DR. Chairul Huda, SH., MH
Umumnya suatu tindak pidana dirumuskan untuk pembuat tunggal, hanya beberapa diantaranya yang dirancang untuk menjangkau peristiwa yang melibatkan banyak orang. Untuk memperluas daya jangkau rumusan undang-undang tentang suatu delik yang di-design untuk pembuat tunggal tersebut, dibuat ketentuan tentang “penyertaan” (deelneming). Dilihat dari teori pembuat yang restriktif, ketentuan tentang penyertaan mutlak adanya, yang dengan dianya dapat membuat orang-orang lain selain pelaku (pleger) dari suatu kejahatan, dipandang juga melakukan perbuatan yang dilarang (strafbaar). Undang-undang dengan demikian membatasi pemidanaan terhadap orang yang turut campur dari suatu kejahatan sepanjang memenuhi kriteria sebagai peserta perbuatan pidana dalam “Ajaran Penyertaan”.
Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir
tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap ketentuan undang-undang
tentang penyertaan. Hal ini menyebabkan perubahan tentang pola hubungan pelaku
dan peserta (dalam suruh lakukan (doenpelegen), turut serta melakukan
(medeplegen), penganjuran (uitlokken) dan pembantuan (medeplichtige)) hanya
terjadi dalam praktik hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Apabila perkembangan
oleh praktisi sangat dipengaruhi politik hukum yang tengah berlaku dan
kebutuhan-kebutuhan praktis pemecahan suatu kasus, maka para akademisi selalu
mencoba menjawab perkembangan praktis tersebut, berdasarkan faktor-faktor
kriminogen yang timbul.
Dalam kasus pembunuhan NASARUDDIN,
“manipulasi” tentang ajaran penyertaan dari apa yang ditentukan oleh
undang-undang, dengan keadaan yang diharapkan timbul karena perubahan arah
kebijakan (politik) hukum atau kebutuhan praktik, dipertontonkan dengan sangat telanjang.
Paling tidak hal itu terlihat dari dua hal, yaitu: pengaburan makna “turut
serta melakukan” dan penerapan ketentuan “penyertaan secara
bertingkat-tingkat”. Hal ini membawa konsekuensi structural tentang kualifikasi
tindak pidana yang serharusnya yang dilakukan para pembuat dan
pertanggungungjawaban pidananya atas hal itu.
Pertama, antara kejadian di sekitar
Tangerang dan beberapa orang yang disinyalir sebagai aktor intelektualis
dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian, antara
ANTASARI, SIGIT, WILIARDI dan JERRY dengan para eksekutor dihubungjan dengan
ketentuan tentang “menganjurkan” orang lain melakukan kejahatan atau uitlokker.
Dalam hal ini ANTASARI dkk dipandang sebagai “orang yang menggerakkan orang
lain melakukan kejahatan”, yang disebut-sebut dilakukan “dengan memberi
sesuatu” dan/atau “menjanjikan sesuatu”. Namun demikian, sekalipun ANTASARI
yang dipandang mempunyai “motif” dilakukannya pembunuhan terhadap korban,
tetapi seperti ditegaskan di atas, perbuatan itu tidak dilakukan oleh ANTASARI
sendiri. Persoalannya, apakah diantara aktor intelektualis tersebut,
“bersama-sama” melakukan penganjuran delik atau ANTASARI melakukan penganjuran
delik melalui “perantaraan” orang lain. Persoalan ini membawa konsekuensi
panjang dan serius, baik secara teoretis maupun praktis.
Ketidakjelasan konstruksi penyertaan
yang diterapkan dalam kasus ini, boleh jadi sengaja dilakukan oleh Penuntut
Umum, sebagaimana termaktub dalam dakwaannya. Dakwaan tunggal Penuntut Umum,
dengan menyatakan kualifikasi delik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 340 KUHP, menimbulkan
ketidakjelasan, apakah yang terjadi ANTASARI bersama-sama SIGIT, WILIARDI dan
JERRY “bersama-sama menganjurkan” orang lain melakukan pembunuhan berencana,
atau justru yang terjadi adalah ANTASARI “menganjurkan para eksekutor secara
bersama-sama” melakukan pembunuhan berencana. Dengan demikian, dengan hal
terakhir ini kualifikasi SIGIT, WILIARDI dan JERRY dalam hal ini termasuk
kelompok eksekutor, karena merupakan “mereka yang dianjurkan” melakukan
kejahatan.
Kedua konstruksi ini menyebabkan
pengaburan makna “turut serta melakukan” dalam Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Seolah-olah hal itu dipersamakan dengan “dua orang atau lebih bersepakat” dalam
permufakatan jahat Pasal 88 KUHP, atau “dengan tenaga besama” dalam Pasal 170
ayat (1) KUHP atau “secara bersekutu” dalam Pasal 363 ayat (1) angka 4 KUHP.
Pada semua bentuk perbuatan “bersama-sama” dalam Pasal 88, Pasal 170 ayat (1), Pasal
363 ayat (1) angka 4 KUHP, tidak diperlukan adanya penentuan tentang “kualitas
peran” masing-masing yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, dalam semua bentuk
penyertaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada “turut serta melakukan”, perlu
identifikasi dengan pasti terhadap siapakah diantara mereka “yang melakukan”
atau “pleger” dan siapakah yang sekedar “turut serta melakukan” atau
“medepleger”. Kecenderungan penerapannya selama ini, “turut serta melakukan
dipandang sama dengan “bersama-sama melakukan” dalam suatu tindak pidana.
Begitu pula halnya dalam kasus pembunuhan Nasaruddin.
Dalam pembunuhan berencana, sebagaimana
dimaksud dalam 340 KUHP, peran mereka yang “turut serta” boleh jadi hanya pada
bagian perencanaannya saja. Dengan demikian, jika ANTASARI dkk dipandang
“bersama-sama merencanakan” pembunuhan, maka merupakan konstruksi yang tidak
logis jika pada saat yang sama dipandang “bersama-sama menganjurkan” pembunuhan
berencana. Pada konstruksi pertama deliknya tidak disertai Pasal 55 ayat (1)
ke-2 KUHP, sehingga “campur tangan” ANTASARI dkk terhadap pemenuhan unsur
delik, melalui “perencanaannya itu”, dan tidak mungkin bahkan tidak logis jika
kemudian “menganjurkan orang lain” melakukan pembunuhan berencana, dimana
mereka berkedudukan sebagai aktor intelektualis yang sama sekali tidak “turut
campur” secara langsung dalam pemenuhan unsur delik. Dalam konstruksi
“perbuatan bersama-sama” yang pertama posisi ANTASARI, SIGIT, WILIARDI dan
JERRY adalah sebagai “mereka yang turut serta melakukan”, sedang eksekutornya
adalah “mereka yang melakukan”. Sebaliknya, dalam konstruksi kedua,dilihat dari
motif, ANTASARI adalah “yang melakukan penganjuran”, sedangkan SIGIT, WILIARDI
dan JERRY adalah “mereka yang turut serta melakukan penganjuran” pembunuhan
berencana. Tampaknya dalam kesumua dakwaan mereka, konstruksi ini sama sekali
tidak jelas, sehingga mereka semua itu dimasukkan dalam “satu keranjang” yang
namanya “bersama-sama” itu.
Kedua, terjadi “manipulasi” lain berupa
penerapan “penyertaan bertingkat-tingkat”. Seperti telah saya singgung,
penyertaan adalah ajaran perluasan tindak pidana, sehingga suatu perbuatan yang
terkait dengan suatu delik, dapat dipidana sekalipun pembuatnya tidak memenuhi
semua atau sebahagian unsur-unsur delik itu. Bentuk perluasan rumusan delik
lainnya adalah “percobaan melakukan kejahatan” atau “voging”. Kedua bentuk, ini
dapat disandingkan satu sama lain. Artinya, “percobaan terhadap penyertaan”
dapat diterapkan seperti “penyertaan terhadap percobaan”. Namun demikian,
sepanjang pengetahuan penulis dalam literatur hampir tidak dibicarakan tentang
“penyertaan terhadap penyertaan”, baik digunakan terhadap bentuk penyertaan
yang sama maupun terhadap bentuk penyertaan yang berbeda.Misalnya, apakah dapat
dikualifikasi tindak pidana “turut serta melakukan terhadap penganjuran” atau
“penganjuran terhadap turut serta melakukan” suatu tindak pidana.
Persoalannya, adalah sampai batas mana
bentuk “penyertaan bertingkat” atau “penyertaan
bertingkat-tingkat” itu dapat diterapkan, mengingat sebagai sebuah delik
penyertaan juga mempersyaratkan adanya kesalahan (schuld) untuk dapat
dipidananya pembuat Memandang ajaran penyertaan sebagai perluasan pengertian
delik, menyebabkan terhadap peserta dalam suatu penyertaan kejahatan,
seharusnya juga diliputi kesalahan, sesuai asas “geen straf zonder schuld”.
Dengan demikian, ada pembatasan tanggung jawab, atas apa yang dilakukan
masing-masing peserta terhadap peserta yang lain. Penentuan kesalahan dalam
penyertaan tidak dapat dipersamakan dengan hal yang sama dalam noodzakelijke
vormen van deelneming, seperti dalam Pasal 184 Pasal 279 KUHP, atau Pasal 284
KUHP, dimana kesalahan peserta yang satu secara mutatis mutandis menjadi
kesalahan peserta yang lain.
ANTASARI, SIGIT, WILIARDI dan JERRY
sejak semula harus telah mengetahui dan menyadari (willen en wetten) tentang
“apa yang dikerjasamakan” atau “apa yang dianjurkan”. Persoalannya seharusnya
diletakkan pada perbuatan yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga
“bersama-sama” menggerakkan orang lain melakukan kejahatan. Dalam hal yang
penganjur dipertanggungjawabkan terhadap kejadian dimana yang dilakukan oleh
pelaku diluar dari “apa yang diajurkan” maka pertanggungjawaban hal ini tidak
berdasar kesalahan (liability without fault). Kembali terjadi manuipulasi
“Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, kesalahan karena penyertaan dikonstruksi
dalam bentuk strict liability, yang sebenarnya tidak dikenal ketika
mempertanggungjawabkan serious crime, seperti pembunuhan berencana.
Bahwa, dalam menggunakan ketentuan
tentang penyertaan (deelneming), khususnya ketika menghadapi bentuk penyertaan
“turut serta melakukan” (medeplegen), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, bukan sekedar mengkualifikasi suatu peristiwa bahwa telah
dilakukan “secara bersama-sama” antara pelaku dengan orang-orang lain, tetapi
lebih jauh lagi juga harus dapat dikualifikasi kedudukan masing-masing mereka
yang terlibat. Apalagi kemudian, dihadapkan pada bentuk penyertaan bertingkat
atau bertingkat-tingkat. Bentuk penyertaan ”turut serta melakukan pengajuran”
delik tentunya sangat berbeda dengan ”pengajuran terhadap turut serta
melakukan” delik, sementara kedua hal ini jika diterapkan terhadap pembunuhan
berencana mengkualifikasi ketentuan undang-undang yang dilanggar sama-sama
Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 340 KUHP.
Bahwa Dakwaan perkara ANTASARI, SIGIT
dan WILIARDI, bukan hanya sekedar mengkualifikasi bahwa tindak pidana yang
didakwakan terhadap para Terdakwa dilakukan “secara bersama-sama” melakukan
penganjuran delik, tanpa mengkualifikasi kedudukan masing-masing mereka yang
telibat, tetapi lebih jauh lagi tidak cukup jelas, apakah turut serta itu
ditujukan terhadap pembunuhan berencananya atau turut sertanya ditujukan
terhadap penganjurannya ataupun penganjurannya yang ditujukan kepada turut
sertanya. Bahwa tidak jelas betul sebenarnya siapa yang berkedudukan sebagai
“mereka yang melakukan” (pleger) atau “mereka yang turut serta melakukan”
(medepleger) dalam turut serta melakukan (medeplegen) dan tidak jelas pula
”siapa yang melakukan” (peleger) dan ”siapa yang menganjurkan” (uitlokker)
dalam penganjuran (uitlokken).
Bahwa selain itu dalam menerapkan
ketentuan penyertaan dalam bentuk “turut serta melakukan” (medeplegen)
diperlukan “kerjasama yang erat” antara “pelaku” (pleger) dan “peturut serta”
(medepleger). “Kerjasama yang erat” diantara mereka harus ditandai oleh
“kesengajaan ganda” (double opzet), yaitu “sengaja berkerjasama” dan “sengaja
melakukan kejahatan”. Oleh karena itu, dalam penyertaan dengan bentuk “turut
serta melakukan” (Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP) peran serta mutlak diperlukan
“constructive presence” dalam melakukannya, artinya keseluruhan unsur tindak
pidana dilakukan dengan konstruksi hadirnya baik “pelaku” maupun “peturut
serta” dalam mewujudkan seluruh unsur delik. Dalam kasus pembunuhan NASARUDDIN
hal ini sama sekali tidak tergambar, bahwa kerjasama yang erat dalam turut
serta melakukan juga harus terbentuk sebagai “constructive presence” yang
ditandai oleh dauble opzet tersebut atau setidak-tidaknya tidak adanya fakta
hukum yang membuktikan ANTASARI, SIGIT, WILIARDI berada dalam keadaan demikian
untuk menganjurkan orang lain melakukan pembunuhan berencana.