Oleh: Dr. Chairul Huda, S.H.,
M.H.
Umum
1.
Urgensi
revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU
Kepolisian)
a.
Kepentingan revisi UU
Kepolisian harus juga diletakkan dalam konteks reformasi Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, mengingat salah satu fungsi Polri adalah sebagai “penegak
hukum”. Dalam hal ini, Polri tidak dapat dipandang semata-mata pelaksana fungsi pemerintahan, tetapi juga
merupakan badan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
b.Pelaksanaan
fungsi Polri sebagai Penegak Hukum menempatkan lembaga ini bukan bagian dari
kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden,
tetapi menjelma menjadi bagian dari kekuasaan
yudikatif yang merdeka dan independen, dengan terbebas dari pengaruh kekuasaan
manapun juga. Oleh karena itu, patut dipertanyakan “tempus” dari pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
UU kepolisian (RUU) ini, mengingat sekarang ini sedang dibahas DPR dan
Pemerintah RUU KUHP, yang nantinya harus pula diikuti dengan pengajuan RUU
KUHAP. Dengan demikian, RUU Perubahan UU Kepolisian seharusnya diajukan
“setelah” RUU KUHP dan RUU KUHAP ditetapkan sebagai undang-undang;
2.
Perubahan
atau Penggantian UU Kepolisian
a.
Secara keseluruhan
RUU mengadakan perubahan beberapa konsepsi yang bersifat fundamental, seperti
berkenaan dengan kedudukan kelembagaan
Polri dalam sistem ketatanegaraan, pengisian jabatan Kapolri, prinsip tata
kelola dan pelaksanaan fungsi dan tugas, serta reposisi kedudukan Kompolnas.
Oleh karena itu, RUU ini sebenarnya lebih tepat sebagai RUU yang mengganti UU
Kepolisian dan bukan revisi hal itu.
b.
Tambahan lagi
beberapa perubahan yang lebih merupakan
perbaikan kebahasaan dan teknik perundang-undangan, juga turut direvisi,
sehingga telah merubah hakekat undang-undang tersebut secara keseluruhan, dan
karenanya kalaupun hal ini dilakukan tidak lagi bersifat perubahan semata;
Khusus
3.
Kedudukan
Polri dalam Sistem Pemerintahan Negara
a.
Pada dasarnya suatu
UU seperti layaknya “bejana berhubungan”, dimana perubahan suatu ketentuan akan
berpengaruh pada ketentuan yang lain. RUU tampaknya mengadakan perubahan teknis
perundang-undangan, tetapi hal itu justru menjadi “mengganggu” karena “tidak
bersambungan” satu sama lain secara sistemis. Misalnya Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 1 angka 1 RUU yang pada
dasarnya keduanya berisi “pengertian” dari Polri, yang dalam hal ini
menggunakan pendekatan peran (role
approach). Apabila disandingkan, revisi yang diusulkan justru membuat
hal ini tidak selaras atau bahkan duplikasi yang tidak sama. Dalam hal ini
ditentukan:
Pasal 1 angka 1 RUU
“…Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri”
Pasal 2 ayat (1) RUU
“Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat”
b.
Dalam RUU, posisi
Polri tampaknya ingin “didegradasi” menjadi tidak lagi langsung “dibawah
Presiden”. Dalam Pasal 9 ayat (1) RUU, Kapolri hanya ditempatkan “penanggung jawab penyelenggaraan”
fungsi dan tugas Polri, sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum, dan bukan lagi
sebagai “policy maker”, seperti yang
ditentukan dalam Pasal 2 UU Kepolisian, yang bertanggung jawab “menetapkan” menyelenggarakan” dan
“mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) RUU ini menjadi “pintu masuk” untuk menempatkan Polri
di bawah kementerian negara. Padahal posisi Polri berada langsung dibawah
Presiden, bukan hanya didasarkan pada UU Kepolisian itu sendiri, tetapi lebih
jauh lagi hal itu merupakan pelaksanaan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR
No. VI/MPR/200 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000
tentang Fungsi dan Peran TNI dan Polri. Dengan demikian, Polri di bawah Presiden, sebagai “norma Konstitusi”,
yang hanya dapat diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan tidak
dapat diubah melalui
undang-undang, bentukan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk
RUU Perubahan UU kepolisian ini. Dengan kata lain, hanya perubahan Konstitusi
yang dapat merubah kedudukan Polri, dari berada dibawah langsung Presiden,
menjadi dalam kedudukan lainnya, seperti dibawah lembaga tinggi Negara lain
atau bahkan dibawah suatu kementerian negara;
c.
Meskipun demikian, kedudukan
Polri versi Konstitusi dan UU Kepolisian tersebut sangat unik, karena tidak menyebabkan Presiden
mempunyai kewenangan untuk melakukan “intervensi” terhadap proses hukum yang
sedang berlangsung, yang diselenggarakan Polri. Mengingat jika dilakukan hal
itu bertentangan dengan Konstitusi dan Sumpah Jabatannya, misalnya dengan
mengartikan kedudukan
tersebut juga dimaknai dalam pelaksanaan fungsi Penyidik (Polri), maka berada
“dibawah Presiden” menyebabkan kekuasaan eksekutif dapat menentukan kelangsungan atau
penghentian suatu proses hukum. Konstruksi ini menyebabkan makna kemerdekaan
dan kemandirian proses penegakan hukum itu menjadi kabur, bahkan hilang sama
sekali;
d.
Polri karenanya tidak
dapat dan tidak boleh berada dibawah Presiden dalam pengertian yang sama dengan
kedudukan Kementerian Negara apalagi dibawah suatu kementerian negara.
Artinya, kalaupun dibentuk kementerian dibidang keamanan yang menterinya
dijabat oleh Kapolri, hal itu tidak dimungkinkan secara konstitusional. Kapolri tidak boleh merangkap Menteri pada
Kementerian Kamtibmas, karena hal itu
menyebabkan penegakan hukum menjadi murni urusan pemerintahan. Amanat
Konstitusi yang menempatkan Kapolri dibawah Presiden secara langsung hanya
dalam hubungannya dengan “urusan pemerintahan dibidang keamanan”, tetapi bukan
sama sekali dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penegakan hukum pidana melalui
Sistem Peradilan Pidana;
4.
Asas-asas
Pelaksanaan Fungsi dan Tugas Polri
a.
Pasal 2A RUU pada
dasarnya memuat ketentuan baru tentang asas-asas yang harus diperhatikan dalam “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan”
kebijakan teknis kepolisian serta pelaksanaan fungsi dan tugas Polri. Dalam hal ini dtentukan:
Pasal
2A
Polri
dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berlandaskan pada asas:
a.
profesionalitas;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas; dan
d.
netralitas.
b.
Tampaknya konseptor RUU kurang “memahami” konsepsi teoretis hubungan
asas dan aturan Hukum dalam suatu norma UU. Ada baiknya dipelajari
tulisan-tulisan dari Paul Scholten, Ronald Dworkin atau Roeslan Saleh mengenai hal ini. Pada
dasarnya para ahli terkemuka itu menyatakan bahwa asas hukum adalah
“pikiran-pikiran yang berada didalam atau dibelakang suatu aturan hukum”.
Jadi penormaannya bukan dengan “menyebutkan” asas-asas dimaksud tetapi dengan
membuat norma aturan yang mengandung atau menegaskan berlakunya suatu asas
hukum. Oleh karena itu, justru seharusnya substansi “penjelasan” Pasal 2A RUU
yang “diangkat” menjadi norma, dan penamaan asas-asas itu justru yang
ditempatkan dalam penjelasan. Dengan demikian, sebaiknya hal ini dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal
2A
Pelaksanaan fungsi dan tugas Polri dilaksanakan:
a.
berdasarkan keahlian, kapabilitas, dan sumpah
sebagai Pimpinan, Pejabat dan Anggota Polri, serta senantiasa menjaga keluhuran
dan kredibilitas Polri;
b.
secara terbuka, responsif, dan memudahkan akses informasi
bagi masyarakat;
c.
dengan bertanggung jawab penuh, baik secara etik, disiplin,
maupun hukum dan peraturan perundang-undangan.
d.
dengan berpegang pada kebenaran, tidak memihak,
bebas intervensi, antidiskriminasi, dan menjunjung tinggi hukum demi terwujudnya
keadilan bagi setiap warga negara.
Penjelasan Pasal 2A
Pada
dasarnya ketentuan memuat asas-asas yang harus diperhatikan dalam “menetapkan”
menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian serta
pelaksanaan fungsi dan tugas Polri.,
yaitu:
a.
profesionalitas;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas; dan
d.
netralitas.
5.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Kapolri
a.
Pasal 10A dan 11 RUU
“membalik” kewenangan pengangkatan Kapolri dari executive heavy menjadi legislative
heavy. Setidaknya, pada dasarnya ketentuan ini menyebabkan Presiden
“tersandera” DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam hal ini
tergambar dengan jelas dari ketentuan Pasal 10A ayat (3), (4) dan (5) RUU, yang menentukan:
Pasal 10A
(3) Sebelum
mengusulkan pengangkatan Kapolri kepada DPR, Presiden terlebih dahulu
mengusulkan pemberhentian Kapolri kepada
DPR beserta alasan dengan memperhatikan pertimbangan dari Komisi Kepolisian Nasional.
(4) Persetujuan
atau penolakan DPR terhadap usul pemberhentian Kapolri oleh Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR.
(5) Jika
DPR menolak usul pemberhentian Kapolri maka Presiden menarik kembali usulannya
dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada
masa persidangan berikutnya.
b.
Pada dasarnya pemberhentian
Kapolri semata-mata harus ditempatkan sebagai bagian dari hak prerogatif
Presiden, dan bukan sebagai “syarat” pengangkatan Kapolri.
Pemberhentian Kapolri merupakan konsekuensi logis dari kehendak Presiden untuk
menunjuk Kapolri “baru” dan karenanya Kapolri “lama” harus diberhentikan.
6.
Hubungan
Penyidik Polri dan PPNS
a.
Pasal 15 ayat (2)
huruf j dan l RUU menegaskan kembali hubungan Penyidik Polri PPNS yang oleh
berbagai undang-undang telah dibuat “merenggang”. Hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS
PPNS dan PPNS khas yang telah diatur dalam KUHAP telah diabaikan oleh pembentuk
UU sendiri dalam berbagai produknya. Pola umum hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS
dan PPNS berangsur-angsur dikecualikan atau dikesampingkan oleh praktek, termasuk oleh swa regulasi yang dibuat oleh
Kejaksaan. Dampak hal ini antara lain:
1)
Penegakan hukum yang
dilakukan oleh PPNS yang tidak terlebih dahulu menjalankan koordinasi dengan
Penyidik Polri dapat berakibat fatal jika mendapatkan resistensi dari
masyarakat atau perlawanan dari para kriminal;
2)
Adanya tindak pidana-tindak pidana yang murni
menjadi kewenangan PPNS, dan undang-undang tidak memberikan kewenangan
penyidikan tindak pidana-tindak pidana tersebut kepada Polri, menimbulkan rechtsvacuum, dalam bentuk keabsenan
negara melakukan tindakan penegakan hukum, jika PPNS tersebut belum terbentuk.
Misalnya, tindak pidana-tindak pidana yang menjadi kewenangan PPNS Kereta Api,
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian, yang sejauh pengetahuan
penulis hingga kini belum terbentuk.
3)
Penyerahan berkas perkara dari PPNS yang diserahkan ke
Penuntut Umum tidak melalui penyidik Polri, padahal sesuai ketentuan dalam
Pasal 107 ayat (3) KUHAP menyebutkan PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang
telah selesai kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;
4)
Penyidik Polri tidak
pernah menerima turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan yang
dikirim Penuntut Umum ke pengadilan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Akibatnya
Penyidik Polri juga tidak bisa melakukan pengawasan kepada PPNS yang
“menyerahkan langsung” Berkas Perkara kepada Penuntut Umum, selain juga
menyebabkan Penyidik Polri tidak dapat mengikuti perkembangan proses penuntutan
perkara PPNS tersebut di pengadilan;
5)
Dalam hal PPNS
membutuhkan bantuan dalam penyidikan, maka kedudukan Penyidik Polri sebagai
KORWAS PPNS seharusnya dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan
kewenangan PPNS;
6)
Kedudukan Polri
sebagai KORWAS PPNS juga terkait dengan kerjasama internasional penegakan hukum
(mutual legal assistance) yang selama ini lebih efektif dilakukan
dengan cara informal melalui kerja sama police
to police.
b.
Persoalan
“meregangnya” hubungan antara PPNS dengan Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS,
seharusnya diatasi dengan membangun sinkronisasi. Mengingat hal ini juga wujud
dari terfragmentasinya sistem atau subsistem yang dapat berakibat pada
penurunan daya guna dan hasil guna penanggulangan kejahatan, baik substansi, struktural maupun kultural.
Persoalan pokok mengenai hal ini perkembangan yang hendak diusung oleh RUU ini
justru tidak sejalan dengan RUU KUHAP, yang membagi dan menjadikannya sebagai
masing-masing penyidik yang independen, Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik
Lembaga.
7.
Reposisi
Kompolnas
a.
Tidak disangsikan
lagi jika ketentuan tentang Kompolnas dalam UU Kepolisian sangat sumir bahkan bersifat lips service semata. Oleh karena itu empowerment Kompolnas yang dimuat dalam
Pasal 37, 38, 38A, 38B, 39, 39A dan 39B
RUU merupakan perkembangan positif.
b.
Kompolnas sebenarnya
harus didorong menjadi Komisi Kepolisian yang berada disetiap Polres, sehingga
dapat berfungsi sebagai police complaint
committee.
c.
Beberapa hal yang
seharusnya secara tegas menjadi kewenangannya dalam menjamin adanya
akuntabilitas publik proses penegakan hukum. Baik pelaksanaan penyidikan,
penuntutan maupun pemeriksaan didepan pengadilan. Misalnya, menurut Roslyn
Muraskin dan Albert R. Robert setiap lembaga kepolisian dituntut
akuntabilitasnya setidaknya terhadap hal-hal sebagai berikut:
1)
penggunaan kekuatan
bersenjata/kekerasan;
2)
keputusan menangkap
dan menahan tersangka;
3)
hasil tes penggunaan
narkotika dan zat psikoaktif lainnya;
4)
hasil dengar pendapat
dan promosi pejabat kepolisian;
5)
diskriminasi
berdasarkan ras, jenis kelamin atau usia;
6)
pembukaan catatan
rahasia (termasuk rahasia bank) dan privacy
7)
manajemen rumah
tahanan