15 Februari 2009

PERTIMBANGAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENYUSUNAN

PERTIMBANGAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENYUSUNAN

RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA*

Oleh; Dr. Chairul Huda, SH., MH.* *

  1. Pembangunan Hukum Nasional dan Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional. Pembaharuan hukum pidana dalam konteks pembangunan hukum nasional pertama-tama harus dilihat sebagai upaya men-design sistem hukum nasional. Sekalipun kita harus membuka diri sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem hukum nasional harus bersumber dari kebudayaan kita sendiri, sehingga khas berkepribadian Indonesia. Menurut Baharuddin Lopa, “sistem hukum nasional kita bukanlah seratus prosen sama dengan sistem rule of law yang mengutamakan perlindungan kepentingan perseorangan dan bukan pula seperti sistem socialist legality yang terlalu mengutamakan kepentingan negara”. (Artidjo Alkostar ed., 1997; 25). Berdasarkan hal ini, tidak tepat apabila RKUHP hanya dikaji berpangkal tolak pada prinsip-prinsip hukum Barat, tetapi harus tempatkan sebagai upaya anak bangsa untuk membangun sistem hukumnya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis berbagai “kontroversi” yang dilontarkan masyarakat terhadap RKUHP, dikarenakan perbedaan perspektif yang digunakan. Apabila RKUHP dilihat dalam perspektif rule of law masyarakat liberal, maka memang ada sejumlah ketentuan yang dapat dipandang memasuki ruang privat seseorang terlalu dalam. Justru hal ini akan terlihat sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilihat “sistem baru” yang disusun dalam RKUHP tersebut. Diperluasnya pengertian perzinahan, sehingga tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang sudah menikah, jangan dilihat dari perspektif liberal. Tentunya hal ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan lembaga perkawinan sebagai satu-satunya legitimasi aktivitas seksual.

Selain itu, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, bukan semata-mata mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP baru yang lebih mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, tetapi meliput suatu skala yang lebih luas lagi. Pendek kata, pembaharuan hukum (pidana) bukan hanya sekedar memperbaharui hukum yang telah ada, sehingga menggantinya dari “baju kolonial” menjadi “baju nasional”. Tetapi lebih jauh daripada itu pembaharuan hukum (pidana) berarti menggantikan yang ada dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, cara melihat hal itu tidak dapat semata-mata dilakukan terhadap “naskah” Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut, tetapi harus pula mengkaji berbagai latar belakang pemikiran yang berkembang dan suasana kebatinan yang timbul dalam proses perumusannya.

Berkenaan dengan hal itu, harus dipahami bahwa Tim Perancang KUHP 2004 yang diketuai Prof. Dr. Muladi, SH., merupakan kelanjutan dari tim-tim sebelunya, mulai dari dibawah pimpinan Alm. Prof. Sudarto, SH, Alm. Prof. Mr. Roeslan Saleh, dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA. Oleh karena itu, tugasnya bukan sama sekali menyusun RKUHP baru, tetapi mengaktualisasi rancangan yang ada dengan perkembangan terakhir. Hal ini dilakukan mengingat proses penyusunan RKUHP tersebut sudah memakan waktu yang cukup lama, dengan menggunakan berbagai metode, dan melibatkan kalangan yang cukup luas. Sehingga tim yang terakhir ini lebih banyak menyusuaikan rancangan yang ada dengan berbagai perkembangan, baik perkembangan dalam tataran teoretis (ilmu hukum), politis (perundang-undangan), praktis (praktek peradilan) maupun perkembangan global (konvensi internasional dan perundang-undangan negara lain). Berkenaan dengan hal ini, sekalipun kami tercatat sebagai salah seorang anggota Tim Perancang RKUHP 2004, tetapi berbagai “penjelasan” yang kami sampaikan disini lebih banyak merupakan upaya kami untuk memahami RKUHP tersebut berdasarkan ide dasar dan suasana spirituil penyusunannya, dan sama sekali bukan didasarkan pada studi dokumen yang komprehensif mengenai hal itu. Menurut hemat kami, berbagai komentar dan pendapat yang berkembang berkenaan dengan RKUHP, bukan saja tidak dipahami dalam konteks ide awal perumusannya, tetapi lebih berbahaya lagi kajiannya bersifat parsial.

  1. Transformasi Struktur dan Budaya Masyarakat melalui Pembaharuan Hukum Pidana

Pembangunan hukum nasional, termasuk pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RKUHP, bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari skenario perancangan sistem hukum pidana baru, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan bagian dari proyek besar perekayasaan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum pidana Indonesia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Mengingat seperti dikatakan Satjipto Rahardjo, hukum suatu bangsa itu senantiasa merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar, yang dijalani oleh bangsa bersangkutan. Sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar pembaharuan hukum karenanya harus dilihat sebagai bagian dari transformasi struktur dan budaya masyarakat menuju kepada keadaan yang lebih baik.

Menurut Sunaryati Hartono sedikitnya ada tiga cara mengadakan transformasi struktur dan budaya masyarakat (Sunaryati Hartono, 1991: 76). Pertama, membiarkan perkembangan hal itu secara alami, tanpa campur tangan pihak manapun. Cara ini biasanya memakan waktu yang sangat lama, kadang-kadang sampai berabad-abad. Kedua, perubahan masyarakat secara mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi masyarakat melalui cara ini seringkali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah yang bertujuan menggantikan kepemimpinan negara maupun asas-asas pemerintahan sacara tiba-tiba. Ketiga, perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan agar supaya perubahan masyarakat yang terjadi secara bertahap dan wajar.

Berkenaan dengan hal ini, menurut hemat kami, pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RKUHP merupakan upaya perubahan kultur dan struktur masyarakat secara berencana dan bertahap. Oleh karena itu pembangunan hukum yang dilakukan melalui pembaharuan hukum pidana mempunyai watak menentukan arah. Dengan RKUHP sebenarnya masyarakat sedang diarahkan kepada tujuan tertentu. Untuk melihat tujuan yang hendak dicapai tersebut, tidak dapat dilihat “di dalam” hukum pidana (baru) itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan tersebut berada “di luar” hukum pidana, yang harus dicari dalam tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejalan dengan hal ini menurut Yusril Ihza Mahendra “kebijakan pembangunan hukum nasional harus bertitik tolak pada konstitusi, the supreme law of the land” (Tim Pakar Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002:116). Oleh karena itu, arah perkembangan masyarakat, baik struktur maupun kulturnya, yang sedang “diperbaiki” melalui pembaharuan hukum pidana, harus berpangkal tolak pada nilai-nilai luhur yang diletakkan the founding father yang termuat dalam konstitusi.

Salah satu sistem nilai yang harus diperhatikan dalam penyusunan KUHP baru adalah sendi-sendi berketuhanan bangsa Indonesia. Menurut Mohammad Hatta, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, seperti yang dikemukakan Bung Karno. Melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan (Alkostar, op.cit: 54-55). Apabila hukum pidana dapat dijadikan “alat” untuk merekaya masyarakat ke arah masyarakat yang dicita-ciatakan tersebut, maka pembaharuannya mau tidak mau harus didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri.

Berdasarkan hal ini maka terdapat sejumlah ketentuan dalam RKUHP yang diyakini dapat mengarahkan masyarakat Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Dalam bidang kesusilaan misalnya, sekalipun tidak dapat dinafikkan ada sejumlah daerah yang menjadikan “hidup bersama” diluar pernikahan adalah hal yang biasa, bahkan “sah” dimata hukum (adat), tetapi melalui RKUHP berangsur-angur “kebiasaan” seperti itu diarahkan untuk dapat dikurangi, atau bahkan ditinggalkan. Oleh karena itu, dalam RKUHP mengenai hal ini diadakan kriminalisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, sebenarnya hukum pidana digunakan sebagai bagian dari perekayasaan sosial dan budaya masyarakat sebagai mana dicita-citakan nilai-nilai ketuhanan. Mengingat berdasar nilai-nilai ketuhanan tersebut, perbuatan semacam itu tidak sejalan dengan ajaran agama apapun.

Untuk memberikan watak perubahan secara terencana dan bertahap, maka dalam RKUHP ditentukan bahwa “sifat tercela” dari perbuatan kumpul kebo sebagaiman tersebut di atas, sangat tergantung dari “rasa kesusilaan masyarakat sekitar perbuatan terjadi”. Hal inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengenai hal ini ditentukan sebagai delik aduan masyarakat.

  1. Formalisasi kedudukan Hukum Pidana Adat dalam RKUHP sebagai upaya mempertahankan identitas kebudayaan bangsa

Diangkatnya tindak pidana adat dalam RKUHP merupakan hasi pemikiran panjang para perancang terdahulu. Upaya demikian itu bukannya tanpa resiko dan bahkan perbedaan-perbedaan pendapat secara tajam juga terjadi di dalam Tim. Terlepas dari apa yang dipikirkan oleh para anggota Tim, sebenarnya hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menempatkan RKUHP dalam konteka sosial dan budaya bangsa Indonesia. Hukum (pidana) adat adalah bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang harus dipelihara, bahkan dengan resiko memperluas (bukan mengecualikan, ataupun menyimpangi) beberapa asas fundamental dalam hukum pidana, yang sebenarnya sangat universal.

Jasa terbesar dari hukum adat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah menjadi alat pemersatu. Sselain satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, pada dasarnya bangsa Indonesia satu kesatuan dalam keanekaragaman hukum, yaitu hukum adat. Hukum adat menumbuhkan semangat anti penjajahan dan mengangkat harga diri sebagai sebuah bangsa (John Ball: 1982, Soetandyo Wignosoebroto: 1995). Dengan demikian, hukum adat telah menjadi salah satu hal penting yang telah memerdekakan bangsa Indonesia.

Selain itu, hukum adat sangat diperlukan dalam memaknai aturan-aturan hukum dalam praktek hukum yang menerapkan RKUHP kelak. Mengingat RKUHP merupakan karya anak bangsa yang didalamnya selain memuat unsur-unsur peninggalan kolonial dan perkembangan global, juga terdapat muatan-muatan lokal, maka seperti dikatakan Fuller, “we cannot understand ‘ordinary’ law unless we first obtain an understanding of what is called ‘customary law’” (Sunaryati Hartono, 1991). Pada sisi lain, sejarah juga menunjukkan bahwa tindak pidana adat pernah dan mungkin masih eksis dalam praktek peradilan dalam hal rasa keadilan masyarakat tidak terpenuhi dengan hanya mengandalkan hukum tertulis, sehingga seperti dikatakan Haveman, “incorporation of adat criminal law in the new Kitab Undang-Undang Hukum pidana means nothing more than the formalization of existing and formally acknowledged-practice” (Roelof H. Haveman, 2002).

  1. Pendekatan Sistemis dalam memahami Latar Belakang Sosial dan Budaya Penyusunan RKUHP

Mengkritisi RKUHP tidak dapat dilakukan dengan melihat pasal-pasal rumusan tindak pidananya. Namun harus pula dilihat dari berbagai asas hukum yang terkandung didalam ketentuan-ketentuan umum selain rumusan delik. Berkenaan dengan hal ini ada baiknya dipahami terlebih dahulu tentang pengertian asas hukum itu sendiri. Dalam hal ini penulis berpangkal tolak dari definisi Paul Scholten. Asas hukum adalah pikiran-pikiran yang berada “didalam” atau “dibelakang” suatu aturan hukum. Pikiran-pikiran tersebut adakalanya secara eksplisit telah berada dalam suatu aturan hukum (didalam), tetapi adakalanya hanya secara implisit (dibelakang). Dengan definisi ini maka tidak mungkin suatu aturan hukum bertentangan dengan suatu asas hukum. Apabila dilihat sepintas lalu saling bertentangan, maka pada hakekatnya aturan hukum itu bersumber pada asas hukum yang lain.

Selain itu, di antara asas-asas hukum mungkin sekali berada dalam posisi yang saling behadapan. Dalam hal ini politik hukum yang akan menentukan, manakah diantara asas-asas hukum tersebut yang kemudian lebih mendominasi satu dari yang lain. Berbeda halnya dengan aturan-aturan hukum. Pada hakekatnya diantara aturan-aturan hukum tidak mungkin saling bertentangan satu dengan yang lain. Namun demikian, jika terlihat demikian pada dasarnya salah satu dari aturan-aturan hukum tersebut menjadi tidak valid. Berbagai mekanisme telah dibangun untuk menentukan validitas aturan hukum dalam hal ini, seperti aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, dan aturan yang dibuat kemudian mengesampingkan aturan yang dibuat sebelumnya.

Berbasar hal di atas, ketentuan buku II RKUHP tidak dapat dipahami terlepas dari ketentuan dari buku I. Misalnya, dalam Buku I RKUHP dinormakan asas melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif. Dalam hal ini, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai tindak pidana selain telah memenuhi seluruh isi larangan undang-undang, tetapi perbuatan tersebut harus pula bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan ini membuat rumusan delik dalam RKUHP, dapat ditempatkan dalam konteks sosial dan kebudayaan manapun masyarakat Indonesia. Tentunya menjadi sangat berbeda arti “melanggar kesusilaan di muka umum” antara masyarakat Nagro Aceh Darussalam dengan masyarakat Bali di Pantai Kuta. Apabila unsur delik tersebut tidak dipahami dalam konteks asas melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif, tentunya akan sangat berbeda. Dengan demikian fleksibelitas sistem yang dibangun dalam RKUHP menyebabkan hal itu dapat diterapkan dalam konteks sosial dan budaya manapun bangsa Indonesia.



*Makalah Pengantar Diskusi dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dengan tema “Mencari Solusi Kontroversi RUU KUHP”, Garden Terrace, Four Seasons Hotel, Jakarta.

**Anggota Tim Perancangan KUHP tahun 2004, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Direktur Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.