Dr. CHAIRUL HUDA, SH, MH
Abstract
This is
thesis on criminal law conceprtion, exspecially about correlation criminal liability and criminal of punishment.
Tendency of teorethical buildings is old fashioned still stage around of
individual liability, and yet perfectly develop for complex crime. There are at
least three correlation discussed, related corporate crime, organized crime and
collective crime or collective violence.
Pendahuluan
Ilmu
Hukum pidana adalah science about fault,
yang menyebabkan kesalahan (schuld) sebagai pusat perhatiannya, baik ketika menentukan
perbuatan mana yang sepatutnya dijadikan tindak pidana, menentukan kriteria
bahwa seseorang sepantasnya dicela karena perbuatannya sehingga
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan menentukan jenis dan jumlah
pidana yang tepat bagi seseorang yang melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan karena perbuatannya itu. Ketiga masalah mendasar di atas,
kerapkan dibicarakan secara parsial oleh para ahli, yang menyebabkan diantara
ketiga terfagmentasi secara konseptual.
Berkaitan dengan hal di
atas, salah satu masalah penting yang hingga kini masih terus dikembangkan oleh
para ahli hukum pidana adalah korelasi antara ketiga masalah mendasar tadi.
Terlebih-lebih khususnya korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan
pidana. Sebelumnya hal itu kerap kedua konsep di atas dipandang identik sama
lain, sehingga tidak relevan memikirkan korelasinya. Dalam hal ini “dapat
dipertanggungjawabkan” dalam hukum pidana berarti “dapat dipidana”. Namun
demikian, belakangan ternyata dapat dipertanggungjawabkannya seseorang dalam
hukum pidana (karena melakukan tindak pidana), tidak serta merta menyebabkan
seorang itu dipidana. Penormaan tujuan pidana, pedoman pemidanaan dan pedoman
penjatuhan pidana penjara, yang telah pula diadopsi dalam RUU KUHP, out of court settlement yang semakin
mendesak untuk diperkenalkan dalam RUU KUHAP, atau prinsip restorative justice yang telah pula diintrodusir dalam sistem
peradilan pidana anak (Undang-Undang No. 11 Tahun 2012), menyebabkan terdapat
hal-hal lain yang harus dipertimbangkan hakim ketika akan menjatuhkan pidana,
termasuk menjatuhkan pidana penjara. Artinya, “dapat dipertanggungjawabkan”
dalam hukum pidana, karena satu dan lain hal “dapat tidak dijatuhi pidana”.
Korelasi antara
pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana, semakin menjadi persoalan
ketika dalam banyak hal telah terjadi pergeseran bentuk-bentuk kejahatan
konvensional, menjadi suatu kejahatan yang bukan hanya melibatkan yang dulu
disebut Mardjono Reksodiputro[1]
sebagai pysike dader, tetapi psyke dader lainnya, yang membutuhkan
telaahan tersendiri dalam menempatkan konstelasi mengenai hal ini. Artinya,
kerangka teoretik korelasi pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana yang
sekarang ada, melulu masih mengenai pelaku materiel, yang perbuatannya bersifat
simpel karena yang bersangkutan langsung mewujudkan rumusan delik. Akan tetapi
konsep tersebut belum dibentuk untuk tindak pidana yang kompleks. Dimaksud
dalam hal ini adalah tindak pidana yang melibatkan banyak pihak, dengan
perbuatan yang tidak bersifat fisik semata, dan jalinan hubungan antara satu
peserta dengan peserta lain terbangun secara sangat unik.
Makalah ini, mengemukakan
telaahan awal tentang tiga konteks korelasi atau hubungan antara pertanggungjawaban
pidana dan penjatuhan pidana. Pertama pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan
pidana terhadap corporate crime.
Kedua, pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap organized crime. Ketiga, pertanggungjawaban pidana dan
penjatuhan pidana terhadap collective
crime atau collective violence.
Ketiga bentuk kejahatan tersebut adalah tindak pidana yang kompleks, yang masih
memerlukan kerangka teoretik penentuan pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan
pidananya.
Korelasi
antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Corporate Crime
Persoalan-persoalan
tentang korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana,
mendapat tatangan berat ketika ilmu hukum pidana dituntut dapat memberikan
justifikasi terhadap pemidanaan korporasi, khususnya yang bersifat strict liability crime. Dalam hal ini,
tindak pidana korporasi dilakukan oleh pegawainya, tetapi dipertanggungjawabkan
secara “strict” kepada korporasinya.
Struktur organisasi korporasi modern memungkinkan adanya pengalihan dan pendistribusian
tanggungjawab atas pengambilan keputusan, yang menyebabkan persoalan
pertanggungjawaban dan penjatuhan pidananya menjadi sangat kompleks, ketika
korporasi itu melakukan tindak pidana. Hal
ini menyebabkan penentuan terhadap siapa sebenarnya tindak pidana tersebut
dipertanggungjawabkan menjadi suatu persoalan baru.
Kecenderungan
berbagai korporasi mensiasati kemungkinan tuntutan pidana dengan membangun
struktur yang dengannya memisahkan jarak yang begitu jauh antara tindak pidana
yang dilakukan pegawai korporasi dengan para pengambil keputusannya. Misalnya
dengan membentuk holding company,
yang dengannya dapat “menutupi jejak” pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan
pidana yang sebenarnya, tetapi hanya pada korporasi yg secara langsung mengujudkan
delik itu. Padahal keuntungan terbesar bukan pada korporasi pelaku langsungnya.
Persoalan mendasar mengenai hal ini adalah, sampai batas mana jika
pertanggungjawaban pidana bertingkat akan diterapkan. Belum terpecahkannya
masalah ini menyebabkan timbulnya keadaan yang tidak menggembirakan dalam
perkembangan pertanggungjawaban dan penjatuhan pidana korporasi, yang dengan meminjam istilah William
S. Laufer dapat dipandang sebagai “perkembangan yang mengecawakan”.
Dikatakannya “the evolution of corporate
criminal law was and is predictably disappointing”.[2]
Dalam jangkauan yang lebih kecil, keterbatasan
konsep pertanggung jawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap korporasi
ketka dihadapkan pada perubahan-perubahan kepengurusan korporasi. Misalnya, direksi baru perusahaan yang harus dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana (dalam arti dijatuhi pidana) karena tindak pidana korporasi yang terjadi
sebelum masa kepemimpinannya. Dalam hal ini pengadilan terlihat gamang
menjatuhkan pidana, karena tindak pidana sebenarnya sudah terjadi sebelum
direksi tersebut menjabat, seperti Putusan Pengadilan Negeri Muara Enim No.
149/Pid.B/2010/PN.ME, tanggal 23 Desember 2010 yang memidana IR. MUZTAV SJAB,
selaku Direktur Utama PT BUKTI KENDI karena korporasi itu telah “tanpa ijin
mengekspoitasi bahan tambang di kawasan hutan”, sekalipun sebenarnya tindak
pidana terjadi pada masa kepemimpinan Ir. MUNANDAR alias MUNANDAR SAI SOHAR,
yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan Negeri Muara Enim,
berdasarkan Putusan No.
215/Pid.Sus/2010PN.ME, tanggal 22 Desember 2010, karena hanya menghindari
dilanggarnya asas “terhadap satu tindak pidana hanya dapat dijatuhkan hukuman
kepada pelakunya”. Persoalan mungkin
tidak terlalu rumit ketika yang dijatuhi pidananya adalah korporasinya, dengan
pidana denda tentunya, tetapi menjadi persoalan serius ketika pidana penjara
dijatuhkan terhadap direksi baru itu, sehingga yang bersangkutan “dipidana
penjara karena kedudukannya bukan karena perbuatannya”.
Kelemahan konsepsi yang ada yang menghubungkan
pertanggung jawaban pidana dan penjatuhan pidana juga terlihat sangat telanjang
ketika proses hukum memajukan sebagai terdakwa “orang yang tidak dapat mewakili
korporasi”, tetapi pidana harus dijatuhkan dalam konteks pertanggungjawaban
korporasi. Misalnya, ketika Mahkamah
Agung mempidanakan PT. ASIAN AGRI GROUP dalam putusan No. 2239K/PID. SUS/2012
atas nama Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dengan denda Rp. 2.519.955.391.304 (dua trilyun
lima ratus sembila belas milyar Sembilan ratus lima puluh juta tiga ratus
sembila puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah). Sepintas lalu putusan ini sepertinya merupakan dimulainya babak baru
tentang korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana,
khususnya terkait dengan pemidanaan
korporasi. Dalam hal ini, asas dasar pertanggungjawaban pidana bahwa
“tiada penjatuhan pidana tanpa tindak
pidana” dimaknai secara lain. Pidana denda sebanyak lebih dari 2,5 Trilyun
Rupiah tersebut telah dijatuhkan kepada
PT. ASIAN AGRI GROUP oleh Mahkamah Agung, sekalipun korporasi itu bukan yang
didakwa dan diadili. Terdakwa SUWIR LAUT aliasn LIU CHE SUI alias ATAK didakwa
bukan mewakili korporasi PT. ASIAN AGRI GROUP, tetapi pembayaran denda yang
cukup besar tersebut dijadikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana atas
terdakwa tersebut. Fakta bahwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK bukan
Direksi PT. ASIAN AGRI GROUP, menjadi
pertanda yang paling kuat bahwa yang bersangkutan didakwa dan diadili sebagai
pribadi, bukan mewakili PT. ASIAN AGRI GROUP, mengingat dalam doktrin dan banyak
ketentuan undang-undang dipersyaratkan,
dalam hal tindak pidana korporasi maka pertanggungjawabannya diwakili
oleh direksi korporasi tersebut.
Memang antara SUWIR
LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK bukan tanpa tautan sama sekali, jabatannya
sebagai tax manager di PT ASIAN AGRI
dipandang bahwa segala tindakannya dilakukan untuk dan atas nama korporasi
tersebut. Segala “keuntungan” dari tindakan SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias
ATAK tersebut bukan dinikmati oleh yang bersangkutan pribadi, tetapi “mengurangi”
pajak PT. ASIAN AGRI GROUP yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Jalan
berfikir ini sepertinya yang menyebabkan Majelis Hakim Agung yang terdiri dari
DJOKO SARWOKO, SH, PROF DR. KOMARIAH EMONG SAPARDJAJA, SH dan MURWAHYUNI, SH,
MH mengambil putusan fenomenal tadi, dan sekaligus “menggeser” konsep tentang pertanggungjawaban
pidana hanya dapat dimintakan terhadap seseorang secara pribadi, dan karenanya
yang bersangkutan sendiri yang harus menerima nestapa karena pidana yang
dijatuhkan. Hal ini antara lain tergambar dari pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang,
bahwa sebagaimana dipertimbangkan di atas bahwa perbuatan Terdakwa berbasis
pada kepentingan bisnis 14 (empat belas) korporasi yang diwakilinya untuk
menghidari Pajak Penghasilan dan Pajak Badan yang seharusnya dibayar oleh
karena itu tidaklah adil jika tanggung jawab pidana hanya dibebankan kepada
Terdakwa selaku individual akan tetapi sepatutnya juga menjadi tanggungjawab
korporasi yang menikmati atau memperoleh dari hasil Tax Evation tersebut”;
“Menimbang
bahwa sekalipun secara individual perbuatan Terdakwa terjadi karena “mensreea”
dari Terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan
dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukukan oleh
Terdakwa adalah dikehendaki atau “mensrea” dari 14 (empat belas) korporasi.
Sehingga dengan demikian pembebanan tanggan jawab pidana “individual liability”
dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan
dari doktrin respodeat superior atau doktrin “vicarious liability” diterapkan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku
Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas
dan tanggung jawab lagi pula pula apa yang dilakukan terdakwa telah diputuskan
secara kolektif”.
Pertimbangan di atas
menunjukkan bahwa sekalipun tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa secara pribadi (direct liability), tetapi pertanggungjawabannya dimintakan
terhadap pribadi yang bersangkutan dan korporasi yang mendapatkan manfaat dari
tindak pidana yang dilakukannya (vicarious
liability). Konsepsi ini menyebabkan pidana bukan hanya diterapkan terhadap
terdakwa, tetapi pindana juga dijatuhkan terhadap korporasi. Pertanggungjawaban
individual dan korporasi diterapkan secara simultan dalam perkara dimana
terdakwanya adalah pegawai korporasi itu. Dalam istilah Lacey, Wells dan Quick,[3]
konstruksi ini merupakan paduan “direct
liability” dengan “vicarious
liability” sekaligus. Dua konsep yang selama ini hanya menjadi alternatif
satu sama lain, tetapi dalam perkara tersebut telah dikumulasikan.
Dengan
pertimbangan tersebut, pemidanaan terhadap korporasi tidak lagi sebagai
konsekuensi lansung dari tindak pidana yang dilakukan pengurus korporasi itu,
atau sebagai kelanjutan dari dapat dipertanggungjawabkannya korporasi karena
suatu tindak pidana yang dilakukan pegawainya, tetapi sebagai wujud “pembebanan”
tanggung jawab pidana dengan menjatuhkan pidana kepada korporasi karena tindak
pidana yang dilakukan pegawainya demi untuk kepentingan korporasi. Konsep vicarious liability yang sejak semula menjadi
dasar untuk mendakwa, mengadili dan memidana
korporasi (yang diwakili oleh pengurusnya) karena tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai korporasi itu atau pihak lain yang berbuat untuk dan
atas nama korporasi, sehingga tidak lagi bersifat individual, telah bergeser
mejadi dasar penjatuhan pidana bagi korporasi karena sejatinya perbuatan
pegawainya itu adalah demi kepentingan korporasi, sekalipun hal itu bukan
dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini, sekalipun disebut-sebut dalam putusan di
atas bahwa pertanggungjabawan pidana secara individual dan pertanggungjawaban
pidana korporasi secara bersamaan dalam perkara di atas, dengan menyatakan
penerapan vicarious liability dalam pertanggungjawaban
korporasi karena tindak pidana yang dilakukan pegawainya atas dasar doktrin respodeat superior yang umumnya telah
diterima dalam Hukum Pidana Indonesia, tetapi sebenarnya penerapannya terhadap
pegawai korporasi dan bukan pengurusnya dalam kasus aquo merupakan suatu hal yang baru.
Dalam penerapan vicarious liability tersebut tetap saja
yang didudukkan sebagai terdakwa adalah korporasinya, yang karenanya dipidana
karena perbuatan “orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain” dengannya
tersebut. Dengan demikian, jika
dikonstruksi sebagai bentuk vicarious liability, maka Direksi PT.
ASIAN AGRI GROUP mewakili korporasi itu didakwa dan diadili dan karenanya
dipidana karena perbuatan manipulasi pajak yang dilakukan SUWIR LAUT alias LIU
CHE SUI alias ATAK. Namun tidak demikian
yang terjadi dalam putusan No. 2239K/PID. SUS/2012 tersebut. Tindak pidana yang didakawakan terhadap
Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dipandang terbukti, yaitu
melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, tetapi
pidana bukan hanya dijatuhkan terhadap yang bersangkutan (dua tahun penjara dengan
masa percobaan selama tiga tahun), tetapi pidana juga dijatuhkan terhadap PT.
ASIAN AGRI GROUP tempat terdakwa bekerja, dengan pidana denda sebanyak lebih
dari 2,5 Trilyun Rupiah (dua kali pajak terhutang yang tidak atau kurang bayar
atau dua kali lebih dari 1,25 Trilyun Rupiah), sebagai syarat khusus dari
pidana bersyarat dimaksud. Dengan demikian vicarious
liability dimaknai secara sangat berlainan dari konsep aslinya. Hal inilah
yang bukan hanya menyebabkan pergeseran tentang konsep individualisasi pidana tetapi boleh jadi dipandang peniadaan konsep
dimaksud, dimana pidana dapat dijatuhkan terhadap siapa saja sepajang memiliki hubungan kerja dengan
terdakwa. Pidana tidak dijatuhkan secara individual terhadap orang (orang
perseorangan atau korporasi) yang
didudukkan sebagai terdakwa, tetapi terhadap pihak lain, sepanjang ada
keterkaitan dengan perbuatan yang secara individual pula didakwakan terhadap
terdakwa.
Vicarious liability
yang secara harafiah dimaknai dengan “pertanggungjawaban pengganti”, dimana
korporasi menggantikan tanggungjawab pegawainya yang melakukan tindak pidana
untuk dan atas nama korporasi itu. Namun demikian dalam kasus ini, vicarious liability digunakan sebagai
dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap korporasi yang pegawainya didakwa dan
diadili karena melakukan tindak pidana dalam melaksanakan kegiatan terkait
korporasi itu. Dalam kasus PT. ASIAN AGRI GROUP, hal itu dimaknai lebih jauh
lagi, karena pidana bukan saja dijatuhkan terhadap PT. ASIAN AGRI GROUP yang
menggantikan tanggung jawab Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK,
tetapi dalam hal ini pidana tetap dijatuhkan terhadap Terdakwa SUWIR LAUT alias
LIU CHE SUI alias ATAK (pidana penjara dua tahun dengan percoban selama tiga
tahun) dan tidak digantikan oleh PT. ASIAN AGRI GROUP sebagai pihak yang memperkerjakannya,
melainkan pidana “ditambahkan” lagi terhadap korporasi itu ( lebih dari 2,5
Trilyun Rupiah).
Tanpa ukuran-ukuran
yang jelas penerapan dual liability
tersebut (direct liability and vicarious
liability) dalam satu perkara, dapat menyebabkan dauble penalty, yang sangat mudah menjadi kesewenang-wenangan dan
ketidakadilan.
Korelasi
antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Organized Crime
Dalam bidang Hukum
Acara Pidana, kesulitan-kesulitan
dibidang pembuktian kejahatan terorganisir disiasati dengan berbagai
perkembangan baru, antara lain dengan memberi privilege terhadap justice collabolator dan wistle blower. Namun perkembangan dalam
ranah Hukum Pidana Materiel kebuntuan tentang menemukan korelasi antara
peratnggungjawan pidana dan penjatuhan pidana juga menjadi isu krusial dalam
kejahatan terorganisir. Kebuntuan mengenai hal ini menyebakan kecenderungan
timbulnya apa yang disebut David Dyzenhaus sebagai “legalized illegality”.[4]
Konsep penyertaan
yang selama ini menjadi tumpuan perluasan tindak pidana sehingga dapat
dipandang juga diliputi oleh bukan pelaku langsungnya, sekarang ada tidak mampu
lagi mengkonstruksi tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap
kejahatan terorganisir. Akibatnya penjatuhan pidana tidak lagi memperhatikan
kaidah-kaidah dasarnya, melainkan melompat kepada siapa saja yang berada
didekat pusaran tindak pidana atau pembuatnya tersebut.
Dalam hal ini pidana
tidak lagi dijatuhkan terhadap terdakwa yang
notabene sedang diadili perbuatannya, tetapi kepada pihak lain yang
kebetulan “berada pada tempat yang salah dan wkatu yang salah”. Terlihat mulai
ditinggalkannya pertanggung jawaban individual dalam hukum pidana tergambar dalam pekara
tindak pidana korupsi. Suka atau tidak suka, tindak pidana korupsi
kecenderungannya sekarang makin teroragisir, sehingga sulit mengkaitkan satu
pelaku dengan pelaku yang lain. Kalaupun dapat dikaitkan, biasanya pada
hasil-hasil tindak pidananya. Akibatnya, jika hal itu tidak dapat dikonstruksi
sebagai bentuk penyertaan, ataupun tidak pula dapat dipidanakan dengan
mengikuti hasil-hasil kejahatannya (follow
the money), terutama dengan tindak pidana pencucian uang, maka penjatuhan
pidana yang membabibuta telah dilakukan hanya karena mengejar target
pengembalian kerugian keuangan negara.
Hal ini misalnya terlihat dalam Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan
No. 42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama Terdakwa
RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA. Dalam hal ini Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA
dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan karenanya menjatuhkan pidana penjara 4
tahun dan denda sebanyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah),
serta menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebanyak Rp. 2.570.000.000
(dua milyar lima ratus tujuh puluh juta
rupiah), dan menjatuhkan pidana tambahan perampasan barangbarang bergerak, yang
dikatakannya berada dalam penguasaaan Saksi TAN SUHARTONO, MEDIANA HUTOMO, Dr.
dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP, dan Drg. ELS MANGUNDAP, Drs. AMIR SYARIFUDIN
ISHAK, SH., MH, PT. GRAHA ISMAYA, PT. INDOFARMA GLOBAL MEDIKA. Dalam hal ini
sama artinya para saksi tersebut juga turut dijatuhi dengan pidana perampasan barang bergerak itu, yang dalam
perkara tersebut berupa sejumlah uang.
Sekali lagi pidana
bukan saja secara individual dijatuhkan terhadap Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN
PAKAYA, yang didakwa dan diadili dalam
perkara tersebut, tetapi dijatuhkan pula terhadap pihak lain, yang tidak sedang
didakwa atau diadili dalam perkara itu. Dalam pertimbangannnya Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan bahwa dasar dijatuhkannya pidana
perampasan barang-barang bergerak tersebut adalah Pasal 18 ayat (1) dihubungkan
dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999, yaitu “putusan
pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan”. Dalam hal ini, konstruksi
yuridis yang seharusnya digunakan hakim adanya barang-barang bergerak mapun
tidak bergerak yang berada dalam penguasaan Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA,
tetapi bukan milik yang bersangkutan, tetap dapat dirampas sepanjang tidak
merugikan pihak ketiga yang beritikad baik yang menjadi pemilik dari barang
itu. Dengan demikian, pidana secara individual dijatuhkan terhadap terdakwa
yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, hanya saja barang yang dirampas
dengan pidana perampasan barang-barang tersebut bukan milik terdakwa.
Pertanggungjawbaan pidana menjadi dasar dijatuhkannya pidana terhadap terdakwa.
Dalam putuan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan No.
42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama Terdakwa
RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA tersebut, kembali
terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana yang menjadi dasar penjatuhan pidana
bukan hanya terhadap terdakwa secara individual. Dalam hal mana pidana
dijatuhkan Majelis Hakim perkara ini menjatuhkan pidana berupa perampasan harta
kekayaan milik pihak lain (TAN SUHARTONO, MEDIANA HUTOMO, Dr. dr. SITI FADILAH
SUPARI, Sp. JP, dan Drg. ELS MANGUNDAP, Drs. AMIR SYARIFUDIN ISHAK, SH., MH,
PT. GRAHA ISMAYA, PT. INDOFARMA GLOBAL MEDIKA) sebagai suatu bentuk pidana
(tambahan) terhadap Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, karena pihak lain itu
dipandang memilikinya bukan atas dasar itikat baik. Dalam hal ini pidana
tambahan (perampasan barang-barang tertentu) dijatuhkan kepada saksi dan bukan
terdakwa, cuma karena apa yang menjadi milik saksi bersangkutan diperolehnya
bukan atas dasar itikad baik. Namun demikian, dalam perkara atas nama terdakwa
RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, justru yang dinyatakan dirampas adalah uang saksi
yang ada pada penguasaan saksi itu sendiri. Hal ini dapat diartikan saksi yang
tidak didakwa dan diadili karena tindak pidana korupsi, justru telah dijatuhi pidana perampasan barang-barang
bergerak dimaksud.
Demikian pula ilmu
hukum pidana dituntut justifikasinya terhadap penentuan subyek yang dijatuhi
pidana dalam kejahatan terorganisasi (orginezed
crime), seperti kegamangan pengadilan dalam dugaan keterlibatan ABU BAKAR
BA’ASYIR dalam tindak pidana terorisme, peledakan Hotel JW. Mariott I dan II. Keberadaan
yang bersangkutan berada dalam lembaga pemasyarakatan, karena dipidana terkait
dengan tindak pidana terorisme lainya, menyurutkan pembangunan konstruksi
pertanggungjawaban penyertaan dengan pelaku-pelaku langsung pemboman Hotel JW Mariott I dan II
yang coba dilakukan pada waktu itu. Padahal seperti dikatakan Marja
Letho, bahwa:
“the extension of criinal responsibility ton non violent supportive acts thus makes the concept of terrorisme broader: terrorism is not limited to terrorist acts but comprises the
victimless crime of incitement, financing, long term preparation as well as
various aspect of material support to
maintenance of the terrorist infrastructure”.[5]
Pemberantasan terorisme, terutama dengan
membangun konsep pertanggungjawaban dan penjatuhan pidananya, masih terbatas
pada target-target pelaku langsungnya. Belum dapat secara sempurna mengejar
mereka yang memberi dukungan teknis dan non teknis, termasuk pendanaan dan peralatan
serta perencanaan tindak pidana terorisme. Hukum pidana kesulitan menghubungkan
pelaku langsungnya dengan mereka itu, terutama bagaimana membangun konstruksi
pertanggungjawabannya.
Persoalan
semakin rumit ketika penanggulangan tindak pidana terorganisir ini mengharuskan
dibedakannya apa yang disebut Carlo
Morselli sebagai “noncriminall social
networks” dari “criminal networks”.[6]
Hal ini terkait dengan kecenderungan perkembangan jaringan terorisme yang ter-slamur-kan dengan jaringan sosial, budaya dan keagamaan
yang tidak melakukan aktivitas kriminal. Terlihat dalam penangan terorisme di
Indonesia, terhentinya pengkaitan Jamaat Ansharut Tauhid dengan aktivitas
terorisme. Jaringan dakwah ini, yang jelas-jelas sebagai noncriminal social networs disebut-sebut sebagai organisasi yang
semula dituduh sebagai jelmaan baru Jamaah Islamiah di Indonesia. Konsepsi pertanggungjawaban pidana sama
sekali belum menyentuh dapat dikonstruksinya hal ini.
Korelasi
antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Collective Crime atau Collective Violance
Tantangan terakhir
yang tidak kalah pentingnya, terkait dengan pembangunan korelasi antara konsep
pertanggungjawban pidana dan penjatuhan pidana, berkenaan dengan kejahatan yang
bersifat massal, terutama kekerasan massal. Ilmu hukum pidana juga dituntut
untuk dapat membenarkan pemidanaan terhadap beberapa orang saja dalam tindak
pidana yang berupa aksi masa, sementara bersikap impunity terhadap pelaku lainnya.
Persoalan mendasar
mengenai hal ini adalah, apakah memang konstruksi pertanggungjawaban pidana
kejahatan berkelompok atau bersifat massal ini terbatas hanya ditujukan
terhadap pemimpin-pemimpinnya. Misalnya seperti dilansir sejumlah teoritis yang
menyatakan bahwa terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170
KUHP hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana hanya terhadap
pemimpinnya, atau justru semua yang
“hadir” dalam kejahatan itu dapat dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi
pidana secara equal dengan para
pemimpinnya tersebut. Hal ini masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan.
Seperti putusan
terhadap kasus kekerasan massal terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, yang pertangungjawaban pidana hanya
dimintakan terhadap mereka yang “terlihat” atau “terekam” dalam gambar video
yang tersebar luas itu, sementara yang lain yang konon dikabarkan melakukan
aksi kekerasan yang sebenarnya terlepas begitu saja. Demikian pula dengan
penanganan kekerasan massal dalam demontrasi pembentukan Provinsi Tapanuli,
yang membuat Ketua DPRD Sumatera Utara ABDUL AZIS ANGKAT meninggal dunia. Dalam
hal mana tidak selalu mudah untuk
menentukan pengurus/aktor yang paling abash (rightfully)
untuk dijatuhi pidana karena kejahatan yang dilakukan pegawai/anggota
kelompoknya.
Salah satu perkara yang paling fenomenal mengenai hal
ini adalah dalam kasus Habieb Rizieq. Terlihat
“pergeseran” tentang ajaran penyertaan dari apa yang ditentukan oleh
undang-undang, dengan keadaan yang
diharapkan timbul karena perubahan arah kebijakan (politik) hukum,
dipertontonkan dengan sangat telanjang. Paling tidak hal itu terlihat dari dua
hal, yaitu: penentuan tindak pidana yang dilakukan Habieb Rizieq dan pertanggungungjawaban
pidananya atas hal itu.
Pertama, antara
kejadian di sekitar Monas dan Habieb Rizieq dihubungkan dengan Pasal 55 ayat
(1) ke-2 KUHP. Dengan demikian, Ketua Umum FPI ini didakwa melakukan tindak
pidana “menganjurkan” orang lain melakukan kejahatan. Dalam hal ini Habieb
Rizieq dipandang sebagai “orang yang menggerakkan orang lain melakukan
kejahatan”, yang disebut-sebut dilakukan “dengan menyalahgunakan martabat”
dan/atau “dengan penyesatan”. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI dipandang sebagai
“martabat” yang “disalahgunakan”, diantaranya melalui ceramah-ceramahnya yang
dilakukan sebelum “peristiwa monas” yang dipandang sebagai “penyesatan”, yang
berisi “dorongan” untuk membubarkan Ahmadiyah, karena dipandang sesat dan telah
keluar dari Islam. Pemahaman yang dimiliki para anggota FPI tentang Ahmadiyah
dari pengajian-pengajian Habieb Rizieq
inilah yang dipandang sebagai
faktor penyebab kekerasan di Monas. Dengan demikian, “ isi pengajian Habieb Rizieq” inilah yang
dipandang sebagai kejahatan, yang locus
delictie-nya di Markas FPI.
Konstruksi di atas
boleh jadi benar, apabila tindak kekerasan di sekitar monas tersebut dilakukan
terhadap warga Ahmadiyah dan hal itu dilakukan oleh bukan hanya anggota FPI,
tetapi lebih jauh lagi anggota FPI yang mendengar dan mengikuti pengajian
Habieb, yang terpengaruh dan terdorong untuk melakukan kejahatan karena ceramah
yang bersangkutan. Masalahnya menjadi lain, ketika kekerasan dilakukan oleh
anggota FPI lainnya (yang tidak mengikuti pengajian) dan hal itu dilakukan
terhadap AKBB (aliansi pro Ahmadiyah). Dengan demikian, terjadi pergeseran
“Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, khususnya dalam hal penganjuran, dari
perbuatan “menggerakkan orang lain melakukan kejahatan”, menjadi dipandang juga
penyertaan “menjadi pimpinan organisasi yang anggotanya melakukan kejahatan”.
Kejahatan Habieb Rizieq adalah “menjadi Ketua Umum FPI”. Dengan demikian,
setiap kali anggota FPI melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, dimanapun hal
itu dilakukan, maka selalu dapat dihubungkan dengan Habieb Rizieq, sebagai
Ketua Umum FPI.
Kedua, terjadi pergeseran dalam penentuan kesalahan (schuld) Habieb Rizieq, atas
perbuatan-perbuatan para anggota FPI atau kelompok-kelompok seperjuangannya,
atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap masa AKBB yang pro
Ahmadiyah. Memandang ajaran penyertaan sebagai perluasan pengertian delik,
menyebabkan terhadap peserta dalam suatu penyertaan kejahatan, seharusnya juga diliputi kesalahan, sesuai
asas “geen straf zonder schuld”.
Dengan demikian, bukan kesalahan anggota FPI yang diteruskan kepada ketua
umumnya (Habieb Rizieq), tetapi merupakan kesalahan bagi pimpinan FPI apabila
ada anggotanya yang melakukan tindak kejahatan sebagai pelaksanaan dari
kegiatan organisasi.
Habieb Rizieq sejak semula
harus telah mengetahui dan menyadari bahwa ceramah-ceramahnya yang menyatakan
Ahmadiyah sesat dan telah keluar dari Islam dan karenanya harus dibubarkan
dengan cara apapun dapat menimbulkan tindak kekerasan. Persoalannya seharusnya
diletakkan pada perbuatan yang bersangkutan melakukan ceramah-ceramah tersebut,
dan bukan kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Mengingat isi ceramah Habieb
Rizieq yang dipandang sebagai kejahatan, sehingga celaan terhadap yang
bersangkutan ditujukan karena perbuatannya tersebut, dan bukan celaan terhadap
kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI sama
sekali bukan kejahatan, sehingga sama sekali tidak patut dicela oleh karenanya.
Apabila para pelaku kekerasan monas adalah hanya sekedar anggota FPI, tidak
anggota FPI yang “sesat” karena ceramah Habieb Rizieq sehingga melakukan
kejahatan, maka pertanggungjawaban hal ini tidak berdasar kesalahan (liability without fault). Kembali
terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, kesalahan karena
penyertaan dikonstruksi dalam bentuk strict
liability.
Penutup
Berbagai perkembangan
di atas, kesemuanya itu menunjukkan persoalan korelasi antara
pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana belum lagi usai. Perlu
kehati-hatian lebih untuk menjatuhkan pidana yang tepat, guna menghindari
dipidananya orang-orang yang tidak bersalah atau dipidananya seseorang melebihi
daripada kesalahannya.
[1]Mardjono Reksodiputro, “Tindak
Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Perilaku Kejahatan
di Indonesia”, dalam Kemajuan Pembangan
Ekonomi dan Kejahatan Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadailan dan Pengabdian Hukum, 2007, 96-115.
[2]Willian S. Laufer, Corporate Bodies and Guilty Mindes; The
Failure of Corporate Criminal Liability, Chicago: The University of Chicago
Press, 2006, 42.
[3]Lacey, Wells and Quick, Reconstructing Criminal Law; Text anda
Materials, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, 678
[4]David Dyzenhaus, “The State
of Emergency in Legal Theory”, dalam Victor
V. Ramraj, Michael Hor and Kent Roach, ed., Global
Anti Terrorism Law and Policy, Cambridge, Cambridge University Press, 2005, 65.
[5]Marja Letho, Indirect
Responsibility for Terrorist Acts; Redefinition of Concept of Terrorism Beyond
Violent Acts, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2009, 422.
[6]Carlo Morseli, Inside Crimminal Networks, Montreal:
Springer, 2009, 5