Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH
A.
Kodifikasi Hukum dan Hukum Pidana
Khusus
Pada
dasarnya Hukum Pidana Indonesia mewarisi civil
law system, mengingat asas konkordan yang menempatkan Hukum Pidana Kerajaan Belanda diterapkan di Hindia Belanda.
Sekalipun setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dilakukan pertumbuhan
perundnag-undangan baru, termasuk dalam bidang Hukum Pidana, tetapi pendekatan kodifikasi
hukum
hingga kini tetap dipertahankan, seperti juga di Negeri Belanda.
Pada
dasarnya pula, perkenalan dengan Hukum Pidana Khusus, seperti pembentukan Undang-Undang
Pidana Khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga
diperkenalkan oleh Sistem Hukum Belanda, sehingga di Indonesia bertumbuh
kembang, hingga hampir tidak terkendali, pembentukan undang-undang pidana di
luar KUHP, seperti melalui pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Undang-Undang Tindak Piana Pornografi, Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan lain sebagainya.
Hukum
Pidana Khusus bidang hukum pidana materil keberlakukananya didasarkan pada
ketentuan Pasal 103 KUHP: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku
ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang
ditentukan lain”. Sedangkan Hukum Pidana Khusus bidang hukum acara pidana
keberlakuannya didasarkan pada ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP: “Dalam waktu
dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi”.
Hukum
Pidana Khusus diadakan mengingat berbagai kepentingan khusus, yaitu antara lain:
(1) Subyeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut kualitas tertentu
yang harus dipenuhi untuk mengujudkan suatu delik;
(2) Objeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut benda-benda hukum
tertentu yang mempunyai sifat kekhususan tertentu;
(3) Diperlukan hukum acara yang bersifat khusus untuk penegakannya, yaitu
menyangkut proses dan prosedur khusus, yang memberikan kewenangan khusus dan
terbatas kepada aparat penegak hukum tertentu.
Persoalan mendasar mengenai hal ini, sejauhmanakah dalam
sistem kodifikasi Hukum Pidana Khusus dimungkinkan. Hal ini perlu dipastikan untuk
kemudian menentukan berbagai “pengecualian” atau “penyimpangan” terhadap
asas-asas umum dalam kodifikasi menjadi dimungkinkan pula. Bagaimana kemudian
pertumbuhanya ke dean, apakah seharusnya
hanya meliputi bidang Hukum Pidana Formiel (Hukum Acara Pidana) belaka atau justru dalam
batas-batas tertentu Hukum Pidana subtantifnya dan Hukum Pelaksanaan Pidana juga
mungkin “disimpangi”.
Untuk
menjawabnya, pertama-tama harus didudukkan terlebih dahulu peristilahan
mengenai hal ini. Istilah yang umumnya
digunakan adalah “Tindak Pidana Khusus” (speciale delicten),
padahal hal ini bukan hanya menyangkut “hukum pidana materil” yang
diantaranya mengatur masalah-masalah “tindak pidana”, tetapi juga
berkaitan dengan “hukum pidana formil” dan “hukum pelaksanaan
pidana”. Istilah lain yang digunakan adalah “Undang-Undang Pidana
Khusus” (bijzondere wetten), yang mengandung kelemahan
karena seolah-olah suatu sifat kekhususan aturan hanya terdapat dalam undang-undang ini,
padahal baik aturan-aturan yang bersifat umum
dan “kekhususannya yang logis” maupun “kekhususannya yang sistematis” dapat terjadi dalam satu
undang-undang.
Istilah
“Hukum Pidana Khusus” lebih relevan untuk menggambarkan isi dari studi ini,
sehingga dapat meliputi asas-asas (principles), aturan-aturan
(rules) dan kebijakan-kebijakan (policies) dalam hukum
pidana yang sifatnya “khusus” (lex specialis), yang “menyimpang”
dari hal yang sifatnya “umum” (lex generalis), baik dalam
lapangan hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana dan hukum
pelaksanaan pidana,
Berdasarkan
hal itu, Hukum Pidana Khusus memiliki ruang lingkup studi antara lain:
(1)
Tindak pidana-tindak pidana
tertentu yang teknik perumusannya
“menyimpang”
dari design tindak pidana pada umumnya;
(2)
Pertanggungjawaban pidana terhadap
orang-orang yang mempunyai kedudukan khusus;
(3)
Sanksi pidana yang bersifat khusus;
(4)
Proses dan prosedur khusus dalam
penegakan hukum pidana;
(5)
Pelaksanaan sanksi pidana yang
bersifat khusus.
Mengacu
pada hal-hal di atas, maka Hukum Pidana Khusus berkaitan dengan teknik
perumusan tindak pidana sebaiknya sama sekali dihindari. Kesulitan-kesulitan
penerapannya akan dating menghadang jika perumusan delik dikecualikan. Hukum Pidana Materiel yang bersifat khusus
tidak diperlukan lagi apabila dalam
kodifikasi baru (RUU KUHAP) telah mengatur
hal-hal sebagai berikut:
(1) Pengecualian peringanan pidana bagi tindak pidana tertentu telah ditentukan dalam kodifikasi.
Misalnya ketentuan peringanan pidana bagi persiapan, permufakatan jahat, percobaan,
dan pembantuan terhadap tindak pidana
terorisme, korupsi dan peredaran gelap narkotika yang dinyatakan tidak berlaku
dalam kodifikasi;
(2) Perluasan tindak pidana sehingga dapat dilakukukan dan kemudian dimintai pertanggungjawabkan terhadap korporasi telah diatur dalam
kodifikasi.
Sebaiknya
pengaturan yang bersifat khusus perlu ditekankan pada Hukum Acara Pidana dan
Hukum Pelaksanaan Pidana Dalam hal ini Hukum Acara Pidana khusus diperlukan
mengingat hal-hal sebagai berikut:
(1) Perlunya kelembagaan khusus untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu tindak pidana, karena sifat
kekhususan pembuktian atas tindak pidana itu, seperti tindak pidana korupsi
dengan adanya KPK, dan tindak pidana
pencucian uang terkait dengan peran PPATK dan tindak pidana pelanggaran hak
berat terkait dengan peran Komnas Ham, sebagai
lembaga strategis yang menentukan dalam penyidikan hal itu;
(2) Perlunya perlakuan khusus terhadap objek suatu tindak pidana, seperti illegal logging, illegal fishing dan illegal
mining atau cyber crime, yang
memerlukan pendkatan khusus, baik lembaga peradilan khusus (seperti Pengadilan
perikanan) maupun teknik pembuktin khusus melalui bukti elektronik;
Sedangkan
Hukum Pelaksanaan Pidana Khusus sekarang ini diperlukan mengingat keadaan
sebagai berikut:
(1) Perluya perlakuan dan treatment
khusus bagi terpidana tertentu, seperti terpidana anak-anak, terpidana pelaku
kejahatan dengan prilaku menyimpang (pedofil,
homo sexual), terpidana pengguna, penyalahguna, dan pecandu narkotika,
terpidana yang menderita HIV/AIDS dan penyakit berbahaya lainnya, terpidana terorisme yang perlu
deradikalisasi;
(2) Perlunya tempat
khusus bagi terpidana yang menunggu pelaksanaan pidana mati, sehingga tidak
mengganggu proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyakatan;
Kesemua
itu menunjukkan Hukum Pidana Khusus lebih tertuju pada proses dan prosedur
khusus bagi tersangka/terdakwa, serta pembinaan dan perlakuan yang khusus bagi
narapidana, daripada pembentukan delik-delik khusus. Bagaimanakah hal-hal di atas
disikapi oleh pemerintah Belanda dalam Hukum dan Undang-Undang Pidananya, perlu
dicermati secara lebih mendalam.
B.
Perubahan dan Struktur Hukum Pidana
Perubahan
terhadap Undang-Undang Hukum Pidana sebenarnya merupakan keniscayaan, sebagai
konsekuensi dinamika vertikal dan horizontal. Dinamika vertikal yang sedang
dialami oleh Bangsa Indonesia yang mengharuskan diadakannya
penyesuaian-penyesuaian daam bidang Hukum Pidana antara lain:
(1) Amandemen Konstitusi, yang menyebabkan timbulnya amanat
perlindungan yang baru melalui mekanisme Hukum Pidana. Misalnya diintrodusirnya
berbagai ketentuan tentang perlindungan dan pernghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Perubahan Undang-Undang lain yang menyangkut kepentingan
sektor pebangunan tertentu yang membutuhkan perlindungan dari segi Hukum
Pidana, seperti sektor: (1) pembangunan politik, keamanan dan pertahanan, (2)
pembangunan ekonomi dan industi, (3) pembangunan sumber daya manusia, (4) pembangunan
kemaritiman. Kesemua sector pembangunan tersebut telah memiliki landasan
hukunya (sectoral law), tetapi
terkadang efektivitasnya sangat perlu ditunjang oleh Hukum Pidana;
(3)
Ratifikasi konvensi-konvensi internasional
sebagai
upaya untuk mengikuti perkembangan global dan kecenderungan internasional,
dengan harus disesuainya Hukum Pidana
Nasional ddengan kecenderungan demikian sebagai konsekuensi menempatkan
Indonesia sebagai negara beradab dalam pergaulan bangsa-bangsa. Sekalipun tidak
selalu harus diikuti, tetapi penyesuaian dalam bidang Hukum Pidana terkait hal
itu sanga diperlukan;
(4)
Perkembangan ilmu pengetahuan,
tekonologi dan seni, yang menyebabkan perubahan cara pandang, gaya, dan
perilaku hidup individu atau masyarakat, yang pada satu sisi memerlukan
proteksi dan tetapi pada sisi yang lain memerlukan pembatasan dari segi Hukum
Pidana
Untuk
menyikai hal di atas, bagi Hukum Pidana terbuka dua kemungkinan untuk mensikapi
hal-hal tersebut, yaitu:
(1) Mengadakan amandemen terhadap KUHP, seperti yang selama ini telah
dilakukan, antara lain: dengan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965, Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 dan lain
sebagainya;
(2) Membentuk Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP dan
Undang-Undang Administratif bersanksi pidana, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun
1971, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001,
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 dan lain sebagainya, serta undang-undang administratif pada umumnya;
Sebenarnya
kedua pendekatan di atas selain mengandung kelebihan-kelebihan juga
kelemahan-kelemahan sekaligus. Perubahan dengan melakukan amandemen KUHP menyebabkan penambahan delik-delik baru harus
dilakukan dalam sistematika yang ada. Hal ini menjadi kelebihan dan sekaligus
kelemahanya. Dikatakan kelebihannya karena ketika telah dihimpun dalam satu
naskah, Hukum Pidana akan lebih mudah
dipahami dan dipelajari, serta lebih praktis penerapannya. Kekurangannya adalah
kadangkala kepentingan yang hendak dilindungi oleh delik-delik baru itu jika
tidak terdapat dalam sistematika yang ada, sehingga jika tidak mungkin dibuat
bab tersendiri (seperti pembentukan Bab tersendiri Kejahatan terhadap
Penerbangan dan Sarana Penerbangan), maka pasal-pasal dimaksud dimasukkan
“disisipkan” dalam bab yang paling mendekati yang sebenarnya tidak selalu tepat
(seperti tindak pidana penodaan agama ditempatkan dalam Bab tentang Kejahatan
terhadap Ketertiban Umum).
Sementara
itu, pembentukan Undang-Undang Pidana tersendiri, baik Undang-Undang Pidana
Khusus atau Undang-Undang Administratif bersanksi pidana, menyebabkan kerapkali
terjadi penyimpangan terhadap asas-asas dalam KUHP. Misalnya dengan memperluas
subyek tindak pidana sehingga meliputi korporasi dalam banyak undang-undang
yang belum memiliki “cantolan” sistemnya
dalam KUHP. Pengaturan dari satu undang-undang ke undang-undang yang lain
terhadap tindak pidana korporasi kerap berbeda-beda yang menimbulkan kekacauan
dalam prakteknya. Begitu pula halnya dengan jenis dan jumlah (strafmaat dan strafsoort) yang tidak sebanding, yang menimbulkan kekacauan
sistemik baik dalam ranah teoritis mapun aplikasinya;
Hukum
Pidana Belanda umumnya menggunakan pendekatan amandemen, dengan mengadakan
penyesuaian yang bukan semata-mata menyisipkan delik-delik baru tetapi juga
memperbaiki asas-asas hukum yang berlaku sebagai aturan umum. Misalnya, ketika
Hukum Pidana Belanda menerima korporasi sebagai subyek delik, pertama-tama
dilakukan dengan meperluas makna “hij
die” (barangsiapa) sehingga meliputi pula korporasi. Penambahan delik baru
yang ditujukan pada korporasi juga menyebabkan perubahan sistem asas pada KUHP
Belanda.
Ketika
Indonesia mengambil langkah perubahan dengan membetuk undang-undang di luar
KUHP maka pendekatan yang dilakukan untuk memberi “rational respons to crimes” semakin tidak sistemik. Oleh karena
itu, tidak diperlukan “evolusi” Hukum Pidana dalam hal ini, melainkan
“revolusi” yang mendasar dengan mengkonslidasikan undang-undang di luar KUHP ke
dalam sistem KUHP dalam RUU KUHP. Nanti dengan
telah membagi habis kepentingan-kepentingan yang hendak dilindungi dengan
Hukum Pidana, sehingga ketika RUU KUHP telah diundangkan, barulah sistem
amandemen diterapkan. Oleh karena itu, ketika perubahan dengan model amandemen
diterapkan sekarang sedangkan sebaiknya
hal itu dilakukan untuk dua kepentingan:
(1) Memperbaiki aturan umum yang memuat
asas-asas hukum pidana;
(2) Mengkompilasi tindak pidana-tindak
pidana yang selama ini tersebar dalam banyak undang-undang menjadi bagian
kepentingan yang dilindungi dalam sistem kodifikasi;
Maka kesulitan-kesulitan akademis
perumusannya sangat besar. Perubahan yang dibutuhkan sekarang adalah
“mengganti” KUHP peninggalan Belanda dengan “kodifikasi yang lebih baik”, dan
barulah kemudian hari perubahan-perubahan lebih lanjut pasca diundangkannya
KUHP baru di Indonesia cukup dilakukan dengan mengadakan amandemen kodifikasi
tersebut, dan harus dihindari pembentukan Undang-Undang Pidana Khusus
Pendekatan
yang demikian menyebabkan struktur Hukum Pidana pada masa mendatang cukup
dibedakan dalam dua kelomok besar, yaitu:
(1) Hukum Pidana Umum dalam KUHP, yaitu
memuat semua tindak pidana yang menyangkut kepentingan asli (original interest) kehidupan masyarakat
beradab, sehingga hal itu merupakan perlindungan
norma-norma etis;
(2) Hukum Pidana Adminitratif, yaitu
memuat tindak pidana yang penegakannya tergantung pada konsep dan instrumen administratif, sehingga merupakan
perlindungan norma-norma non etis belaka;
Bagaimanakah hal-hal di atas disikapi oleh pemerintah
Belanda dalam Hukum dan Undang-Undang Pidananya, perlu dicermati secara lebih
mendalam. Sesungguhnya
pembedaan Hukum Pidana yang terakhir di atas, merupakan pendekatan yang telah
digunakan dalam Hukum Pidana Belanda, dan seyogianya diikuti di Indoensia.
C. Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawaban Korporasi
Seiring dengan perkembangan ekonomi, perluasan subyek
Hukum Pidana sehingga meliputi suatu korporasi menjadi suatu kebutuhan yang
tidak bisa dihindari dimanapun, baik di Indonesia maupun di Belanda. Dalam
Hukum Pidana Indoensia telah dilakukan beberapa perubahan yang bersifat parsial
dan sporadis berkenaan dengan hal ini. Hal itu menimbulkan masalah-masalah yang belum mendapatkan
pemecahan yang komprehensif dan terukur berkenaan dengan hal ini, yang dapat dibedakan kedalam beberapa kelompok
persoalan, yaitu:
(1)
Masalah penentuan apakah suatu perbuatan adalah tindak pidana yang dilakukan
oleh individu atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Misalnya,
dalam perkara dugaan korupsi yang dalam proyek bioremediasi PT. CHVERON PACIVIC
INDONESIA yang memandang peristiwa tersebut seolah-olah sebagai tindak pidana
yang dilakukan oleh individu dan bukan korporasinya. Seharusnya perbuatan yang
dilakukan untuk dan atas nama korporasi, menyebabkan tindak pidana itu bukan
tindak pidana yang dilakukan seseorang dalam kapasitas individunya, tetapi
harus dipandang sebagai tindak pidana korporasi;
(2)
Masalah penentuan siapakah dari pengurus
korpoasi yang seharusnya dipertanggungjawakan karena suatu tindak pidana
korporasi. Misalnya, dalam perkara tindak pidana dibidang perpajakan yang
dilakukan oleh PT. ASIANG AGRI GROUP justru yang dipertanggungjawabkan hanya tax manager dan bukan direksinya.
Tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi tetapi keuntungan hal itu
sepenuhnya dinikmati oleh korporasi itu, seharusnya dipertanggngjawabkan kepada
direksinya ;
(3)
Masalah penentuan sanksi pidana yang paling tepat terhadap tindak pidana
korporasi. Misalnya, dalam tindak pidana di bidang kehutanan yang dilakukan
oleh PT. BUKIT KENDI, pidana dijatuhkan berupa pidana badan (pidana penjara)
kepada Direktur Utama yang sedang menjabat ketika perkara disidik, dituntut dan
diadili, dan membebasakan Direktur Utama yang justru menjabat ketika tindak
pidana mulai dilakukan, dengan alasan bahwa tindak pidana ini adalah tindak
pidana korporasi. Demikian pula pidana badan dijatuhkan terhadap Direksi PT.
INDONSAT M2 dan PT. MERPATI NUSANTARA, padahal yang seharusnya dipidana adalah korporasi
itu sendri, karena pada pengurus itu sebenarnya mereka itu hanya menjalankan
bisnis yang sejalan dengan Anggaran Dasar korporasi itu tanpa ultra vires. Sesungguhnya pidana yang
seharusnya dijatuhkan hanyalah pidana denda bagi korporasinya.
Pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada
adanya kewajiban pada setiap korporasi untuk mengambil jarak sejauh mungkin
dengan terjadinya tidak pidana, dan jika kewajiban ini dilalaikan maka
korporasi dapat dicela karena suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dapat diminta apabila korporasi
tidak menjadikan dapat dihindarinya tindak pidana sebagai bagian kebijakannya
menjalankan kegiatan/usahanya. Pertanggungjawaban
pidana korporasi dipandang memenuhi syarat apabila suatu korporasi dalam
kenyataanya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tingkat
pengamanan dalam mencegah dilakukannya tindak terlarang oleh “pengurus”, “pegawai”
atau “orang-orang yang dapat dipersamakan dengan hal itu”.
Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi hanya dapat dilakukan
apabila ada kaitan erat proses pengambilan atau pembentukan keputusan didalam
suatu korporasi dengan tindak pidana yang terjadi. Pertanggungjawaban Pidana
korporasi cukup ditandai oleh kenyataan bahwa tindak pidana terjadi karena
bersumberkan atau terkait pada cara pengelolaan usaha/keputusan korporasi.
Dalam hal tindak pidana dilakukan pengurus “untuk”
suatu korporasi perbuatannya diletakkan dalam konstruksi “penyertaan” (deelneming)
antara korporasi dan pengurusnya, sehingga pertanggungjawabannya berdasar
kepada kesalahan (liability base on fault) pengurusnya dan kesalahan
pengurus dipandang sebagai kesalahan korporasi. Sedangkan dalam hal tindak pidana dilakukan pengurus korporasi “atas nama” suatu
korporasi maka pebuatannya diletakkan sebagai perbuatan korporasi secara“vicarious
liability crime”, karenanya pertanggungjawabannya secara “strict” tanpa
lebih jauh memperhatikan kesalahannya. Sementara itu, dalam hal tindak pidana dilakukan pegawai
korporasi atau orang yang dapat dipersamakan dengan pegawai korporasi “untuk
dan/atau atas nama” suatu korporasi maka perbuatannya dipandang sebagai
perbuatan “pengurus” dan “korporasi” berdasar konstruksi “vicarious
liability crime.”
Kesemua
hal-hal di atas, memerlukan pendalaman melalui bagaimana hal itu diatur dalam
Hukum Belanda. Diharapkan dengannya perumusan norma-norma tindak
pidana, pertanggungjawaban dan pemidanaan korporasi yang dapat diterapkan lebih
akurt dan fairness dapat ditemukan,
guna menyempurnakan pengaturan yang ada di RUU KUHP.
D. Hukum yang Hidup (living law)
Living Law merupakan istilah yang pertama kali digunakan
secara sadar oleh Engen Ehrlich. Dalam konteks RUU KUHP masalah keberadaan living law (Hukum Adat dan Hukum Agama)
menjadi kembali mengemuka. Pada masa
kolonisasi hal itu tidak mendapatkan tempat yang begitu banyak, karena sistem
hukum civil law system-lah yang diberlakukan oleh
pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Akibatnya pribumi diperlakukan secara tidak
adil dimata hukum, mengingat seolah-olah semua orang dipaksa untuk tunduk
kepada Hukum Positif, dan diarahkan untuk meninggalkan hukum asli banga
Indonesia.
Dilihat dari segi ini
kemungkinan besar tidak terdapat informasi yang memadai di Negeri Belanda
tentang bagaimana bangsa itu memperlakukan living
law masyarakatnya. Memang dalam konteks kekinian living
law mengalami goncangan yang begitu besar di era globalisasi saat ini,
goncangan tersebut dikerenakan terjadi perubahan-perubahan didalam masyarakat,
yang meliputi pelbagai aspek kehidupan baik itu Ekonomi, sosial, maupun budaya,
sehingga keberadaannya terasa
semakin pudar, \ tak terurus lagi dan dirasakan kuno.
Bagi Bangsa Indonesia, keberadaaa living law tentu tidak selalu relevan jika dihadapkan pada fenomena
globalisasi jika hukum selalu dipandang sebagai state law. Namun demikian, kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia, menyebakan pendekatan Hukum Positif
dirasakan terlalu “sesak” dan “membelenggu” dalam melihat fenomena hukum yang
ada. Pencasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia memiliki kedudukan superior
dibanding peraturan perundang-undangan, dan hal itu tidak perlu lagi
dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dengan terang-terangan yang dilandasri
dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian, harus dibangun
suatu norma peraturan perundanng-undangan yang menentukan dalam keadaan-keadaan
bagaimana hukum tertulis inferior atas
hukum tidak tertulis.
Living law dalam kaitannya dengan
perkembangan globalisasi dapat ditempatkan sebagai “filter” diintroduksinya gaya hidup, sikap pandang, prilaku sosial individu bahkan masyarakat, yang keluar
dari batas, kebudayaan dan/atau
transaksi kebudayaan dari kebudayan masyarakat Indoensia. Dalam hal ini Hukum
Pidana diharapkan akan mempengaruhi perilaku individu dan secara global akan
turut mempengaruhi watak masyarakan dan bangsa.
Era globalisasi setiap individu mempunyai tiga peranan utama
yang saling berkaitan, yaitu: sebagai
sarana pengendalian sosial, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi
sosial, dan sebagai sarana untuk menciptakaan keadaan tertentu. Dalam hal ini
Hukum Pidana digunakan untuk mempengaruhi sikap dan prilaku individu sehingga
dapat memainkan peran yang demikian. Kadangkala penekatan hukum positif saja
tidak akan mampu melaksanakannya, sehingga diperlukan living law sebagai acuan dalam pengaturannya.
E. Bentuk-bentuk tindak pidana
administratif yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi (illegal logging, illegal fishing dan illegal
mining fishing)
Bentuk-bentuk
tindak pidana baru, sekalipun berangkat dari tindak pidana adminitratif perlu
mendapat perhatian serius, utamanya karena kerugian ekonomi yang sangat besar
dan dampak dari tindak pidana itu yang menyangkut international interst. Artinya, secara nasional dan internasional
akibat tindak pidana administratif itu cenderung mempunyai daya rusak yang
lebih tinggi daripada generic crime pada umunya.
Ilegal fishing misalnya, menurut pemerintah
mencapai hingga 20 Milyar USD per tahun merupakan angka yang sangat fantastif.
Dana sebesar itu sangat diperlukan dalam pembangan di sector pembangunan sumber
daya manusia, khsusunya subsektor pendidikan da kesehatan, serta pembangunan
sector-sektor lain. Demikian pula dampak kerusakan lingkungan yang timbul
akibat illegal mining dan illegal logging dimana antara tahun 2002
sampai dengan 2012 saja, per tahunnya Indonesia kehilangan 6. 020.000 hektar
per tahun.
Perlu
terobosan penting berkenaan dengan penanggulangan tindak pidana ini. Boleh jadi Belanda mempunyai pengalaman
yang sangat baik untuk diikuti oleh Indonesia. Persoalan mendasar yang perlu
mendapatkan jawaban segera mengenai hal ini adalah, apakah pendekatan terhadap
masalah ini yang menempatkan Hukum Administrasi sebagai primum remedium dan menempatkan Hukum Pidana sebagai ultimum remedium adalah langkah yang
erlu dikaji ulang atau jusru tetap dipertahankan. Artinya, apakah sejauh ini
kebijakan legislatif (legislative policy)
menempatkan masalah ini sebagai delik adminitratif telah cukup mampu
mengendalikan aktivitas ilegal itu, atau justru diperlukan langkah yang lebih
keras lagi.
Salah
satu cara yang sebaiknya digunakan dalam membawa persoalan ini ke dalam ranah
kebijakan yang lebih serius adalah membuka tindak pidana-tindak pidana tersebut
sebagai tindak pidana dengan yurisdiksi internasional (international jurisdiction). Artinya, illegal fishing bukan hanya dimaknai sebagai tindak pidana pidana terhadap pencurian ikan
di Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera asing, tetapi juga
ketika kapal-kapal Indonesia melakukannya di luar wilayah perairan Indonesia.
Hal ini juga berdampak bahwa ketika apparat penegak hukum Indonesia gagal
melakukan penindakan terhadap plaku
illegal fishing, maka penegak hukum negara lain yang juga menyatakan hal
itu sebagai tindak pidana dapat menindaknya.
Langkah
ini tentu beresiko adanya Warga Negara Indonesia atau kapal berbendera Indonesia yang akan
ditindak di luar negeri jika melakukan perbuatan yang merugikan suatu Negara,
tetapi pada sisi lain dengan mutual legal
assistance lepas dari jerat hukum di Insonesia bukan berarti lepas dari
pertanggungjawaban bagi pelaku illegal
fishing dimanapun dia berada. Sepertinya pendekatan ini belum menjadi norma
dalam RUU KUHP. Apabila kebijakan ini
yang diambil, maka illegal fishing tidak lagi menjadi delik
administratif, tetapi harus menjadi geneneric
crime. Undang-Undang Perikanan dan Undang-Undang Zona Ekonomi Ekslusif tinggal menjadi sumber penafsiran norma, dan
bukan lagi menjadi instrument yang harus diterapkan lebih dulu.
Begitu pula halnya dengan illegal logging dan illegal mining harus dijadikan delik dengan international jurisdiction. Negara-negara yang opelaku ekonominya ikut
menampung hasil kejahatan ini akan “terpaksa” menerapkan sanksi yang lebih
tegas, jika kelakuan demikian lolos dari jerat hukum di Indonesia, karena notabene pelakunya da di luar negeri.
Dengannya menyebabkan RUU KUHP selain mengatur Hukum Pidana Nasional, juga
memberi landasan bekerja Hukum Pidana di negara lain terhadap tindak pidana
yang terjadi di Indonesia dan dampaknya timbul di negara lain.
F.
Masalah Pidana Mati
Eksekusi terpidana mati yang
baru-baru ini terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK menyita perhatian semua
kalangan, dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai pusat perhatian duania,
dikaitkan dengan issue hak asasi manusia. Sebenarnya jika Hukum Pidana
ditempatkan sebagai symbol of
sovereginity, maka tekanan, kritik, pertanyaan dari banyak kalangan dalam
dan luar negeri, negara-negara yang warga negaranya ikut dikesekusi ataupun
dari lembaga-lembaga internasional, termasuk Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dapat dengan mudah diabaikan. Namun demikian, dalam konteks ini, masalah Pidana
Mati di Indonesia bukan dipandang sudah selesai, dengan ditolaknya berbagai
permohonan uji materiel terhadap undang-undang yang didalamnya mencantumkan
pidana mati oleh Mahkamah Konstitusi. Masih terdapat sejumlah persoalan yang
sebenarnya masih relevan dipersoalkan dan diperbandingkan dengan negera lain, tetapi tidak termasuk dengan Hukum Belanda,
karena Belanda telah menghapuskan pidana
mati sejak tahun 1870.
Legal Policy bangsa Indonesia tidak mengadakan “perubahan” atas
perundang-undangan peninggalan kolonial
yang menggunakan pidana mati. Legal policy bangsa Indonesia justru
meningkatkan (menambah) jumlah penggunaan pidana mati dalam perundang-undangan.
Sementara itu, Criminal policy bangsa
Indonesia menggunakan pidana mati baik terhadap tindak pidana (murni) maupun
tindak pidana administratif. Criminal policy bangsa Indonesia misalnya mengancamkan
pidana mati untuk tindak pidana korupsi, terorisme dan illegal traffic drugs.
Korupsi adalah “property crime” karenanya
harus berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan/perekonomian negara.
Terorisme adalah “political crime” karenanya
sangat tergantung dari perspektif rezim yang berkuasa. Perdagangan Ilegal
Narkoba adalah “administrative crime” karenanya sanksinya hanya sejauh
upaya membuat hukum administratif ditaati dan tidak boleh sampai merampang
nyawa orang.
Sementara itu, penalpolicy Menghapuskan pidana mati secara de
facto dari beberapa tindak pidana yang terdapat dalam perundang-undangan
kolonial, misalnya terhadap terpidana makar (ingat kasus tokoh-tokoh eks
G30S/PKI atau kasus Xanana). Tetapi pada sisi lain meningkatkan penjatuhan
pidana mati terhadap illegal traffic of drugs (mislnya Duo Bali Nine) dan terorisme (misalnya kasus
Amrozi dkk), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (seperti Fabianus Tibo dkk).
Secara
internasional perlu disadari terjadi kecenderungan meningkatnya penghapusan
pidana mati dalam perundang-undangan di berbagai negara:
(1)
Tahun 1965 hanya 12 negara yang telah menghapuskan pidana
mati untuk semua tindak pidana (Kolombia (1910), Costa Rica (1877), Ecuador
(1906), Republik Federal Jerman (1949), Honduras (1956), Iceland (1928), Monaco
(1962), San Marino (1865), Uruguai (1907), Venezuela (1863), Argentina (1921),
Brazil (1882)); dan 11 negara yang menghapuskan pidana mati untuk tindak pidana
tertentu (Austria (1950), Denmark (1930), Finland (1949), Israel (1954), Italy
(1947), Belanda (1870), Selandia Baru (1961), Norwegia (1905), Portugal (1867),
Swedia (1921) dan Swis (1942)
(2) Tahun 1988 terdapat 35 negara yang
telah menghapuskan pidana mati untuk semua tindak pidana dan 18 negara
menghapuskan pidana mati untuk tindak pidana tertentu (jumlah negara 180)
(3) Tahun 1995 terdapat 58 negara yang
telah menghapuskan pidana mati untuk semua tindak pidana dan 14 negara yang
menhapuskan pidana mati untuk tindak pidana tertentu (jumlah negara 191);
Dan
terdapat Kecenderungan menurunnya jumlah negara yang mempertahankan pidana mati
dalam perundang-undangannya:
(1) Tahun 1988 terdapat 101 negara atau 56% yang tetap mempertahankan
pidana mati (jumlah negara 180);
(2) Tahun 1995 terdapat 90 negara atau
47% yang mempertahankan pidana mati (jumlah negara 191);
Bagi
Indonesia, ketika penggunan pidana mati dalam Hukum Pidana dipertahankan
sebagai national policy, maka
sejumlah persoalan seharusnya ditelaah kembali, yaitu:
(1) Penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit yang
masih belum memiliki acuan yang memungkinkan hal itu dilakukan secara terukur
dan non disparity. Ketika dalam RUU
KUHP telah diintrodusir “pedoman penjatuhan pidana penjara”, maka untuk
kedepannya perlu dibuat “pedoman
penjatuhan pidana mati”, antara lain memuat ketentuan:
a. Pidana mati tidak dijatuhkan
terhadap terdakwa yang baru pertama kali melakukan tindak pidana (first offender) yang diancam dengan
pidana mati;
b. Pidana mati tidak dijatuhkan
terhadap terdakwa yang memiliki alasan apapun yang dapat meringankan baginya,
baik karena perbuatannya, kesalahannya, atau karena hal-hal lain diluar hal
itu;
c. Pidana mati tidak dijatuhkan
terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana karena dirinya sendiri menjadi
korban dari tindak pidana yang dilakukan pihak lain;
(3) Pelaksanaan (eksekusi) pidana mati terhadap terpidana-terpidana tertentu
harus ditunda, antara lain apabila
diterui keadaan-keadaan tertentu, antara lain:
a. Pidana mati ditunda pelaksanaannya
terhadap terpidana yang sedang mengajukan Peninjauan Kembali, kecuali untuk
yang kedua dan seterusnya;
b. Pidana mati ditunda pelaksanaannya
terhadap terpidana yang belum mengajukan peninjauan kembali dalam waktu
tenggang waktu lima tahun dan tidak lebih dari sepuluh tahun, sejak putusan
yang menjatuhkan pidana itu berkekuatan hukum tetap;