oleh:
Dr. Chairul Huda, SH., MH
(Ahli Hukum Pidana)
Yang
Mulia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang
Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang
Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin
yang berbahagia.
|
Dr. Chairul Huda, SH. MH. |
Perkenankanlah saya
dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan
berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat
(1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan
Pasal 139 KUHAP yang diuji konstitusionalitasnya, merupakan ketentuan
yang mengatur berbagai permasalahan dalam Hukum Acara Pidana, sehingga termasuk
bidang keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan
utamanya saja, yaitu beberapa masalah dalam pra penuntutan.
Pendapat saya ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu: pertama,
berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP. Kedua,
berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 109 ayat (1) KUHAP, dan ketiga,
berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139
KUHAP. Pembagian demikian, karena pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut
berkaitan satu sama lain dan atau setidak-tidaknya menyangkut persoalan yang
berkaitan sehingga harus dipahami dalam satu perspektif. Pendapat yang saya
ajukan lebih banyak berkenaan dengan pemaknaan ketentuan-ketentuan tersebut
dalam ranah filosofis, teoretis maupun sosiologisnya, sehingga diharapkan
membantu Mahkamah dalam mengambil keputusan terkait dengan permohonan judicial review tersebut.
Konstitusionalitas
Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP
Secara
sederhana prapenuntutan dapat diartikan sebagai tahap dalam proses perkara
pidana, dimana dalam berkas perkara bolak-balik dari penyidik kepada penuntut
umum dan sebaliknya. Sesungguhnya hal ini merupakan kelaziman, mengingat tidak
selalu berkas perkara yang dipersiapkan oleh penyidik, dipandang (telah) lengkap
oleh penuntut umum. Disamping itu tugas penyidik yang semata-mata menemukan factual guilt dari tersangka, belum
tentu dipandang “cukup” oleh penuntut umum yang harus memformulasi hal itu
dalam konstruksi yuridis, sehingga dapat dengan terang tergambar legal guilt dari pelaku tindak pidana
tersebut. Selebihnya, prapenuntutan merupakan mekanisme kontrol horizontal,
dari penuntut umum terhadap penyidik, begitu pula sebaliknya, sehingga penyidik
dan penuntut umum dapat memainkan perannya secara maksimal dan proporsional
pada masing-masing subsistem.
Dalam Pasal 14 huruf b KUHAP prapenuntutan dirumuskan secara
fakultatif, dan bukan bersifat imperatif. Artinya, penggunaan kewenangan ini
dilakukan “apabila diperlukan”, dan tidak sebagai suatu kewajiban yang “selalu”
dilakukan penuntut umum. Sebenarnya hal ini merupakan manifestasi dari penempatannya
sebagai “wewenang” dan bukan “tugas” atau “kewajiban”. Kewenangan memang dari sananya
bersifat demikian, yaitu digunakan dimana perlu. Dengan demikian, dalil Pemohon
yang menghendaki agar sifat fakultatif dari ketentuan tersebut dicabut, dan
menjadikan prapenuntutan sebagai keharusan yang dilakukan penuntut umum
terhadap berkas perkara yang disampaikan penyidik, justru telah “keluar” dari
makna “wewenang” itu sendiri. Dari sisi ini permohonan Pemohon sama sekali
tidak berdasar.
Tambahan
lagi sejatinya dikembalikan atau tidak suatu berkas perkara oleh penuntut umum
kepada penyidik, sifatnya kasuistis. Tidak benar jika penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara yang disampaikan penyidik, lalu dikatakan penuntut
umum telah bertindak “pasif” dalam hal ini. Pada dasarnya pasif atau tidak,
bukan ditentukan oleh dikembalikan atau tidak dikembalikannya berkas, tetapi
sejauhmana penelaahan penuntut umum terhadap berkas dimaksud. Hal ini
dikarenakan dalam Pasal 139 KUHP ditentukan: “setelah penuntut umum menerima
atau menerima kembali berkas perkara yang lengkap dari penyidik, ia segera
menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat
atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Artinya, berkas perkara yang lengkap
saja yang dapat diterima oleh penuntut umum, yang didalamnya menunjukkan adanya
penilaian aktif terhadap berkas perkara yang disampaikan oleh penyidik. Dari
sini sifat kontrol aktif penuntut umum tetap terlaksana sekalipun berkas
perkara langsung dinyatakan lengkap atau tidak dikembalikan kepada penyidik
untuk dilengkapi, sehingga sangat tergantung dari keadaan berkas itu kasus per
kasus. Oleh karena itu sama sekali tidak berdasar Pemohonan aquo, dalam bagian ini.
Berdasarkan
hal di atas, permohonan Pemohon yang meminta agar frasa “apabila ada kekurangan
pada penyidikan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan
dengan Konstitusi, merupakan dalil yang sama sekali tidak beralasan, karena
bertentangan dengan hakekat hal itu sebagai “wewenang” penuntut umum dan tidak
memberi keleluasaan peran aktif penuntut umum untuk mengarahkan proses
penyidikan sehingga dapat mengkonstruksi
legal guilt tersangka berdasarkan
hasil penyidikan yang menggambarkan factual
guilt-nya.
Sementara itu, Pasal 14
huruf i KUHAP sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan prapenuntutan.
Ketentuan ini merupakan pasal blanko yang disediakan untuk mengantisipasi
kebutuhan praktek penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Ketentuan yang sama
juga terdapat pengaturan kewenangan penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 huruf j KUHAP. KUHAP tidak lagi menempatkan penyidik sebagai hulp magistraat, melainkan berdiri
secara horizontal sejajar dengan penuntut umum, dengan tugas dan kewenangannya masing-masing,
sehingga ketentuan ini sama sekali tidak dimaksudkan seperti apa yang
didalilkan Pemohon.
Permohonan Pemohon yang
meminta Pasal 14 huruf i KUHAP dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi
kecuali ditafsirkan “meliputi melengkapi berkas perkara tertentu dengan
melakukan pemeriksaan tambahan” merupakan kekeliruan fatal Pemohon, tentang
apakah yang dimaksud pembentuk undang-undang dari ketentuan tersebut.
Sebenarnya penjelasan Pasal 14 huruf i KUHAP yang menentukan yang dimaksud
“tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti
dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,
penuntut umum dan pengadilan”, telah menegaskan bahwa penerapan pasal ini tidak
boleh mengabaikan prinsip diferensiasi fungsional. Dengan memberi tafsiran
seperti yang dimohonkan Pemohon justru telah mengaburkan batas-batas antara
penyidikan dan penuntutan, yang secara mutatis
mutandis justu telah mengaburkan atau menghilangkan fungsi prinsip
diferensiasi fungsional yang menjadi asas fundamental KUHAP. Dengan kata lain, “meliputi melengkapi berkas
perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan” bukanlah termasuk makna
“tindakan lain” yang telah diisyaratkan dalam penjelasan pasal dimaksud, yaitu:
“meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara
tegas batas wewenang dan fungsi antara
penyidik, penuntut umum dan pengadilan”
Konstitusionalitas
Pasal 109 ayat (1) KUHAP
Pasal 109 ayat (1) KUHAP
juga bagian dari mekanisme kontrol horizontal penuntut umum terhadap penyidik.
Dalam istilah praktek, hal ini merupakan kewajiban penyidik menyampaikan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, sehingga sejak
dimulainya penyidikan, hal itu “dalam
pengendalian” penuntut umum. Dengan demikian, sama sekali tidak benar jika
Pemohon mendalilkan ketentuan ini tidak dengan jelas menyebutkan kapan SPDP
disampaikan, tetapi disampaikan “segera” setelah dimulainya penyidikan.
Artinya, pada kesempatan pertama ketika telah ada surat perintah penyidikan
(sprindik).
Dalam prakteknya, memang kadangkala
SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung “cukup” lama. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kendala geografis, dan kendala
teknis, yaitu tingkat kerumitan perkara dimaksud, yang menyebabkan sudah dalam
tahap penyidikanpun masih diperlukan
pendalaman tentang anatomy of crime
yang terjadi. Sedangkan kendala yuridisnya justru dalam SPDP itu mengharuskan
telah menyebutkan seseorang sebagai tersangkanya. Padahal untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka, diperlukan dua alat bukti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 184 KUHAP, sehingga diperlukan waktu untuk memastikan hal itu.
Berdasarkan hal ini, sama
sekali tidak berdasar jika Permohonan dalam perkara ini menyatakan Pasal 109
ayat (1) KUHAP tidak konstitusional karena dengannya tidak terdapat kontrol
horizontal penuntut umum terhadap penyidik. Menyadari adanya kendala geografis,
teknis dan yuridislah yang menyebabkan pembentuk
KUHAP tidak menyebutkan secara definitif tentang waktu kapan SPDP disampaikan
penyidik kepada penuntut umum. Oleh karena itu, penggunaan istilah “segera”
disini sangat wajar, konstitusional dan menyadari akan problematika yang ada. Justru
jika dibakukan, misalnya 1 (satu) hari setelah ada sprindik atau pada saat yang
bersamaan dengan penerbitan sprindik, dapat melanggar hak-hak seseorang, yaitu
ditetapkan sebagai tersangka “secara tergesa-gesa” dan “tidak didasarkan dua
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP”, seperti diperintahkan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang lain. Oleh karena itu, memberi tafsir
ketentuan ini seperti yang dikehendaki Pemohon, justru lebih banyak sisi
negatifnya, yang dapat melanggar hak-hak seseorang, atau hak-hak tersangka,
yang penegasan perlindungannya juga telah dinyatakan dalam Konstitusi atau
bahkan sangat tidak realistis melihat betapa luasnya Indonesia dengan beragam
karakteristik tempat, termasuk kantor penyidik dan penuntut umum yang boleh
jadi berada dalam jarak yang tidak dapat ditempuh dalam satu hari.
Konstituionalitas
Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139 KUHAP
Pada dasarnya jika dipahami
secara tepat Pasal 138 ayat (1) dan (2) dan Pasal 139 KUHAP, tidak ada
norma yang tidak memberi kejelasan
tentang berapa kali berkas perkara dapat bolak-balik dari penyidik kepada
penuntut umum dan begitu sebaliknya. Normanya cukup jelas, bahwa yang
ditetapkan oleh penuntut umum sebagai berkas perkara yang memenuhi persyarataan
untuk dapat dilimpahkan atau tidak ke
pengadilan adalah “berkas perkara yang lengkap”. Jadi ukurannya adalah berkas
perkara yang lengkap itu. Mengingat penilaian itu menjadi kewenangan penuntut
umum, maka pada satu sisi, hal ini sangat tergantung dari pendirian yang
bersangkutan dalam kasus konkrit. Jadi persoalan ini, sama sekali bukan
persoalan norma yang dapat diuji konstitusionalitasnya, melainkan wilayah
penerapan dari norma itu dalam alam kenyataan.
Tambahan lagi jika dibaca
secara seksama, bahwa berkas dinyatakan lengkap oleh penuntut umum ketika
pejabat itu “menerima” atau “menerima kembali” berkas itu dari penyidik,
cenderung harus ditafsirkan sebagai berikut:
1) Penuntut
umum yang “menerima” berkas perkara dari penyidik langsung menyatakan berkas
tersebut telah lengkap;
2) Penuntut
umum yang “menerima kembali” berkas perkara dari penyidik setelah dilengkapi sesuai
petunjuk yang diberikan berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP;
Dengan demikian, berkas perkara hanya satu
kali dapat dikembalikan disertai petunjuk
oleh penuntut umum kepada
penyidik, dan setelah itu berdasarkan Pasal 139 jo Pasal 140 KUHAP penuntut
umum harus menentukan apakah akan melakukan penuntutan dengan membuat surat
dakwaan dan melimpahkan perkara itu ke pengadilan, atau menghentikan
penuntutan. Demikian, jika ditafsirkan demikian, maka permohonan Pemohon cukup
beralasan untuk dikabulkan. Dalam hal ini menafsirkan bolak baliknya berkas
perkara dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2) jo Pasal 139 KUHP “hanya berlangsung
1 (satu) kali”.
Demikian pendapat saya.
Wallaualam.