8 Oktober 2017

Menyoal Delik dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan



Oleh : 
Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta

Ahli Hukum Pidana
Persoalan mengenai Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) sejauh ini lebih ditekankan berkenaan masalah prasyarat “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time), yang disinyalir banyak pihak belum terpenuhi dalam situasi konkrit yang melatarbelakanginya. Makanya ramai berbagai pihak mempermasalahkan aspek ketatanegaraan hal itu  kepada MK, untuk melakukan judicial revieu terhadap  Perppu tersebut. Namun demikian, masih sedikit mereka yang menyoal adanya penggunaan sanksi pidana untuk menegakkan norma-norma administratif yang ada didalam Perppu Ormas. Padahal hal ini merupakan bagian perubahan UU No. 17 Tahun 2013  yang palig krusial dengan adanya Perppu ormas dimaksud.

2 Oktober 2017

Beberapa Catatan tentang Konsep Strict Liability dan Penerapannya dalam Praktek Penegakan Hukum Lingkungan dan Hukum Kehutanan dan Perkebunan



Oleh : Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Pengantar
Ahli Hukum Pidana FHUMJ
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009), menentukan:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola B3 dan/atau menimbulkan acaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa membuktikan unsur kesalahan.”

Sementara itu, ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU No. 41 Tahun 1999), menentukan:

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Ketentuan-ketentuan  di atas, seringkali menjadi dasar berlakunya “tanggung jawab mutlak (strict liability)” dalam pertanggungjawaban pidana.
Konsep strict liability merupakan hal “baru” dalam sistem hukum Indonesia, bahkan umumnya di negara-negara yang mewarisi sistem hukum Eropah Kontinental, kecuali  dalam hal pelanggaran,  karena sebenarnya konsep ini mula-mula hanya ada di common law system. Hal ini menyebabkan pemahaman sementara kalangan terhadap hal ini, baik para pakar maupun praktisi, apalagi di kalangan penegak hukum dan hakim,  belum cukup solid, masih meraba-raba tentang hal ini. Akibatnya,  penerapan ketentuan di atas kerapkali menimbulkan persoalan ketidakadilan, karena adanya permintaan tanggung jawab secara hukum lebih daripada apa yang seharusnya dipikul yang bersangkutan (versarii in reillicita).
Terutama terhadap mereka yang kemudian dituntut secara pidana atas pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup atau hutan, juga dipandang harus bertanggung jawab karena “perbuatan orang lain yang tidak ada hubungannya dengannya”. Diantaranya, kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena kegiatan atau perbuatan masyarakat atau oknum tertentu yang menggunakan “kelonggaran” yang diberikan Penjelasan  Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya), yang   kemudian dipersalahkan dan dibebankan berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap  perusahaan-perusahaan yang areal kegiatannya menjadi rembetan kebakaran hutan dan lahan tersebut. Padahal jika begitu kasus posisinya, perusahaan-perusahaan tersebut justru berposisi sebagai “korban” karena  mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit, berupa kehilangan aset berupa tanaman, dan mesti mengeluarkan biaya-biaya tambahan, seperti biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru.  
Mengacu pada hal di atas, sepertinya pemahaman tentang strict liability yang harus diluruskan, terutama berkenaan pasal dan ayat a quo yang mudah sekali ditafsirkan secara keliru, sehingga problem implementasi yang menimbulkan ketidakadilan, dapat ditekan seminimal mungkin. Penerapan strict liability karenanya tidak boleh  bertentangan atau setidaknya harus sejauh mungkin sejalan dengan maksud perumusannya semula (original intent). Diabaikannya hal ini pada gilirannya juga akan menabrak Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa  seharusnya negara, dengan undang-undang yang ditetapkannya, mampu memberikan “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap orang. Pemahaman tentang pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang tidak tepat, tentunya berdampak pada kekeliruan  penerapannya, yang boleh jadi dengan alsan-alasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman menimbulkan disparitas disana sini.

Strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund
atau tatbestand ausdehnungsgrund

Ketika konsep strict liability ditelaah lebih mendalam, maka sedikitnya ada dua pandangan yang saling bertolak belakang tentang hal ini. Pertama, sebagian pakar menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasar tanggung jawab mutlak adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (liabilitiy without fault). Dengan demikian, konsep ini adalah konsep Hukum Pidana Materiel, yaitu seseorang dikatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana (actus reus) sekalipun tidak ada niat jahat atau kesalahan pada dirinya (mens rea). Kedua, strict liability dipandang sebagai konsep Hukum Pidana Formiel, yaitu kegiatan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup maupun kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya menjadi tanggung jawabannya,  tanpa lebih jauh membuktikan pembuktian unsur kesalahan. Kesalahan (mens rea) yang bersangkutan tetap ada dan harus ada, hanya saja dianggap telah terbukti adanya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.
Penggunaan pandangan pertama menyebabkan titik berat persoalan menjadikan strict liability sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund). Artinya, ketika akibat yang dilarang telah timbul, maka ketentuan strict liability memperluas pertanggungjawaban pidana atas hal itu, terhadap siapapun yang ditentukan, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah ada kaitan yang wajar antara akibat dimaksud dengan perbuatan atau aktivitas yang bersangkutan. Tidak mengherankan ketika sejumlah pihak dipandang bertanggung jawab atas  akibat kebakaran hutan/lahan, pencemaran lingkungan, terlampaui batas baku mutu udara, yang timbul di areal yang menjadi tempat kegiatannya, walaupun tidak ada kontribusi kelakuan yang nyata terhadap  hal itu dari yang bersangkutan.
Berdasarkan penafsiran pertama, Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009  diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan kehutanan/perkebunan yang arealnya terbakar, karena sebab apapun. Perusahaan-perusahaan itu dipandang bertanggung jawab atas akibat yang timbul atas dasar strict liability, sekalipun hal itu bukan sebagai bagian mata rantai kegiatan usahanya. Kenyataan bahwa api bukan berasal dari kegiatan perusahaan-perusahaan itu, dan upayanya bahu membahu dengan masyarakat dan aparat negara memadamkan api, tidak menjadi pertimbangan. Pendeknya, mereka dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas hal itu. Disini sebenarnya strict liability diterapkan sebagai absolut liability.
Pandangan kedua menyebabkan strict liability adalah problem pembuktian semata, dan sama sekali bukan masalah perluasan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana  didasarkan pada syarat-syarat dapat dikenakannya pidana bagi seseorang, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) dan kesalahan (mens rea). Hanya saja persoalan mens rea dipandang telah ada tanpa harus dibuktikan lebih jauh kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Persoalannya, bagaimana kemudian seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam konsep strict libality, nah disini pembuktian bahwa adanya kelakuan yang memenuhi isi rumusan larangan undang-undang dan adanya akibat yang timbul dari kelakuan yang dilarang itu, menjadi syarat mutlak. Dalam keadaan  tertentu kelakuan dan akibat itu tidaklah perlu karena adanya perbuatan fisik secara langsung dari yang bersangkutan, tetapi cukup dengan  adanya hubungan tertentu dengan pelaku materielnya menyebabkan orang (perseroangan atau korporasi) juga dipandang sebagai perbuatannya. Oleh karena itu, strict liability adalah konsep tentang tatbestand ausdehnungsgrund, yaitu perluasan pengertian perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, hal ini menyebabkan perlu penyesuaian-penyesuaian tentang konsep perbuatan (actus reus), supaya pertanggungjawaban tetap berdasar pada kesalahan (liability based on fault).  Perbuatan orang-orang dalam lingkungannya dimana yang bersangkutan bertanggungjawab dalam  pengelolaan kegiatan dengan keterlibatan orang-orang itu, dipandang juga sebagai perbuatannya. Dengan demikian, pengaturan mengnai adanya hubungan-hubungan ini menjadi penting, supaya memenuhi syarat lex scripta, lex stricta dan lex certa. Disini strict liability diartikan sebagai strict liability crime.

Strict liability apakah dapat diterapkan pada manusia
atau hanya bagi korporasi

Persolan lain terkait penerapan strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund  diperparah dengan desain rumusan delik dalam umumnya peraturan perundangan, yang masih melulu dirancang untuk pembuat manusia. Akibatnya, seseorang dipandang bertanggung jawab secara mutlak terhadap kejadian-kejadian atau akibat-akibat  yang terjadi atau timbul dalam ruang lingkup pekerjaannya dan bukan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya atau perbuatan-perbuatan orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Walaupun tidak ada kehendak pribadi dari yang bersangkutan atas terjadinya atau timbulnya akibat-akibat dimaksud.
Semula di lingkungan common law, konsep strict liability diterapkan bagi korporasi, di Indonesia justu banyak diterapkan bagi individu. Padahal seharusnya tidak demikian, penerapan strict liability  dalam delik dibidang lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan, seharusnya diterapkan bagi korporasi saja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009, yang menentukan bahwa pertanggungjawaban mutlak atau strict liability menjadi konsep yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban tanpa membuktikan adanya kesalahan (liability without fault), pada dasarnya  tidak dapat diterapkan terhadap manusia (natuurlijke persoon), tetapi hanya dapat diterapkan pada korporasi. Pertanggungjawaban pada manusia selalu harus diartikan pada adanya kesalahan (liability base on fault), kecuali terhadap pelanggaran, sesuai dengan prinsip Geen Straf Zonder Schuld (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Hal ini telah cukup lama diakui dalam doktrin Hukum Pidana, seperti yang pernah dikemukakan Moeljatno, bahwa  pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil terhadap orang perseorangan, telah ditinggalkan sejak adanya Arrest HR tentang Susu dan Air. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil dahulunya diberlakukan terhadap tindak pidana pelanggaran telah ditinggalkan sejak Hoge Raad mengeluarkan  Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest, dengan menerima adanya dasar pemaaf pidana diluar dari yang ditentrukan dalam undang-undang, yang dikenal dengan  sebutan Awezigheid Van Alle Schuld (AVAS), dimana seseorang tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan sama sekali atau tidak ada sifat tercela sama sekali padanya.
Mengacu kepada hal di atas, kekeliruan yang kerapkali  muncul dalam penerapan  Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (strict liability) adalah ketika hal itu dijadikan dasar pemidanaan terhadap orang perseorangan manusia (natuurlijke persoon), karena dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas apapun yang terjadi dalam lahan atau hutan “tempatnya bekerja”, sekalipun hal itu terjadi bukan karena perbuatannya sendiri atau orang-orang yang bekerja bersamanya atau bekerja untuknya. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang diterapkan terhadap orang perseorangan, merupakan bentuk ketidakadilan dan kesewenangan.
 Selain itu, kalaupun pertanggungjawaban mutlak atau strict liability berdasarkan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya dianggap secara demikian pula berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  diterapkan terhadap korporasi, tetapi praktek hukum terkadang justru mengabaikan konsep pertanggungjawaban pidana itu sendiri, diamana pertanggungjawaban pidana hanya timbul karena perbuatan. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban pidana diterapkan tanpa memperhatikan apakah telah ada perbuatan yaang melawan hukum yang telah dilakukan suatu korporasi. Padahal dalam  Hukum Pidana, pertanggungjawaban hanya timbul karena adanya perbuatan, atau tiada pertanggungjawaban pidana tanpa adannya perbuatan melawan hukum (wedderechtelijke heid).  Dengan demikian, penerapan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  dilakukan dengan menabrak asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana” yang dilakukannya.

Strict liability dan Corporate Liability
 Korporasi dapat dipidana (dimintai pertanggungjawaban pidana) dengan  menggunakan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, apabila telah  memenuhi syarat-syarat suatu perbuatan sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).  Dalam hal ini asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana”, menjadi asas yang sangat fundamental dalam hal ini. Oleh karena itu untuk meminta pertanggungjawaban korporasi (corporate crime), termasuk dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liablity), maka terlebih dahlu harus dibuktikan adanya tindak pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi tentu tidak sama dengan tindak pidana oleh manusia, karena korporasi hanya bertindak melalui suatu kontruksi, dan bukan perbuatan langsung dengan tingkah laku jasmaniahnya. Korporasi hanya dapat bertindak “melalui orang-orangnya”. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan “orang-orang” dalam suatu korporasi itu, harus sedemikian rupa dapat dikonstruksi sebagai perbuatan korporasinya itu sendiri.
Dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, maka dalam  ranah teori dan juga sebenarnya telah diadopsi dalam berbagai undang-undang, tindak pidana korporasi dipandang ada jika:
a.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut terjadi karena perbuatan orang-orang dalam suatu korporasi (pengurus atau pegawai), baik berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hukungan lainnya. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut umumnya terjadi justru karena kegiatan masyarakat atau oknum tertentu yang tidak ada hubungannya dengan koporasi, maka sebenarnya akibat dari hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan terhdap korporasi;
b.   Terbukti bahwa kebakaraan hutan atau lahan tersebut terjadi karena untuk pencapaian tujuan korporasi yang ternyata dalam Anggaran Dasar. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan yang terjadi justru karena serangkaian tindakan okupasi lahan oknum atau masyarajat tertentu terhadap areal kegiatan korporasi, atau justru tidak diketahui sama sekali apa penyebabknya yang pasti, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;
c.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut menyebabkan korporasi mendapat keuntungan. Disini motivasi yang melatarbelakangi peristiwa itu menjadi sangat penting. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut bukan karena kegiatan koporasi yang menguntungkannya, atau bahkan justru merugikan korporasi secara finansial yang tidak sedikit, karena kehilangan aset berupa tanaman, biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;.
Hal-hal di atas seyogianya digunakan aparat penegak hukum dan otoritas administratif sebagai pedoman dalam memaknai ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009. Oleh karena itu,  ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, seharusnya dimaknai:
Setiap orang yang merupakan korporasi yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, sepanjang kerugian tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan konsepsi dan argumentasi yang sama, maka Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”, seharusnya juga  dimaknai bahwa: “Suatu korporasi sebagai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya, sepanjang kebakaran hutan tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan”.
Demikianlah kentuan tetang strict liability seharusnya dimaknai, sehingga peneraannya benar-benar sesuai dengan maksud semula penggunaan ini. Mereka yang telah menjalankan usahanya dengan baik, tetapi tetap juga mendulang masalah kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, tetap terlindungi dan mendapatkan perlakuan dengan adil. Wallahu’alam.