Tinjauan dari Aspek Hukum Pidana tentang Pengertian “KEKHILAFAN” dan perbedaannya dengan “KESENGAJAAN” atau “KESALAHAN” dikaitkan dengan Peraturan Perundang-Undangan dibidang Perpajakan
oleh: Dr.
CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.
Pengantar
Pasal 2
Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, memuat
ketentuan yang sangat penting bagi Wajib Pajak, yaitu:
“Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”
Ketentuan ini sepertinya merupakan pengejawantahan Pasal 36 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir
Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, yaitu:
(1) “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau permohonan
Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya”
Pada satu sisi ketentuan ini menggambarkan
adanya “kewenangan” yang sifatnya
atributif dari Direktur Jenderal Pajak, tetapi pada sisi yang lain juga
menggambarkan adanya “hak” Wajib
Pajak untuk mengkoreksi sanksi administrasi perpajakan. Namun kedua aspek
tersebut bukanlah titik berat pembahasan yang dimintakan oleh penyelenggara
Seminar Perpajakan ini, selain juga bukan persoalan yang bersentuhan langsung
berkenaan dengan Hukum Pidana, kecuali karena pelaksanaan kewenangan itu
seorang mantan Dirjen Pajak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, yang sekarang telah dibatalkan status tersangkanya
tersebut oleh Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Melainkan yang dimintakan untuk dibahas
pada kesempatan kali ini adalah berkenaan dengan penggunaan istilah “kekhilafan” dan “kesalahan”. Barangkali Hukum Pidana adalah sub disiplin Ilmu Hukum
yang paling banyak membahas tentang “kekhilafan” dan “kesalahan”. Diantara
kedua istilah tersebut masih ada lagi istilah “kelalaian” atau “kealpaan” dan
juga tentunya istilah “kesengajaan” yang juga menjadi pusat
perhatian dari Ilmu Hukum Pidana itu. Hal inilah yang dimintakan untuk dibahas,
dengan mengkaitkannya dengan penggunaan istilah serupa dalam Hukum Pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun
2000 jo Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015.
Pengertian
dan Ruang Lingkup “Kekhilafan” dan “kesalahan” dari segi Peraturan
Perundang-Undangan Perpajakan
Pada dasarnya “kekhilafan”
sesuatu yang cukup sukar untuk ditentukan batas-batasnya, apabila dikaitkan
dengan “kelalaian”, “kealpaan”, “kesengajaan” atau “kealpaan”. Kerapkali penggunaan
istilah ini dalam peraturan perundang-undangan, membuka subyektivitas dari pihak-pihak
yang berkepentingan, termasuk Dirjen Pajak atau pejabat fiskus lainnya.
Pada dasarnya peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan
telah memberikan sejumlah isyarat berkenaan dengan pengertian kedua istilah
tersebut. Pengertian “kekhilafan” misalnya,
secara implisit disebutkan dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No.
16 Tahun 2000, yang antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini untuk
melindungi Wajib Pajak yang “tidak memahami peraturan
perpajakan”. Maksudnya,
boleh jadi sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak dipandang
“tidak adil” oleh Dirjen Pajak, sehingga perlu dikoreksi, yang diantaranya
karena ada kekeliruan pemahaman tentang ketentuan perpajakan yang dialami oleh
Wajib Pajak. Dalam hal ini Wajib Pajak dipandang gagal dalam
menjalankan kewajiban administrasinya secara self-assesment karena diakibatkan ketidakpahaman atau ketidaktahuan
Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan itu sendiri.
Berkenaan dengan hal itu, undang-undang memberikan wewenang
kepada Dirjen Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun
2000 jo Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015,
untuk “menguji”, baik karena jabatannya ataupun karena dimohonkan oleh Wajib
Pajak, dari sisi finansial, sosial, moral dan hukum, apakah Wajib Pajak dapat diminta
pertanggungjawaban atas kekeliruan pemahamannya itu. Dalam hal Dirjen Pajak
memandang bahwa Wajib Pajak tidak patut dipertanggungjawabkan atas hal itu,
maka disini dipandang terdapat “kekhilafan” pada wajib pajak dimaksud.
Berbeda dengan “kekhilafan” dalam peraturan perpajakan yang
memang tertuju pengertiannya pada Wajib Pajak, maka berkenaan dengan
“kesalahan” justru isyarat tentang pengertian ini tidak tertuju pada Wajib
Pajak, melainkan pada Petugas Pajak (fiskus). Dalam hal ini tersirat dari
digunakannya istilah yang dirumuskan secara negatif, yaitu “bukan karena kesalahannya”, baik dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 maupun Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun
2000.
Dalam hal ini pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi perpajakan dapat dilakukan jika pengenaan sanksi itu
dipandang bukan karena kesalahan Wajib Pajak, tetapi karena “ketidaktelitian petugas pajak”. Dirjen
pajak dalam hal ini berwenang mengkoreksi penetapan sanksi admistrasi
perpajakan yang telah ditetapkan bawahannya, karena Wajib Pajak telah terbebani
lebih daripada yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini secara implisit disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000
bahwa “sanksi administrasi yang
dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak”.
Wewenang atributif Dirjen Pajak untuk
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi hanya dapat dilakukan karena
alasan “kekhilafan” atau “bukan kesalahan” Wajib Pajak. Selain karena alasan tersebut maka
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Sebenarnya, termasuk dalam pengertian
“bukan karena kesalahannya” disini juga ketidaktelitian pihak lain selain Wajib
Pajak, misalnya ketidaktelitian Konsultan Pajak, atau mitra bisnis Wajib Pajak
yang mempunyai kaitan dengan pemungutan pajak yang dilakukan terhadap transaksi
bisnis Wajib Pajak. Namun sayangnya hal ini tidak termasuk dalam pengertian
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pengertian dan Ruang Lingkip “Kekhilafan”, “kelalaian”,
“kesengajan” dan “kesalahan” dari segi Hukum Pidana
Sepertinya “kekhilafan”
yang dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015
tanggal 30 April 2015 maupun Pasal 36
ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir
Diubah Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, mempunyai cakupan “yang lebih sempit” dari hal serupa yang berkembang dalam Hukum
Pidana. Dalam hal ini Hukum Pidana, mengenai dua bentuk “kekhilafan”, yaitu “kekhilafan tentang fakta” (mistake of fact) dan “kekhilafan tentang hukum” (mistake of law). Umumnya di banyak negara,
terutama di negara-negara common law
system, kedua bentuk kekhilafan ini dijadikan alasan-alasan penghapus
pidana (strafuitsluitingsgronden).
Dikatakan
ada “kekhilafan terhadap fakta” jika seseorang keliru memahami fakta yang ada
disekitarnya, sehingga mendorongnya melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ketika
seseorang memasuki rumahnya ketika dalam keadaan gelap gulita akibat pemadaman
lampu listrik, dengan berbekal ingatannya tentang keadaan rumah itu, yang
bersangkutan berjalan menuju kamarnya dan pada saat itu dia mendapati perempuan
yang diduga istrinya dikamar itu. Lantas mencium dan memeluknya. Ternyata
perempuan itu bukan istrinya, melainkan adik iparnya yang kebetulan datang
berkunjung. Perbuatan laki-laki itu tidak dapat dipandang sebagai perbuatan
pencabulan, karena adanya mistake of fact.
Demikian pula seseorang yang berpisah dengan saudara kandungnya dalam jangka
waktu yang lama, dan kemudian menikah tanpa menyadari bahwa mereka adalah
saudara kandung, tidak dapat dipandang sebagai incest karena adanya mistake
of fact.
Dalam
bidang perpajakan tampaknya mistake of
fact tidak dipandang sebagai “kekhilafan”. Kekeliruan dalam melakukan
perhitungan-perhitungan berkenaan dengan jumlah pajak yang harus dibayarkan,
misalnya karena terdapat data yang tidak akurat karena sistem laporan yang
tidak komprehensif, tidak dapat dipandang sebagai bentuk “kekhilafan”. Demikian
juga segala bentuk keterlambatan, seperti keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan
Pajak, keterlambatan pembetulan ataupun
keterlambatan pembayaran, semuanya tidak dapat dipandang sebagai
“kekhilafan”. Apalagi berkenaan dengan
rekayasa dokumen dalam suatu tax planning,
tentu hal ini sudah merupakan “kesengajaan” untuk menyampaikan surat
pemberitahuan pajak yang tidak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya.
Kesengajaan
dalam Hukum Pidana tertuju pada “kesadaran” atau “pengetahuan’ (willen en wettens) seseorang ketika
melakukan perbuatan. Baik sebagai yang harus dilakukannya maupun kemungkinan
yang dapat dipastikan timbul dari perbuatannya. Rekayasa dokumen dalam suatu tax planning justru menunjukkan bahwa
seseorang Wajib Pajak menyadari dan mengerti bahwa laporan pajak yang
disampaikannya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, sehingga hal ini
jelas bukan “kekhilafan”.
“Kekhilafan”
dalam perpajakan boleh jadi dapat dipersamakan dengan “kekhilafan terhadap
hukum”. Hal ini terkait dengan sistem perpajakan yang bersifat “self assessment”, yang mempercayakan
perhitungan (awal) tentang jumlah pajak yang harus dibayarkan dilakukan sendiri
oleh Wajib Pajak. Dalam Hukum Pidana mistake of law adalah keadaan dimana
seseorang dipandang keliru mengenai hukum yang berlaku baginya. Hukum
diterapkan dengan asumsi “setiap orang dipandang tahu tentang hukum, ketika hal
itu telah diundangkan”. Oleh karena itu, adakalanya orang berbuat sesuatu yang
dilarang tanpa mengetahui tentang keterlarangan hal itu. Misalnya, seseorang
yang baru sampai di kampung halamannya, yang tidak mengetahui bahwa telah
berlaku jam malam di wilayah itu, dapat
dimaafkan karena melanggar jam malam dalam Hukum Pidana.
Demikian
pula halnya dengan dalam bidang perpajakan, perubahan-perubahan peraturan dapat
menyebabkan seseorang keliru dalam menyampaikan laporan pajaknya, dan hal ini
dipandang sebagai suatu “kekhilafan” yang dapat memaafkan Wajib Pajak tersebut,
sehingga kalaupun sempat dijatuhi sanksi administratif, Dirjen Pajak dapat
mengurangkan atau menghapuskannya sama sekali.
Berbeda
dengan “kesalahan” yang dimaksud dalam peraturan perpajakan yang tertuju pada
“ketidaktelitian”, kesalahan dalam hukum
pidana mencakup hal yang lebih luas lagi. Dalam Hukum Pidana “ketidaktelitian”
merupakan salah satu indikator dari adanya “kelalaian” atau “kealpaan”. Dikatakan
orang, lalai itu “tidak berhati-hati sebagaimana orang lain diwajibkan
berhati-hati”. Dalam hal ini disadari ataupun tidak disadari, seseorang telah
sangat ceroboh atau sembrono sehingga menimbulkan keadaaan terlarang. Namun
demikian, jika dalam Hukum Pidana “ketidaktelitian” itu tertuju pada “pelaku”
kejahatan, yang dalam perpajakan dapat
disepadankan pada Wajib Pajak, tetapi “ketidaktelitian” itu tertuju pada
Petugas Pajak, yang bertanggungjawab meneliti laporan perpajakan yang
disampaikan Wajib Pajak.
Dalam Hukum Pidana “kesalahan” dipahami
secara evolutif dari masa ke masa. Pada fase awal, telaah tentang kesalahan
ditempatkan sebagai konsep moral. Dalam hal ini menjadi tidak berlandaskan
moral apabila orang buta yang melakukan perbuatan dalam kebutannya, anak-anak
yang belum dapat membedakan patut tidaknya suatu perbuatan, dan tentunya
orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan yang melakukan tindak pidana
dipandang memiliki kesalahan. Kesalahan dipandang tidak terdapat dalam diri
mereka itu, sebagai suatu keadaan yang diberikan oleh Tuhan.
Pada fase berikutnya, diskusi mengenai kesalahan
terutama menentukan kriteria dapat dipidananya pembuat tindak pidana. Dalam hal
ini kesalahan menjadi dasar dari dapat dipidananya pembuat tindak pidana.
Keadaan jiwa yang normal (mampu bertanggung jawab), melakukan perbuatan itu
dengan salah satu bentuk kesalahan (dengan sengaja atau karena kealpaannya),
dan keadaan lingkungan yang normal (tidak ada alasan pemaaf) menjadi kriteria
kumulatif untuk dapat dicelanya seseorang karena tindak pidana yang
dilakukannya.
Fase ketiga pembahasan mengenai kesalahan
terutama berkenaan dengan tantangan dapat dicelanya korporasi karena melakukan
tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat
dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini korporasi dipandang salah karena
tidak menyelenggarakan kegiatannya sesuai dengan harapan
masyarakat (unzumuthbarkeit), yang
sejauh mungkin menghindari timbulnya keadaan terlarang, dengan membuat standard of care dalam kegiatannya, yang menjadi
kewajiban suatu korporasi tersebut, yang
diperlukan untuk menentukan kesalahan korporasi itu. Terbentuknya
kesalahan karena tindak pidana sebenarnya dapat dihindari oleh pembuat, jika
pikirannya memang ditujukan terhadap hal itu. Dapat dicelanya pembuat karena
sebenarnya tindak pidana tersebut dapat dihindari. Tentunya pembuat tidak dapat
dicela jika tindak pidana tidak dapat dihindari olehnya.
Dengan demikian, pembuat berkewajiban untuk menghindari timbulnya keadaan
terlarang, dengan kriteria: pertama,
pada pembuat timbul kewajiban untuk mengenal resiko suatu perbuatan
tertentu untuk kepentingan yang dilindungi oleh norma yuridis dan menilainya
dengan baik. Dengan kata lain, pembuat juga memahami dampak dari perilakunya.
Kedua, pembuat harus mempunyai ketelitian lahir, guna mencegah datangnya dampak
tidak diingankan dalam batas-batas kemampuan. Termasuk didalamnya menjauhi
perbuatan-perbuatan berbahaya, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dituntut
kemahiran untuk melakukannya, bertindak hati-hati dalam situasi berbahaya, dan
mengadakan persiapan-persiapan yang sungguh-sungguh sebelum bertindak dan
berusaha mendapatkan informasi mengenai hal itu.
Berdasarkan uraian di atas, jika “bukan
karena kesalahannya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan RI No. 9/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 maupun Pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Sebagaimana Terakhir Diubah Dengan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, secara a
contrario digunakan terhadap wajib pajak, maka hal itu dapat diartikan
adanya indikator-indikator sebagai berikut:
a. Wajib
Pajak telah berusaha menghindari resiko menimbulkan keadaan terlarang, yaitu
melakukan tindakan yang dapat dikenakan sanksi administrasi, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip good
corporate governace;
b. Wajib
Pajak telah sedapat mungkin mengetahui dengan baik seluruh ketentuan perpajakan
yang berlaku baginya, termasuk dengan memberdayakan Tax Consultant atau Tax
Lawyer untuk membantunya menyusun laporan pajak;
c. Wajib
Pajak telah memiliki standard of care dalam menyiapkan tax planning, yang diantaranya
menentukan ketelitian lahir dalam penyusunan laporan pajaknya;