Oleh: Dr. Chairul Huda., SH., MH.
(Dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Univ. Muhammadiyah Jakarta)
Penodaan agama (blasphemy) di Indonesia merupakan sebutan singkat untuk tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. Padahal pasal tersebut sebenarnya bukan hanya berisi perbuatan dilarang (strafbaar) “penodaan”, tetapi juga beberapa perbuatan lain juga diatur didalamnya. Lengkapnya pasal tersebut menyatakan:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
Yang pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
Dengan maskud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari rumusan ini jelas sekali bahwa, Pasal 156a KUHP setidaknya merumuskan dua ketentuan pidana, yang bagian inti (bestanddeel) deliknya adalah sebagai berikut:
Kesatu, “di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”;
Kedua, “di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maskud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
Kedua delik ini, bersifat alternatif dan bukan bersifat kumulatif. Artinya, suatu peristiwa boleh jadi merupakan perbuatan yang pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, tetapi tidak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maskud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau sebaliknya. Keduanya merupakan delik yang berbeda, diancamkan dalam pasal yang sama dan dengan ancaman pidana yang sama.
Dipersoalkan orang seolah-olah Pasal 156a huruf a dan huruf b KUHP adalah suatu kumulasi perbuatan karena keduanya tidak dipisahkan dengan kata “atau”. Pendapat demikian sebenarnya berpangkal tolak dari ketidakpahaman tentang teknis pembentukan rumusan tindak pidana. Dalam konteks ini, pada dasarnya perumusan delik dalam undang-undang dilakukan dengan dua cara. Pertama, ketika ancaman pidana, yang terdiri dari jenis dan jumlah pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu (strafmaaat dan strafsoort), diletakkan dibelakang rumusan perbuatan dilarangnya (stafbaar). Dalam hal ini, ketika suatu pasal memuat dua bagian inti delik sekaligus, maka keduanya harus dipisahkan dengan kata “atau”. Lihatlah Pasal 167 KUHP yang memiliki dua bagian inti delik, yaitu perbuatan “memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup”, dan kedua perbuatan “berada disitu (rumah, ruangan atau pekarangan tertutup tanpa hak”. Keduanya dipisahkan dengan kata “atau”, sehingga alternatif sifatnya. Kedua, ketika ancaman pidana, yang terdiri dari jenis dan jumlah pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu (strafmaaat dan strafsoort), diletakkan didepan rumusan perbuatan dilarangnya (stafbaar), seperti Pasal 156a KUHP ini. Dalam hal ini, dengan ancaman pidana yang sama beberapa perbuatan akan dinyatakan sebagai delik, yang kesemuanya masing-masing beridiri-sendiri. Tidak dipisahkan dengan kata “atau” masing-masing perbuatan itu, karena sebenarnya hal itu merupakan delik-delik yang berbeda. Bisa disebutkan dalam urutan: a, b, c dan seterusnya, atau ke-1, ke-2, ke-3 dan seterunya, ataupun juga 1, 2, 3 dan seterusnya. Lihatlah Pasal 363 ayat (1), Pasal 303, Pasal 303bis, Pasal 380, Pasal 383, Pasal 385 KUHP dan banyak lagi, kesemuanya terdiri dari beberapa delik yang bersifat alternatif dalam satu pasal, dan tanpa dipisahkan atau dilengkapi dengan kata “atau”. Oleh karena itu, dalam menerapkan Pasal 156a KUHP terhadap dugaaan penodaan agama yang dilakukaan pak Ahok, maka harus dipertegas, bahwa hal ini menyangkut tindak pidana sebagaimana dimaskud dalam Pasal 156a huruf a KUHP dan bukan tindak pidana sebagaimana dimaskud dalam Pasal 156a huruf b KUHP.
Selanjutnya perlu diingat bahwa Pasal 156a KUHP “bukan” pasal asli Wetboek van Strafrecht. Pasal ini baru ditambahkan ke dalam KUHP dengan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 156a KUHP diletakkan diantaara Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Kedua pasal terakhir adalah pasal-pasal penyebaran kebencian (haatzaai artikelen). Penempatan inipun sering disalahartikan oleh banyak kalangan, termasuk dikalangan ahli hukum, yang seolah-olah ada unsur diam-diam berupa perasaan “kebencian” dalam Pasal 156a KUHP. Padahal sama sekali tidak ada kata “kebencian” dalam pasal ini, dan karenanya memang sangat berbeda dengan misalnya Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP tersebut, yang memang ditujukan untuk melarang “penyebaran kebencian” itu. Hal ini perlu dipertegas, supaya tidak ada kekeliruan dalam menerapkan pasal ini. Memingat misalnya sekalipun pak Ahok dalam berbagai pernyataan apoligize menyatakan tidak bermaksud membenci ulama atau menyatakan kebencian kepada umat Islam, ulama, atau agama Islam, tetapi sesungguhnya tidak diperlukan sama sekali pembuktian adanya unsur kebencian dalam penerapan Pasal 156a KUHP tersebut.
Pasal 156a KUHP ditempatkan dalam Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum Buku Kesatu KUHP. Dengan demikian, yang dilindungi dari tindak pidana ini adalah ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Pada dasarnya dengan ini penodaan agama bukanlah kejahatan yang melukai perasaan penganut agama yang dinistakan, tetapi seharusnya yang menjadi korban adalah setiap orang berama. Mengingat dengan adanya kejahatan ini, mau tidak mau akan menimbulkan gangguan kerukunan umat beragama. Baik antar umat beragama dalam satu agama, antara penganut agama yang berbeda maupun antar penganut agama itu dengan penegak hukum, pemerintah, dan negara, yang pada gilirannya akan menggangu ketertiban umum. Hanya orang yang tidak beragama saja yang tidak merasa tersakiti ketika suatu agama dilecehkan, dihinakan, dinistakan atau dinodai. Jadi tujuan perundang-undangan berkenaan Pasal 156a KUHP ini telah terpenuhi jika suatu perbuatan menimbulkan ketegangan-ketengangan bagi kerukunan beragama di Indonesia, seperti yang terlihat dari kasus yang membelit pak Ahok ini.
Perkataan “penodaan” dalam Pasal 156a KUHP merujuk pada pengertian mengurangi atau menghilangkan kesucian atau keagungan suatu agama yang dianut di Indonesia. Pada satu sisi perkataan “agama yang dianut di Indonesia” menjadi suatu pembatasan atas ruang lingkup delik ini, sehingga hanya apabila perbuatan itu ditujukan terhadap agama Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Khongfucu. Namun sebenarnya penggunaan istilah tersebut, juga dimaksudkan untuk “mengobjektifkan” apa yang dimaksud dengan “agama” dalam hal ini. Agama direpresentasikan dengan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, Firman Tuhan atau Kitab Suci, Nabi/Rosul atau Ajarannya, Tokoh Keagamaan, Rumah Ibadah, ataupun Alat-alat dan Ritual Peribadahan. Hal ini mengingat agama Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Khongfucu semuanya memiliki komponen-komponen agama seperti itu. Oleh karena itu, apa yang disebut oleh banyak masyarakat sebagai “agama”, padahal tidak termasuk dalam pengertian agama Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Khongfucu, maka tidak bersifat penodaan atas hal itu. Pengurangan atau peniadaan kesucian atau keagungan tersebut hanya kriminal jika ditujukan kepada simbol-simbol keagamaan dari agama-agama tersebut.
Sejumlah putusan pengadilan terkait Pasal 156a KUHP juga menunjuk pada hal di atas. Penodaan Agma yang dilakukan oleh Aswendo Atmowiloto, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 09/IV/Pid.B/1991/PN.JKT.PST tertuju pada perbuatan “pengurangan keagungan Rasulullah Muhammad SAW”, dengan mempublikasi kepopuleran beliau dibawah kepopuleran Presiden Soharto dan Aswendo sendiri. Demikian pula Tajul Muluk yang divonnis bersalah dengan Putusan Pengadilan Negeri Sampang No. 69/Pid/2012/PN.SPG jo Putusaan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 481/Pidd/2012/PT.SBY dan Putusan Mahkamah Agung No. 1787K/Pid/2012, yang diantaranya tertuju pada perbuatan “pengurangan keagungan Al Quran”, karena mengingkari otensitas dan kebenaran Al Quran atau seperti sebelum kasus itu Lia Eden yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 667/Pid.B/2006/PN.JKT.PST karena menafsirkan beberapa ayat Al Qur’an menurut kehendaknya sendiri. Demikian pula dengan Rusgiani yang diputus bersalah karena menyatakan “canang sebagai menjijikkan”, padahal dirinya mengetahui “canang” adalah bagiaan peralatan dalam peribadatan umat Hindu di Bali, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasa No. 132/Pid.B/2013/PN.Dps.
Sementara itu, kata-kata yang menjadi objek perkara pak Ahok yang beredar di media sosial adalah sebagai berikut:
“…Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya…”
Kata-kata tersebut mengandung kesan “generalisasi” yang dilakukan pak Ahok terhadap orang-orang yang menyampaikan Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 51. Seolah-olah orang-orang yang menyampaikan, menjelaskan, mengajarkan, mendakwahkan, memberitahukan tentang ayat dalam Al Qur’an tersebut telah melakukan “pembohongan”. Padahal penyampaian risalah tentang ayat itu mula-mula dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW, diteruskan oleh para Ulama, Ustad atau para Guru Ngaji, yang tidak ada hubungannya dengan pemilu atau pilkada dimanapun, termasuk juga tidak ada hubungannya dengan Pilkada di DKI Jakarta. Memang boleh jadi penggunaan ayat tersebut juga dilakukan oleh para politisi atau pihak-pijak lain yang merupakan lawan-lawan pak Ahok nantinya di Pilkada DKI. Sekalipun hal ini juga out of time, karena pada waktu diucapkan pak Ahok belum menjadi Calon Gubernur yang ikut kontestasi dalam Pilkada 2017. Jadi kata-kata itu dapat dipandang mengandung generalisasi tentang adanya pembohongan yang dilakukan dengan alat atau menggunakan (“pakai”) Surat Al Maidah ayat 51. Kata-kata yang demikian itu dapat dipandang menodai kesucian dan keagungan Rasulullah Muhammad SAW, Al Qur’an, atau ajaran agama Islam yang disampaikan para ulama Islam.
Pada dasarnya apapun tafsiran Al Maidah 51 tidak mengurangi sifat penodaan yang dilakukan pak Ahok dengan kata-kata yang disampaikannya tersebut. Kalaupun maksud kata “awliyya” pada ayat itu bukan tertuju pada pemimpin pemerintahan semisal Gubernur, tetap saja hal itu tidak dapat dibenarkan, karena kata pejoratif “dibohongin” mengesankan bahwa meraka yang menyakini atau berpendapat bahwa ayat tersebut memang dimaksudkan untuk melarang memilih pemimpin dari kalangan tertentu, di-jugdement oleh pak Ahok sebagai salah, keliru, pembohongan dan lain sebagainya. Pak Ahlok telah memasuki ruang penafsiran yang sangat sensitif yang nyata-nyata bukan kompetensinya, sehingga tidak menjadi alasan untuk menyatakan hal itu bukan suatu bentuk penistaan agama.
Jalannya proses hukum terhadap kasus pak Ahok ini juga menarik untuk dicermati. Sekalipun baru penyelidikan, Polri telah mendengarkan pendapat sejumlah ahli, baik Ahli Bahasa Indonesia, Ahli Agama Islam dan Ahli Hukum Pidana. Sebenarnya berdasarkan Pasal 120 KUHP, kewenangan untuk meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus, yang dalam praktek sering disebut Saksi Ahli, merupakan kewenangan penyidik dalam penyidikan, dan bukan kewenangan penyelidik dalam penyelidikan. Pada satu sisi hal ini bisa dilihat sebagai upaya Polri untuk berhati-hati menangani perkara ini, karena menyangkut pejabat publik (non aktif), tetapi pada sisi lain maka proses ini dapat menimbulkan akibat hukum yang berbeda.
Pada dasarnya penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu “peristiwa” yang diduga suatu tindak pidana. Jadi yang dicari sebenarnya cukup apakah benar ada peristiwa yang terjadi di salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, apakah benar ada kata-kata tertentu yang disampaikan pak Ahok dalam peristiwa itu, apakah penyampaian kata-kata itu benar terdengar oleh pihak lain yang berada disitu, dan apakah benar kata-kata yang diucapkan pada Ahok dalam peristiwa itu benar seperti yang kemudian beredar di media sosial. Jika jawabannya positif untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sudah dapat dikatakan adanya “peristiwa” yang diduga suatu tindak pidana, dan bisa ditingkatkan ke dalam tahap penyidikan. Secara normatif, penyelidikan belum sampai pada tahap membuktikan apakah “peristiwa” itu tindak pidana penodaan agama atau bukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. Bahkan, penyelidikan belum perlu mendengarkan dan memeriksa ahli-ahli terkait penerapan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. Penyelidikan sama sekali bukan tahapan untuk menilai apakah pak Ahok dapat dijadikan tersangka atau tidak. Namun demikian, tampaknya setelah melakukan gelar perkara luar biasa, Polri kemudian akhirnya memutuskan untuk meningkatkan proses perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan pak Ahok sebagai tersangka, serta melakukan pencegahan yang bersangkutan pergi ke luar negeri.
Apabila katakanlah pada waktu itu Penasihat Hukum pak Ahok melakukan praperadilan terhadap proses penetapan tersangka yang demikian itu, boleh jadi akan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, mengingat penetapan tersangka dilakukan berdasarkan bukti-bukti hasil penyelidikan (bukan penyidikan) atau bahkan dapat dipandang telah dilakukan dalam tahap penyelidikan oleh penyelidik. Tambahan lagi Polri dalam pernyataan resminya, meningkatkan perkara itu ke penyidikan dan menentapkan pak Ahok bukan karena telah memiliki dua (alat) bukti sebagaimana dipersyaratkan KUHAP, tetapi karena tidak tercapai kesepakatan dikalangan penyelidik dan adanya pertentangan pendapat secara tajam dikalangan para ahli. Alasan-alasan di atas, sama sekali tidak yuridis, yang dapat melemahkan Polri jika dipraperadilankan. Namun demikian, faktanya hal itu tidak dilakukan oleh pak Ahok atau Penasihat Hukum/Kuasanya, dan sepertinya sebagai “balasan” atas hal itu penyidik Polri tidak melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan. Padahal kasus-kasus serupa di masa lalu, umumnya disertai dengan penahanan terhadap para tersangka. Apalagi demonstrasi besar-besaran umat Islam diantaranya juga menuntut hal itu. Kejaksaan Agung juga setelah menyatakan berkas pekara pak Ahok lengkap, dan menerima penyerahan tahap kedua, juga tidak melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan. Sebagai “imbalannya”, hanya beberapa jam setelah tahap dua, Kejaksaan Agung telah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dengan Surat Dakwaan yang memuat dakwaan alternatif Pasal 156a atau Pasal 156 KUHP. Proses yang berlangsung sangat cepat dari umumnya penanganan perkara pidana.
Selain itu, perlu dicermati bahwa proses hukum kasus ini seharusnya jangan semata-mata “bertumpu” pada alat bukti keterangan ahli. Seharusnya yang menjadi acuan utama adanya fakta-fakta tentang ucapan pak Ahok, dan bukan pendapat-pendapat para ahli tentang hal itu. Pada dasarnya Ahli Bahasa Indonesia hanya berwenang menjelaskan tentang arti atau makna kata-kata yang diucapkan pak Ahok secara tekstual. Pendekatannya adalah semata-mata didasarkan pada arti leksikon atas kata-kata tersebut. Selain itu, Ahli Agama Islam tentu hanya untuk menjelaskan tentang makna Surat Al Maidah ayat 51. Dengan demikian, baik Ahli Bahasa Indonesia maupun Ahli Agama Islam jangan diminta menyimpulkan atau berpendapat tentang apakah kata-kata tersebut merupakan penodaan agama atau bukan. Pada akhirnya Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan beranggotakan empat hakim lainnya, yang memberi penilaian apakah kata-kata pak Ahlok tersebut merupakan penodaan agama atau bukan. Ahli Hukum Pidana dapat membantu memberikan argumentasi bagaimana memahami ketentuan pasal yang didakwakan tersebut dalam konteks peristiwa yang terjadi. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat Ahli Hukum Pidana hanya untuk menguatkan pembuktian yang ada guna mendapatkan keyakinan hakim atas hal itu. Pada dasarnya hakim tidak terikat dengan pendapat ahli-ahli dimaksud, rasa keadilannyalah yang harus menuntunnya dalam mengambil keputusaan. Tentunya perasaan umat Islam Indonesia khususnya, dan juga bahkan umat Islam di belahan dunia yang lain, menjadi bagian penting bagi hakim dalam menemukan keadilan dalam kasus ini.
Terakhir, Majelis Hakim seyogianya nantinya juga tidak begitu saja menerima pernyataaan maaf, penjelasan bahwa tidak bermaksud untuk menista ataupun konteks politik yang seringkali dikait-kaitkan penangaan perkara ini dengan reaksi umat Islam atas ucapan pak Ahok. Kesalahan seorang terdakwa tidak ditentukan oleh maksud perbuatan seperti yang dinyatakannya, tetapi lebih kepada penilaian normatif atas perbuatannya itu sendiri. Fakta bahwa pak Ahok bukan pemeluk Agama Islam sehingga tidak cukup sensitif bagaimaana umat Islam memandang Al Quran yang didalamnya terdapat Al Maidah 51, fakta bahwa kata-kata yang diucapkannya dalam suasana kendiasan yang tidak ada hubungannya dengan kontestasi pilkada, dan fakta bahwa boleh jadi hal itu bukan kali pertama dilakukannya, menjadi isyarat yang cukup tentang patut dicelanya perbuatan tersebut. Seharusnya tidak ada keraguan tentang kesalahan (schuld) yang bersangkutan dari peristiwa ini. Wallahualam.