DR. Chairul Huda,
SH., MH.
Urgensi Reformasi Hukum
Acara Pidana Indonesia
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada awal pemberlakuannya dipandang sebagai
“karya agung” bangsa Indonesia bagi perhormatan hak asasi manusia pada umumnya,
dan khususnya mereka yang tersangkut
perkara pidana. Namun demikian, setelah lebih dari duapuluh lima tahun diberlakukan, KUHAP dipandang
tidak sesuai lagi dengan “perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang
baru” (konsideran “menimbang huruf c” RKUHAP). Dalam penjelasan umum RKUHAP dikemukakan
sejumlah indikator yang menunjukkan KUHAP sudah ketinggalan zaman. Pertama, KUHAP masih belum mampu
memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam praktik penanganan
perkara tindak pidana yang menjadi tugas para penegak hukum untuk menyelesaikan
perkaranya secara baik dan adil. Kedua,
perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan
perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global berpengaruh pula
terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.
Lebih daripada itu, secara konseptual urgensi
pembaharuan KUHAP tidak sesederhana seperti yang dikemukakan di atas. Setiap
usaha untuk memperbaharui hukum, termasuk pembaharuan hukum acara pidana
didalam KUHAP, bukanlah semata-mata
kegiatan untuk ‘memperbaiki’ hukum yang
ada, tetapi justru ‘mengganti’ hukum tersebut dengan yang lebih baik. Sementara
itu, harus diingat pula bahwa pembangunan hukum merupakan proses perencanaan,[1] yang selalu
berpangkal tolak dari kenyataan aktual menuju kepada keyakinan ideal.[2] Oleh
karena itu, pikiran-pikiran untuk menjaga kesinambungan hukum juga harus
diperhatikan.
Pada dasarnya keadaan aktual hukum acara pidana Indonesia
apabila dibandingkan dengan konsepsi ideal tentang hal itu memang jauh
tertinggal, terutama mengenai designnya. Perlu diyakini KUHAP diantaranya merupakan
substansi hukum yang meletakkan (mendesign)
konsep dasar Criminal Justice System (CJS), yang umumnya di Indonesia dipadankan dengan
istilah “Sistem Peradilan Pidana” (SPP).
Kata “justice” diterjemahkan dengan kata “peradilan”. Padahal “justice”
itu mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari “judicial” atau “peradilan”.
Kekeliruan pemadanan istilah menyebabkan ruang lingkup SPP “menyempit”. Oleh karena itu, diperlukan redefinisi SPP,
yang sementara ini dipahami sebagai
keteraturan kerja subsistem-subsistem dalam pemberatasan kejahatan melalui
proses dalam subsistem kepolisian, subsistem penuntutan, subsistem pengadilan
dan subsistem pemidanaan, menjadi suatu definisi yang lain. Mengingat, dari
definisi ini kinerja SPP yang dirancang dalam KUHAP terutama dalam “fungsi represif”, sedangkan “fungsi preventif” SPP hanya mempunyai arti
“tidak langsung”, yaitu “mencegah” pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya,
tetapi tidak mem-prevent “potential offender”, yaitu anggota masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan. Padahal
pencegahan kejahatan juga berarti “pencegahan langsung”, yang membuat
masyarakat “imun” terhadap kejahatan.
Hal ini menyebabkan pelibatan “lembaga-lembaga non judisial” dan
seluruh potensi masyarakat secara keseluruhan dalam SPP tidak dapat dihindarai.
Sayangnya mengenai hal ini belum terakomodasi dalam KUHAP, dan tampaknya juga
demikian dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).[3]
Selain itu, dalam konsep tentang penegakan hukum Polri
bukan saja berfungsi sebagai “gatekeeper” SPP, tetapi juga “gaol prevention officer”.
Sedangkan pengkajian tentang SPP terhadap “subsistem kepolisian” terutama
difokuskan pada tugas “penyelidikan dan “penyidikan” Polri, yang dengan demikian berpusat pada fungsi represif, dan terkadang menafikkan fungsi
preventif polisi sebagai “pengayom masyarakat”, yang juga bertugas “mencegah
kejahatan”, dan “menciptakan ketertiban
dalam masyarakat”. Belum lagi kenyataan meningkatnya “divertifikasi” pelaksanaan
fungsi penyidikan di luar institusi
Polri, yang berbasis pada penguasaan keahlian tertentu, yang menyebabkan kedudukan penyidik Polri
sebagai Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil, perlu dipertanyakan
(dipertegas atau dihapuskan?). Selain itu, dewasa ini “interdepedensi” Polri
dengan lembaga-lembaga ekstra-judisial semakin meningkat, yang belum
‘terpayungi’ dengan KUHAP yang ada
sekarang.
Sementara itu, kecendrungan timbulnya bolak-baliknya
perkara dalam tahap “pra-penuntutan” karena fungsi penyidikan terfragmentasi
dari fungsi penuntutan. Dalam bidang “penegakan hukum”, sebenarnya baik Polri
maupun Kejaksaan keduanya merupakan “law enforcement agency”, sehingga
tidak pada tempatnya tidak terkoordinasi dgn baik. Asas diferensiasi fungsional
yang diatur dalam KUHAP mempunyai sejumlah kelemahan sistemis. Dalam bidang “penegakan hukum”,
seharusnya dari sejak semula “arah
perkembangan penyidikan” dalam direksi dari penuntut umum, mengingat “legal
guilt” yang harus dibuktikan penuntut umum bersumber dari “factual
guilt” yang ditemukan penyidik.
Dalam subsistem pengadilan, praktek peradilan ditandai
oleh kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana,
baik terhadap perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang
(penyertaan) karena dengan teknik splitzing
perkara memungkinkan penerapan ‘saksi mahkota’, disparitas terhadap perkara-perkara pidana yang
sebenarnya hampir sama tetapi diputus oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda
karena diputus oleh dua model pengadilan yang berbeda (misalnya tindak pidana
korupsi yang diputus pengadilan negeri dan pengadilan khusus tindak pidana
korupsi), dan disparitas dalam perkara yang mendapat perhatian besar dari
masyarakat dengan perkara yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang
signifikan dari masyarakat. Kesemua hal ini di atas paling buruk menyebabkan
meragamnya sikap masyarakat terhadap kejahatan (society disparity to crime).
Pencelaan masyarakat terhadap suatu kejahatan menjadi sangat heterogen. Belum
lagi masalah tidak adequaat-nya
alat-alat bukti yang disiapkan KUHAP dalam menghadapi berbagai fenomena
kejahatan yang sifatnya ‘maya’ (cyber)
maupun melintasi batas-batas negara (transnasional).
Terakhir, subsistem pemidanaan terkosentrasi pada
“pidana perampasan kemerdekaan”,
terutama pidana penjara dan mengabaikan pada jenis pidana yang lain. Merebaknya
“corporate crime” yang sanksinya
denda, dan menjadi masalah hukum jika denda tidak dibayar, dan sehingga secara
teknis pemidanaan hanya terfokus pada “pengurus korporasinya”, masih belum ditemukan pemecahan yang memadai dalam
bidang hukum acara karena KUHAP tidak siap atau disiapkan untuk menghadapi
fenomenai itu. Ditambah lagi eksekusi pidana denda dan pembayaran uang
pengganti yang tidak efektip.
Gambaran singkat di
atas menunjukkan pembaharuan (yang dalam makalah ini kadang-kadang ditulis
dengan “reformasi”) KUHAP, bukan suatu hal yang
“perlu” semata-mata, tetapi lebih jauh sudah sangat “mendesak”.
Pangkal tolak Pengembangan
SPP
Pengembangan SPP dalam KUHAP mengacu pada reformulasi
terhadap tujuan, model dan paradigma yang mendasarinya. Tujuan SPP target yang
menjadi acuan dari administrasi maupun pelaksanaannya. Sedangkan Paradigma SPP merupakan latarbelakang pemikiran yang melahirkan sistem tersebut dan dipegang teguh sebagai
komintmen dalam pelaksanaannya. SPP baik
sebagai sistem dalam arti abstrak maupun dalam artian fisik, dilatarbelakangi
oleh suatu paradigma tertentu, yang menjadi falsafah bagi konsep dan
pelaksanaannya. Model SPP
merupakan design sistem tersebut yang menjadi pangkal tolak perumusan
berbagai mekanisme didalamnya, baik dalam tahap pra-ajudikasi, tahap ajudikasi
maupun tahap pasca ajudikasi
Secara umum SPP mestinya bertujuan untuk:
1.
Perlindungan masyarakat melalui
pencegahan dan penangkalan kejahatan,
rehabilitasi narapidana dan penumpulan kemampuan berbagai pihak yang
menjadi ancaman masyarakat melalui kejahatannya;
2.
Peningkatan wibawa negara hukum
dan penghormatan terhadap hukum, dengan memastikan proses hukum yang adil dan
menyiapkan penanganan yang tepat terhadap tersangka/terdakwa, secara selektif menggunakan
penahanan dan pemidanaan, secara sukses melakukan penuntutan pidana dan
pemulihan hak-hak dan harkat martabat terdakwa yang tidak terbukti tidak
bersalah;
3.
Penegakan hukum dan ketertiban;
4.
Pelaksanaan pidana yang tetap
menghormati hak asas manusia;
5.
Pendataan kerawanan sosial yang
berpotensi menjadi kejahatan;
6.
Membantu dan melindungi korban
kejahatan
Sayangnya tidak semua tujuan yang secara teoretis
tersebut diakui sebagai tujuan SPP, dapat didekati dengan instrument KUHAP yang
ada sekarang. Namun demikian, patut disyukuri sebagian telah diakomodir dalam
RKUHAP. Untuk menjamin suksesnya
penuntutan pidana Penuntut Umum dalam RKUHAP dipercayakan untuk memegang
kendali penegakan hukum, termasuk penyidikan. Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) yang dalam sistem KUHAP tidak efektip karena baru disampaikan
ketika penyidik membutuhkan perpanjangan penahana, kini harus sudah disampaikan
2 (dua) hari sejak dimulainya penyidikan (Pasal 100 RKUHAP). Demikian pula
hanya dengan penggunaan upaya paksa seperti penahanan hanya dapat dilakukan
penyidik atas persetujuan penuntut umum (Pasal 20 RKUHAP) dan perpanjanganya
hanya atas persetujuan hakim, baik Hakim Komisaris ataupun Hakim Pengadilan
(Pasal 20 ayat (3) dan (4). Konstruksi ini dimaksudkan untuk menekan
peluang kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan tugas dan
kewenangannya.
Sementara itu, paradigma pengembangan SPP ditandai
dengan ada pemahaman baru bahwa peraturan perundang-undangan tidak lagi
dipandang sebagai “pemberian kewenangan” untuk bertindak secara represif
tehadap kejahatan dan pelakunya tetapi justru dipandang sebagai “pembatasan
kewenangan (negative principle of legality). Paradigma pengembangan SPP
juga dibangun atas dasar karakter “mencegah” terjadinya tindak pidana lebih
utama daripada “merepresi”, sehingga “non-arrested is principle, arrested is
exception” , dan “non-punishment is principle, punishment is exception”.
Paradigma pengembangan SPP diarahkan pada peningkatan Fleksibilitas Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik
dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam tahap penuntutan (prosecutor
diversion), dalam tahap pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)
dan pengembangan berbagai pidana alternatif dalam tahap pemidanaan.
Sayangnya paradigma ini diejawantahkan dalam RKUHAP secara tidak merata.
Misalnya hanya Penuntut Umum yang secara eksplisit diberi kewenangan untuk
“mengesampingkan perkara” dengan “menghentikan penuntutan” apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu (Pasal 13 ayat (2) dan (3) RKUHAP). Bagaimana penyidik
menghadapi deliquensi yang telah merupakan tindak pidana seperti perkelahian
pelajar, sama sekali belum terakomodir. Apalagi kemungkinan hakim memberikan pardon sama sekali tertutup, dengan
keharusan menjatuhkan pidana dalam hal tindak pidana yang didakwakan terbukti
(Pasal 188 ayat (1) RKUHAP).
Model SPP Indonesia diarahkan untuk menggunakan beberapa
model sistem peradilan pidana secara simultan, disesuaikan dengan fenomena
tindak pidana yang dihadapi. Model SPP Indonesia secara umum dirancang dalam upaya menciptakan due process model
(DPM), tetapi untuk tindak pidana tertentu (misalnya tindak pidana korupsi
dan tindak pidana penyebaran teror (terorisme), tindak pidana terhadap
anak-anak, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga) tekanannya lebih kepada crime
control mode (CCM). Sayangnya dalam RKUHAP sangat terbatas mengakomodasi
hal ini, dan tetap membiarkan “pertumbuhan secara tak terkendali” penyimpangan
hukum acara diluar (R) KUHAP. Misalnya, dalam Pasal 45 ayat (1) RKUHAP penyadapan
dilarang (berarti masih berpegang pada DPM),
tetapi dapat disimpangi dalam hal menghadapi tindak pidana serius dalam Pasal
45 ayat (2) (beralih ke CCM). Tidak
dijelaskan apakah yang dimaksud tindak pidana serius dalam hal ini. Sebenarnya dengan model campuran demikian
terbangun dua hubungan berbeda antara penegak hukum dan masyarakat, pada satu
sisi bersifat normatif (to serve) dan pada kesempatan lain bersifat
instrumental (to protect).
Independensi dan Akuntabilitas
Publik Penegakan Hukum
Sejauh ini, peraturan
perundang-undangan menjamin kemandirian “kekuasaaan kehakiman”, sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
Kekuasaan kehakiman), tetapi jaminan yang sama belum diperoleh penyidik (Polri)
maupun Penuntut Umum (Kejaksaan), termasuk dalam RKUHAP. Bahkan
kebebasan hakim yang
menjadi substansi utama independensi kekuasaan kehakiman juga mempunyai
landasan dalam hukum internasional.[4]
Menurut Paulus E. Lotulung, “indepedensi
diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara
lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari
pihak-pihak extra judicial, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh Undang-Undang”.
Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal judisiil
didalam menjatuhkan putusan.[5]
Menurut Andi Hamzah, independensi
seharusnya juga berlaku bagi Jaksa Agung,[6]
tetapi praktek penyelenggaraan negara justru menempatkannya sebagai bagian
kekuasaan eksekutif, dengan memasukkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet, sehingga secara kelembagaan hal itu menjadi mustahil. Dilihat dari
kelembagaannya, posisi Polri lebih baik apabila dibandingkan dengan Kejaksaan
Agung. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
(Undang-Undang Kepolisian) menentukan: “Polri merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
Sebagai “alat negara”, sekalipun bukan “kekuasaan negara”, tentu Polri tidak
dapat dipandang sebagai bagian “kekuasaan eksekutif”. Hal ini ditandai juga
oleh adanya kontrol secara negatif,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Presiden dalam bentuk
“persetujuan” ketika memilih (mengangkat dan memberhentikan) Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Kepolisian. Konsekuensi logis dari hal ini adalah pergantian
Kapolri tidak mengikuti pergantian kabinet, yang berbeda dengan Jaksa Agung
yang selalu dipandang sebagai pejabat negara setingkat menteri.
Namun demikian,
berkenaan dengan penegakan hukum yang dirancang RKUHP pada dasarnya Polri subordinated dari Kejaksaan. Hal ini
jangan dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Secara yuridis Polri “dependent” terhadap Kejaksaan diisyaratkan oleh ketentuan Pasal 109 ayat
(1), (2) dan Pasal 110 KUHAP. Ketentuan yang mengharuskan penyidik (Polri)
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) harus
dipahami bahwa dalam penegakan hukum Polri berada dalam guidance Kejaksaan. Demikian pula, ketentuan yang menentukan adanya
wewenang Penuntut Umum (Kejaksaan) untuk menentukan apakah suatu berkas perkara
telah lengkap, sehingga dapat dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini mengisyaratkan
bahwa penentuan apakah suatu peristiwa sebagai legal case atau bukan,
ditentukan oleh Penuntut Umum.
Pandangan yang melihat
adanya ketentuan Pasal 109 ayat (1), (2) dan Pasal 110 KUHAP sebagai bagian
dari prinsip saling koordinasi sebagai prinsip dasar KUHAP,[7]
menjadi tidak tepat. Dengan demikian, ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) huruf a RKUHAP,
merupakan ketentuan yang “banci” Ketika Penuntut Umum menggunakan kewenangannya
sebagaimana tersebut di atas merupakan tindakan yang sifatnya imperatif
(hubungan atasan bawahan), dan tidak dapat dipandang sebagai tindakan
koordinatif di antara fungsi yang sejajar.
Kondisi ini menyebabkan dalam menentukan formulasi yuridis yang tepat
terhadap suatu peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana, Polri sangat
bergantung pada “nasehat hukum” Kejaksaan. Independensi Polri tidak dapat
diartikan sebagai kemerdekaan dari kekuasaan internal judisiil. Problem yuridis
lain yang menyertai hal ini adalah bagaimana konstruksi independensi Polri
sebagai “alat negara” yang dari segi kelembagaan adalah merdeka, tetapi secara
fungsional dalam penegakan hukum berada dibalik bayang-bayang Kejaksaan yang notabene dipimpin oleh seorang anggota
kabinet (kekuasaan eksekutif).
Sebagai pasangan dari
jaminan atas independensi penegak hukum adalah adanya akuntabilitas publik
terhadap semua pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Namun
demikian, sayangnya regulasi mengenai hal ini sangat minim, termasuk di dalam RKUHAP
sehingga dapat dikatakan under
legislation.[8] Perlu
suatu wadah bagi adanya akuntabilitas publik penyidik dan
penuntut umum. Sekalipun Komisi
Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepolisian, berwenang “menerima keluhan dari masyarakat mengenai
kinerja kepolisian, sebagaiman ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c, tetapi lembaga ini
bukan merupakan lembaga yang menguji apakah Polri telah menjalankan fungsinya dengan
benar, tetapi semata-mata perpanjangan tangan Presiden sebagai penanggungjawab
akhir tugas pemerintahan di bidang kepolisian.
Menurut Roslyn Muraskin dan Albert R. Robert setiap lembaga
kepolisian dituntut akuntabilitasnya setidaknya terhadap hal-hal sebagai
berikut:
1.
penggunaan kekuatan bersenjata/kekerasan;
2.
keputusan menangkap dan menahan
tersangka;
3.
hasil tes penggunaan narkotika dan zat psikoaktif lainnya;
4.
hasil dengar pendapat dan promosi pejabat kepolisian;
5.
diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin atau usia;
6.
pembukaan catatan rahasia (termasuk rahasia bank) dan privacy
7.
manajemen rumah tahanan
Sayangnya terhadap
masalah-masalah sebagaimana di atas hampir tidak ada salurannya dalam sistem
peradilan pidana Indonesia ,
termasuk dalam RKUHAP. Terutama dalam lembaga dan sistem Polri. Lembaga pra
peradilan sebagai ditentukan dalam KUHAP atau Hakim Komisaris sebagaimana
ditentukan dalam RKUHAP tidak mewadahi seluruh masalah di atas. Mengingat masalah
sah atau tidak sahnya penyidikan, penggeledahan,
penyitaan dan upaya paksa lainnya tidak menjadi kewenangan Hakim Komisaris. Selain itu, “access to justice” mengenai hal ini juga dibatasi pada Penuntut Umum,
tersangka atau korban . Masyarakat lainnya, tidak terwadahi “keluhannya”
terhadap kepolisian dalam sistem ini. Demikian pula halnya Komisi Kepolisian
ataupun Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidang Propam) tidak dapat mewadahi tuntutan akuntabilitas
publik Polri. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan timbulnya kecenderungan
dengan dalih independensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan Polri. Penundukan
diri anggota Polri terhadap Peradilan Umum (Civil
Liability in Policing) setelah sebelumnya keluar dari yurisdiksi Peradilan
Militer, juga tidak dapat dipandang sebagai memadainya akuntabilitas Polri
dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Sinyalemen “melindungi
korps” semakin mendesakkan perlunya lembaga independen yang menampung keluhan
masyarakat terhadap “police malpractice”,
yaitu setiap tindakan di bawah prosedur standar kepolisian. Selain itu,
kemudian diperlukan adanya kriteria yang jelas tentang hal ini, sehingga cukup
tidak menghambat personil Polri dalam pelaksanaan tugas dan dapat dengan
efektif “meredam” kemungkinan abuse of
power ini. Kriteria yang jelas diperlukan untuk secara pasti dan adil
menentukan bahwa suatu keadaan dapat
dikatakan sebagai “negligence” yang
menimbulkan malpraktek kepolisian. [9]
Bagi Polri sangat diperlukan pengaturan mengenai hal ini. Perkembangan
masyarakat yang semakin sadar akan hak dan kewajibannya yang menuntut adanya
akuntalbilitas Polri dalam pelaksanaan tugas, semakin kompleks dan meningkatnya
intensitas kejahatan yang menuntut crime
clearance yang tinggi, serta desakan perlindungan hukum bagi anggota Polri
dalam pelaksanaan tugasnya, pada gilirannya akan sangat menentukan format
independensi Polri itu sendiri.
Praperadilan dan
Penggunaan Upaya Paksa
Lembaga praperadilan yang diadakan KUHAP, diantaranya berwenang
menguji (memeriksa dan memutus) sah
atau tidak sahnya suatu penahanan. (Pasal 77 huruf a KUHAP). Persoalannya KUHAP sendiri tidak
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan perkataan “sah atau tidaknya”
tersebut. Akibatnya, selalu menjadi kontroversi ketika praktek hukum memaknai
perkataan “sah atau tindaknya” itu semata-mata sebagai jawaban dari pertanyaan,
sejauhmana prosedur penahanan telah dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk
itu (penyidik, penuntut umum atau hakim). Dengan demikian, pengertian “sah atau tidaknya penahanan” diambil dari
perkataan “dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
(Pasal 1 angka 21 KUHAP). Praperadilan menjadi lembaga “pemeriksa kelengkapan
administratif” belaka dari suatu
tindakan negara yang pada pokoknya melanggar hak asasi manusia. Hal ini sudah
barang tentu bertentangan dengan semangat pengundangan KUHAP yaitu untuk
mengadakan pengayoman terhadap harkat serta martabat manusia, terutama
perlindungan hak asasi manusia (penjelasan umum KUHAP). Dalam hal ini
pengayoman harkat serta martabat dan
perlindungan hak asasi mereka yang disangka dan didakwa melakukan tindak
pidana. Apabila semangat perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa yang
menjadi pangkal tolak pembentukan lembaga praperadilan dalam KUHAP, maka
pengujian “sah atau tidaknya penahanan”
mestinya bukan semata-mata berupa
“pemeriksaan kelengkapan administratif” dari suatu tindakan penahanan,
tetapi lebih jauh lagi harus lebih merupakan “pemeriksanaan yang sifatnya
substansial”. Harapan agar masalah ini ditangani dengan baik muncul ketika
mengemuka masalah Hakim Komisaris. Namun demikian, jika diperhatikan ketentua
RKUHAP mengenai hal itu tidak ada perubahan yang substansial mengenai hal ini.
Hakim Komisaris belum berwenang memeriksa hal-hal yang sifatnya substansial.
Paling tidak ada empat kriteria yang harus digunakan hakim
praperadilan/Hakim Komisaris dalam menentukan sah atau tidak sahnya penahanan. Pertama, apakah penahanan didasarkan pada tujuan yang
telah ditentukan KUHAP. Pasal 20 KUHAP, menentukan bahwa penahanan hanya dapat
dilakukan “untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”. Dengan demikian, dalam rangka
penyidikan, suatu tindakan
penahanan dilakukan dalam rangka “mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya” (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Berdasarkan hal ini, maka ketika “bukti
yang membuat terang tindak pidana dapat
dikumpulkan tanpa penahanan” dan/atau “tersangka tindak pidana dapat ditemukan
tanpa penahanan”, maka penahanan tidak lagi diperlukan. Ketentuan ini
sepenuhnya juga berlaku bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ironisnya, praktek hukum selama ini menunjukkan gejala sebaliknya. Seseorang
yang dalam penyidikan telah bersikap sekooperatif mungkin, malah justru
dikenakan penahanan ketika seluruh bukti telah terkumpul sehingga membuat
terang suatu tindak pidana dan ternyata yang bersangkutanlah tersangkanya.
Seolah-olah penetapan seseorang sebagai tersangka ditandai oleh keputusan untuk
mengenakan “penahanan” terhadapnya. Penahanan dilakukan terlepas dari kenyataan
apakah hal itu “perlu untuk dilakukan atau tidak”. Padahal seharusnya, “non arrested is principle, arrested is
exception”. Penahanan adalah pelanggaran hak asasi manusia, sejauh mungkin
hal itu dihindari karena mereka yang disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana harus dipandang tidak bersalah sebelum diputuskan sebaliknya oleh
pengadilan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2004). Tujuan prevensi umum maupun khusus
tidak akan dapat dicapai melalui tindakan penahanan tersangka tindak pidana
korupsi, sekalipun hal itu sifatnya extra
ordinary crime, karena hal itu boleh jadi merupakan manifestasi presumption of guilty, yang harus
dihindari oleh KPK sekalipun.
Kedua, apakah penahanan memiliki dasar (hukum) dalam undang-undang yang
berlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukan penahanan
tersebut. Selain itu, sesuai dengan teori tentang kewenangan dan ketentuan
Pasal 2 KUHAP, yang mengharuskan pengaturan acara pidana hanya berdasar pada
undang-undang, maka kewenangan melakukan penahanan hanya dapat timbul sepanjang
telah diberikan oleh undang-undang. Sesuai dengan sifatnya tersebut, mestinya
suatu kewenangan, termasuk kewenangan melakukan penahanan berlaku secara
prospektif.
Dalam penyidikan, pada
dasarnya penahanan merupakan kewenangan penyidik Polri (Pasal 6 ayat (1) huruf
a jo Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP). Sementara itu, penyidik pegawai negeri sipil lainnya (Pasal
6 ayat (1) huruf b KUHAP) umumnya tidak
diberikan kewenangan penahanan. Demikian
juga sebaiknya dalam RKUHAP, tetapi sayangnya mengenai hal ini justru oleh
RKUHAP “diserahkan” pengaturannya kepada undang-undang yang menjadi dasar
pembentukan PPNS atau Penyidik Lembaga Tertentu tersebut (Pasal 9 ayat (2) RKUHAP).
Sekarang ini, dengan ketentuan yang
bersifat khusus (lex specialis),
ketentuan umum ini disimpangi, sehingga penyidik kejaksaan yang terakhir
berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan penyidik KPK berdasarkan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mempunyai kewenangan melakukan penahanan.
Khusus berkenaan dengan kewenangan penahanan oleh penyidik KPK dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu kewenangan melakukan penanahanan secara langsung
(Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002) dan kewenangan penahanan
secara tidak langsung, yaitu melalui bantuan
kepolisian atau instansi lain yang terkait (Pasal 12 huruf i Undang-Undang No. 30 tahun
2002).
Kewenangan melakukan penahanan secara langsung penyidik
KPK, merupakan bagian dari kewenangan lembaga itu yang merupakan rembesan dari
segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
yang diatur dalam KUHAP. Kewenangan ini hanya dapat dilakukan terhadap
tersangka yang disangka melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun
2002). Oleh karena itu, mereka yang melakukan tindak pidana korupsi sebelum 16
Agustus 1999 sama sekali tidak dapat dikenakan penahanan oleh penyidik KPK.
Dengan demikian, wewenang penahanan ini hanya untuk perkara korupsi yang memang
secara langsung KPK sebagai penyidiknya, sehingga berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi tanggal tanggal 15 Pebruari 2005 atas perkara Nomor 069/PUU-II/2004 pengujian
Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, hal itu hanya dapat dilakukan sebatas terhadap mereka yang
disangka melakukan tindak korupsi setelah berlakunya undang-undang KPK. Hal ini
menyebabkan kewenangan penahanan secara langsung tidak dapat berlaku surut (non
retroaktif). Penahanan secara langsung oleh penyidik KPK yang dilakukan
terhadap tersangka yang disangka melakukan tindak pidana korupsi sebelum
tanggal 27 Desember 2002 adalah tidak sah.
Sedangkan kewenangan penahanan tidak langsung, dapat dilakukan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sifatnya “pengambilalihan” dari penyidik
lain, berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 tahun 2002. Dengan demikian,
karena sebenarnya kewenangan melakukan penahanan telah ada pada pejabat
penyidik sebelumnya (Polri ataupun Kejaksaan), maka juga tidak dapat dikatakan
kewenangan ini telah berlaku secara retroaktif. Lebih jauh lagi penyidik KPK
sebenarnya tidak dapat melakukan penahanan secara tidak langsung, jika penyidik
sebelumnya yang melakukan penyidikan perkara tersebut tidak melakukan
penahanan. Dengan kata lain, penahanan semata-mata hanya dapat dilakukan atas
bantuan penyidik Polri atau kejaksaan, dengan kewenangan penahanan yang ada
pada kedua instansi tersebut atas permintaan penyidik KPK, setelah perkaranya
“diambilalih” penyidik KPK.
Ketiga, apakah terdapat
alasan melakukan penahanan, baik
alasan subyektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun alasan obyektif (Pasal 21
ayat (4) KUHAP). Alasan subyektif melakukan penahanan
adalah dalam hal adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Hanya saja,
seperti istilahnya (alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini
dipandang ada tanpa ukuran-ukuran yang objektif. Dengan demikian, tanpa
kriteria objektif dalam menentukan alasan subyektif penahanan maka telah
mengubah prinsip penahanan menjadi: “arrested
is principle, and non arrested is exception.” Alasan subyektif penahanan
menjadi konkretisasi dari “discretionary power” yang terkadang
sewenang-wenang, yang bukan tidak mungkin dijadikan modus pemerasan oleh oknum
tertentu. Sebenarnya, hal ini berpangkal tolak dari kekeliruan dalam melakukan
penafsiran Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pasal ini menetukan:
Perintah penahanan atau penahanan
lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau
mengulangi tindak pidana.
Kekeliruan penafsiran dimaksud adalah dalam menggunakan anak kalimat
“berdasarkan bukti yang cukup”. Umumnya,
anak kalimat “berdasarkan bukti yang cukup” digunakan terhadap tindak
pidananya. Artinya penahanan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang
berdasarkan bukti yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana. Padahal anak
kalimat “berdasarkan bukti yang cukup” seharusnya digunakan terhadap anak
kalimat “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak
pidana”. Dengan demikian, dalam surat perintah atau penetapan penahanan, harus
pula tergambar bahwa terdapat “bukti yang cukup” tersangka/terdakwa akan
melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Misalnya,
sebagai seseorang yang akan melarikan diri ke luar negeri, tersangka/terdakwa
masih memiliki visa atau mengajukan visa ke negara tertentu. Demikian pula jika
ternyata yang bersangkutan telah bersiap melakukan perjalanan jauh, seperti
menyiapkan tiket perjalanan ataupun sejumlah uang. Begitu seterusnya, yang
pasti “bukti yang cukup” untuk melarikan diri dan seterusnya itu telah
benar-benar ada. Berdasarkan penafsiran demikian, maka penahanan yang dilakukan
tanpa bukti yang cukup akan adanya alasan subyektif penahanan, adalah penahanan
yang tidak sah.
Sementara itu, penahanan juga hanya dapat dilakukan terhadap tindak
pidana-tindak pidana yang secara
obyektif merupakan tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP. Dilihat dari segi ini, semua tindak pidana korupsi adalah arrested crime. Juga merupakan penahanan
yang tidak sah dalam hal penahanan dilakukan terhadap non arrested crime. Namun demikian, perlu diingat bahwa Pasal 21
ayat (4) KUHAP menegaskan bahwa penahanan dilakukan bukan saja terhadap mereka
yang disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana, tetapi juga dalam hal percobaan maupun pemberian bantuan tindak
pidana. Selain itu, dengan memperhatikan ajaran Tatbestandausdehunungsgrund,
yang menempatkan deelneming sebagai
dasar yang memperluas delik, maka penahanan juga berlaku bagi mereka yang masuk
kategori penyertaan (Pasal 55 KUHP).
Ketentuan ini bukan tanpa makna, tetapi lebih kepada penekanan
berlakunya asas “fairness” dalam
melakukan penahanan. Penahanan harus dilakukan terhadap keseluruhan pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana. Terlebih lagi terhadap tindak pidana
korupsi yang secara tegas dinyatakan sebagai salah satu “organize crime” dan “transnational
crime” (Undang-Undang No. 7 Tahun 2006), sehingga tidak mungkin dilakukan
oleh perseorangan. Penahanan yang dilakukan oleh salah satu saja dari beberapa
orang yang terlibat dari suatu tindak pidana tanpa alasan yang jelas, merupakan
tindakan diskriminatif sehingga tidak memenuhi alasan objektif, sehingga dapat
dipandang tidak sah.
Keempat, apakah penahanan
dilakukan menurut prosedur atau tata cara yang ditentukan dalam KUHAP. Dalam
hal ini, surat
perintah dari penyidik menjadi mutlak. Dalam surat perintah tersebut, harus disebutkan
identitas tersangka, alasan dilakukannya penahanan, uraian singkat tentang sangkaan tindak
pidananya, dan tempat dilakukannya penahanan (dalam hal dilakukan penahanan
rumah tahanan negara). Selain itu, sebenarnya surat perintah penahanan juga harus memuat
jangka waktu dilakukannya penahanan tersebut, yang masih dalam batas limitatif
yang ditentukan undang-undang. Turunan surat
perintah ini diserahkan kepada keluarga pesakitan. Ada
baiknya, jika dalam pemeriksaan sebelumnya tersangka didampingi satu atau lebih
penasihat hukum, turunan surat
perintah penahanan juga diserahkan kepada penasihat hukumnya. Sebagai
kelengkapannya adalah surat
perintah/tugas melakukan penahanan dan Berita Acara penahanan. Pengabaian atas
prosedur penahanan ini dapat berakibat tidak sahnya tindakan tersebut.
Dari uraian di atas, ternyata “sah atau tidaknya penahanan” tergantung dari dipenuhinya syarat-syarat
penahanan, baik syarat formil maupun syarat materil. Syarat formil penahanan,
yaitu penahanan memiliki dasar hukum yang jelas, terutama dasar hukum bagi
pejabat yang melakukannya dan dilakukan berdasarkan prosedur (dalam hal dan
menurut cara) yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, penahanan, juga
harus memenuhi syarat materil, yaitu penahanan dilakukan untuk mencapai tujuan
yang ditentukan dalam undang-undang dan mempunyai alasan yang sah, baik alas an
secara objektif maupun subjektif. Sayangnya dalam RKUHAP tidak ada perubahan
yang mendasar tentang hal-hal yang substansial mengenai hal ini.
Putusan dan Upaya Hukum
Akhir-akhir ini kerap kita mendapati “injustice
verdict” dalam proses penegakan hukum. Dalam bidang keperdataan kita dikejutkan
oleh putusan Mahkamah Agung terhadap sengketa pertanahan di Meruya Selatan.
Ribuan masyarakat dibuat gelisah oleh putusan tersebut karena tanahnya yang
sudah bertahun-tahun ditempatinya, dengan status hak milik dan dengan bukti
kepemilikan sertipikat, tanpa dinyana oleh pemegang kekuasaan kehakiman
tertinggi tersebut dinyatakan milik PT Porta Nigra, yang notabene “tidak jelas” alas haknya. Sementara itu, dewasa ini muncul pula kecenderungan
banyaknya Putusan yang bersifat “onvoeldoende
gemotiveerd”. Dalam perkara pidana kerap terjadi
Pengadilan memutuskan terdakwa bersalah/tidak bersalah,
tanpa mempertimbangkan keseluruhan fakta yang terungkap dipersidangan. Dalam
kasus korupsi yang melibatkan Gubernur (non aktif) Kalimantan Timur, Letjen
Suwarna yang divonnis bersalah melakukan turut serta (medepleger) tindak pidana korupsi, sementara vonis tersebut sama
sekali tidak mempertimbangkan bahwa pembuat prinsipalnya (pleger) belum diperiksa apalagi dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana tersebut. Pada sisi yang lain kecenderungan meningkatnya
respeksitas terhadap hak asasi manusia, termasuk hak hukum tersangka/terdakwa
tidak dapat dibendung. Ditambah lagi kecenderungan meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat, termasuk Tersangka/Terdakwa, membuat semua profesi hukum, tertama
hakim, kerap menjadi sorotan masyarakat terhadap karya-karyanya.
Sebenarnya hukum acara telah menyediakan institusi yang
dapat secara profesional menguji suatu Putusan Pengadilan. Diantaranya yang
terpenting adalah adanya Upaya Hukum.
Dalam penanganan perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun upaya hukum,
keduanya merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana. Pemahaman
mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari design sistem peradilan
pidana itu sendiri.
Ketika melihat Putusan Pengadilan dan Upaya Hukum
sebagai bagian/instrumen SPP, maka pengkajiannya tidak dapat dilepaskan dari
paradigma, model dan legal substance, dari dan didalam sistem tersebut. Paradigma
Sistem Peradilan Pidana merupakan latarbelakang pemikiran yang melahirkan sistem tersebut dan dipegang teguh sebagai
komintmen dalam pelaksanaannya. SPP baik
sebagai sistem dalam arti abstrak maupun dalam artian fisik, dilatarbelakangi
oleh suatu paradigma tertentu, yang menjadi falsafah bagi konsep dan
pelaksanaannya. Model Sistem Peradilan Pidana merupakan design sistem
tersebut yang menjadi pangkal tolak perumusan berbagai mekanisme didalamnya,
baik dalam tahap pra ajudikasi, tahap ajudikasi maupun tahap pasca ajudikasi. Legal
Substance yaitu materi hukum yang digunakan dalam sitem, baik Hukum Pidana
Materil, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pelaksanaan Pidana.
Dilihat dari masa pembentukannya, Paradigma SPP
Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai paham yang berkembang yang bersumber
dari mazhab modern (modern school) tetapi kemudian dilengkapi dan
disempurnakan dengan berbagai pandangan dalam mazhab pengendalian sosial
(social control school) Model SPP Indonesia secara umum dirancang dalam upaya menciptakan due process model,
tetapi untuk tindak pidana tertentu (misalnya Korupsi dan Terorisme)
tekanannya lebih kepada crime control model. Legal Substance yaitu
materi hukum yang digunakan dalam SPP Indonesia merupakan campuran antara
produk hukum peninggalan kolonial (yang bersifat sangat represif) dan produk
hukum yang dilahirkan pada masa kemerdekaan, yang berusaha menjunjung
nilai-nilai keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa mengabaikan
kepentingan perlindungan masyarakat dan negara.
Putusan Pengadilan dalam SPP dibedakan dalam putusan yang
berisi pemidanaan dan putusan yang bukan berisi pemidanaan. Putusan yang bukan
berisi pemidanaan dapat menyangkut pokok perkara dan bukan pokok perkara.
Putusan pengadilan yang menyangkut pokok perkara dapat berupa putusan bebas (vrijspraak)
dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Putusan
bebas dilihat dari hakekatnya merupakan “karya hakim” yang paling tingggi
nilainya, setelah keseluruhan proses yang dialami tersangka/terdakwa pada
akhirnya hakim memutus tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau
setidak-tidaknya bukan terdakwa yang melakukannya. Oleh karena itu, putusan
bebas berisifat “suci” sehingga tidak ada kekuatan manapun yang dapat
mengubahnya dengan alasan apapun juga. Dalam
hal ini, peraturan perundang-undangan harus dilihat sebagai sarana “pembatasan
kewenangan negara” untuk melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Dalam
perkara pidana, negara yang “powerfull”
akan berhadap-hadapan dengan tersangka/terdakwa yang “powerless”,
sehingga substansi peraturan perundang-undangan harus dilihat dalam kerangka“negative
legality”. Instrumen Upaya Hukum
dalam KUHAP karenanya terutama disediakan sebagai sarana koreksi atas
penggunaan kewenangan yang bersifat represif tersebut, termasuk putusan
pemidanaan. Putusan yang tidak berisi pemidanaan, terutama putusan bebas
karenanya tidak dapat dimintakan upaya hukum apapun.
Terhadap putusan
bebas, baik “bebas murni” maupun putusan “bebas tidak murni” pada
dasarnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya
hukum luar biasa, karena jika
dilakukan tidak disejalan dengan
paradigma, model dan legal substance sistem peradilan pidana Indonesia .
Kecuali putusan “bebas tidak murni” dalam arti “lepas dari segala tuntutan
hukum (terselubung) yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum”,
dapat dimintai kasasi. Paradigma sistem peradilan pidana Indonesia didesign
dalam paradigma “modern school” dan
kini diterapkan dalam paradigma “social
control school”, sehingga upaya hukum terbatas sebagai alat koreksi atas
penggunaan kekuasaan negara yang mememutuskan seseorang telah melakukan tindak
pidana (putusan pemidanaan) dan tidak sebaliknya. “Due Process Model “
yang dianut sistem peradilan pidana Indonesia menempatkan pengadilan sebagai
“tempat memisahkan orang yang bersalah dari orang yang tidak bersalah” sehingga
putusan bebas adalah “kata akhir” dari seluruh proses tersebut.
Dari segi legal substance peraturan perundang-undangan, seperti Pasal
67, 244, 263 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 “melarang
dilakukannya upaya hukum terhadap putusan bebas”. Ketentuan-ketentuan tersebut
tidak dapat ditafsirkan lagi karena “cukup” diartikan dari kata-kata yang
terdapat didalamnya. Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP hanya membuka kemungkinan
Peninjauankembali terhadap putusan memidanaan yang menunjukkan adanya
pertentangan di antara pertimbangan hukum, tetapi tidak dapat dilakukan
terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 263 ayat (3)
KUHAP hanya mempunyai arti bahwa
Peninjauankembali dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya
karena putusan tidak berisi rehabilitasi
Dilihat dari segi sejarah hukum dalam Pasal 9 PERMA No.
1 Tahun 1980 sebagai cikal bakal ketentuan Peninjauankembali diawali dengan kata-kata
“Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan,…” Dengan
demikian, dari segi sejarahnya Peninjauankembali memang diadakan untuk putusan
yang berisi pemidanaan, dan bukan yang lain apalagi putusan bebas.
Pasal 191 (1) KUHAP
menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Kata “kesalahan” multi interpretasi, karena bisa hanya berarti “opzet
atau culpa”, atau berarti “sifat dapat dicelanya” pembuat delik
tersebut. Mengingat KUHP menganut paham monistis, dimana “opzet atau culpa”
dapat dirumuskan (menjadi “bestanddeel”) atau tidak dirumuskan (menjadi “elemen”)
dalam suatu tindak pidana, menimbulkan konsekuensi putusan yang berbeda.
Putusan “bebas” hanya dalam hal “opzet atau culpa” menjadi bagian
inti delik (bestanddeel delict) dan diputus “lepas dari segala tuntutan
hukum” dalam hal “opzet atau
culpa” menjadi unsur diam-diam (elemen delict). Apabila “kesalahan” berarti “sifat
dapat dicela” orang yang melakukan
tindak pidana, sehingga dalam hal ini putusan “bebas” dijatuhkan karena
terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka putusan
“bebas” tersebut hanya dapat dijatuhkan bukan hanya karena tidak terbuktinya “criminal
act” tetapi juga “criminal liability”. Dalam hal ini putusan “bebas” dijatuhkan ketika “criminal act”
terbukti tetapi “criminal liability” tidak terbukti, maka putusannya
dapat dikategorikan “bebas tidak murni” atau “niet zuivere vrijspraak” .
“Bebas tidak murni” adalah putusan “lepas dari segala tuntutan hukum
terselubung” atau “bedekte ontslag van rechtvervolging”.
Oleh karena itu, perlu direkomendasikan kepada Tim Perancang KUHAP untuk perbaikan rumusan Pasal
191 ayat (1) dan (2) KUHAP, sehingga Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebaiknya
diperbaiki sehingga menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, perbuatan
yang didakwakan tidak terbukti dilakukan terdakwa secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas”. Dengan perumusan ini maka Pasal 191 ayat (2)
KUHAP juga harus diperbaiki sehingga
menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
terbukti, tetapi terdakwa tidak bersalah, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum”. Pasal 191 ayat (2) tidak mempunyai arti lagi jika kata
“bersalah” dalam Pasal 191 (1) KUHAP dipahami sebagai “opzet atau culpa”
dan tindak pidana yang didakwakan tidak merumuskan hal itu atau ketika
dijatuhkan putusan “bebas tidak murni”, sehingga harus juga
diperbaiki.
Berdasarkan uraian diatas, dapat digarisbawahi bahwa putusan
pemidanaan “hanya dapat” dijatuhkan oleh “Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi” karena pada dasarnya hanya dalam tahap pemeriksaan di kedua pengadilan
tersebut diperiksa “fakta-fakta”, sedangkan Mahkamah Agung hanya memeriksa
berkenaan dengan penerapan “hukum”. Putusan bebas adalah putusan yang menyangkut
pertimbangan ada atau tidak adanya suatu “fakta”, sehingga tidak dapat dimohonkan untuk
diperiksa dalam tingkat Kasasi.
Penutup
Uraian di atas menyadarkan
bahwa masih banyak hal yang perlu diperdebatkan, disinkronisiasi dipertajam dan
dipertegas dalam RKUHAP, yang pada dasarnya kesemuanya harus dikembalikan
kepada tujuan, paradigma dan model SPP yang menjadi pangkal tolak. Suatu
pekerjaan besar yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
Bahan Acuan
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional, Jakarta :
Karya Dunia Fikir, 1996, hlm.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum
Kejahatan Bisnis, Jakarta :
Prenada Media, 2004
RKUHAP yang
digunakan dalam penulisan makalah ini adalah edisi Tahun 2007.
Universal Declaration of
Human Right
International Convenant of
Civil and Political Right
Vienna Declaration and
Programme for Action tahun 1993
International Bar
Association Code of Minimum Standard of Judicial Independence tahun 1982
Universal Declaration on
the Independence tahun 1983
Beijing Statements of Principles of Independence of Judiciary in Law
Asia Region tahun 1995.
Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”,
dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI,
2003.
Andi Hamzah, “Kemandirian dan Kemerdekaan kekuasaan Kehakiman dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003.
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika,
2002, 49.
Barry Mitchell
dan Salim Farrar, ed., Statutes on Criminal Justice and Sentencing,
Oxford : Oxford
University Press, 2004.
Robert J. Meadows. Meadows, “Legal Issues in Policing”.
¹Makalah dalam Diskusi Ilmiah
“Dari KUHAP ke R-KUHAP”, Universitas Padjajaran Bandung, 2 Juni 2007.
ÕDosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia , dan Advokad di Jakarta.
[1]Roeslan Saleh, Pembinaan Cita
Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta :
Karya Dunia Fikir, 1996, hlm. 1
[2]Bandingkan dengan Soetandyo Wignjosoebroto,
Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional;
Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembagan Hukum di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1995, hlm. 231-247. Soetandyo
Wignjosoebroto menyatakan ada tiga kelompok pendapat yang mendominasi
gagasan pembangunan hukum di Indonesia .
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pengembangan hukum nasional mesti dilakukan dengan cara mengembangkan
hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan
internasional. Pandangan kelompok ini berpangkal tolak dari pendapat Roescoe
Pound tentang perlunya memfungsikan
“law as a tool of social engineering”, yang di-Indonesia-kan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai “hukum sebagai sarana pembangunan”
dan mendapat dukungan terutama dari para ahli hukum Universitas Padjajaran
Bandung, seperti Romli Atmasasmita
dengan “law as a tool of beurocratic engineering”.
(Lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum
Kejahatan Bisnis, Jakarta :
Prenada Media, 2004). Kedua, kelompok yang percaya bahwa harus ada
kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (yang kolonial) ke yang kini
(yang nasional), dan hukum nasional haruslah berakar, berangkat dan diangkat
dari hukum rakyat yang ada, ialah hukum adat.
Penyokong-penyokong ide ini sebenarnya terbilang pewaris tua, seperi Soepomo, Djojodigoeno dan Koesnoe,
yang bertolak dari paham historis Savignian,
bahwa hukum tidak mungkin sebagai sarana perekayasa social, melainkan akan dan
harus tumbuh kembang beriring dengan tumbuh kembangnya masyarakat itu sendiri. Ketiga,
kelompok yang berpendapat bahwa pengembangan hukum nasional Indonesia sebaiknya berangkat dari
modal dasar hukum Kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan Grundnorm Pancasila. Kelompok pandangan ini didukung oleh sejumlah
praktisi hukum seperti Suardi Tasrif,
Adnan Buyung Nasution, dan Sulistio. Menurut kelompok ini, adopsi
unsur-unsur hukum dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan
tetapi konfigurasi atau pola sistemik Eropa tidak mungkin dibongkar sama
sekali. Pada kenyataanya, masih menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, kelompok pandangan
yang menghendaki pembangunan hukum
nasional diarahkan sebagai perekayasa sosial, cukup mendapat tempat dalam
kerangka kebijakan pemerintah Orde Baru, tetapi dilengkapi dengan rambu-rambu pembatas, bahwa hukum nasional
itu harus berdasarkan hukum adat dengan tetap dalam kerangka sistemik hukum Eropa.
[3]RKUHAP yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah edisi Tahun
2007.
[4]Pasal 10 Universal Declaration of Human Right, Pasal 14 International Convenant of Civil and Political Right, Paragraf 27 Vienna Declaration and Programme for Action tahun
1993, International Bar Association Code
of Minimum Standard of Judicial Independence tahun 1982, Universal Declaration on the Independence
tahun 1983, dan Beijing Statements of
Principles of Independence of Judiciary in Law Asia Region tahun 1995.
[5]Paulus E. Lotulung, “Kebebasan
Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM RI, 2003.
[6]Andi Hamzah, “Kemandirian dan
Kemerdekaan kekuasaan Kehakiman dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM RI, 2003.
[7]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta :
Sinar Grafika, 2002, 49.
[8] Di Inggris berdasarkan Article 9 Police Reform 2002, dibentuk The Independent Police Complaints Comminssion. Lihat Barry Mitchell dan Salim Farrar, ed., Statutes
on Criminal Justice and Sentencing, Oxford :
Oxford University Press, 2004, 124.
[9]
Robert J. Meadows
mengemukakan unsure-unsur yang harus terpenuhi untuk adaanya “police
negligence” yaitu: (1) There must be a
duty on the part of the defendant police officer, (2) There was a failure to
perform that duty, (3) There is a proximate cause of relationship between the
duty and failure to perform, (4) There is actual damage or injury to the
person. Lihat Robert J. Meadows,
“Legal Issues in Policing”, ibid., 106