Dr. Chairul Huda, SH. MH. |
Oleh:
Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.[1]
Pengantar
Tema dari
Seminar Internasional yang diprakarsai Pemerintah Republik Indonesia
(Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) dan
Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta) ini
adalah “Pelaksanaan Hukuman Mati bagi
Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, dalam hal mana saya
diminta untuk membahas sub tema tentang
“Pembatasan/Standardisasi Penerapan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan
Serius”. Dalam hal ini, pada temanya Panitia menggunakan istilah “pelaksanaan”, yang maknanya tertuju
pada “eksekusi” pidana mati, tetapi
pada sub tema yang menjadi porsi pembicaraan saya, panitia menggunakan istilah “penerapan”, yang berkonotasi pada “penjatuhan”
pidana bagi terdakwa oleh hakim. Masalah pada tema seminar merupakan wilayah executive
policy, sedangkan dalam sub temanya merupakan domain judicative policy.
Pada dasarnya kedua masalah ini memiliki problematik yang berbeda dalam Sistem
Hukum Indonesia.
Selain
itu, dalam sub tema yang menjadi tugas saya, Panitia menggunakan istilah “pembatasan/standardisasi”, yang seolah-olah
dimaksudkan untuk mencari dasar-dasar yang membatasi penjatuhan atau
pelaksanaan pidana mati atau setidak-tidaknya dimaksudkan untuk menemukan
standard penjatuhan atau pelaksanaan pidana mati. Dalam pandangan saya “pembatasan” hanya mudah dilakukan
dalam tataran legislatif policy,
ketika pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya menetapkan suatu perbuatan
dengan “ancaman” pidana mati.
Demikian juga “standardisasi”, menurut
saya lazimnya digunakan sebagai instrumen yang seyogyanya dipedomani oleh hakim
(guidelines
sentencing), ketika akan “menjatuhkan” pidana mati bagi
terdakwa. Tentu kedua issue di atas tidak
relevan untuk dibahas disini, mengingat persoalan pelaksanaan dan/atau
penerapan pidana mati disini dilakukan terhadap “terpidana”. Sementara agak
sukar menemukan “pembatasan/standardisasi” bagi “pelaksanaan” atau “eksekusi” (penerapan?)
pidana mati oleh pemerintah (Jaksa) terhadap terpidana. Mengingat pada dasarnya
pelaksanaan pidana mati tidak lain dan tidak lebih daripada apa yang dinyatakan
didalam amar putusan tentang hal itu, dan tidak dapat diubah kecuali dengan “keputusan
politik” yang menjadi hak prerogatif Presiden (grasi, amnesti atau
abolisi).
Sementara itu, jika pembahasan
seminar ini fokus pada persoalan
pelaksanaan eksekusi mati, maka penggunaan istilah “kejahatan serius” di ujung tema dan sub tema, menurut saya
hal ini sama sekali tidak lagi penting. Kejahatan serius terutama
diartikan sebagai tindak pidana yang diancam pidana penjara empat tahun atau
lebih, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 2 huruf b United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan “United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime” (Konvensi PBB menentang Kejahatan
Transnasional Terorganisasi) atau seperti pendapat sebagian
orang yang mengartikan kejahatan serius sebagai tindak pidana yang pelakunya
dapat ditahan (arrested crime), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sehingga hal ini sebenarnya tidak
bersangkut paut dengan eksekusi pidana.
Istilah kejahatan
serius (serious crime), ataukah “kejahatan sangat serius” (most serious crime), seperti yang
dimaksudkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP), tidak lagi
relevan dikaitkan dengan pembatasan/standardisasi pelaksanaan pidana
mati. Dalam hal ini ketika pidana mati telah
dijatuhkan oleh hakim dalam kejadian konkrit, maka sudah barang tentu hal itu
merupakan kejahatan serius atau kejahatan sangat serius. Persoalan Serious crime ataukah most serious crime keduanya hanya penting
dalam tataran legislatif policy, dan
bukan judicative policy apalagi executive policy.
Berdasarkan uraian di
atas, tampaknya pelurusan-pelurusan harus terlebih dahulu dilakukan, supaya
jalannya pembahasan seperti yang diharapkan. Tentunya hal ini juga dimaksudkan
supaya para pembicara, terutama saya, dan audience,
berada pada frekuensi yang sama. Kekeliruan
perabaan saya terhadap ruang lingkup seminar ini sepatutnya dimaafkan.
Problematika
HAM dalam Pengancaman Pidana Mati
Ketika
Indonesia masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukumnya, maka tidak
ada satu negara atau pihak manapun yang boleh ikut campur soal itu. Demikian
pula halnya dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, saya kira ikut memprakarsai dan
mendukung seminar ini juga bukan dalam rangka mencampuri urusan dalam negeri
Indonesia. Mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum nasional adalah “pilihan”
Bangsa Indonesia, dan seyogyanya semua negara atau pihak lain menghormati hal
itu. Tidak pula dengan Indonesia meratifikasi KIHSP seolah-olah timbul
kewajiban Indonesia untuk melakukan abolisionisasi terhadap pidana mati,
mengingat Kovenan masih “mentolelir” pengancaman dan penjatuhannya sepanjang
tertuju pada most serious crime. Dengan
kata lain, terkait legislative policy mestinya
tidak ada perdebatan terkait issue
HAM dalam menggunakan pidana mati untuk mengancam kejahatan dimaksud.
Dalam Hukum Pidana Indonesia,
pengancaman pidana mati dapat ditemukan dalam rumusan-rumusan tindak pidana
sebagai berikut:
1. Dalam KUHP, meliputi
perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
a. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan Wakil Presiden, merampas kemerdekaannya atau
membuatnya tidak dapat memerintah (Pasal
104 KUHP);
b. Pengkhianatan dengan mengadakan hubungan
dengan negara asing untuk bermusuhan atau berperang apabila permusuhan atau
perang itu jadi dilakukan (Pasal 111 ayat (2) KUHP);
c. Pengkhianatan pada waktu perang, menyebabkan atau
memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi dikalangan
Angkatan Perang (Pasal 124 ayat (3) KUHP);
d. Makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut (Pasal 140 ayat (3) KUHP);
e. Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 340
KUHP);
f. Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan orang
lain luka berat atau mati (Pasal 365
ayat (4) KUHP);
g. Pemerasan dengan kekerasan yang berakibat orang lain luka berat atau mati (Pasal 368 ayat
(2) KUHP);
h. Perompakan di laut, pesisir atau
sungai yang mengakibatkan kematian orang
di kapal yang dirompak, (Pasal 444
KUHP);
i. Pembajakan pesawat yang dilakukan dua
orang atau lebih, dengan direncanakan lebih dulu, dilakukan untuk merampas
kemerdekaan orang dan mengakibatkan matinya seseorang atau kerusakan atau hancurnya pesawat udara (Pasal 479k
ayat (2) KUHP;
j. Perbuatan kekerasan terhadap seseorang di pesawat udara dalam penerbangan atau
merusak pesawat dalam dinas yang mengakibatkan matinya seseorang atau kerusakan atau hancurnya pesawat udara itu (Pasal 479o ayat (2) KUHP;
2. Dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api), yaitu
perbuatan memasukan ke atau mengeluarkan
dari Indonesia, memproduksi, mendistribusikan, memiliki, mempergunakan senjata api, amunisi atau sesuatu bahan
peledak (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api);
3. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan, memperjualbelikan, mempergunakan untuk orang lain yang mengakibatkan
kematian Narkotika Golongan I dan II
yang beratnya melebihi 5 (lima) gram,
atau penganjurannya (Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2),
Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2),
dan Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);
4.
Dalam Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, yaitu
perbuatan korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi secara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara yang
dilakukan
dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi)
5. Dalam Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM , yaitu perbuatan Genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 8, 9, 36,
37, 41, dan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM);
6. Dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yaitu perbuatan menempatkan,
membiarkan, melibatkan anak dalam perbuatan penyalahgunaan Narkotika (Pasal
8 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)
7. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme,
yaitu menebarkan teror (Pasal 6, 8,
9, 10, 14, dan 16 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme);
Berdasarkan uraian di atas, dalam stadia
perundang-undangan pidana Indonesia, tampak jelas bahwa pidana mati diancamkan terhadap most
serious crime, yang terutama hal ini tertuju terhadap perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain atau
setidak-tidaknya membahayakan
keselamatan jiwa orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut mengancam hak
dasar manusia, yang paling dilindungi oleh piagam hak asasi manusia manapun,
dan sebagai hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan bagaimanapun (non derogable rights) Konstitusi. Hanya tindak pidana korupsi yang dilakukan
dalam keadaan tertentu, yang relatif tidak terlalu berhubungan dengan kematian
orang.
Apabila
dicermati, sebagian delik yang diancam dengan pidana mati merupakan peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda
(makar, penghianatan, pencurian dan pengancaman dengan kekerasan yang mengakibatkan
kematian, perompakan yang mengakibatkan kematian) sebagian lagi merupakan tindak pidana-tindak
pidana yang diadakan sebagai respons
bangsa Indonesia terhadap konvensi-konvensi internasional (pembajakan
pesawat, korupsi, terorisme, pelanggaran HAM berat). Jadi tidak ada sama sekali
delik yang diancam dengan pidana mati yang merupakan buatan asli bangsa Indonesia.
Legal
policy bangsa Indonesia sebenarnya hanya “melanjutkan” atas
perundang-undangan peninggalan kolonial yang mengancamkan pidana mati terhadap
tindak pidana tertentu. Sekalipun Kerajaan Belanda telah menghapuskan pidana
mati sejak 1870 (kecuali terhadap tindak pidana dalam keadaan perang dan
didalam lingkungan angkatan bersenjata), tetapi pemerintahan kolonial Belanda
tetap memberlakukan pidana mati di Indonesia (baca: nusantara) pada masa
kolonial. Kebijakan hukum yang demikian itu, menyebabkan ketika Indonesia
menyatakan kemerdekaan Tahun 1945, pidana mati masih menjadi bagian dari Hukum
Pidana Indonesia hingga sekarang ini. Jadi sebenarnya kalau Indonesia sekarang
dengan pidana matinya dipandang melanggar HAM, maka hal itu bermula dari ulah
bangsa Belanda yang secara tidak adil membawa dan menerapkan pidana mati di
Indonesia, sementara di negaranya sendiri telah menghapuskannya. Perkenalan
bangsa Indonesia dengan pidana mati semata-mata atas “jasa” bangsa Barat
(Belanda), yang sekarang mengejar-ngejar kita dengan berbagai issue HAM (termasuk dengan seminar ini?).
Sementara
itu, tetap “dipertahankannya” pengancaman
pidana mati di Indonesia dilatarbelakangi oleh faktor-faktor objektif dan
subjektif tertentu yang mempengaruhi social policy berkenaan dengan hal
ini. Salah satu kondisi
objektif bangsa Indonesia yang mempengaruhi social policy mengenai
pidana di Indonesia adalah perlunya “sanksi yang berat” terhadap beberapa
tindak pidana tertentu karena telah merebak pada tingkat yang sangat membahayakan keselamatan bangsa,
seperti: korupsi, illegal traffic terhadap narkotika dan psikotropika dan terorisme”.
Belum lagi beberapa kondisi objektif bangsa Indonesia lainnya, seperti ancaman
disintegrasi dan masih cukup tingginya angka kejahatan terhadap nyawa dan
kejahatan dengan kekerasan lainnya, menyebabkan kejahatan seperti makar,
pemberontakan bersenjata dan pembunuhan berencana dipandang (masih) perlu untuk
diancam dengan pidana mati.
Sementara
itu, social policy yang secara
subyektif ikut mempengaruhi penggunaan pidana mati adalah kenyataan bahwa mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam yang menyebabkan
resistensi terhadap pidana mati sangat kecil, sehingga mendorong legislator
untuk mempertahankan dan menggunakan pidana mati dalam mengendalikan suatu
perbuatan. Berbagai survey yang dilakukan menunjukkan bahwa penolakan pidana
mati dibawah 20% dari umumnya mereka yang
mendukung hal itu.
Pengancaman
pidana mati dalam undang-undang terhadap delik-delik tertentu sama sekali tidak
relevan apabila dikaitkan dengan isu HAM. Memang benar penolakan pidana mati
umumnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa jenis pidana ini:
•
Inhuman;
•
Conflict with human
dignity;
•
No positive effect on
preventing crime;
•
No positive effect on
safety of society;
Namun demikian, kesemua
alasan itu juga dapat terjadi terhadap setiap bentuk pidana yang lain, termasuk
penjara ataupun denda. Argumentasi di atas, seharusnya dipandang gugur dengan
sendirinya mengingat hal yang sama juga didapati pada jenis pidana manapun.
Sebenarnya
jika Hukum Pidana ditempatkan sebagai symbol of sovereignty, maka
tekanan, kritik, pertanyaan dari banyak kalangan dalam dan luar negeri,
negara-negara yang warga negaranya ikut dieksekusi ataupun dari lembaga-lembaga
internasional, termasuk Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat dengan mudah
diabaikan. Meminjam kata-kata Sultan Brunei ketika memberlakukan syariah Islam (qisosh) yang ditentang banyak negara
karena dipandang kejam dan tidak menghormati hak asasi manusia, yang jika
diletakkan dalam konteks Indonesia, bahwa “orang-orang di luar Indonesia harus
menghormati kami dengan cara yang sama
seperti kami menghormati mereka” memandang persoalan kebebasan, hak
asasi manusia, termasuk tempat pidana
mati dalam Hukum Nasional.
Terlebih-lebih
lagi masalah pengancaman Pidana Mati di Indonesia harus dipandang sudah
selesai, dengan ditolaknya berbagai permohonan uji materiel terhadap
undang-undang yang didalamnya mencantumkan pidana mati oleh Mahkamah
Konstitusi, sekalipun tidak dapat dipungkiri masih terdapat sejumlah persoalan
yang sebenarnya masih relevan dipersoalkan dan diperbandingkan dengan negara
lain.
Bangsa
Indonesia sejak kemerdekaan memang meningkatkan (menambah) jumlah penggunaan
pidana mati dalam perundang-undangannya, tetapi jika diperhatikan di era
Indonesia moderen, pada sisi lain telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi
Manusia dan telah melakukan Amandemen Konstitusi sehingga mencantumkan
pasal-pasal Hak Asasi Manusia. Penambahan beberapa tindak pidana yang
diancamkan dengan pidana mati tidak lain sebagai refleksi atas kebutuhan
respons yang keras atas bentuk-bentuk kejahatan tertentu, yang tidak sama
bahayanya jika hal itu terjadi di negara-negara lain.
Problematika
HAM dalam Penerapan Pidana Mati
Mencermati penjatuhan pidana mati di
Indonesia (penal policy) terhadap beberapa tindak pidana yang terdapat
dalam perundang-undangan kolonial, bila dikaitkan dengan masalah HAM,
sebenarnya bangsa Indonesia telah cukup banyak melakukan penyesuaian diri. Misalnya,
terhadap tindak pidana makar, pidana
mati cenderung telah dihapuskan secara de facto. Mengingat tidak
terdapat tindak pidana makar yang terjadi yang termasuk makar yang diancam
pidana mati. Tindak pidana ini masih cukup banyak terjadi di Papua, Papua
Barat, dan Aceh, seperti yang dilakukan FORKORUS YOBOISEMBUT, SELPIUS BOBII,
AUGUST MAKRAWEN SANANAY KRAAR, DOMINIKUS SORABUT, dan EDISON KLADUS WAROMI yang
mendeklarasikan Negara Federal Papua Barat atau kasus pemberontakan bersenjata
Colonel ISAK KALAIBIN sebagai Panglima Komando Daerah Militer II Sorong Raja
Ampat, yang merupakan tindakan separatisme dan karenanya tidak berujung
penjatuhan pidana mati. Seperti halnya juga
pengadilan yang tidak menjatuhkan pidana mati terhadap XANANA GUSMAO, yang juga didakwa makar ketika
Timor Timur masih menjadi bagian wilayah Republik Indonesia. Bahkan terhadap
PANJI GUMILANG yang nyata-nyata mendirikan NII KW9 sama sekali tidak diterapkan
pasal-pasal makar yang diancam dengan pidana mati. Dengan demikian, persoalan
penjatuhan pidana mati terhadap perbuatan makar, hanya terjadi di masa lalu dan
tidak terjadi pada Indonesia masa kini.
Sebaliknya memang pada sisi lain harus
diakui adanya peningkatan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku illegal traffic of drugs (misalnya
Duo Bali Nine MYURAN SUKUMARAN dan ANDREW CHAN), RAHEEM AGBAJE SALAMI,
SYLVESTER OBIEKWE NWOLISE dan OKWUDILI OYATANZE, MARTIN ANDERSON, RODRIGO
GALARTE dan FREDDY BUDIMAN), terorisme
(misalnya AMROZI, IMAM SAMUDRA, dkk),
dan kejahatan terhadap kemanusiaan (misalnya
FABIANUS TIBO dkk), atau pembunuhan
berencana (misalnya SURYADI SWABUANA, JURIT bin ABDULLAH, IBRAHIM bin UJANG
atau UDIN BOTAK dan DEDI MURDANI yang baru-baru ini divonnis Mahkamah Agung). Kesemuanya itu, lebih kepada “respons sementara” tentang betapa
mengkhawatirkannya kasus-kasus kejahatan tersebut. Menurut pendapat saya,
ketika kejahatan-kejahatan di atas dipandang tidak lagi “membahayakan”, boleh
jadi secara de facto terhadap kejahatan–kejahatan itu juga dilakukan
penghapusan pidana mati, sekalipun secara de jure tidak demikian.
Meskipun demikian, harus diakui tetap
ada persoalan issue HAM dihubungkan
dengan penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit, yang terutama lebih
tertuju pada persoalan disparitas
penjatuhan pidana terhadap pelaku most serious crime yang masih kerap
terjadi. Baik terhadap tindak pidana yang sama ataupun terhadap tidak
pidana-tindak pidana yang berbeda. Penerapan
pidana mati dalam kasus-kasus konkrit disinyalir masih belum memiliki acuan yang memungkinkan
hal itu dilakukan secara terukur dan non disparity. Khususnya belum
memolanya penghindaran penerapan pidana mati terhadap terdakwa yang memiliki faktor-faktor
yang meringankan, yang seyogyanya dapat menjadi alasan yang menyebabkan hakim
tidak menjatuhkan pidana mati.
Selain itu,
disparitas juga kerap terjadi dalam
kasus peredaran gelap narkotika. Jumlah barang bukti selalu dijadikan dalil/alasan
oleh lawyer untuk menunjukkan adanya disparitas, terutama dalam delik
penyertaan. Pidana mati dijatuhkan terhadap pemilik narkotika yang jumlahnya
lebih sedikit, sedangkan yang jumlahnya lebih banyak malah terhindar dari
vonnis mati. Lihatlah MERI UTAMI pemilik 1 kg Heroin divonnis mati, sementara
TOMY LIM dan APIP APRIANSYAH pemilik 25 Kg Sabu hanya divonnis 16 tahun
penjara.
Kedepannya memang perlu diadakan
evaluasi yang komprehensif terhadap penjatuhan pidana mati ini. Terutama
tentang masih belum seragamnya penerapan hal ini jika dihadapkan pada adanya
“faktor-faktor yang meringankan” bagi terdakwa. Sebenarnya setiapkali terdapat faktor yang meringankan, maka penjatuhan pidana mati seharusnya dihindari.
Persoalannya adalah belum adanya satu pedoman nasional yang komprehensif
tentang apa yang termasuk ke dalam faktor yang meringankan, yang menjadi
pertimbangan akhir bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana mati.
Lihatlah misalnya Pengadilan Negeri
Pangkajene No. 57/PID.B/2013/PN.PANGKAJENE, yang menjatuhkan pidana mati
terhadap MAARIF bin RUSDI karena pembunuhan berencana yang dilakukannya, yang
oleh Pengadilan Tinggi vonnis mati tersebut dibatalkan hanya karena hakim
banding melihat unsur perencanaan terbukti semata-mata sebagai pengakuan
Terdakwa, sehingga hal itu harus dipandang sebagai faktor yang meringankan
baginya. Satu peringanan saja menyebabkan penjatuhan pidana mati menjadi
terhalang.
Selain itu, pidana mati seharusnya
juga tidak dijatuhkan ketika terdakwa
baru pertama kali melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (first
offender). Pidana mati dijatuhkan terhadap mereka yang memang sudah
berkali-kali melakukan tindak pidana, dan telah pula dipidana atau menjalani
pidana dengan pidana yang lebih ringan dari pidana mati. Jadi memang tertuju
pada recidief, sehingga menggambarkan pidana lain
semisal pidana penjara tidak membuatnya
jera. Pidana mati memang pantas dijatuhkan terhadap FREDDY BUDIMAN, setelah
sebelumnya pernah divonnis atas kejahatan yang sama dengan pidana penjara tahun
1997, tahun 2009, tahun 2011, yang kemudian divonnis mati tahun 2012 karena
selagi dirinya menjalani pidana penjara tetap mengedarkan narkotika.
Pidana mati juga sebaiknya tidak
dijatuhkan terhadap old offender, yaitu mereka yang berusia lebih dari 80 tahun.
Prinsipnya hukum pidana tidak perlu mempercepat kematian orang ini, sekalipun
kejahatannya sangat berat. Tentunya hal ini masih juga dihindari ketika tindak
pidana terjadi karena yang bersangkutan menjadi korban dari tindak pidana yang
dilakukan oleh orang lain. Demikianlah misalnya MARY JENE FIESTA VELOSO yang
disebut-sebut menjadi kurir narkotika karena yang bersangkutan terjebak pada jaringan perdagangan manusia di
Philipina.
Problematika
HAM dalam Pelaksanaan Pidana Mati
Persoalan HAM yang
terkait dalam pelaksanaan mati dalam kasus-kasus konkrit yang kerap menjadi
sorotan, yang dapat menimbulkan ketidakadilan bagi sementara terpidana adalah
adanya perbedaan perlakuan (non equal process) yang dialami
sebagian terpidana mati, ketika waktu pelaksanaan eksekusi tiba. Maksudnya,
kurun waktu pelaksanaan eksekusi yang kerapkali berbeda antara satu terpidana
dengan tepidana yang lain, yang boleh jadi menimbulkan ketidakpastian,
ketidakadilan, dan ketidaknyamanan. Lihatlah FABIANUS TIBO dkk, terpidana mati
Kerusuhan Poso dan AMROZI Cs, terpidana mati Bom Bali, dieksekusi dalam kurun
waktu yang cukup berbeda sejak putusan terhadap mereka berkekuatan hukum tetap,
meskipun pada masa yang kurang lebih sama.
Demikian pula, para pengedar narkotika dalam jumlah besar cukup banyak
yang tidak dijatuhi pidana mati, sementara mereka yang menguasai lebih sedikit
justru divonnis mati.
Kedepannya, seharusnya eksekusi pidana
mati dilaksanakan bagi mereka yang putusan
pidana matinya lebih dulu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal
ini guna menghindari kesan “pilih-pilih”, dalam pelaksanaan pidana mati itu.
Apa yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati tahap tiga di era
pemerintahan Jokowi-JK, dimana dari 14
terpidana mati yang dipersiapkan, akhirnya hanya 4 terpidana yang dieksekusi,
yang mengesankan adanya “pilih-pilih” yang boleh jadi telah menim bulkan pelanggaran
HAM.
Pelaksanaan (eksekusi) pidana mati sebaiknya tidak lagi dilaksanakan terhadap
terpidana-terpidana tertentu, dengan alasan untuk menghindari pelanggaran HAM,
karena dipandang double penalty karena
selama ini menunggu eksekusi dilakukan dengan menjalani pidana penjara,
mengingat notabene terpidana mati
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan seperti layaknya terpidana penjara. Untuk
sementara ada baiknya digunakan ukuran yang terdapat dalam ius constituendum, RUU KUHP, dimana kelemahan-kelemahan
dalam penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati diatasi dengan memperkenalkan
“pidana mati bersyarat”.
Pasal 89 ayat (1) RUU
KUHP menentukan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun,
jika:
a.
Reaksi masyarakat terhadap terpidana
tidak terlalu besar;
b.
Terpidana menunjukkan rasa menyesal
dan ada harapan untuk diperbaiki
c.
Kedudukan terpidana dalam penyertaan
tindak pidana tidak terlalu penting, dan;
d.
Ada alasan yang meringankan;
Sedangkan Pasal 89 ayat (2) RUU KUHP
menentukan jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menunjukkn sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah
menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dengan
keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia.
Berdasarkan ketentuan
ini, maka sebaiknya terpidana mati yang telah lewat sepuluh tahun dari
putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak lagi dieksekusi. Dengan grasi
pidananya dapat diubah menjadi seumur hidup atau pidana penjara selama 20
tahun.
Persoalan pelaksanaan
pidana mati kemudian harus dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konsititusi No. 34/PUU-XI/2013 dan Putusan
Nomor: 107/PUU-XIII/2015, yang menyebabkaan hal itu harus ditunda. Dalam
hal ini, Mahkamah Konstitusi menghapuskan ketentuan peninjauankembali hanya
boleh satu kali dan pengajuan grasi yang hanya dapat dilakukan dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pidana mati berkekuatan hukum tetap. Padahal
ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP sangat penting untuk menjamin kepastian
hukum pelaksanaan pidana mati, setelah permintaan kembali diajukan Terpidana
ditolak oleh Mahkamah Agung. Demikian pula halnya dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang
Grasi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2010, yang diantaranya sangat menentukan bagi pelaksanaan pidana mati
dihubungkan dengan pengajuan grasi.
Pada gilirannya putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut cukup berpengaruh terhadap “kepastian waktu“ pelaksanaan putusan pidana mati yang
telah berkekuatan hukum tetap, khususnya berkenaan dengan kapan eksekusi dapat
dilakukan, ketika ada upaya Peninjauankembali ataupun Grasi. Pelaksanaan pidana mati dapat melanggar HAM
jika terlalu cepat, juga jika terlalu lama tidak dieksekusi. Dalam
KUHAP, sekalipun Peninjauankembali tidak menangguhkan maupun menghentikan
pelaksanaan putusan, tertutama eksekusi jenis pidana yang lain, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 268 KUHAP, tetapi hal itu jelas-jelas berbeda jika
dihadapkan pada persoalan eksekusi pidana mati, dengan mengacu juga pada Pasal
8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Selain itu, dalam
pelaksanaan pidana mati juga harus memperhatikan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang memberikan
“hak” terhadap Terpidana untuk mengajukan grasi, dimana dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tersebut
ditegaskan bahwa pengajuan grasi menunda pelaksanaan pidana mati.
Persoalan-persoalan di atas menyebabkan
pelaksanaan pidana mati dapat tersandera dengan pelaksanaan hak Terpidana
mengajukaan Peninjauankembali atau pengajuan Grasi kepada Presiden.
Ujung-ujungnya ketika Jaksa pada Kejaksaan akan melakukan eksekusi putusan
pidana mati, maka kotroversi tidak dapat dihindarkan. Pro kontra dalam
masyarakat terhadap pidana mati semakin mengemuka, yang mengalahkan esensi
penanggulangan kejahatan dengan memfungsionalisasi Hukum Pidana itu sendiri.
Persoalan menjadi semakin kompleks,
ketika baik ketentuan mengenai Peninjauankembali maupun grasi, tidak menentukan
tenggang waktu pengajuannya. Pasal 264 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa “permintaan
Peninjauankembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”. Dengan
demikian, pelaksanaan putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap
seolah-olah “tersandera” oleh hak Terpidana untuk melakukan Peninjauankembali.
Selain itu, ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010
tentang perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tetang Grasi, yang semula
“membatasi” permohonan grasi hanya dapat diajukan paling lama 1 (satu) tahun
sejak putusan berkekuatan hukum tetap, justru oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.
107/PUU-XIII/2015 telah dinyatakaan bertentangan dengan konstitusi dan
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini tentunya
semakin dapat “mengaburkan”, kapan sebenarnya pelaksanaan pidana mati tersebut
dapat dilaksanakan oleh Jaksa dan/atau Kejaksaan.
Lebih-lebih lagi, juga tidak ada
tenggat waktu yang pasti kapan Mahkamah Agung mengeluarkan putusan
Peninjauankembali dan begitu juga Presiden RI tidak dibatasi waktu
tertentu yang rigit untuk memutuskan Pengajuan Permohonan Grasi
Terpidana mati.
Pembatasan/Standardisasi
Pelaksanaan Pidana Mati
Berdasarkan
keseluruhan uraian di atas, pembatasan/standardisasi pelaksanaan pidana mati
dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: (1) pidana mati yang tidak dapat
dilaksanakan lagi, (2) pidana mati yang sebaiknya diubah dengan grasi menjadi
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun, dan (3)
pidana mati yang pelaksanaannya ditunda karena alasan tertentu.
Dalam
hal ini pidana mati seharusnya tidak
dilaksanakan jika dihadapi keadaan sebagai berikut ini:
1.
Pidana mati tidak dilaksanakan
terhadap Terpidana yang telah berusia sangat tua, yaitu di atas 80 tahun;
2.
Pidana mati tidak dilaksanakan
terhadap Terpidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap lebih
dari 10 tahun;
3.
Pidana mati tidak dilaksanakan
terhadap Terpidana yang melakukan tindak pidana karena dirinya sendiri menjadi
korban dari tindak pidana yang dilakukan pihak lain;
Presiden
dengan hak prerogatifnya agar didorong mengubah
pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun, sehingga
eksekusi hal itu tidak dilaksanakan, kecuali Presiden menolak memberikan Grasi,
jika dihadapi keadaan sebagai berikut ini:
1.
Terpidana yang sebenarnya baru pertama
kali melakukan tindak pidana (first offender) yang diancam dengan pidana
mati;
2.
Terpidana yang dalam perkaranya
sebenarnya memiliki alasan apapun yang dapat meringankan baginya, baik karena perbuatannya,
kesalahannya, atau karena hal-hal lain diluar hal itu;
3.
Terpidana yang putusan pidana matinya
berkekuatan hukum tetap telah lebih dari 10 tahun, tetapi belum dieksekusi;
1.
Terpidana yang sedang mengajukan
Peninjauankembali atau Grasi, kecuali untuk yang kedua kali dan seterusnya;
2.
Terpidana yang belum mengajukan
Peninjauankembali dalam tenggang waktu lima tahun sampai 10 tahun sejak putusan
yang menjatuhkan pidana itu berkekuatan hukum tetap;
3.
Pidana mati ditunda pelaksanaanya jika
menurut pertimbangan Jaksa Agung atas perintah Presiden, pelaksanaanya tidak
berguna bagi kepentingan umum, atau bertentangan dengan kepentingan nasional;
Penutup
Persoalan
HAM dikaitkan dengan pidana mati, hanya berkenaan dengan penjatuhan dan
pelaksanaannya, dan tidak terkait dengan pengancamannya dalam undang-undang.
Dalam pelaksanaan pidana mati, pelanggaran HAM mungkin terjadi karena adanya
perbedaan perlakuan bagi Terpidana. Oleh karena itu, memang diperlukan standardisasi, yang terutama
untuk memilah mana terpidana mati yang sebaiknya tidak dieksekusi, atau pidana
matinya sebaiknya diubah (melalui grasi) dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, ataupun
pelaksanaan pidana mati yang sebaiknya untuk sementara waktu ditunda karena
alasan-alasan tertentu. Wallahualam.
[1] Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota Tim Ahli
Pemerintah dalam Pembahasan RUU KUHP, dan Anggota Penasihat Ahli Kapolri dalam bidang Hukum Pidana.
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar
Kerajaan Belanda di Jakarta) ini adalah “Pelaksanaan
Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, Jakarta,
24 Oktober 2016;