Pengantar
![]() |
Dr. Chairul Huda, S.H.,M.H. |
Eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap dalam perkara pidana menjadi tugas dan kewenangan Jaksa pada
Kejaksaan Republik Indonesia, seperti yang diamaanatkan KUHAP dan Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan
mengeksekusi putusan kerap mendapat perhatian masyarakat, terlebih-lebih
berkenaan dengan eksekusi mati. Kontroversi berkenaan pidana mati rupanya
melebah hingga eksekusianya, dan bukan semata-mata dalam ranah legislative and judicatice policy.
Persoalan
ini semakin riuh setelah Mahkamah Konsititusi mengeluarkaan Putusan Nomor: 107/PUU-XIII/2015. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menghapuskan ketentuan pengajuan
grasi yang hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak putusan
pidana mati berkekuatan hukum tetap. Padahal Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubaah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010, menentukan
bahwa pengajuan Permohonan Grasi menunda pelaksanaan putusaan pidana mati hingga
Presiden memutuskan tentang diterima atau ditolaknya perohonan tersebut.
Tentunya hal ini pada giirannya cukup berpengaruh terhadap Tugas Jaksa sebagai pelaksana putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap.
Tentunya pembahasan ini juga tidak terlepas sorotan tentang apaakah hal
tersebut dapat menjadi kendala dalam
melakanakan putusan
dimaksud, terutama karena adanya Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor:
107/PUU-XIII/2015 tersebut.
Pelaksana Putusan Pengadilan
berdasarkan KUHAP
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya menjadi kewenangan Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia. Tidak
termasuk eksekutor adalah Jaksa pada KPK, karena Undang-Undang No. 30 tahun
2002 tentang KPK, tidak memberikan kewenangan kepada lembaga itu, termasuk
pejabat/pegawainya, untuk melakukan eksekusi putusan. Kewenangan mengeksekusi
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara atributif ditegaskan dalam KUHAP menjadi monopoli Jaksa pada Kejakaan,
karena tidak ada pejabat lain, termasuk aparatur sistem peradilan pidana lainnya yang diberi wewenang sama. Hal ini tercermin dari
beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewenangan Jaksa dalam melaksanakan
putusan penagdilan, antara lain:
1. Pasal 1 angka
6 huruf a KUHAP yang menentukan bahwa Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penutut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
2. Pasal 270
KUHAP yang menentukan bahwa pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Kewenangan mengeksekusi putusan yang telah kerkekuatan hukum tetap yang
diberikan oleh KUHAP kepada Jaksa,
kemudian diejawantahkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan. Dalam hal ini per definisi “jaksa” adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 angka 1 UU No.
16 Tahun 2004). Dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa “melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” menjadi tugas
dan wewenang kejaksaan di bidang pidana.
Berdassarkan hal itu, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap menjadi wewenang Jaksa dan Kejaksaan,
yang pada dasarnya bersifat “subordinated”
dari kekuasaan kehakiman. Namun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali
ruang diskresional berkenaan dengan hal ini, mengingat Jaksa dalam
melaksanakan tugas dan wewenang harus mengindahkan norma-norma keagamaaan,
kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan
yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Demikian pula
halnya, dalam melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan
pelaksanaan pidana mati.
Persoalan dalam Pelaksanaan Putusan
Persoalan yang
masih mengganjal berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap yang dilakukan oleh Jaksa, diantaranya adalah masih
tersedianya upaya hukum luar biasa ataupun upaya lainnya yang dapat dilakukan
Terpidana, yang boleh jadi output-nya akan mempengaruhi substansi
putusan yang akan dieksekusi tersebut. Diantaranya yang terpenting adalah upaya
hukum luar biasa Peninjauankembali dan Pengajuan Permohonan Grasi.
Dalam KUHAP, sekalipun Peninjauankembali tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan, tertutama eksekusi jenis
pidana yang lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 KUHAP, tetapi hal itu
jelas-jelas berbeda jika
dihadapkan pada persoalan eksekusi pidana mati, dengan mengacu juga pada Pasal
8 ayat (4) UU No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan. Apalagi Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.
34/PUU-XI/2013 juga telah menghapuskan ketentuan bahwa Peninjauankembali hanya
dapat diajukan untuk 1 (satu) kali, yang semula ditentukan dalam 268 ayat (3)
KUHAP.
Selain itu, dalam
pelaksanaan pidana mati juga harus memperhatikan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
No. 5 Tahun 2010 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang memberikan
“hak” terhadap Terpidana untuk mengajukan grasi, dimana dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tersebut
ditegaskan bahwa pengajuan grasi menunda pelaksanaan pidana mati.
Persoalan-persoalan di atas menyebabkan pelaksaanaan pidana mati dapat
tersandera dengan pelaksanaaan hak Terpidana mengajukaan Peninjauankembali atau
pengajuaan grasi kepada Presiden. Ujung-ujungnya ketika Jaksa pada Kejaksaan
akan melakukan eksekusi putusan pidana mati, maka kotroversi tidak dapat
dihindarkan. Pro kontra dalam masyarakat terhadap pidana mati semakin
mengemuka, yang mengalahkan esensi penanggulangan kejahatan dengan
memfungsionalisasi Hukum Pidana.
Tenggang Waktu Pengajuan PK dan Grasi
terhadap Putusan Pidana Mati
Persoalan menjadi semakin kompleks, ketika baik ketentuan mengenai
Peninjauankembali maupun grasi, tidak menentukan tenggang waktu pengajuannya.
Pasal 264 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa “permintaan Peninjauankembali
tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”. Dengan demikian, pelaksanaan
putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap seolah-olah “tersandera”
oleh hak Terpidana untuk melakukan Peninjauankembali.
Selain itu, ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010
tentang perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tetang Grasi, yang semula
“membatasi” permohonan grasi hanya dapat diajukan paling lama 1 (satu) tahun
sejak putusan berkekuatan hukum tetap, justru oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015 telah dinyatakaan bertentangan dengan
konstitusi dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini
tentunya semakin dapat “mengaburkan”,
kapan sebenarnya pelaksanaan pidana mati tersebut dapat dilaksanakan oleh Jaksa
dan/atau Kejaksaan.
Lebih-lebih lagi, juga tidak ada tenggat waktu yang pasti kapan
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauankembali dan begitu
juga Presiden RI tidak dibatasi waktu tertentu yang rigit untuk
memutuskan Pengajuan Permohonan Grasi Terpidana mati.
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa memberikan
Grasi sebagai Hak Preogratif Presiden dan Mengajukan Permohonan Grasi sebagai
Hak Konstitusional Terpidana. Disini menjadi letak kontroversi putusan dimaksud. Pada
satu sisi, pertimbangan hukum Mahkamah Konstutisi dalam Putusan No.
107/PUU-XIII/2015 lebih menitikberatkan bahwa grasi merupakan “hak
prerogratif” Presiden untuk memberikan
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada Terpidana, sebagaimana
dimandatkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, yang tidak boleh “direduksi” dengan ketentuan Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang No.5 Tahun 2010. Namun secara pada sisi lain secara
kontradiktif, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa mengajukan permohonan
grasi merupakan “hak konstitusional” Terpidana, yang tidak boleh
dibatasi dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 2010.
Sementara itu, pada bagian lain, Mahkamah juga mempertimbangkan, bahwa
untuk menghindari hak konstitusional mengajukan grasi digunakan sebagai hal
yang menghambat pelaksanaan putusaan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
3 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi “seharusnya Jaksa sebagai
eksekutor tidak harus terikat dengan jangka waktu tersebut (jangka waktu pengajuan grasi yang paling lama 1 (satu) tahun) apabila
nyata-nyata terpidana atau keluarganyaa tidak menggunakan hak atau kesempatan
untuk mengajukan permohonan grasi,” atau
sekalipun tidak diatur dalam UU setelah “jaksa selaku eksekutor demi
kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau
keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi”, eksekusi
terhadap Terpidana mati tersebut dapat dilaksanakan. Pertimbangan
ini merupakan bentuk apoligi Mahkamah Konstitusi atas putusannyaa tersebut.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstutisi dalam Putusan No.
107/PUU-XIII/2015 pada dasarnya Kejaksaan harus mengatur sendiri (swa regulasi)
berkenaan pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap, khususnya terhadap
putusan pidana mati. Mengingat tidak ada pembatasan waktu mengajukan Pemohonan
Grasi, sementara pelaksanaan putusaan pidana mati yang telah berkekuatan hukum
tetap ditunda karena pengajuan grasi tersebut, maka menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1.
Kejaksaan perlu mengatur ukuran
kapan dapat dikatakan terpidana atau keluarganya nyata-nyata tidak menggunakan hak atau
kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi;
2.
Kejaksaan demi kepentingan
kemanusiaan perlu mengatur tata cara bagi Jaksa untuk menanyakan kepada
Terpidana atau keluarganya apakah akan menggunakan haknya mengajukan permohonan
grasi atau tidak.
Hal ini untuk memastikan bahwa persoalan
lebih penting, yaitu diantisipasi Kejaksaan adalah ketika telah ada permohonan
Grasi, dimana pelaksaanaan putusan pidana mati harus ditangguhkan, sampai
dengan terpidana telah menerima keputusan mengenai permohonan grasinya oleh
Presiden, sebagaimana dimaksud Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2002, tetapi tidak
cukup jelas kapan keputusan Presiden mengenai hal itu terbit. Sekalipun tenggang
waktu pemrosesan permohonan dimaksud dapat dihitung, yaitu:
a.
Dalam hal permohonan grasi diajukan melalui Kepala LP,
maka dalam 7 (tujuh) hari telah dikirimkan kepada pengadilan yang
memutus perkaranya pada tingkat pertama (Pasal 8 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2002);
b.
Dalam
jangka waktu paling lambar 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan
salinan permohonan dan berkas perkara terpidana ke Mahkamah Agung (Pasal 9 UU
No. 22 Tahun 2002);
c.
Dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) haruterhitung sejak tanggal diterimanya
salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan
tertulis kepada Presiden (Pasal 10 UU No. 5 Tahun 2010);
d.
Presiden
memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11 UU No. No. 22 Tahun 2002).
e.
Keputusan
Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden (Pasal 12 UU
No. 22 Tahun 2002).
Namun demikian,
dalam prakteknya tidak ada jaminan bahwa Presiden akan mengeluarkan keputusan
grasi dalam kurun waktu dimaksud. Seperti telah ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015 mengabulkan atau menolak grasi adalah
hak prerogatif Presiden RI. Sekalipun telah ada tenggang waktu yang diatur
dalam UU pada dasarnya Presiden tidak dapat dibatasi dalam penggunaan
kewenangannya itu.
Pada dasarnya hambatan utama bagi Jaksa untuk melakukan eksekusi mati justru bukan terletak pada adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015 yang menghapuskan tenggang
waktu hak terpidana untuk mengajukan Permohonan Grasi kepada Presiden, tetapi
justru pada kewenangan Presiden yang dapat memutuskan untuk mengabulkan atau
menolak permohonan grasi kapanpun.
Dilihat dari sisi ini, maka pada dasarnya ketentuan bahwa Presiden memberikan keputusan atas
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah
Agung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU No. No. 22
Tahun 2002, juga dapat dipandang inskonstitusional jika hal itu dipandang
“mereduksi” hak Presiden memberikan grasi, sebagaimana juga hal yang sama dalam
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tetang Grasi;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
107/PUU-XIII/2015 secara prinsip tidak menghalangi pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Mengingat
pada dasarnya yang dilaksanakan oleh Jaksa atau Kejaksaan adalah putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bukan Keputusan Presiden
tentang permohonan grasi yang diajukan
oleh Terpidana atau ahli warisnya.
Hanya saja perlu perhitungan waktu yang wajar eksekusi pidana mati dapat
dilakukan, terutama ketika terpidana atau ahli warisnya tidak mengajukan
permohonan grasi.
Mengacu Pasal Pasal 8 ayat (2) UU No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dimana Jaksa dalam melaksanakan tugasnya atas nama
negara, maka pada dasarnya tidak ada konsekuensi yuridis yang menjadi resiko
bagi Jaksa eksekutor yang putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum
tetap terhadap terpidana atau ahli warisnya yang belum (tidak) mengajukan
grasi. Mengingat pada dasarnya Presiden
karena kewenangan konstitusionalnya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
setiap saat dapat menghentikan proses
eksekusi, sekalipun tidak ada permohonan untuk itu dari terpidana atau ahli
warisnya. Hal ini juga didasarkan bahwa pada dasarnya Jaksa atau Kejaksaan
hanya dapat melaksanakan eksekusi mati setelah Presiden memberikan
persetujuannya (fiat executie). Wallahua’alaam.