “seharusnya
mengetahui” bahwa hal itu merupakan unsur harta kekayaan hasil tindak pidana,
maka unsur “patut diduganya” telah terpenuhi.
Sementara itu, dalam
berbagai rumusan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No.
8 Tahun 2010, kata-kata “yang diketahuinya” atau “patut diduganya” disebutkan
dalam suatu rangkaian alternatif didapat kata harta kekayaan hasil tindak
pidana”. Konstruksi ini melahirkan dua pandangan yang mengartikan tentang
delik-delik yang dirumuskan secara demikian secara sangat berbeda,yaitu:
Pertama,
tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal
5 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dipandang sebagai “pro parte dolus pro parte culpa”, sehingga pembuat tindak pidana
tersebut dapat dipidana jika melakukannya “dengan kesengajan” atau “karena
kealpaan”. Dalam ini perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal
tersebut membuat pembuatnya dapat dipidana dengan pidana yang sama, jika karena
“kesengajaan” atau “kelalaian” yang bersangkutan mengujudkan suatu keadaan yang
dilarang. Sebagaimana diketahui “kesengajaan” atau “kealpaan” adalah
betuk-bentuk kesalahan (schuld) yang
menjadi dasar dicelanya pembuat (indicator
of blame), dimana salah satu bentuk atau pertanda tersebut harus terdapat
pada diri pembuat delik.
Kedua,
tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal
5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, dipandang sebagai delik “culpa yang tidak
sesungguhnya”. Sebenarnya pembentuk undang-undang menghendaki agar syarat umum
untuk menyatakan sifat melawan hukum suatu perbuatan, yaitu keseluruhan
kelakuan itu terwujud karena “kesengajaan” pembuatnya dapat diperlunak, dengan
mengkonstruksikan sebagian unsurnya cukup jika telah ada sikap alpa atau lalai
atas suatu hal. Dalam hal ini delik itu tetap dipandang sebagai delik
“kesengajaan”, dengan sebagian unsurnya “diculpakan”. Dengan demikian, pendapat
Jan Remmelink (2003: 165), yang menyatakan bahwa “menempatkan sebagian
unsur-unsur tersebut ke dalam lingkaran pengaruh dolus, sebagian lainnya di
objektifikasi, dan sebagian lainnya mengkaitkannya dengan persyaratan culpa”,
harus dimaknai bahwa kelonggaran yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang
tersebut diwujudkan dengan menetapkan sebagian dari unsur delik dolus itu cukup
diwujudkan dengan persyaratan culpa pembuatnya. Oleh karena itu, sebenarnya
“kesengajaan” atau “kelalaian” bukan suatu pilihan yang bersifat alternatif, tetapi
hanya bentuk “delik-delik culpa yang tidak sesungguhnya”, dimana sebenarnya
merupakan delik dolus tetapi sebagian unsurnya dipandang terpenuhi cukup jika
syarat kealpaan telah ada pada diri pembuatnya.
Pandangan kedua
menyebabkan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, tidak boleh dipandang
sebagai perbuatan dapat dipidana karena “kealpaan” atau “kesengajan”
pembuatnya, seperti yang dimaksud dalam pandangan pertama. Melainkan kelalaian
itu tertuju hanya pada sebagian unsurnya, yaitu “tidak menduga-duga padahal
diwajibkan menduga-duga” bahwa harta kekayaan yang dilakukan perbuatan hukum tertentu
tersebut merupakan hasil tindak pidana tertentu, yang ditentukan dalam Pasal 2
ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Dengan demikian, dalam konteks ini perbuatan “menempatkan”,
“mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”, “menghibahkan”,
“menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”, “menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau “menyamarkan”, “menerima
atau menguasai” harta kekayaan tertentu, adalah perbuatan-perbuatan yang
diwujudkan dengan “kesengajaan” pembuatnya, tetapi bahwa hal itu dilakukan
terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana (proceed
crime), dipandang melawan hukum cukup jika dapat diperkirakan atau mungkin
diperhitungkan olehnya.
Penafsiran kedua
lebih tepat dalam hal ini. Sama sekali keliru, jika tindak pidana pencucian
uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No.
8 Tahun 2010 dipandang telah terwujud, tanpa perlu membuktikan tentang “kesengajaan”
pembuat untuk melakukan transaksi-transaksi dimaksud. Dalam hal ini tindak
pidana ini dipandang sempurnanya (vooltoid),
hanya dengan membuktikan bahwa pelaku sebenarnya “dapat menduga” bahwa objek
yang ditransaksikan adalah hasil tindak pidana. Berbeda dengan kecenderungan praktek
hukum selama ini dalam menerapkan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1), UU No. 8 Tahun 2010, yang lebih
banyak memaknainya seperti pandangan pertama.
Penggunaan istilah
“yang diketahuinya atau patut diduganya” sebagai suatu konstruksi alternatif, telah
menempatkan tindak pidana-tindak pidana ini sebagai “tindak pidana yang dapat
dipidana dengan kesengajaan atau karena kealpaan pembuatnya”. Penerapan hukum
yang demikian itu, telah “mendegradasi” delik-delik dolus menjadi delik-delik
culpa. Dengan demikian, sebenarnya telah dilakukan kriminalisasi in concreto terhadap perbuatan itu in abstracto merupakan perbuatan yang
patut dan legitim. Orang dipidana terhadap suatu perbuatan yang sebenarnya
tidak dilarang oleh undang-undang. Penerapan yang demikian ini terjadi terhadap
Andhika Gumilang yang “tidak menduga-duga” bahwa pemberian mobil-mobil mewah
isterinya itu (Melinda Dee) merupakan hasil tindak pidana. Andhika Gumilang
lalai “memperkirakan” bahwa Melinda Dee yang dia kenal memang sejak semua
adalah wanita paruh baya kaya raya, sehingga bersedia menjadi suaminya, bahwa
pemberian-pemberian itu adalah hasil tindak pidana. Atas kelalaiannya itu,
Andhika Gumilang mebayarnya dengan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
selama 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah). Demikian pula misalnya Eddies Adelia, sekarang mendekam dalam
tahanan Polda Metro Jaya karena “tidak menduga-duga” tentang asal usul nafkah
yang diberikan suaminya, padahal “patut diduganya” hal itu merupakan hasil
tindak pidana. Dalam hal ini, delik ini dipandang ada karena “kealpaan” Edies
Adelia memperkirakan bahwa nafkah suaminya itu berasal dari tindak pidana
penipuan dan/atau penggelapan, telah menjeratnya sebagai pelaku tindak pidana pencucian
uang. Dua kasus ini menggambarkan bahwa setiap suami/isteri orang-orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8
Tahun 2010, menjadi potential offender, karena
istilah “patut diduganya” dipandang menyebabkan tindak pidana ini adalah delik
culpa;
Pemaknaan Pasal
3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No.
8 Tahun 2010 sebagai tindak pidana yang dapat diterapkan baik sebagai delik
dolus ataupun delik culpa atau dipandang sebagai “pro parte dolus pro parte culpa”, berpangkal tolak dari perumusan undang-undang
tentang tindak pidana itu, yang sedemikian rupa sehingga dapat ditafsirkan
keliru oleh para penegak hukum dan hakim, karena dapat memaknai delik ini
sebagai “delik culpa sesungguhnya”. Hal ini boleh jadi sebagai akibat dari
keterangan-keterangan yang tidak cukup memadai yang disampaikan pembentuk
undang-undang tentang maksud sesungguhnya dari perumusan itu, atau pembentuk
undang-undang sekedar mengambil alih instrumen hukum internasional, semisal United Nations Model Law on Money Laundering
and Proceed of Crime Bill 2003, tanpa mengerti maknanya dengan baik,
ataupun pembentuk undang-undang sama sekali tidak menjadikan hal ini sebagai
perhatian.
Kedepannya untuk
mengukuhkan bahwa pemaknaan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 adalah
delik dolus dengan sebagian unsurnya diculpakan, perlu kebijakan legislatif
untuk mengganti istilah “yang diketahuinya atau patut diduganya” dengan istilah
“yang diketahui atau seharusnya diketahuinya”, sehingga maknanya tidak
menggambarkan pilihan bahwa delik ini dapat terwujud dengan kesengajaan atau
kealpaan pembuatnya. Hal ini menyebabkan jika pasal-pasal tadi tidak
ditafsirkan secara demikian akan terjadi orang-orang yang perbuatannya tidak berlawanan dengan hukum turut dipidana
karena kekeliruan pemaknaan. Kekeliruan tersebut jelas menimbulkan kesewenang-wenangan
hukum akan terus terjadi, karena pada dasarnya ketentuan tersebut tidak
menjamin kepastian hukum yang adil, seperti yang diamanahkan dalam Pasal 28D
UUD NRI Tahun 1945.
Tentang
Pembuktian Predicate Crime dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang
Patut
diingat, bahwa gagasan dasar kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang
kemudian disebut sebagai tindak pidana pencucian uang adalah sebagai upaya
untuk membuat “crime doesn’t pay”,
termasuk terhadap tindak pidana korupsi. Terlebih lagi dengan adanya
kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde
sekarang ini, sehingga upaya pemberantasannya ditempuh juga dengan cara mengkriminalisasi
perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan terhadap harta kekayaan hasil
korupsi itu. Mengingat suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari
Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena
“meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but
learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan”
korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu,
“pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat
diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya
diarahkan pada penangan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagai predicate crime, melainkan juga
diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor
menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada
korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan”
untuk dilakukan, dan mensinergikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat
secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Hal
inilah yang menjadi landasan United
Nations Convention Agains Corruption 2003 yang telah diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, memasukkan kriminalisasi pencucian uang sebagai
bagian upaya pencegahan (preventive
measures) tindak pidana korupsi, yang ditempatkan dalam Bab II konvensi
tersebut.
Dalam
hukum pidana Indonesia, upaya untuk “menghalangi” atau “menuntup kemungkinan”
para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil kejahatannya, telah
dilakukan dengan berbagai cara, yang diantara dilakukan dengan menerapkan
ketentuan tindak pidana pencucian uang (money
laundering), sebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, selain
tindak pidana asalnya. Melakukan double penality
seperti ini, merupakan upaya memberantas suatu tindak pidana dengan membuatnya
sebagai “tidak menguntungkan”, karena perbuatan-perbuatan lain seperti
“menempatkan”, “mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”,
“menghibahkan”, “menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”,
“menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau
“menyamarkan”, “menerima atau menguasai” harta kekayaan hasil tindak pidana
asalnya, merupakan tindak pidana
tersendiri.
Persoalan
pokok yang sebenarnya belum dicapai kesepakatan dikalangan para ahli dan
praktisi adalah, tentang pembuktian tindak pidana asal (seminsal tindak pidana
korupsi) dalam menerapkan ketentuan tentang tindak pidana pencucian uang. Sikap
kalangan ahli dan praktisi mengenai hal ini terbelah menjadi dua kelompok
pandangan, sebagian menyatakan tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya,
sebagian lain menyatakan harus dibuktikan, setidak-tidaknya secara kumulatif
tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian uang didakwakan dalam suatu
surat dakwaan. Pandangan pertama menyatakan bahwa diantara dasarnya adalah
Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, yang
menyatakan “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Sementara pandangan kedua, merujuk pada
ketentuan Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, yang selalu menjadikan
sebagai unsur (elemen) atau bagian
inti (bestanddel) “merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”, dari tindak pidana
itu. Bahkan ada yang menyatakan predicate
crime yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 adalah “causa” dari timbulnya money laudering, yang ditentukan dalam
Pasal 3, 4, dan 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Artinya, membuktikan tindak
pidana pencucian uang, sebagaimana dimaskud dalam Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 2010 tersebut, selalu dengan membuktikan adanya tindak pidana asalnya
(predicate crime), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, yang hasilnya dijadikan
objek tindak pidana pencucian uang tersebut.
Telaah
kritis mengenai hal ini antara lain dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
sudahkah penggunaan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 dalam prakteknya, dimaknai
sebagai upaya untuk membuat “crime
doesn’t pay”, included “corruption doesn’t pay”? ataukah dengan dalih
menggunakan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010,
hukum khususnya hukum pidana, telah digunakan sekedar sebagai upaya
“memiskinkan koruptor”. Sudahkan penggunaan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 ditempatkan sebagai upaya
untuk memberantas (mencegah dan menindak) tindak pidana asalnya, termasuk
tindak pidana korupsi? Ataukah dengannya justru sebagai penerabasan asas praduga
tak bersalah(presumption of innocence),
yang melandasi KUHAP, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 angka 2 International
Convenant Civil and Political Right, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
No. 12 Tahun 2005. Sebaliknya, apakah kewajiban membuktikan predicate crimejustru hanya akan
menghambat upaya untuk membuat “crime
doesn’t pay”, included “corruption doesn’t pay” itu sendiri?
Sepertinya
praktek hukum pidana berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang, tidak lagi
berangkat dalam upaya untuk membuat “korupsi, sebagai dalam satu tindak pidana
asal, “tidak lagi menguntungkan”. Praktek hukum berkenaan tindak pidana
pencucian uang bukan lagi ditempatkan
sebagai bagian upaya pemberantasan (pencegahan dan penindakan) tindak pidana
asalnya, tetapi hanya sebagai alasan untuk “merampas” kekayaan seseorang “yang
diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi”.
Penerapan ketentuan tindak pidana
pencucian uang, misalnya dalam kasus
Djoko Susilo, bukan hanya dijadikan dasar untuk “merampas” hasil tindak
pidana korupsinya ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes
Polri, tetapi sebagai dasar untuk “merampas” semua harta kekayaannya yang
diperolehnya sejak adanya Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam hal ini pengadilan dilaksanakan tanpa sedikitpun “memandang bahwa yang bersangkutan
tak bersalah karena korupsi (sebelum menjabat Kakorlantas) sampai dengan
pengadilan menyatakan benar terbukti atas kejahatan itu”. Alih-alih bukannya
tidak dipertimbangkan tentang hal itu, tetapi semata-mata oleh Penuntut Umum
Komisi Pemberantasan Korupsi, sama sekali tidak didakwakan (apalagi dibuktikan)
tentang tindak pidana asalnya tersebut. Dalam hal ini karena Djoko Susilo
terbukti melakukan tindak pidana korupsi
ketika menjabat Kakorlantas, maka semua harta kekayaannya yang
diperolehnya sebelum masa itu dan setelah adanya undang-undang tindak pidana
pencucian uang juga “dianggap” sebagai hasil tindak pidana korupsi juga. Demikian
pula hal yang sama terlihat dari kasus atas nama Bahasyim, Wa Ode Nuhayati,
Luthfi Hasan Ishaq, Akil Muchtar maupun Anas Urbaningrum, dan lain sebagainya.
Bahwa
dilihat dari segi ini, Pasal 69 UU No. 8
Tahun 2010 telah dimaknai keluar dari alasan sosiologis dan filosofis maksud
pembentukan undang-undang tersebut. Dalam hal ini, seharusnya Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, dimaknai bahwa untuk
dapat melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang
pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib “ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap” tindak pidana asalnya.
Artinya, tidak wajib “dibuktikan terlebih dahulu” tindak pidana asalnya,
maksudnya tidak wajib “ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
terhadap” tindak pidana asalnya. Penafsiran ini, juga bersumber dari
digunakannya kata “terlebih dahulu” mengikuti kata “tidak wajib dibuktikan”.
Dengan demikian, pembuktian, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun
pemeriksaan di muka sidang pengadilan,
dilakukan “bersamaan” dengan tindak pidana asalnya, sebagai dakwaan
kumulatif atau setidak-tidaknya sebagai salah satu unsur dari tindak pidana
pencucian uang.
Kalaulah
pembentuk undang-undang bermaksud bahwa Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, dimaknai sebagai tidak
diperlukan pembuktian tindak pidana asal dalam penyidikan penuntutan, maupun
pemeriksaan di muka sidang pengadilan suatu tindak pidana pencucian uang, maka
pembentuk undang-undang tidak akan menggunakan istilah “terlebih dahulu” dalam
pasal tersebut. Dalam hal ini, Pasal 69 UU
No. 8 Tahun 2010, seharusnya dirumuskan “untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
pencucian uang tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya” (tanpa kata-kata
“terlebih dahulu”).
Pembuktian
tindak pidana asal (predicate crime)
bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang, baik sebagai tindak pidana yang
berdiri sendiri yang dikumulatifkan dengan tindak pidana pencucian uang dalam
satu surat dakwaan, atau setidak-tidaknya tindak pidana asal itu dibuktikan
sebagai salah satu unsur dari tindak pidana pencucian uang, tidak menghambat
tujuan untuk membuat “korupsi” dan tindak pidana lainnya, sebagai dalam satu
tindak pidana asal, “tidak lagi menguntungkan”. Mengingat sekalipun terdakwa
dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang ditransaksikan
bukan hasil tindak pidana, tokh tidak dapat dilakukannya hal itu oleh terdakwa
tidak lantas menjadikan harta kekayaan itu benar-benar hasil tindak pidana.
Tambahan lagi, penuntut umum yang tidak membuktikan sama sekali bahwa harta
kekayaan itu merupakan hasil tidak pidana tetapi “diduga” sebagai hasil tindak
pidana, tidak menyebabkan harta kekayaan itu benar-benar merupakan hasil tindak
pidana. Dalam hal ini, pembuktian terhadap predicate
crime hanya berkenaan dengan harta kekayaan yang dihasilkan tindak pidana
itu, dan tidak mengenai yang lainnya.
Berdasarkan
uraian di atas,menafisrkan Pasal 69 UU
No. 8 Tahun 2010 dengan makna bahwa “untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
pencucian uang tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya” (tanpa kata-kata
“terlebih dahulu”) adalah tafsiran yang tidak konstitusional karena
bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, yang menjadi salah satu fundamen
dasar dapat ditegakkannya negara hukum. Dengan kata lain, jika Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, menjadi konstitusional
apabila dimaknai bahwa “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak
wajib ‘ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap’ tindak
pidana asalnya”. Dalam hal ini Pasal
69 UU No. 8 Tahun 2010. Dengan demikian,
tindak pidana asal itu dibuktikan setidak-tidaknya bersamaan dengan tindak
pidana pencucian uangnya atau sebagai salah satu unsurnya. Tindak pidana asal
tidak wajib dibuktikan “lebih dulu” dalam putusan pengadilan yang berdiri
sendiri.
Sementara
itu Pasal 77 dan 78 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan adanya pembalikan
beban pembuktian dalam rezim hukum pencucian uang, dimana terdakwa diwajibkan
untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara yang dihadapinya
bukan merupakan hasil tindak pidana atau tidak terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketentuan
di atas, harus dimaknai bahwa terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya
“yang dapat dikualifikasi sebagai transaksi keuangan mencurigakan”, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 8
Tahun 2010, sebagai bukan merupakan hasil tindak pidana atau tidak terkait
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Dengan demikian, kata-kata “yang terkait dengan perkara” yang disebutkan dalam
Pasal 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, diartikan sebagai harta kekayaannya
“yang dapat dikualifikasi sebagai transaksi keuangan mencurigakan”, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 8
Tahun 2010. Jadi yang wajib dibuktikan oleh terdakwa adalah harta kekayaan yang
ditransaksikan secara mencurigakan (sucpicius
transaction) sehingga menjadi objek perkara yang dengannya seorang terdakwa
didakwa, diperiksa, dan diadili karena melakukan tindak pidana pencucian uang.
Namun
demikian, praktek hukum yang umumnya terjadi berkenaan dengan penerapan Pasal
77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 merujuk pada diwajibkannya terdakwa
untuk membuktikan terhadap “seluruh harta kekayaan” terdakwa yang sebelumnya
telah “disita” oleh Penyidik Kejaksaan, Penyidik Polri maupun Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi. Lihatlah Bahasyim dan Djoko Susilo, atau Gayus H.
Tambunan, juga Akil Muchtar, yang diperintahkan membuktikan semua harta
kekayaannya yang sebelumnya disita oleh penyidik. Sangat tidak logis mereka
semua itu diminta untuk membuktikan suatu hal yang boleh jadi diperolehnya dalam
rentang waktu yang relatif lama. Bahkan mungkin saja harta kekayaan itu
diperoleh dari kumpulan berbagai penghasilan selama bertahun-tahun. Ketika yang
bersangkutan tidak dapat membuktikannya bahwa hal itu bukan hasil tindak pidana
korupsi atau tidak terkait dengan tindak pidana korupsi, dan penuntut umum juga
tidak membuktikan sebaliknya dari apa yang dibuktikan para terdakwa tersebut,
lalu harta kekayaan tersebut dengan serta merta dipandang hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Konstruksi ini dapat terjadi karena norma dalam
Pasal 77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, khususnya kata-kata “yang terkait
dengan perkara” yang disebutkan dalam Pasal 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010,
sangat samar (vaagennormen), sehingga
tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat
(1) UUDNRI Tahun 1945.
Pada
dasarnya Pasal 77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tetap dapat dipandang
konstitusional (conditionally
constitutional) sepanjang pasal-pasal tersebut dimaknai bahwa terdakwa
wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya “yang dapat dikualifikasi sebagai
transaksi keuangan mencurigakan” sebagai bukan merupakan hasil tindak pidana
atau tidak terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 2010, dan bukan dimaknai sebagai diwajibkannya terdakwa
untuk membuktikan terhadap “seluruh harta kekayaan” terdakwa yang sebelumnya
telah “disita” oleh Penyidik Kejaksaan, Penyidik Polri maupun Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Tentang
Penyitaan dan Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pidana Pencucian
Uang
Hukum Acara
Pidana dibuat dan dirancang secara “strict”
dengan maksud sebagai ejawantah dari perlindungan individu (yang powerless) dari kesewenangan aparat
penegak hukum negara (yang powerfull).
Hal ini menyebabkan segala proses dan prosedur yang dibangun dalam Hukum Pidana
formiel (Hukum Acara Pidana) juga dilandasi oleh asas legalitas (principle of legality). Hukum Acara
Pidana karenanya juga memiliki sifat lex
scripta, lex stricta, lex certa, sebagai komponen dasar dari
asas legalitas. Dengan demikian, Hukum Acara Pidana karenanya harus dituangkan
dalam hukum tertulis (written law).
Perbedaan mendasar asas legalitas Hukum Pidana materiel dan Hukum Acara Pidana
dapat diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan (wettelijke strafbepaling), yang berbentuk undang-undang dan
peraturan daerah, sebagaimana juga telah ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Sedangkan dalam Hukum Acara Pidana ejawantahnya hanya dapat
dilakukan dengan undang-undang (strafordering
heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien), sebagai pelaksanaan
perintah langsung Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), sebagai norma hukum yang lebih
tinggi. Tekanan pengaturan Hukum Acara Pidana ada pada proses (pengurangan hak
individu) dan prosedur (perlindungan hak individu), yang kesemuanya dijalankan
oleh aparatur peradilan pidana menyebabkan persyaratan pengaturannya jauh lebih
“ketat” daripada pembentukan delik, sehingga harus dengan undang-undang. Dalam
hal ini penuntutan sebagai suatu “proses” yang mengurasi hak individu haruslah
suatu kewenangan yang bersumber dari atribusi undang-undang, dan bukan
penafsiran belaka.
Hal ini membawa
konsekuensi bahwa pengaturan yang sifatnya Hukum Acara Pidana, tidak
ditafsirkan. Keadaan yang menunjukkan bahwa Hukum Acara Pidana atas suatu
tindak pidana, seperti tindak pidana pencucian uang yang cenderung dapat
ditafsir-tafsirkan, karena under
legislation dalam menegaskan suatu kewenangan, dapat menjadi suatu
ketentuan yang tidak konstitusional. Misalnya, penyitaan oleh Penyidik KPK (dan
juga kemungkinan oleh penyidik yang lain) terhadap harta kekayaan tersangka
tindak pidana pencucian uang. Dilihat dari definisinya, seperti yang ditentukan
dalam KUHP, penyitaan itu dilakukan terkait dengan “barang bukti” suatu tindak
pidana. Dalam hal ini barang yang diperoleh dari, dihasilkan dari dipergunakan
dalam suatu tindak pidana, dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
suatu tindak pidana ataupun barang yang mempunyai hubungan langsung terhadap
suatu tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP. Namun demikian
praktek menunjukkan penyitaan harta kekayaan tersangka dimaksud dilakukan pada
“seluruh” harta kekayaannya. Ketika dikaitkan dengan tindak pidana asal dari
tindak pidana pencucuian uang adalah tindak pidana korupsi, maka hampir bisa
dikatakan “seluruh” harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menjadi tersangka tindak pidana tersebut disita oleh penyidik. Seolah-olah
seluruh kekayaannya adalah hasil tindak piana korupsi.
Dalih yang yang
sering didengar mengenai hal ini, utamanya oleh juru bicara KPK, jika nantinya
pengadilan menyatakan barang-barang yang disita tersebut bukan hasil tindak
pidana korupsi, dan karena tidak menjadi harta kekayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, maka hal itu akan dikembalikan kepada yang
bersangkutan. Selain itu, didalihkan pula bahwa, tindakan penyitaan dilakukan
dalam rangka “pengamanan” jangan sampai harta kekayaan tersebut beralih kepada
pihak ketiga, padahal diperlukan untuk mengganti pembayaran denda atau pidana
uang pengganti yang tidak dibayar terdakwa/terpidana. Hal ini menyebabkan
“penyitaan” telah bergeser pada “penyanderaan” harta kekayaan
tersangka/terdakwa, Kesemua itu dilakukan tanpa undang-undang, “cuma bisa-bisanya”
KPK. Mengingat kita semua telah “mempertuhan” KPK sehingga sepertinya
tindakannya tidak pernah melawan hukum, kecenderungan praktek yang demikian menjadi
seolah-olah benar adanya.
Penyitaan adalah
penyitaan, pembekuan adalah pembekuan, perampasan adalah perampasan. Ketiganya
tidak boleh dipandang sama, dan karenanya juga tidak sama karena mempunyai
ruang lingkup yang berbeda. Tindakan hukum yang disebut “penyitaan”, yang
dilakukan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana, tetapi dijalankan sebagai
bentuk “pembekuan” atau “penyanderaan” harta kekayaan tersangka, merupakan
perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Pada gilirannya, harta kekayaan yang
demikian itu juga tidak dapat dijadikan objek pidana perampasan barang-barang
tertentu. Mengingat hanya barang-barang yang disita saja yang seyogianya
dirampas oleh negara. Lihatlah putusan terhadap Bahasyim, Djoko Susilo
(khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjabat Kakorlantas), Akil
Muchtar (khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjadi Ketua
Mahkamah Konstitusi), Anas Urbaningrum (khususnya harta kekayaan yang diperoleh
sebelum menjadi anggota DPR RI) dll, yang kesemuanya merampas harta kekayaan
“yang diduga” dari hasil tindak pidana korupsi dan bukan hasil tindak pidana
korupsi. Kesemuanya itu dapat terjadi karena sebelumnya, sekalipun bukan barang
bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang tersebut telah
dilakukan penyitaan oleh penyidik. Sepanjang pengamatan saya, baru putusan
terhadap Syarifudin, yang didalamnya memerintah mengembalikan uang yang disita
penyidik KPK tetapi bukan barang bukti suap yang diterimanya, itupun barang
kali karena Syarifudin diadili oleh koleganya.
Praktek
peradilan sama sekali terkadang terkesan tidak mengindahkan prinsip-prinsip
hukum. Sekalipun bukan berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang lihatlah
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Putusan No. 42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama
Terdakwa Rustam Syarifudin Pakaya. Dalam hal ini Terdakwa Rustam Syarifudin
Pakaya dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan karenanya menjatuhkan pidana
penjara 4 tahun dan denda sebanyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta
rupiah), serta menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebanyak Rp.
2.570.000.000 (dua milyar lima ratus tujuh puluh juta rupiah), dan menjatuhkan pidana tambahan
perampasan barang-barang bergerak, yang dikatakannya berada dalam penguasaaan
Saksi Tan Suhartono, Mediana Hutomo, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP, dan
Drg. Els Mangundap, Drs. Amir Syarifudin Ishak, SH., MH, PT. Graha Ismaya, PT.
Indofarma Global Medika. Dalam hal ini sama artinya para saksi tersebut juga
turut dijatuhi dengan pidana perampasan
barang bergerak itu, yang dalam perkara tersebut berupa sejumlah uang. Perampasan bukan hanya bukan terhadap
barang yang tidak disita tetapi juga barang milik orang lain yang tidak
berperkara. Sungguh sesuatu yang jauh dari perlindungan terhadap hak-hak
individual seseorang, termasuk terhadap harta bendanya yang dilindungi oleh
Konstitusi.