Senin, 9 Januari 2012 21:34 WIB
Chairul Huda:
Ketika Logika Publik & Logika Hukum Tak Bertemu Di Sandal Jepit AAL
Jaring News
Chairul Huda
Pesan moral keliru yang boleh jadi
terbentuk dari kasus AAL dan kasus serupa lain adalah 'mencuri yang kecil-kecil
tidak layak diproses hukum', serta 'hal itu harus dimaklumi dan dimaafkan
begitu saja'.
JAKARTA, Jaringnews.com - Sejauh ini, dalam
hukum pidana, pengadilan masih difungsikan sebagai satu-satunya tempat
memisahkan orang bersalah dari orang yang tidak bersalah. Tidak terkecuali bagi
AAL, 15 tahun. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan khusus
anak di Pengadilan Negeri Palu, hakim tunggal Rommel F Tampubolon berkeyakinan
remaja tersebut bersalah mencuri sandal orang lain.
Perkara ini mendapat perhatian dunia,
bukan saja karena sifat sepele dari kasus ini dan kenyataan bahwa AAL masih
anak-anak, terlebih lagi karena pelapor kasus ini adalah Briptu Pol. Ahmad
Rusdi Harahap, seorang anggota kepolisian. Akibatnya, anggapan seolah-olah
hukum Indonesia tajam terhadap rakyat kecil dan sangat tumpul terhadap para
koruptor, pengemplang pajak, pemilik rekening gendut dan obligor nakal, menjadi
benar adanya.
Tidak mengherankan, gerakan 1.000
pasang sandal--yang kenyataannya mungkin telah terkumpul lebih dari itu--untuk
Kapolri, menjadi simbol perlawanan publik terhadap official response
yang dilakukan agent of law enforcement terhadap AAL. Tak hanya itu,
gerakan ini sekaligus dukungan luar biasa terhadap sejumlah orang, terutama
AAL, yang sedang berhadapan dengan kasus hukum--yang boleh jadi koor publik
menyatakan 'release them!'.
Masalah sebenarnya tidak sesederhana
itu. Pesan moral keliru yang boleh jadi terbentuk dari kasus AAL dan kasus
serupa lain adalah 'mencuri yang kecil-kecil tidak layak diproses hukum', serta
'hal itu harus dimaklumi dan dimaafkan begitu saja', seperti halnya Bu Minah
yang beberapa waktu lalu memungut empat biji kakao dari sebuah lahan
perkebunan.
Adapun kekeliruan yang ditemukan di
sini yakni 'nilai ekonomis objek pencurian' yang menjadi ukuran, bukan 'perbuatan
tanpa hak' yang dilakukan AAL terhadap barang orang lain. Itu yang menjadi
persoalan mendasar. Betapa logika publik dan logika hukum tidak bertemu, seolah
melangkah menuju jalannya sendiri-sendiri.
Ketidakmengertian publik terhadap
logika hukum semakin menjadi, ketika dengan nada kecewa, banyak kalangan,
semisal Kak Seto dari Komnas Perlindungan Anak, mempertanyakan putusan hakim
terhadap AAL yang amarnya menyatakan 'bersalah melakukan tindak pidana
pencurian', sekalipun tidak dipidana apapun dan 'dikembalikan kepada orang
tuanya'. Amar yang paling bijaksana terhadap kasus ini pun ditolak publik,
semata-mata karena adanya perbedaan antara sandal yang disebutkan dalam surat
dakwaan dan fakta persidangan yang terbukti dari kasus pencurian tersebut.
Apakah pengadilan juga harus
membebaskan, jika ternyata fakta persidangan membuktikan AAL mencuri sepuluh
pasang sandal, sementara yang didakwakan hanya satu pasang? Apakah juga hakim
harus membebaskan jika dalam suatu sidang pengadilan seorang terdakwa terbukti
memperkosa, sementara yang didakwakan hanyalah pencabulan? Apakah seorang
koruptor harus dibebaskan jika terbukti merugikan keuangan negara sebanyak Rp
10 miliar, cuma karena yang bersangkutan didakwa seratus juta rupiah?
Surat dakwaan tidak lebih daripada
dasar pemeriksaan perkara di pengadilan, sedangkan hakim (majelis hakim)
memutus berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Dalam hal ini,
telah cukup alasan untuk menyatakan AAL bersalah melakukan tindak pidana
pencurian, jika yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan 'mengambil
barang milik orang lain secara melawan hukum', dan tidak perlu sampai sejauh
sandal yang dicurinya adalah sandal anggota polisi. Pencurian adalah 'mengambil
barang sesuatu yang bukan miliknya secara tanpa hak', dan bukan melulu mengenai
sandal merek Eiger ukuran 43 tersebut.
Bahwa hukum Indonesia masih jauh dari
usaha mewujudkan keadilan, itu benar adanya, tetapi keadilan itu tidak didikte
oleh kemauan publik, pers, LSM, Facebooker dan lain-lain. Stakeholder
hukum pidana adalah pelaku, korban, masyarakat dan negara. Keadilan yang
dituntut bukan untuk salah salah satunya, tetapi untuk semua. Membela AAL bukan
masalah, tetapi tidak mengabaikan hak Briptu Ahmad sebagai pelapor. Dan,
menggalang gerakan 1.000 pasang sandal, 1.000 biji kakao, 1.000 buah semangka,
ataupun jika mau 1.000 unit BlackBerry sekalipun, sah-sah saja, tetapi hormati
putusan Hakim Tampubolon.
Justice for all, merupakan tuntutan
keseluruhan proses dan prosedur hukum pidana, yang kalaupun, sekali lagi
kalaupun AAL dihukum, bukan karena dia mencuri sepasang sandal merek Eiger atau
merek Ando, melainkan supaya sandal-sandal lain tidak dicuri, apapun mereknya
dan berapapun nomor ukurannya. Keadilan yang dituntut bukan sekedar keadilan
prosedural, substansial, ataupun restoratif, tetapi keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Masalah sebenarnya adalah,
'kemisikinan' hukum Indonesia atas mekanisme penyelesaian 'trivial cases'
yang masih mengandalkan lembaga peradilan (Criminal Justice System),
termasuk pengadilan anak, seperti proses yang dilakukan terhadap AAL. Mediasi
penal belum bersifat imperatif dalam kasus seperti ini, hanya alternatif yang
bersifat fakultatif. Kesepakatan perdamaian, terutama pelaku dan korban, menjadi
satu-satunya sandaran dalam mewujudkan keadilan, dan out of court settlement
in criminal cases masih bersandarkan police discretion dan bukan statutory
order.
Kuncinya ada pada politisi Senayan,
dalam kerangka mendesak mengeluarkan legislative policy terhadap pengadilan
anak (perlindungan anak), dan dalam kerangka yang lebih luas memuluskan penal
reform, melalui penyetujuan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai undang-undang.
DR. Chairul Huda, SH., MH, Penasihat Ahli
Kapolri Bidang Hukum
(adm / Nky)