15 Februari 2009

BEBERAPA CATATAN TENTANG ARAH KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI DALAM RKUHP

BEBERAPA CATATAN TENTANG

ARAH KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI

DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA*

Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.* *

  1. Paradigma Dibalik Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Untuk dapat memahami arah kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam RKUHP, pertama-tama harus dipahami paradigma dibalik penyusunannya. Dalam pemahaman kami, “paradigma” disini lebih terutama pada latar belakang pemikiran, konsepsi, teori dan filosofi yang mendasari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut. Dengan demikian, kami harus mengemukakan hal-hal yang telah digali, dikaji, dirumuskan, disusun dan diejawantahkan oleh “kakek” dan “bapak” guru kita. Mengingat RKUHP itu sendiri telah dirancang dengan memakan waktu yang lebih tua dari usia kami sendiri. Sungguh suatu tugas yang sebenarnya hampir-hampir tidak mungkin dapat kami lakukan.

Lebih jauh lagi, permintaan Kuliah Umum kepada kami juga memfokuskan pada masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam RKHUP. Suatu skala pembicaraan yang sangat luas dan penuh kontroversi disana sini. Oleh karena itu, tentunya pada kesempatan ini tidak semua aspek dapat dibicarakan, hanya beberapa hal tertentu yang menurut kami penting.

Sebenarnya, kontroversi yang muncul akhir-akhir ini berkenaan RKUHP mengerucut pada beberapa akar persoalan. Diantaranya yang terpenting adalah pertama, hukum (termasuk hukum pidana) dipahami semata-mata sebagai refleksi budaya dari suatu masyarakat yang telah tumbuh, berkembang dan dipelihara oleh masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pembentukan hukum semata-mata dipahami sebagai proses pemberian bentuk yuridis (pempositifan) atas gambaran kebudayaan tersebut. Hukum selalu ditempatkan dalam posisi mengikuti perkembangan masyarakat. Kedua, umumnya pemahaman tentang RKUHP dilakukan dengan sudut pandang WvS (KUHP). Dengan demikian, seringkali kajian yang dilakukan terhadap RKUHP dilakukan dengan perspektif KUHP peninggalan kolonial. Padahal terdapat perbedaan konseptual yang mendasar, baik teori maupun filosofis, antara RKUHP dan KUHP. Tentunya masih banyak lagi pangkal tolak yang dapat menyebabkan RKUHP seperti sebuah konsep yang “kontroversial”, tetapi kedua hal inilah yang menurut hemat kami paling dominan. Kedua akar persoalan di atas, akan kami jadikan pangkal tolak dalam melihat paradigma dibelakang pembentukan RKUHP, terutama dalam hubungannya dengan arah kriminalisasi dan dekriminalisasi didalamnya.

Berkenaan dengan hal itu, harus dipahami bahwa Tim Perancang KUHP 2004 yang diketuai Prof. Dr. Muladi, SH., merupakan kelanjutan dari tim-tim sebelumnya, mulai dari dibawah pimpinan Alm. Prof. Sudarto, SH, Alm. Prof. Mr. Roeslan Saleh, dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA. Oleh karena itu, tugasnya bukan sama sekali menyusun RKUHP baru, tetapi mengaktualisasi rancangan yang ada dengan perkembangan terakhir. Hal ini dilakukan mengingat proses penyusunan RKUHP tersebut sudah memakan waktu yang cukup lama, dengan menggunakan berbagai metode, dan melibatkan kalangan yang cukup luas. Sehingga tim yang terakhir ini lebih banyak menyusuaikan rancangan yang ada dengan berbagai perkembangan, baik perkembangan dalam tataran teoretis (ilmu hukum), politis (perundang-undangan), praktis (praktek peradilan) maupun perkembangan global (konvensi internasional dan perundang-undangan negara lain).

Berkenaan dengan hal ini, sekalipun kami tercatat sebagai salah seorang anggota Tim Perancang RKUHP 2004, tetapi berbagai “penjelasan” yang kami sampaikan disini lebih banyak merupakan upaya kami untuk memahami RKUHP tersebut berdasarkan ide dasar dan suasana spirituil penyusunannya, dan sama sekali bukan didasarkan pada studi dokumen yang komprehensif mengenai hal itu. Menurut hemat kami, berbagai komentar dan pendapat yang berkembang berkenaan dengan RKUHP, bukan saja tidak dipahami dalam konteks ide awal perumusannya, tetapi lebih berbahaya lagi kajiannya bersifat parsial (tidak komprehensif).

  1. Pembangunan Hukum Nasional dan Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional. Pembaharuan hukum pidana dalam konteks pembangunan hukum nasional pertama-tama harus dilihat sebagai upaya men-design sistem hukum nasional. Sekalipun kita harus membuka diri sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan demokratisasi, tetapi sistem hukum nasional harus bersumber dari kebudayaan kita sendiri, sehingga khas berkepribadian Indonesia. Menurut Baharuddin Lopa, “sistem hukum nasional kita bukanlah seratus prosen sama dengan sistem rule of law yang mengutamakan perlindungan kepentingan perseorangan dan bukan pula seperti sistem socialist legality yang terlalu mengutamakan kepentingan negara”. (Artidjo Alkostar ed., 1997; 25). Berdasarkan hal ini, tidak tepat apabila RKUHP hanya dikaji berpangkal tolak pada prinsip-prinsip hukum Barat, tetapi harus tempatkan sebagai upaya anak bangsa untuk membangun sistem hukumnya sendiri. Dengan demikian, sekalipun harus diakui sifat universalitas nilai-nilai demokrasi, tetapi hal itu tidak dapat dilepaskan dari konteks ke-Indonesia-an, termasuk ketika mencermati proses pembangunan hukum.

Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis berbagai “kontroversi” yang dilontarkan masyarakat terhadap RKUHP, dikarenakan perbedaan perspektif yang digunakan. Apabila RKUHP dilihat dalam perspektif rule of law masyarakat liberal, maka memang ada sejumlah ketentuan yang dapat dipandang memasuki ruang privat seseorang terlalu dalam atau menciderai nilai-nilai demokratisasi dan kebebasan. Justru hal ini akan terlihat sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilihat “sistem baru” yang disusun dalam RKUHP tersebut. Dilarangnya penyebaran ajaran Komunisme/Leninisme misalnya, jangan dilihat dari perspektif liberal. Tentunya hal ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang religius, yang menempatkan kehidupan beragama (apapun agamanya) jauh lebih baik daripada kehidupan tidak bersandar pada ajaran agama, karena “agama dianggap sebagai candu”.

Penyusunan RKUHP tidak hanya didasarkan pada suatu usaha merumuskan norma-norma yang telah tumbuh, berkembang dan dipelihara masyarakat Indonesia. Melainkan diyakini pula perlunya “pembentukan arah masyarakat” melalui pembaharuan hukum. Hukum karenanya mempunyai watak menentukan arah perkembangan masyarakat, dari kondisi nyata (riil) menuju kepada kondisi yang diharapkan (ideal). Akibatnya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP, tidak semata-mata dipandang sebagai usaha mereaktualisasi KUHP peninggalan kolonial, dengan cipta, rasa dan karsa yang bersifat nasional, tetapi lebih jauh lagi daripada itu. Bila para ahli menyatakan “hukum pidana adalah cermin peradaban suatu bangsa”, maka hukum pidana Indonesia melalui RKUHP dimaksudkan seperti itu, juga sebagai “alat pencapaian tujuan dari bangsa Indonesia”.

Dalam pada itu, “kebebasan mendapatkan informasi” memang merupakan hak konstitusional setiap masyarakat. Namun demikian, pada sisi yang berseberangan “privasi” juga merupakan hak konstitusional masyarakat yang lain. Hukum pidana mengarahkan pembentukan masyarakat untuk menggunakan hak mendapatkan informasi secara bebas tersebut sejauh tidak melanggar hak-hak pribadi seseorang. Oleh karena itu, kebebasan memperoleh informasi dijamin, tetapi dalam pelaksanaan dan penyebarluasannya tidak boleh sampai berujud pelanggaran privasi, pencemaran nama baik, fitnah ataupun penyebaran berita bohong. Hal ini, jelas sistem baru yang diletakkan KUHP, bukan sistem rule of law Barat ataupun socialist legality.

Selain itu, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, bukan semata-mata mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP baru yang lebih mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, tetapi meliput suatu skala yang lebih luas lagi. Pendek kata, pembaharuan hukum (pidana) bukan hanya sekedar memperbaharui hukum yang telah ada, sehingga menggantinya dari “baju kolonial” menjadi “baju nasional”. Tetapi lebih jauh daripada itu pembaharuan hukum (pidana) berarti menggantikan yang ada dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, cara melihat hal itu tidak dapat semata-mata dilakukan terhadap “naskah” Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut, tetapi harus pula mengkaji berbagai latar belakang pemikiran yang berkembang dan suasana kebatinan yang timbul dalam proses perumusannya.

  1. Transformasi Struktur dan Budaya Masyarakat melalui Pembaharuan Hukum Pidana

Pembangunan hukum nasional, termasuk pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RKUHP, bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari skenario perancangan sistem hukum pidana baru, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan bagian dari proyek besar perekayasaan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum pidana Indonesia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Mengingat seperti dikatakan Satjipto Rahardjo, hukum suatu bangsa itu senantiasa merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar, yang dijalani oleh bangsa bersangkutan. Sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar pembaharuan hukum karenanya harus dilihat sebagai bagian dari transformasi struktur dan budaya masyarakat menuju kepada keadaan yang lebih baik.

Menurut Sunaryati Hartono sedikitnya ada tiga cara mengadakan transformasi struktur dan budaya masyarakat (Sunaryati Hartono, 1991: 76). Pertama, membiarkan perkembangan hal itu secara alami, tanpa campur tangan pihak manapun. Cara ini biasanya memakan waktu yang sangat lama, kadang-kadang sampai berabad-abad. Kedua, perubahan masyarakat secara mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi masyarakat melalui cara ini seringkali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah yang bertujuan menggantikan kepemimpinan negara maupun asas-asas pemerintahan sacara tiba-tiba. Ketiga, perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan agar supaya perubahan masyarakat yang terjadi secara bertahap dan wajar.

Berkenaan dengan hal ini, menurut hemat kami, pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RKUHP merupakan upaya perubahan kultur dan struktur masyarakat secara berencana dan bertahap. Oleh karena itu pembangunan hukum yang dilakukan melalui pembaharuan hukum pidana mempunyai watak menentukan arah. Dengan RKUHP sebenarnya masyarakat sedang diarahkan kepada tujuan tertentu. Untuk melihat tujuan yang hendak dicapai tersebut, tidak dapat dilihat “di dalam” hukum pidana (baru) itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan tersebut berada “di luar” hukum pidana, yang harus dicari dalam tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejalan dengan hal ini menurut Yusril Ihza Mahendra “kebijakan pembangunan hukum nasional harus bertitik tolak pada konstitusi, the supreme law of the land” (Tim Pakar Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002:116). Oleh karena itu, arah perkembangan masyarakat, baik struktur maupun kulturnya, yang sedang “diperbaiki” melalui pembaharuan hukum pidana, harus berpangkal tolak pada nilai-nilai luhur yang diletakkan the founding father yang termuat dalam konstitusi.

Berdasarkan hal ini maka terdapat sejumlah ketentuan dalam RKUHP yang diyakini dapat mengarahkan masyarakat Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Dalam bidang penyelenggaran kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada Ideologi Pancasila misalnya, telah diyakini dan telah teruji keandalannya, sehingga “penyebaran ideologi komunis dan leninis dilarang. Oleh karena itu, dalam RKUHP mengenai hal ini diadakan kriminalisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, sebenarnya hukum pidana digunakan sebagai bagian dari perekayasaan sosial dan budaya masyarakat sebagai mana dicita-citakan nilai-nilai demokratisasi. Mengingat ajaran komunisme yang terkadang “menghalalkan segala cara” untuk mencapai tujuan, bertentangan dengan prinsip-prinsip musyawarah mufakat dalam masyarakat demokratis itu sendiri. Untuk memberikan watak perubahan secara terencana dan bertahap, maka dalam RKUHP ditentukan bahwa “sifat tercela” dari perbuatan yang berhubungan dengan ideologi tersebut di atas, hanya sebatas pada “penyebarannya”, yang hal itu baru merupakan delik apabila mengakibatkan “menimbulkan kerusahan dalam masyarakat”. Hal inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengenai hal ini ditentukan sebagai delik materil, yang baru sempurna ketika akibatnya muncul.

Selain itu, salah satu sistem nilai yang harus diperhatikan dalam penyusunan KUHP baru adalah sendi-sendi demokratisasi, yang diantara wujudnya adalah kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi. Kebebasan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dijamin dalam konstitusi. Namun demikian, kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi sebagai perwujudan dari hak asasi manusia, dalam pelaksanaannya tidak boleh dilakukan hingga bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan atau bertentangan dengan ketertiban umum atau atau bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan kesusilaan yang hidup dan dipelihara ditengah-tengah masyarakat ataupun bertentangan dengan hak orang lain.

Dengan demikian menjalankan kekebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, sekalipun hal itu dijamin tetapi pelaksanaannya tidak bertentangan bertentangan dengan hukum. Mengenai hal ini telah terjadi perubahan yang mendasar dalam RKUHP. Memang telah diterima ajaran melawan hukum materil teori dan praktek hukum, tetapi dengan RKUHP hal itu mendapat sentuhan lain. Ajaran melawan hukum “dinormakan” (Pasal 11 ayat (2) RKUHP). “Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”. Ketika “dinormakan” daya kerja ajaran ini bukan hanya menjadi alasan pembenar diluar yang ditentukan undang-undang, seperti misalnya Arrest Hoge Raad tentang Dokter Hewan atau Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam kasus Marchus Effendi yang sangat monumental tersebut, tetapi lebih jauh lagi memasuki lini penegakan hukum sebelum sampai ke pengadilan. Semua agent of law enforcement juga terikat dengan ajaran ini. Karenanya tidaklah perlu dipersoalkan berbagai ketentuan dalam RKUHP yang dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai tidak bertentangan dengan kesadaran hukumnya, tetapi ternyata masuk kategori perbuatan yang dikriminalisasi. Mengingat bekerjanya hukum tertulis (perundang-undangan pidana, termasuk yang menentukan adanya tindak pidana) dibatasi oleh hukum tidak tertulis (kesadaran hukum masyarakat). Berdasarkan hal ini, kelak akan terjadi perobahan yang sangat mendasar dalam praktek penegakan hukum. Misalnya, “larangan melanggar kesusilaan di muka umum” yaitu dalam bentuk pelarangan ekspresi kesenian tertentu yang dipandang berbau “pornografi” atau “pornoaksi”, tidaklah persis sama apabila hal itu dihadapkan dengan kesadaran hukum masyarakat Bali atau dengan masyarakat Nangro Aceh Darussalam. Boleh jadi bagi masyarakat Aceh hal itu sudah menjurus porno, tetapi sebaliknya bagi masyarakat Bali masih dalam batas-batas kebebasan berkesenian. Dalam hal yang terakhir ini tentu pasal-pasal pornografi dan pornoaksi tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum di Bali, tetapi sebaliknya di Aceh. Demikian transformasi struktur dan kultur yang diarahkan RKUHP.

  1. Pendekatan Sistemis dalam memahami Paradigma Dibalik Penyusunan RKUHP

Mengkritisi RKUHP tidak dapat dilakukan dengan melihat pasal-pasal rumusan tindak pidananya. Namun harus pula dilihat dari berbagai asas hukum yang terkandung didalam ketentuan-ketentuan umum selain rumusan delik. Berkenaan dengan hal ini ada baiknya dipahami terlebih dahulu tentang pengertian asas hukum itu sendiri. Dalam hal ini penulis berpangkal tolak dari definisi Paul Scholten. Asas hukum adalah pikiran-pikiran yang berada “didalam” atau “dibelakang” suatu aturan hukum. Pikiran-pikiran tersebut adakalanya secara eksplisit telah berada dalam suatu aturan hukum (didalam), tetapi adakalanya hanya secara implisit (dibelakang). Dengan definisi ini maka tidak mungkin suatu aturan hukum bertentangan dengan suatu asas hukum. Apabila dilihat sepintas lalu saling bertentangan, maka pada hakekatnya aturan hukum itu bersumber pada asas hukum yang lain.

Selain itu, di antara asas-asas hukum mungkin sekali berada dalam posisi yang saling behadapan. Dalam hal ini politik hukum yang akan menentukan, manakah diantara asas-asas hukum tersebut yang kemudian lebih mendominasi satu dari yang lain. Berbeda halnya dengan aturan-aturan hukum. Pada hakekatnya diantara aturan-aturan hukum tidak mungkin saling bertentangan satu dengan yang lain. Namun demikian, jika terlihat demikian pada dasarnya salah satu dari aturan-aturan hukum tersebut menjadi tidak valid. Berbagai mekanisme telah dibangun untuk menentukan validitas aturan hukum dalam hal ini, seperti aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, dan aturan yang dibuat kemudian mengesampingkan aturan yang dibuat sebelumnya.

Berbasar hal di atas, ketentuan buku II RKUHP tidak dapat dipahami terlepas dari ketentuan dari buku I. Misalnya seperti daya kerja ajaran melawan hukum materil yang telah “dinormakan” dalam Buku I RKUHP, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dengan “dinormakannya” asas ini dalam RKUP, membawa konsekuensi pada bergesernya makna adagium hukum pidana sebagai “ultimum remedium” yang sangat terkenal itu. Apabila umumnya hal ini berarti bahwa “hukum pidana adalah alat pertahanan sosial terakhir” yang baru dapat digunakan ketika bidang hukum lain tidak mampu mengendalikan suatu perbuatan, yang dimanifestasikan dalam tataran kebijakan memfungsionaliasasi hukum pidana melalui perundang-undangan (kebijakan legislatif), kelak akan berarti lain. “Ultimum remedium” tidak hanya berarti “berhemat dalam menggunakan hukum pidana”, tetapi juga berhemat dalam menegakkan hukum pidana“. Jadi hukum pidana bersifat “ultimum remedium” bukan hanya dalam tataran formulasi (yaitu ketika memutuskan untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana), tetapi juga dalam tataran aplikasi (yaitu ketika menerapkan hukum pidana terhadap peristiwa konkrit). Akibatnya, kepolisian belum dapat menyidik suatu perbuatan yang diduga keras merupakan suatu pencemaran nama baik atau fitnah secara tertulis (Pasal 529 ayat (2) RKUHP), jika perbuatan tersebut dilakukan oleh atau melalui media massa dan korban (pelapor) belum menggunakan hak jawabnya sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Mekanisme hukum pers harus didahulukan sebelum mekanisme penyelesaian konflik melalui hukum pidana. Dalam hal ini, belum dapat dilakukan tindakan penuntutan seperti layaknya tidak adanya pengaduan dalam delik aduan. Demikian pula hanya mekanisme hukum perdata harus didahulukan daripada mekanisme hukum pidana, mekanisme hukum perseroan harus didahulukan daripada mekanisme hukum pidana, mekanisme hukum perbankan harus didahulukan daripada mekanisme hukum pidana, begitu seterusnya. Dalam hal ini, justru hukum pidana baru benar-benar dirasakan sebagai “ultimum remedium”.

Kalaupun suatu tindak pidana dapat dibuktikan telah dilakukan oleh kalangan pers ketika menjalankan tugas jurnalistiknya, maka tidak dengan sendirinya hal itu dapat dikenakan pidana (dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana). RKUHP didasarkan pada konsep “daad en dader strafrecht” atau pandangan dualisme tentang tindak pidana atau yang kami sebut sebagai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana (Chairul Huda: 2006). Antara “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” dipisahkan. Sekalipun telah terbukti melakukan tindak pidana belum tentu dapat dijatuhi pidana. Masih harus diperiksa apakah pada diri pelaku terdapat “kesalahan”. Kesalahan adalah “dapat dicelanya pembuat karena sebenarnya dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan tindak pidana tersebut”. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku delik dari sejak semula menyadari, memahami dan mengerti makna sesungguhnya dari perbuatannya yang merupakan tidak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pikiran pembuat delik memang ditujukan untuk mewujudkan keadaan yang terlarang tersebut ataupun ketika pikirannya tidak dipergunakan dengan baik sehingga keadaan terlarang tersebut terjadi. Pertanggungjwaban pidana mensyaratkan terjadinya delik harus dalam keadaan lingkungan yang normal bagi pelaku (volluntary). Jika tidak demikian, maka tidak terdapat kesalahan padanya sehingga berdasarkan asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya dan karenanya tidak dapat dipidana. Berbeda halnya dengan KUHP peninggalan kolonial sekarang, ini ketika pembuat terbukti melakukan tindak pidana maka lalu disusul penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dengan semata-mata membuktikan tindak pidananya maka kesalahannyapun terbukti, karena KUHP didasarkan pada ajaran monistis.

Tindak pidana dalam RKUHP tidak dapat dipahami semata-mata semata-mata dari rumusannya yang terdapat dalam buku kedua. Begitu pula pasal-pasal tindak pidana yang dikhawatirkan kalangan pers dapat dipandang sebagai “pembelengguan kebebasan pers”. Pemahamannya harus secara sistemis, terutama dengan asas-asas yang terdapat dalam buku I RKUHP. Kritik yang selama ini dilontarkan oleh kalangan pers terhadap RKUHP semata-ma karena membaca rumusan deliknya saja, tetapi mengabaikan sistemnya secara utuh. Memang bagi mereka yang tidak Sarjana Hukum, ataupun Sarjana Hukum yang tidak mendalami hukum pidana dengan baik, kesalahkaprahan dapat selalu timbul. Dalam sistem RKUHP, “keadilan” diletakkan pada tempat yang lebih tinggi daripada “kepastian hukum”. Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum (Pasal 12 RKUHP). Berdasarkan prinsip ini, kalaupun kalangan pers sampai diadili karena pelaksanaan tugas jurnalistiknya maka oleh hakim dapat saja dalam rangka mencapai tujuan-tujuan keadilan, perbuatannya tersebut dipandang tidak perlu dipidana. Baik karena dipandang tidak melawan hukum, tidak terdapat kesalahan ataupun jika hakim mengampuninya (rechterlijk pardon). Seorang wartawan yang demi kepentingan umum memberitakan suatu peristiwa, yang oleh sementara kalangan pemberitaan tersebut dipandang mencemarkan nama baiknya, maka sekalipun tindak pidananya terbukti, dalam pelaksanaan tuganya hakim dengan alasan untuk pencapaian tujuan keadilan dapat mengabaikan kepastian hukum atas peristiwa tersebut. Dengan demikian, lex certa, lex scipta, dan lex stricta dapat tidak berarti jika tujuan keadilan menghendakinya. Hal ini merupakan sistem baru yang tidak terdapat dakam KUHP manapun di dunia. Konsep ini dapat digunakan dalam melindungi pers ketika suatu perbuatan yang sekalipun dapat dikatakan tindak pidana, tetapi hal itu dilakukan untuk tujuan yang lebih besar (keadilan).

  1. Formalisasi kedudukan Hukum Pidana Adat dan Hukum Pidana Islam dalam RKUHP sebagai Upaya Mempertahankan Identitas Jatidiri Bangsa

Diangkatnya tindak pidana adat dan Hukum Pidana Islam, sebagai bagian hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam RKUHP merupakan hasi pemikiran panjang para perancang terdahulu. Upaya demikian itu bukannya tanpa resiko dan bahkan perbedaan-perbedaan pendapat secara tajam juga terjadi di dalam Tim. Terlepas dari apa yang dipikirkan oleh para anggota Tim, sebenarnya hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menempatkan RKUHP dalam konteks sosial dan budaya bangsa Indonesia. Hukum (pidana) adat adalah bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang harus dipelihara, bahkan dengan resiko memperluas (bukan mengecualikan, ataupun menyimpangi) beberapa asas fundamental dalam hukum pidana, yang sebenarnya sangat universal.

Jasa terbesar dari hukum adat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah menjadi alat pemersatu. Selain satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, pada dasarnya bangsa Indonesia satu kesatuan dalam keanekaragaman hukum, yaitu hukum adat. Hukum adat menumbuhkan semangat anti penjajahan dan mengangkat harga diri sebagai sebuah bangsa (John Ball: 1982, Soetandyo Wignosoebroto: 1995). Dengan demikian, hukum adat telah menjadi salah satu hal penting yang telah memerdekakan bangsa Indonesia.

Selain itu, hukum adat sangat diperlukan dalam memaknai aturan-aturan hukum dalam praktek hukum yang menerapkan RKUHP kelak. Mengingat RKUHP merupakan karya anak bangsa yang didalamnya selain memuat unsur-unsur peninggalan kolonial dan perkembangan global, juga terdapat muatan-muatan lokal, maka seperti dikatakan Fuller, “we cannot understand ‘ordinary’ law unless we first obtain an understanding of what is called ‘customary law’” (Sunaryati Hartono, 1991). Pada sisi lain, sejarah juga menunjukkan bahwa tindak pidana adat pernah dan mungkin masih eksis dalam praktek peradilan dalam hal rasa keadilan masyarakat tidak terpenuhi dengan hanya mengandalkan hukum tertulis, sehingga seperti dikatakan Haveman, “incorporation of adat criminal law in the new Kitab Undang-Undang Hukum pidana means nothing more than the formalization of existing and formally acknowledged-practice” (Roelof H. Haveman, 2002).

Sementara itu, penulis berkeyakinan dalam banyak segi Hukum Islam telah disalahlebalkan oleh van Vollenhoven sebagai Hukum Adat. Paling tidak untuk sebagian masyarakat adat, Hukum Adatnya sebenarnya “identik” dengan Hukum Islam. Dengan demikian, “hak” untuk memberlakukan Hukum Islam dalam kerangka sistem hukum nasional, lebih jauh lagi mempositifkan Hukum Pidana Islam dalam kerangka Hukum Pidana Nasional, bagi masyarakat Islam adalah mutlak adanya. Baik berkenaan dengan strafbaar maupun strafmaat-nya. Dengan menetapkan RKUHP sebagai undang-undang, maka pemberlakukan Syariah Islam di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) melalui Qanun, akan menjadi pemberlakuan Hukum Islam sebagai bagian kerangka sistem hukum pidana nasional. Legalitasnya timbul bukan dari segi hukum ketatanegaraan, tetapi juga dari segi hukum pidana. Bukan tidak mungkin dengan pengesahan RKUHP sebagai undang-undang, sepanjang mendapat dukungan politik dan ditempuh melalui mekanisme yuridis- konstitusional, daerah-daerah lain yang tidak “seistimewa” NAD juga dapat menetapkan berlakunya Hukum Pidana Islam, dalam batas-batas tertentu. Perkembangan ini menurut hemat penulis merupakan kemajuan penting dalam mempositifkan Hukum Pidana Islam.

  1. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RKUHP

a. Refleksi tentang Penempatan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP

Pada mulanya tidak ada “Kejahatan terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” yang diatur secara khusus dalam KUHP. Hanya saja terdapat beberapa rumusan delik yang dapat dipandang sebagai “kejahatan terhadap kehidupan beragama”, yaitu dalam Pasal 175, 176 dan 177 KUHP. Sedangkan Pasal 156a KUHP yang didalamnya memuat rumusan delik tentang “kejahatan terhadap agama” merupakan “pasal amandemen” yang disisipkan berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada masa itu Penetapan Presiden (Penpres) merupakan produk hukum yang setara dengan undang-undang, yang sekarang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sehingga diintrodusirnya hal ini dalam KUHP mencerminkan kebutuhan aktual masyarakat Indonesia.

Baik Pasal 156a KUHP maupun Pasal 175, 176 dan 177 KUHP merupakan delik-delik yang berada dalam Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Ketika tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama ditempatkan dalam bab tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, maka pada dasarnya “agama” atau “kehidupan beragama” bukan kepentingan utama yang hendak dilindungi dengan hukum pidana. Melainkan pelarangan atas perbuatan tersebut karena sangat berpotensi menggangu ketertiban umum. Sementara itu, dalam RKUHP tindak pidana ini ditempatkan dalam bab tersendiri. Dengan demikian, “agama” dan “kehidupan beragama” dipandang sebagai benda hukum tersendiri, yang merupakan kepentingan khusus bangsa dan karenanya diperlukan perlindungan tersendiri dengan ancaman pidana.

Berdasarkan hal ini, terdapat perkembangan yang mengadakan perubahan secara fundamental dari KUHP kepada RKUHP, terutama dalam melihat perbuatan-perbuatan yang “menista” suatu agama atau berbagai kegiatan peribadahan yang dilakukan pemeluknya. RKUHP menempatkan “agama” sebagai fundamen kehidupan bangsa, sehingga penodaan terhadap hal itu dipandang sebagai perbuatan tercela dan karenanya diancam pidana. Keleluasaan dalam menjalan “kehidupan beragama” bagi bangsa Indonesia merupakan hak dasar, sehingga segala gangguan terhadap hal itu harus dieliminasi. Masyarakat Indonesia yang religius menyebabkan pemeliharaan atas pola hidup demikian mutlak diperlukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Hatta yang memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan semata-mata tentang sikap saling menghormati antara para pemeluk agama berbeda, tetapi kehidupan beragama menjadi fundamen dan menentukan arah perkembangan bangsa.

b. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Agama

Dalam KUHP “kejahatan terhadap agama” ini dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Penpres No. 1 Tahun 1965 memberi pembatasan yang sangat umum mengenai delik ini. Disebutkan dalam penjelasannya bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang “semata-mata (pada pokoknya) ditunjukan pada niat untuk memusuhi atau menghina, dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, Zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini”.

Jika dicermati maka, rumusan delik ini tertuju pada pelarangan tiga perbuatan utama yaitu “memusuhi”, “menyalahgunakan” atau “menodai” agama. Namun penjelasannya hanya mengetengahkan dua perbuatan saja, yaitu “memusuhi” dan “menghina”. Menurut hemat kami, tidak jelas betul apa yang dimaksud “memusuhi” atau “menyatakan perasaan permusuhan” disini. Mengingat kata “musuh” dalam KUHP terutama berarti “lawan perang” (Pasal 96 ayat (2) KUHP atau “negara lain yang sedang berperang dengan negara RI” (Pasal 106 KUHP) atau “pemberontak” (Pasal 96 ayat (1) KUHP), sehingga kata-kata ini dihapus dalam RKUHP. Demikian pula, halnya dengan “penyalahgunaan” yang diragukan dapat ditentukan secara objektif maksudnya. Sementara itu, perkataan “penghinaan” atau “menghina” justru muncul sebagai istilah yang lebih konkrit dalam hal ini. Sebagaimana diketahui “penghinaan” telah menjadi mala in se dimanapun juga, dan didefinisikan secara umum dalam pasal penghinaan (Pasal 310 KUHP atau Pasal 529 RKUHP). Kalaulah “penghinaan” terhadap orang atau lembaga negara atau presiden telah menjadi delik, tentu lebih-lebih “agama” dan “simbol-simbol keagamaan”.

Selain itu, menurut hemat penulis rumusan perbuatan “mengeluarkan perasaan” masih merupakan rumusan yang “terlalu umum”. Demikian pula perkataan “perbuatan yang pada pokoknya”, yang juga tidak menentukan dengan “pasti” apa yang sebenarnya dilarang. Mungkin hal ini terutama yang melatarbelakangi mengapa dalam RKUHP, selain perumusan secara umum seperti itu, rumusan deliknya juga lebih dirinci dan dikonkritkan, yaitu dengan menggunakan perkataan “mengejek”, “menodai”, atau “merendahkan”. Selain itu, mengingat “agama” adalah “benda hukum” yang abstrak, dalam RKUHP juga ditegaskan objek dari “penghinaan agama”, yaitu dengan menggunakan kata-kata seperti “keagungan Tuhan”, “firman (Tuhan)”, “sifat-Nya”, “rasul”, “kitab suci”, “ajaran agama”, atau “ibadah keagamaan”.

Dalam hal tindak pidana penghinaan terhadap agama dilakukan dengan sarana percetakan atau rekaman, pidananya diperberat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 344 ayat (1) RKUHP. Pemberatan ini lazim digunakan dalam hukum pidana seperti yang dianut dalam KUHP, dan tetap dipertahankan dalam RKUHP.

c. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana Penghasutan Untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama

Dalam KUHP tindak pidana ini dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam Penjelasan Penpres No. 1 Tahun 1965, pengertian pasal ini ditentukan bahwa “orang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping menggangu ketentraman orang beragama, pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatan itu dipidana sepantasnya”.

Dalam RKUHP perkataan “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” dikonkretisasi menjadi perbuatan “penghasutan”. Perbuatan “penghasutan” juga merupakan mala in se, yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP atau 288 s/d 290 RKUHP. Keberatan sebenarnya dapat diajukan terhadap perumusan bagian inti (bestanddeel) “agama yang di anut di Indonesia” yang maknanya lebih sempit daripada unsur “agama apapun juga” yang terdapat dalam KUHP. Penulis sendiri berpendapat rumusan KUHP lebih tepat dibandingkan RKUHP berkenaan dengan hal ini, mengingat mestinya perlindungan hukum terhadap “agama” tidak dibatasi semata-mata kepada agama-agama yang memiliki pemeluk di Indonesia.

d. Pembaruan Tindak Pidana Gangguan tehadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Dalam Pasal 175 KUHP ditentukan bahwa:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”

Dalam RKUHP delik ini ditempatkan dalam tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Dalam hal ini, kriminalisasi diperluas sehingga mencakup pelarangan terhadap perbuatan yang “menggangu, merintangi, secara melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan” kegiatan peribadahan. Delik ini dipandang sejalan dan sangat diperlukan untuk memanifestasikan Pasal 29 UUD 1945, yang menjamin kemerdekaan menjalankan ibadah keagamaan. Gangguan dalam arti konkrit seperti “membuat gaduh di dekat tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung” diancam dengan pidana tersendiri. Sejalan dengan hal ini ketentuan Pasal 176 KUHP. Kata-kata “diizinkan” sama sekali dihapus, karena kegiatan keagamaan tidak memerlukan izin sama sekali, sepanjang dilakukan di tempat atau rumah-rumah ibadah

Selain itu, untuk menjaga kehormatan pemeluk agama atau pemuka agama, juga diancam dengan pidana perbuatan “mengejek” orang yang sedang menjalankan ibadah atau petugas agama yang sedang menjalankan tugasnya. Perkataan “mengejek” merupakan terminologi baru yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, sehingga dapat dibedakan dengan “penghinaan”. Sekalipun demikian istilah “mengejek” jauh lebih konkrit sifat tercelanya daripada istilah “mentertawakan” yang digunakan dalam Pasal 177 KUHP.

e. Tindak Pidana perusakan Tempat Ibadah

Pasal 348 RKUHP merupakan lex specialis dari Pasal 646 RKUHP tentang perusakan bagunan prasarana umum. Dalam hal ini ditentukan bahwa:

“Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk ibadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”

Keberatan dapat diajukan tentang perkataan “menodai”, yang sebenarnya masuk kedalam tindak pidana terhadap agama dengan menambahkan “tempat dan/atau rumah ibadah” sebagai “simbol keagamaan” dalam Pasal 343 RKUHP. Selain itu, ancaman pidana dalam Pasal 348 mestinya lebih berat daripada Pasal 646, untuk memberi sifat kekhususannya.



*Makalah Dalam Kuliah Umum bertema: “Kriminalisasi dan Dekrimnalisasi dalam RKUHP”, di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, tanggal 23 Januari 2008.

**Dosen/Ketua Bagian Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota Tim Perancangan KUHP tahun 2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Domestic Consultant Gap Analysis United Nations Convention Against Corruption, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Tim Anotasi Yurisprudensi Tentang Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional.