Oleh : Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Pengantar
|
Ahli Hukum Pidana FHUMJ |
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut UU No. 32 Tahun 2009), menentukan:
“Setiap
orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola B3 dan/atau menimbulkan acaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
membuktikan unsur kesalahan.”
Sementara itu, ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (selanjutnya disebut UU
No. 41 Tahun 1999), menentukan:
“Pemegang
hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya.”
Ketentuan-ketentuan di atas, seringkali menjadi dasar berlakunya
“tanggung
jawab mutlak (strict liability)” dalam pertanggungjawaban
pidana.
Konsep strict liability merupakan hal “baru”
dalam sistem hukum Indonesia, bahkan umumnya di negara-negara yang mewarisi
sistem hukum Eropah Kontinental, kecuali
dalam hal pelanggaran, karena
sebenarnya konsep ini mula-mula hanya ada di
common law system. Hal ini menyebabkan pemahaman sementara kalangan
terhadap hal ini, baik para pakar maupun praktisi, apalagi di kalangan penegak
hukum dan hakim, belum cukup solid,
masih meraba-raba tentang hal ini. Akibatnya, penerapan ketentuan di atas kerapkali menimbulkan
persoalan ketidakadilan, karena adanya permintaan tanggung jawab secara hukum
lebih daripada apa yang seharusnya dipikul yang bersangkutan (versarii in reillicita).
Terutama terhadap mereka
yang kemudian dituntut secara pidana atas pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup atau hutan, juga dipandang harus bertanggung jawab karena “perbuatan
orang lain yang tidak ada hubungannya dengannya”. Diantaranya, kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena kegiatan atau perbuatan masyarakat
atau oknum tertentu yang menggunakan “kelonggaran”
yang diberikan Penjelasan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (melakukan pembakaran lahan dengan luas
lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan
dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah
sekelilingnya),
yang kemudian dipersalahkan dan dibebankan berdasarkan
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap perusahaan-perusahaan yang areal kegiatannya
menjadi rembetan kebakaran hutan dan lahan tersebut. Padahal jika begitu kasus
posisinya, perusahaan-perusahaan tersebut justru berposisi sebagai “korban”
karena mengalami
kerugian finansial yang tidak sedikit, berupa kehilangan aset berupa
tanaman, dan mesti mengeluarkan biaya-biaya tambahan, seperti biaya penanaman
ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi
aset baru.
Mengacu pada hal di atas, sepertinya
pemahaman tentang strict liability yang
harus diluruskan, terutama
berkenaan pasal dan ayat a quo yang mudah sekali ditafsirkan secara keliru, sehingga problem
implementasi yang menimbulkan
ketidakadilan, dapat ditekan seminimal mungkin. Penerapan strict liability
karenanya tidak boleh
bertentangan atau setidaknya harus sejauh mungkin sejalan dengan maksud
perumusannya semula (original intent).
Diabaikannya hal ini pada gilirannya juga akan menabrak Pasal
28D Ayat (1) UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa seharusnya negara, dengan undang-undang yang
ditetapkannya, mampu memberikan “pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum” kepada setiap orang.
Pemahaman tentang pertanggungjawaban mutlak (strict
liability) yang tidak tepat, tentunya berdampak pada kekeliruan penerapannya, yang boleh jadi dengan
alsan-alasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman menimbulkan disparitas disana
sini.
Strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund
atau
tatbestand ausdehnungsgrund
Ketika konsep strict liability ditelaah lebih
mendalam, maka sedikitnya ada dua pandangan yang saling bertolak belakang
tentang hal ini. Pertama, sebagian pakar menyatakan bahwa
pertanggungjawaban berdasar tanggung jawab mutlak adalah pertanggungjawaban
pidana tanpa kesalahan (liabilitiy
without fault). Dengan demikian, konsep ini adalah konsep Hukum Pidana
Materiel, yaitu seseorang dikatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana (actus reus) sekalipun tidak ada niat
jahat atau kesalahan pada dirinya (mens
rea). Kedua, strict liability
dipandang sebagai konsep Hukum Pidana Formiel, yaitu kegiatan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup
maupun kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya menjadi tanggung
jawabannya, tanpa lebih jauh membuktikan pembuktian unsur kesalahan.
Kesalahan (mens rea) yang
bersangkutan tetap ada dan harus ada, hanya saja dianggap telah terbukti
adanya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.
Penggunaan pandangan
pertama menyebabkan titik berat persoalan menjadikan strict liability sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund). Artinya, ketika
akibat yang dilarang telah timbul, maka ketentuan strict liability memperluas pertanggungjawaban pidana atas hal itu,
terhadap siapapun yang ditentukan, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah ada
kaitan yang wajar antara akibat dimaksud dengan perbuatan atau aktivitas yang
bersangkutan. Tidak mengherankan ketika sejumlah pihak dipandang bertanggung
jawab atas akibat kebakaran hutan/lahan,
pencemaran lingkungan, terlampaui batas baku mutu udara, yang timbul di areal
yang menjadi tempat kegiatannya, walaupun tidak ada kontribusi kelakuan yang nyata
terhadap hal itu dari yang bersangkutan.
Berdasarkan penafsiran
pertama, Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan
kehutanan/perkebunan yang arealnya terbakar, karena sebab apapun.
Perusahaan-perusahaan itu dipandang bertanggung jawab atas akibat yang timbul
atas dasar strict liability,
sekalipun hal itu bukan sebagai bagian mata rantai kegiatan usahanya. Kenyataan
bahwa api bukan berasal dari kegiatan perusahaan-perusahaan itu, dan upayanya
bahu membahu dengan masyarakat dan aparat negara memadamkan api, tidak menjadi
pertimbangan. Pendeknya, mereka dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas
hal itu. Disini sebenarnya strict
liability diterapkan sebagai absolut
liability.
Pandangan kedua
menyebabkan strict liability adalah
problem pembuktian semata, dan sama sekali bukan masalah perluasan
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada syarat-syarat dapat
dikenakannya pidana bagi seseorang, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) dan kesalahan (mens rea). Hanya saja persoalan mens rea dipandang telah ada tanpa harus
dibuktikan lebih jauh kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Persoalannya, bagaimana
kemudian seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam
konsep strict libality, nah disini
pembuktian bahwa adanya kelakuan yang memenuhi isi rumusan larangan undang-undang
dan adanya akibat yang timbul dari kelakuan yang dilarang itu, menjadi syarat
mutlak. Dalam keadaan tertentu kelakuan
dan akibat itu tidaklah perlu karena adanya perbuatan fisik secara langsung
dari yang bersangkutan, tetapi cukup dengan adanya hubungan tertentu dengan pelaku
materielnya menyebabkan orang (perseroangan atau korporasi) juga dipandang
sebagai perbuatannya. Oleh karena itu, strict
liability adalah konsep tentang tatbestand
ausdehnungsgrund, yaitu perluasan pengertian perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, hal ini
menyebabkan perlu penyesuaian-penyesuaian tentang konsep perbuatan (actus reus),
supaya pertanggungjawaban tetap berdasar pada kesalahan (liability based on fault). Perbuatan
orang-orang dalam lingkungannya dimana yang bersangkutan bertanggungjawab
dalam pengelolaan kegiatan dengan
keterlibatan orang-orang itu, dipandang juga sebagai perbuatannya. Dengan
demikian, pengaturan mengnai adanya hubungan-hubungan ini menjadi penting,
supaya memenuhi syarat lex scripta, lex stricta dan lex certa. Disini strict
liability diartikan sebagai strict
liability crime.
Strict liability apakah dapat diterapkan
pada manusia
atau hanya bagi korporasi
Persolan lain terkait penerapan
strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund diperparah dengan desain rumusan delik dalam
umumnya peraturan perundangan, yang masih melulu dirancang untuk pembuat
manusia. Akibatnya, seseorang dipandang bertanggung jawab secara mutlak
terhadap kejadian-kejadian atau akibat-akibat
yang terjadi atau timbul dalam ruang lingkup pekerjaannya dan bukan
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya atau perbuatan-perbuatan
orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Walaupun tidak ada
kehendak pribadi dari yang bersangkutan atas terjadinya atau timbulnya
akibat-akibat dimaksud.
Semula di lingkungan common law, konsep strict liability diterapkan bagi korporasi, di Indonesia justu banyak
diterapkan bagi individu. Padahal seharusnya tidak demikian, penerapan strict liability dalam delik dibidang lingkungan hidup,
kehutanan dan perkebunan, seharusnya diterapkan bagi korporasi saja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009,
yang menentukan bahwa pertanggungjawaban
mutlak atau strict liability menjadi konsep yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban tanpa membuktikan adanya kesalahan (liability without fault), pada dasarnya tidak dapat
diterapkan terhadap manusia (natuurlijke
persoon), tetapi hanya dapat diterapkan pada korporasi. Pertanggungjawaban
pada manusia selalu harus diartikan pada adanya kesalahan (liability base on fault), kecuali terhadap pelanggaran, sesuai dengan prinsip Geen Straf Zonder Schuld (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Hal
ini telah cukup lama diakui dalam doktrin Hukum Pidana, seperti yang pernah dikemukakan
Moeljatno, bahwa pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau leer van heit materielle feit atau fait
materielle atau ajaran perbuatan
materil terhadap orang perseorangan, telah ditinggalkan sejak adanya
Arrest HR tentang Susu dan Air. Pertanggungjawaban
mutlak (strict
liability) atau leer van heit materielle feit atau fait
materielle atau ajaran perbuatan
materil dahulunya diberlakukan terhadap
tindak pidana pelanggaran telah
ditinggalkan sejak Hoge Raad mengeluarkan Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest, dengan menerima adanya dasar pemaaf pidana diluar dari yang ditentrukan dalam undang-undang, yang
dikenal dengan sebutan Awezigheid Van Alle Schuld (AVAS),
dimana seseorang tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan sama sekali
atau tidak ada sifat tercela
sama sekali padanya.
Mengacu
kepada hal di atas, kekeliruan yang kerapkali muncul dalam penerapan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 (strict liability) adalah
ketika hal itu dijadikan dasar pemidanaan terhadap orang perseorangan manusia (natuurlijke
persoon), karena dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas apapun yang
terjadi dalam lahan atau hutan “tempatnya bekerja”, sekalipun hal itu terjadi bukan
karena perbuatannya sendiri atau orang-orang yang bekerja bersamanya atau
bekerja untuknya. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang
diterapkan terhadap orang perseorangan, merupakan bentuk ketidakadilan dan
kesewenangan.
Selain itu, kalaupun pertanggungjawaban mutlak atau strict liability berdasarkan Pasal 88 UU
No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya dianggap secara
demikian pula berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diterapkan terhadap korporasi, tetapi praktek hukum terkadang justru
mengabaikan konsep pertanggungjawaban pidana itu sendiri, diamana pertanggungjawaban
pidana hanya timbul karena perbuatan. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban
pidana diterapkan tanpa memperhatikan apakah telah ada perbuatan yaang melawan
hukum yang telah dilakukan suatu korporasi. Padahal dalam Hukum Pidana, pertanggungjawaban hanya timbul
karena adanya perbuatan, atau tiada pertanggungjawaban pidana tanpa adannya
perbuatan melawan hukum (wedderechtelijke
heid). Dengan demikian, penerapan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009
atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dilakukan dengan menabrak asas “tiada
pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana” yang dilakukannya.
Strict
liability dan Corporate
Liability
Korporasi dapat dipidana (dimintai
pertanggungjawaban pidana) dengan menggunakan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya
berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999, apabila telah memenuhi syarat-syarat
suatu perbuatan sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime). Dalam
hal ini asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana”, menjadi asas
yang sangat fundamental dalam hal ini. Oleh karena itu untuk meminta
pertanggungjawaban korporasi (corporate
crime), termasuk dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liablity), maka terlebih dahlu
harus dibuktikan adanya tindak pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi tentu tidak sama dengan tindak pidana oleh
manusia, karena korporasi hanya bertindak melalui suatu kontruksi, dan bukan
perbuatan langsung dengan tingkah laku jasmaniahnya. Korporasi hanya dapat
bertindak “melalui orang-orangnya”. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan
“orang-orang” dalam suatu korporasi itu, harus sedemikian rupa dapat dikonstruksi
sebagai perbuatan korporasinya itu sendiri.
Dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, maka
dalam ranah teori dan juga sebenarnya
telah diadopsi dalam berbagai undang-undang, tindak pidana korporasi dipandang
ada jika:
a.
Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut terjadi
karena perbuatan orang-orang dalam suatu korporasi (pengurus atau pegawai), baik berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hukungan lainnya. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut
umumnya terjadi justru karena kegiatan masyarakat atau oknum tertentu yang
tidak ada hubungannya dengan koporasi, maka sebenarnya akibat dari hal itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhdap korporasi;
b.
Terbukti bahwa kebakaraan hutan atau lahan tersebut terjadi
karena untuk pencapaian tujuan korporasi yang ternyata dalam Anggaran Dasar. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan yang terjadi justru
karena serangkaian tindakan okupasi lahan oknum atau masyarajat tertentu
terhadap areal kegiatan korporasi, atau justru tidak diketahui sama sekali apa
penyebabknya yang pasti, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada korporasi itu;
c.
Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut
menyebabkan korporasi mendapat keuntungan. Disini motivasi yang melatarbelakangi peristiwa itu menjadi
sangat penting. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut bukan karena
kegiatan koporasi yang menguntungkannya, atau bahkan justru merugikan korporasi
secara finansial yang tidak sedikit, karena kehilangan
aset berupa tanaman, biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran
hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi
itu;.
Hal-hal di atas seyogianya digunakan aparat penegak hukum dan otoritas
administratif sebagai pedoman dalam memaknai ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan “setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan”, seharusnya dimaknai:
“Setiap orang yang merupakan
korporasi yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi,
sepanjang kerugian tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai
tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi mendapatkan keuntungan”.
Berdasarkan konsepsi dan
argumentasi yang sama, maka Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 yang
menyatakan “Pemegang hak atau izin
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”, seharusnya
juga dimaknai
bahwa: “Suatu
korporasi sebagai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan di areal kerjanya, sepanjang kebakaran hutan tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga
dengannya korporasi mendapatkan
keuntungan”.
Demikianlah kentuan tetang strict
liability seharusnya dimaknai, sehingga peneraannya benar-benar sesuai
dengan maksud semula penggunaan ini. Mereka yang telah menjalankan usahanya
dengan baik, tetapi tetap juga mendulang masalah kebakaran hutan dan lahan yang
mencemari lingkungan, tetap terlindungi dan mendapatkan perlakuan dengan adil. Wallahu’alam.