Adakah Upaya Hukum bagi Putusan Bebas
Terdakwa Tindak Pidana Korupsi?
Oleh: DR. Chairul Huda, SH., MH
Akhir-akhir ini kerap kita mendapati “injustice verdict” dalam proses penegakan hukum. Dalam bidang keperdataan kita dikejutkan oleh putusan Mahkamah Agung terhadap sengketa pertanahan di Meruya Selatan. Ribuan masyarakat dibuat gelisah oleh putusan tersebut karena tanahnya yang sudah bertahun-tahun ditempatinya, dengan status hak milik dan dengan bukti kepemilikan sertipikat, tanpa dinyana oleh pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi tersebut dinyatakan “milik” PT Porta Nigra, yang notabene “tidak jelas” alas haknya. Sementara itu, dewasa ini muncul pula kecenderungan banyaknya Putusan yang bersifat “onvoeldoende gemotiveerd”. Dalam perkara pidana kerap terjadi Pengadilan memutuskan terdakwa bersalah/tidak bersalah, tanpa mempertimbangkan keseluruhan fakta yang terungkap dipersidangan. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Gubernur (non aktif) Kalimantan Timur, Letjen Suwarna yang divonnis bersalah melakukan turut serta (medepleger) tindak pidana korupsi, sementara vonis tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa pembuat prinsipalnya (pleger) belum diperiksa apalagi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Pada sisi yang lain kecenderungan meningkatnya respeksitas terhadap hak asasi manusia, termasuk hak hukum tersangka/terdakwa tidak dapat dibendung. Ditambah lagi kecenderungan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, termasuk Tersangka/Terdakwa, membuat semua profesi hukum, tertama hakim, kerap menjadi sorotan masyarakat terhadap karya-karyanya.
Sebenarnya hukum acara telah menyediakan institusi yang dapat secara profesional menguji suatu Putusan Pengadilan. Diantaranya yang terpenting adalah adanya Upaya Hukum. Dalam penanganan perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana. Pemahaman mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari design sistem peradilan pidana itu sendiri.
Ketika melihat Putusan Pengadilan dan Upaya Hukum sebagai bagian/instrumen Sistem Peradilan Pidana, maka pengkajiannya tidak dapat dilepaskan dari paradigma, model dan legal substance, dari dan didalam sistem tersebut. Paradigma Sistem Peradilan Pidana merupakan latarbelakang pemikiran yang melahirkan sistem tersebut dan dipegang teguh sebagai komintmen dalam pelaksanaannya. SPP baik sebagai sistem dalam arti abstrak maupun dalam artian fisik, dilatarbelakangi oleh suatu paradigma tertentu, yang menjadi falsafah bagi konsep dan pelaksanaannya. Model Sistem Peradilan Pidana merupakan design sistem tersebut yang menjadi pangkal tolak perumusan berbagai mekanisme didalamnya, baik dalam tahap pra ajudikasi, tahap ajudikasi maupun tahap pasca ajudikasi. Legal Substance yaitu materi hukum yang digunakan dalam sitem, baik Hukum Pidana Materil, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pelaksanaan Pidana.
Dilihat dari masa pembentukannya, Paradigma SPP Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai paham yang berkembang yang bersumber dari mazhab modern (modern school) tetapi kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan berbagai pandangan dalam mazhab pengendalian sosial (social control school) Model SPP Indonesia secara umum dirancang dalam upaya menciptakan due process model, tetapi untuk tindak pidana tertentu (misalnya Korupsi dan Terorisme) tekanannya lebih kepada crime control model. Legal Substance yaitu materi hukum yang digunakan dalam SPP Indonesia merupakan campuran antara produk hukum peninggalan kolonial (yang bersifat sangat represif) dan produk hukum yang dilahirkan pada masa kemerdekaan, yang berusaha menjunjung nilai-nilai keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa mengabaikan kepentingan perlindungan masyarakat dan negara.
Putusan Pengadilan dalam SPP dibedakan dalam putusan yang berisi pemidanaan dan putusan yang bukan berisi pemidanaan. Putusan yang bukan berisi pemidanaan dapat menyangkut pokok perkara dan bukan pokok perkara. Putusan pengadilan yang menyangkut pokok perkara dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Putusan bebas dilihat dari hakekatnya merupakan “karya hakim” yang paling tingggi nilainya, setelah keseluruhan proses yang dialami tersangka/terdakwa pada akhirnya hakim memutus tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau setidak-tidaknya bukan terdakwa yang melakukannya. Oleh karena itu, putusan bebas berisifat “suci” sehingga tidak ada kekuatan manapun (selain Allah SWT) yang dapat mengubahnya dengan alasan apapun juga. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan harus dilihat sebagai sarana “pembatasan kewenangan negara” untuk melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Dalam perkara pidana, negara yang “powerfull” akan berhadap-hadapan dengan tersangka/terdakwa yang “powerless”, sehingga substansi peraturan perundang-undangan harus dilihat dalam kerangka “negative legality”. Instrumen Upaya Hukum dalam KUHAP karenanya terutama disediakan sebagai sarana koreksi atas penggunaan kewenangan yang bersifat represif tersebut, termasuk putusan pemidanaan. Putusan yang tidak berisi pemidanaan, terutama putusan bebas karenanya tidak dapat dimintakan upaya hukum apapun.
Terhadap putusan bebas, baik “bebas murni” maupun putusan “bebas tidak murni” pada dasarnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena jika dilakukan tidak disejalan dengan paradigma, model dan legal substance sistem peradilan pidana Indonesia . Kecuali putusan “bebas tidak murni” dalam arti “lepas dari segala tuntutan hukum (terselubung) yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum”, dapat dimintai kasasi. Paradigma sistem peradilan pidana Indonesia didesign dalam paradigma “modern school” dan kini diterapkan dalam paradigma “social control school”, sehingga upaya hukum terbatas sebagai alat koreksi atas penggunaan kekuasaan negara yang mememutuskan seseorang telah melakukan tindak pidana (putusan pemidanaan) dan tidak sebaliknya. “Due Process Model “ yang dianut sistem peradilan pidana Indonesia menempatkan pengadilan sebagai “tempat memisahkan orang yang bersalah dari orang yang tidak bersalah” sehingga putusan bebas adalah “kata akhir” dari seluruh proses tersebut.
Dari segi legal substance peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 67, 244, 263 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 “melarang dilakukannya upaya hukum terhadap putusan bebas”. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lagi karena “cukup” diartikan dari kata-kata yang terdapat didalamnya. Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP hanya membuka kemungkinan Peninjauankembali terhadap putusan memidanaan yang menunjukkan adanya pertentangan di antara pertimbangan hukum, tetapi tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 263 ayat (3) KUHAP hanya mempunyai arti bahwa Peninjauankembali dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya karena putusan tidak berisi rehabilitasi
Dilihat dari segi sejarah hukum dalam Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 1980 sebagai cikal bakal ketentuan Peninjauankembali diawali dengan kata-kata “Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan,…” Dengan demikian, dari segi sejarahnya Peninjauankembali memang diadakan untuk putusan yang berisi pemidanaan, dan bukan yang lain apalagi putusan bebas.
Pasal 191 (1) KUHAP menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Kata “kesalahan” multi interpretasi, karena bisa hanya berarti “opzet atau culpa”, atau berarti “sifat dapat dicelanya” pembuat delik tersebut. Mengingat KUHP menganut paham monistis, dimana “opzet atau culpa” dapat dirumuskan (menjadi “bestanddeel”) atau tidak dirumuskan (menjadi “elemen”) dalam suatu tindak pidana, menimbulkan konsekuensi putusan yang berbeda. Putusan “bebas” hanya dalam hal “opzet atau culpa” menjadi bagian inti delik (bestanddeel delict) dan diputus “lepas dari segala tuntutan hukum” dalam hal “opzet atau culpa” menjadi unsur diam-diam (elemen delict). Apabila “kesalahan” berarti “sifat dapat dicela” orang yang melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini putusan “bebas” dijatuhkan karena terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka putusan “bebas” tersebut hanya dapat dijatuhkan bukan hanya karena tidak terbuktinya “criminal act” tetapi juga “criminal liability”. Dalam hal ini putusan “bebas” dijatuhkan ketika “criminal act” terbukti tetapi “criminal liability” tidak terbukti, maka putusannya dapat dikategorikan “bebas tidak murni” atau “niet zuivere vrijspraak” . “Bebas tidak murni” adalah putusan “lepas dari segala tuntutan hukum terselubung” atau “bedekte ontslag van rechtvervolging”.
Oleh karena itu, perlu direkomendasikan kepada Tim Perancang KUHAP untuk perbaikan rumusan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP, sehingga Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebaiknya diperbaiki sehingga menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, perbuatan yang didakwakan tidak terbukti dilakukan terdakwa secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dengan perumusan ini maka Pasal 191 ayat (2) KUHAP juga harus diperbaiki sehingga menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi terdakwa tidak bersalah, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Pasal 191 ayat (2) tidak mempunyai arti lagi jika kata “bersalah” dalam Pasal 191 (1) KUHAP dipahami sebagai “opzet atau culpa” dan tindak pidana yang didakwakan tidak merumuskan hal itu atau ketika dijatuhkan putusan “bebas tidak murni”, sehingga harus juga diperbaiki.
Berdasarkan uraian diatas, dapat digarisbawahi bahwa putusan pemidanaan “hanya dapat” dijatuhkan oleh “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi” karena pada dasarnya hanya dalam tahap pemeriksaan di kedua pengadilan tersebut diperiksa “fakta-fakta”, sedangkan Mahkamah Agung hanya memeriksa berkenaan dengan penerapan “hukum”. Putusan bebas adalah putusan yang menyangkut pertimbangan ada atau tidak adanya suatu “fakta”, sehingga tidak dapat dimohonkan untuk diperiksa dalam tingkat Kasasi.