SEMANGAT mulia melawan tindak pidana korupsi merupakan hal yang harus konsisten dilakukan untuk menjaga momentum pembangunan Indonesia. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah organ terpenting dalam perlawanan terhadap tindak pidana korupsi yang harus dijaga bersama.
Meski demikian menjalankan semangat pemberantasan tersebut dengan cara-cara yang benar. Menang saja tidak cukup, karena prinsip keadilan yang sesungguhnya adalah menang dengan cara yang benar. Penulis melihat, sejumlah kekalahan KPK dalam sidang pra peradilan adalah indikasi lemahnya semangat KPK untuk menang secara benar.
Salah satu problem krusial dari proses di setiap sidang pengadilan, termasuk sidang praperadilan adalah pembuktian. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak mengatur secara khusus tentang tata cara pembuktian dalam sidang praperadilan, tetapi dalam praktiknya alat bukti yang digunakan tetap mengacu pada Pasal 184 KUHAP. Oleh karena itu, alat-alat bukti itu tetap dijadikan sarana untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil Pemohon ataupun Termohon.
Kerumitan mengenai hal ini semakin meninggi ketika, sebenarnya praperadilan belum merupakan proses pemeriksaan pokok perkaranya. Jadi yang ingin dibuktikan bukanlah apakah ada orang yang secara materiel bersalah melakukan suatu tindak pidana, tetapi apakah proses penegakan hukum secara formal telah dijalankan dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
Konstruksi ini sedikit banyak telah menyebabkan terjadinya pembalikan beban pembuktian, dari Pemohon kepada Termohon. Misalnya, jika penetapan tersangka oleh penyidk didalilkan oleh Pemohon sebagai tidak sah, karena belum ada bukti yang sah dan cukup untuk melakukan itu, maka justru Termohon (Penyidik) yang harus membuktikan bahwa memang pihaknya telah memiliki bukti untuk itu. Prinsip “siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan”, menjadi hal yang dikecualikan dalam hal ini.
Pembuktian oleh Termohon (Penyidik) bahwa pihaknya telah memiliki bukti, lebih dititikberatkan pada bahwa memang benar Penyidik telah terdapat minimal memiliki dua bukti yang diperoleh secara sah dan relevan dengan pemenuhan unsur-unsur suatu tindak pidana, sehingga seseorang ditetapkan sebagai tersangka karenanya.
Di sini ada persoalan kuantitas, yaitu minimal ada dua bukti (alat bukti, bukti permulaan, atau bukti). Selain itu terdapat pula problem kualitas, yaitu keabsahan dan relevansi. Dimaksud sah dalam hal ini adalah karena pemerolehannya menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang, dan relevan maksudnya adalah ada korelasi antara bukti itu dengan unsur tindak pidana yang ingin dibuktikan.
Dalam praperadilan yang diajukan oleh RJ Lino pekan ini, KPK dapat dipandang gagal membuktikan bahwa telah memiliki minimal dua bukti yang sah dan relevan untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Hal ini didasarkan pada indikator-indikator sebagai berikut:
Pertama, bukti yang digunakan KPK bukan bukti yang diperoleh dalam masa penyidikan. Artinya penetapan tersangka hanya dapat diakukan dalam tahap penyidikan, sehingga bukti-bukti yang digunakan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah bukti yang diperoleh dalam tahap penyidikan, dan bukan bukti penyelidikan.
Hal ini bukan hanya mengacu pada ketentuan KUHAP, bahwa penyidikan adalah “mencari dan mengumpulkan bukti, guna membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya”, tetapi juga ditentukan dalam UU KPK itu sendiri. sekalipun KPK telah diwajibkan oleh hukum memiliki bukti ketika akan menaikkan proses penyelidikan menjadi ke dalam tahap penyidikan, tetapi bukti-bukti dimaksud hanya ditujukan untuk menentukan adanya peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana. Bukti penyelidikan hanya digunakan untuk mengkonstruksi anatomy of crime, dan bukan untuk menetapkan siap pelaku tersangkanya.
Dalam kasus KPK vs RJ Lino, KPK kembali mengulangi kesalahan yang sama, ketika dikalahkan dalam praperadilan yang diajukan Budi Gunawan, Ilham Sirajudin (praperadilan yang pertama) ataupun Hadi Purnomo, yaitu menetapkan tersangka hanya didasarkan pada hasil penyelidikan yang diperoleh belum untuk kepentingan pro justitia.
Seperti juga kekeliruan Kejaksaan Agung ketika dikalahkan dalam sidang praperadilan yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah dan Dahlan Iskan, KPK mengabaikan pertimbangan putusan-putusan tersebut yang boleh dikatakan telah menjadi yurisprudensi, bahkan KPK mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang mempersyaratkan penetapan tersangka dilakukan pada tahap penyidikan, dengan bukti yang diperoleh dalam tahap itu, berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUAP, dan tentunya dengan terlebih dahulu memeriksa calon tersangka, untuk memberi kesempatan pada diri yang bersangkutan mengemukakan perkara itu menurut versinya.
Jika RJ Lino diperiksa dulu, semisal sebagai saksi, yang ternyata penunjukan langsung pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) tahun 2010 “terpaksa” dilakukan karena setelah sebelumnya diadakan secara lelang 10 kali gagal, dan betapa efektifnya alat dimaksud untuk mendongkrak pemasukan negara melalui Pelindo II, boleh jadi mengurungkan penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka.
Singkatnya, sebenarnya KPK belum memiliki dua bukti yang sah dan relevan yang diperoleh dalam penyidikannya, untuk menetapkan RJ Lino sebagai tersangka. Melihat dari segi waktunya, penetapan tersangka RJ Lino yang dilakukan pada menit-menit terakhir kepemimpinan KPK Jilid 3 plus (dengan dua komisioner definitif dan tiga komisioner pelaksana tugas), dilakukan hanya beberapa hari sejak dimulainya penyelidikan, boleh jadi ada motivasi non hukum dalam kasus ini.
Oleh: Dr Chairul Huda SH MH, Dosen UMJ & Pakar Hukum Pidana & Korupsi