Melawan Hukum dan
Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Pidana
Oleh:
Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Dosen Fak. Hukum UMJ |
Dalam tindak pidana
korupsi perkataan “melawan hukum” hanya menjadi bagian inti yang harus
dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan kata
lain, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan
hukum perbuatan itu direpresentasikan dengan kata-kata “secara melawan hukum”
itu sendiri, sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi.
Misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan
hukumnya termaktub dari istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau
kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Demikian pula
misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan
hukumnya direpresentasikan dengan perkataan “dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Mengingat melawan hukum
menjadi sifat umum dari suatu delik, maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum
dalam suatu perbuatan menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila
suatu perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun perbuatan itu
tidak akan menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis hakim dalam
suatu putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melawan
hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka
perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun, termasuk bukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi ataupun ketentuan
pidana lainnya. Begitu penting sebenarnya posisi pertimbangan tentang terpenuhi
atau tidak terpenuhinya unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak pidana, yang
boleh jadi tanpa disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana lainnya dalam
kasus itu.
Konsepsi di atas membawa
pada pemahaman bahwa “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah peristilahan yang digunakan
pembentuk undang-undang untuk menggambarkan sifat melawan hukum tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Oleh
karena itu, jika suatu perbuatan tindak melawan hukum menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, mengingat pasal tersebut menggunakan istilah
“melawan hukum” untuk menggambarkan sifat melawan hukumnya, maka secara mutatis mutandis, perbuatan itu juga
tidak dapat dipandang sebagai bentuk perbuatan melawan hukum menurut pasal
manapun, termasuk bukan perbuatan menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Pada
dasarnya hukum pidana tidak memberikan pengertian sendiri tentang
penyalahgunaan kewenangan. Kendati hukum pidana mempunyai kewenangan spesial
atau privelege dalam mengambil alih pengertian dalam hukum lainnya, pihak
legislator hendaknya menyadari bahwa pengambilalihan makna dimaksud tidak diperkenankan
merusak sendi-sendi atau asas-asas hukum administratif dan hukum lainnya. Dalam
konteks ini, penerapan asas “autonomie
van het materiele straftrecht” (hak otonomi hukum pidana materiel) hanya
dibatasi pada hukum materielnya saja dan tidak boleh menyentuh asas-asas hukum
lainnya sehingga berpotensi merusak asas hukum yang bersangkutan. Hak otonomi
hukum pidana materiel yang diperkenalkan oleh HA Demeersemen berkaitan dengan
harmonisasi makna atau pengertian yang terdapat dalam hukum pidana dengan
pengertian atas hal yang sama baik dalam hukum administratif maupun hukum
keperdataan. Dalam terjadi perbedaan makna, maka hukum pidana mempuyai hak
otonomi untuk menentukan sendiri makna tersebut, namun jika hukum pidana tidak
menetukan makna tersendiri, maka pengertian yang diberikan oleh hukum lain
dapat digunakan dalam hukum pidana.
Penerapan hak otonomi hukum
pidana tidak dibenarkan manakala hak tersebut menyentuh prinsip dasar hukum
administratif atau hukum lainnya yang tertuang dalam asas-asas hukum yang
bersangkutan. Karena, dikuatirkan terjadi benturan hukum sehingga menimbulkan
disfungsionalisasi hukum. MIsalnya dalam hukum administrasi dikenal empat macam
kewenangan. Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, Kewenangan karena Mandat
dan Kewenangan yang timbul karena Diskresi. Masing-masing kewenangan tersebut
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Termasuk tetapi tidak terbatas pada
bagaimana menilainya apakah telah terjadi suatu “penyalahgunaan wewenang”.
Suatu wewenang yang bersifat Diskresi timbul bukan karena ditentukan dalam
perundang-undangan. Bukan pula karena dilimpahkan dari pejabat yang lebih
tinggi. Bukan juga karena diserahkan kewenangan dari pejabat lain yang
setingkat. Oleh karena itu penilainnya, adalah berdasarkan asas-asas hukum
pemerintahan yang baik (clean government
and good governance). Praktek hukum pidana menyamaratakan jenis-jenis
kewenangan tersebut, yang terutama mendasarkan apakah kewenangan tersebut telah
diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan seorang
pejabat administratif yang sebenarnya sedang menggunakan kewenangan diskresinya
justru dinilai sebagai “penyalahgunaan wewenang” dalam tindak pidana korupsi.
Prinsipnya ketiadaan diferensiasi penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana
dan hukum administratif mencerminkan penegakan hukum sehubungan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi justru lebih menimbulkam kerusakan
sendi-sendi dan asas-asas hukum administratif.
Dalam
hukum administrasi, suatu perbuatan administrasi negara harus dilihat dari tiga
aspek sehingga dapat dikualifikasi sebagai penyahagunaan kewenangan. Pertama,
penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak adanya wewenang bagi
pejabat yang bersangkurtan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua,
penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak dipenuhinya prosedur
untuk sampai kepada pengambilan keputusan melakukan suatu perbuatan
administrasi negara tertentu. Ketiga, penyalahgunaan wewenang yang timbul
karena substansi dari perbuatan administrasi negara perjabat yang bersangkutan
yang melanggar peraturan perundang-undangan. Tidak semua penyalahgunaan wewenag
dalam hukum administrasi tersebut berbuah menjadi penyalahgunaan wewenang dalam
tindak pidana korupsi. Menurut hemat penulis penyalahgunaan wewenang dalam
hukum pidana hanya meliputi perbuatan pejabat administratif yang
menyalahgunakan wewenang karena tidak adanya kewenangan yang bersangkutan untuk
melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan sisanya bukan penyalahgunaan wewenang
dalam hukum pidana.
Sementara itu, pada saat
sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih mendalam, apakah tindak pidana
adalah “species” dari suatu kelompok
(genus) perbuatan, yaitu perbuatan
yang melawan hukum, atau justru sebaliknya, melawan hukum itu hanya menjadi
ciri, unsur atau bagian inti utama dalam setiap tindak pidana. Kecenderungan
praktek peradilan telah menempatkan bahwa suatu tindak pidana adalah salah satu
jenis dari sekelompok perbuatan yang melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan
tidak ada lagi pengertian khusus ”melawan hukum” dalam hukum pidana, melainkan
sama dan sebangun dengan melawan hukum pada umumnya, termasuk pemaknaan yang
diberikan dalam bidang hukum perdata ataupun hukum administrasi. Dengan kata
lain, memandang pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan
pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, seperti misalnya dipersamakan
dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata, menyebabkan tindak pidana
dipandang sebagai species dari suatu
kelompok (genus) perbuatan, yaitu
perbuatan yang melawan hukum.
Hal ini berakibat tindakan
penegakan hukum yang diambil atas suatu peristiwa, boleh jadi merupakan
“keputusan politik” semata. Artinya, kalaupun digunakan instrumen hukum pidana
dalam menyelesaikan suatu peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena
perbuatan yang dipersoalkan bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi hal itu
semata-mata sebagai “plilihan tindakan yang mungkin dilakukan” pemerintah.
Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat
pertahanan paling akhir (ultimum
remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian menyebabkan
penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang keputusan politik, tidak
benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara berlandaskan hukum.
Kosekuensi di atas
sepertinya tidak selalu disadari oleh para akademisi hukum yang mendukung
pemikiran pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian
melawan hukum dalam bidang hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum
(advokat, penyidik, penuntut umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus
melawan hukum dalam hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan
di luar hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian,
yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah memiliki
sifat melawan hukum yang umum itu.
Dalam lintasan sejarah memang dapat disaksikan
fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan. Hal ini tergambar dari praktek
peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang
unsur “dengan melawan hukum”. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel
(bertentangan dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah
materil, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pergeseran
selanjutnya, melawan hukum materil diartikan pada pengertian dalam fungsinya
yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan
dengan perundang-undangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan
Terdakwa adalah “tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak
sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya,
bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat
dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Mengartikan
melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif sama artinya
memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata.
Mengenai praktek hukum
yang menerapkan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif,
memang mulanya memiliki dasar dalam undang-undang yaitu penjelasan Pasal 2
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun demikian, perlu diingat dalam sistem
hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum” tidak selalu identik dengan
“undang-undang”. suatu “aturan undang-undang” dapat kehilangan kekuatan
mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai “aturan hukum”, misalnya
jika hal itu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu “aturan undang-undang”
yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Berkenan dengan penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar diterapkanya
pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, “telah
ditertibkan” dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006
tanggal 25 Juli 2006, yang dengan menyatakannya bahwa hal itu “bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Namun
demikian, berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai
pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam
putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007, yang tidak
jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi “latah” menggunakan
kembali penafsiran demikian.
Sifat keras kepala praktek
peradilan, termasuk yang diperlihatkan oleh Mahkamah Agung, dengan tetap
menggunakan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang poitif dan
tidak hanya menerapkannya dalam fungsinya yang negatif, akan berbuah tindakan
penegakan hukum yang semata-mata didasarkan pada pilihan dan kehendak politik
dari penegak hukum dan hakim. Keingingan mereka sajalah sebenarnya yang
menyebabkan suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana,
dan bukan bersumber dari amanat pembentuk undang undang ketika melarang dan
mengancam dengan pidana suatu perbuatan.
Sifat keterlaluan dan kebablasan dari praktek
peradilan dalam menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya
yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan
perbuatan melawan hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang
menurut ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan
kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi
pelanggaran-pelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu
perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi,
yang dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad),
justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum (wedderchtelijk heid). Apabila
pada bagian awal dari tulisan ini telah penulis kemukakan bahwa adanya
kecenderungan untuk menjadikan seluruh tindak pidana sebagai bagian dari
kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka lebih parah lagi disini,
dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu perjanjian juga dipandang
sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara melawan hukum dalam
lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad),
melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk
heid), maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi. Kontrak yang tadinya
hanya dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat “layaknya undang-undang
bagi yang membuatnya” (pacta sunc
servanda), kini dipandang kontrak sebagai ”identik dengan undang-undang”.
Sama kekuatannya antara undang-undang, yang tidak lain merupakan pengejawatahan
kehendak rakyat melalui parlemen, dengan kontrak yang menjadi kehendak pribadi
dari individu-individu yang melaksanakan kontrak.
Pelanggaran
kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu perbuatan melawan hukum,
baik dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige
daad) maupun dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk
heid). Kalaupun terjadi perbuatan melawan hukum terkait dengan pembuatan
dan pelaksanaan suatu kontrak, maka peristiwa itu bukan pelanggaran kontraknya,
tetapi aturan hukum yang menjadi dasar diadakannya hubungan-hubungan
kontraktual tersebut. Perbuatan melawan hukumnya terjadi karena adanya
pelanggaran dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang
diperjanjikan dalam kontrak tersebut.
Product Sharing Contract (PSC) adalah
bentuk kontrak yang dapat diadakan berkenaan kegiatan hulu minyak dan gas bumi,
berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Dengan demikian, pelanggaran suatu
PSC semata tidak dapat dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum, baik dalam
lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad)
maupun dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk
heid). Pelanggaran PSC tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat
kemungkinan adanya perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan dan pelaksanaan
PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak diturutinya perintah
maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 berserta
peraturan pelaksanaannya.
Salah
satu hubungan hukum yang lahir berikutnya dalam pelaksanaan PSC adalah kontrak
pelaksanaan Bioremediasi, yang diadakan untuk mengatasi dampak penting pada
lingkungan akibat kegiatan hulu migas. Hubungan hukum ini, semata-mata
merupakan hubungan kontraktual, antara kontraktor migas dalam PSC dengan mitra
perdatanya dalam menjalankan kewajiban memulihkan, melindungi, menjaga
keselamatan lingkungan akibat pelaksanaan kegiatan hulu migas yang diwajibkan
dalam PSC.
Dalam
kontrak bioremediasi, tidak sama sekali adanya “unsur negara” dalam hubungan
hukum tersebut. Kontrak tersebut dilaksanakan Antara dua badan hukum swasta,
dengan pendanaan yang berasal dari kontraktor migas dalam PSC. Kaitannya dengan
kepentingan negara adalah apabila kontrak bioremediasi dan pelaksanaannya nanti
dijadikan dasar untuk mengajukan klaim cost recovery dalam kerangkan PSC.
Inipun sepenuhnya merupakan hak kontraktor migas, yang pemenuhannya sangat
tergantung dari persetujuan pemerintah, yang diwakili SKK Migas (dahulu BP
Migas).
Berdasarkan
uraian di atas, sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya antara
pembuatan kontrak bioremediasi ataupun pelaksanaanya dengan pemenuhan unsur
melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi.
Menjadikan dasar pembuatan kontak dan pelaksanaannya sebagai kontruksi
pembuatan melawan hukum dan penyalahgunan wewenang, sama artinya menggunakan
kontrak layaknya undang-undang sebgai ukuran-ukuran publik tentang sifat
melawan hukumnya perbuatan. Konstruksi ini sama sekali tidak dapat dibenarkan,
karena sifat privaat suatu kontrak yang tidak akan pernah menjadi suatu hal
yang bersifat publik.