Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. |
Pada
masa sekarang terdapat kecenderungan bahwa umumnya pengujudan suatu tindak
pidana, termasuk tindak pidana korupsi, dengan melibatkan lebih dari satu
orang. Padahal umumnya rumusan delik itu hanya dipersiapkan untuk pembuat
tunggal, sehigga ketentuan tentang penyertaan
(deelneming), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 dan 56 KUHP menjadi sangat strategis. Ketentuan
tersebut itulah yang menyebabkan mereka yang bukan pelaku langsung dapat
dipandang juga karena telah “melakukan
tindak pidana”. Mereka yang “menyuruh melakukan”, “menganjurkan”, ataupun “turut serta melakukan” tindak pidana itu,
juga dipandang melakukan delik itu dan dapat dipidana yang sama dengan mereka
yang “melakukan”. Belum lagi mereka yang “membantu melakukan” suatu delik, juga
dipandang telah melakukan tindak pidana, sekalipun pidana yang dapat dijatuhkan
padanya sedikit lebih ringan (dikurangi sepertiga), kecuali dalam tidak pidana
berat seperti makar, korupsi dan terorisme dapat dipidana yang sama dengan
pembuat materielnya.
Persoalan pokok yang hingga kini selalu
menjadi masalah dalam praktek adalah “bentuk kerjasama” diantara mereka dan
“persyaratan dapat dipertanggungjawabkannya” para peserta karena perbuatannya
itu. Terutama dalam penyertaan itu yang berupa
“turut serta melakukan” atau “medeplegen”,
yang sekarang ini makin kabur
batas-batasnya. Kesesatan yang paling menonjol berkenaan mengenai “turut serta”
adalah menyamaartikan hal itu dengan
“bersama-sama” melakukan delik. Tidak dinilai adanya kesamaan kualitas personal
atau tidak diantara mereka, dengan berada dalam rangkaian terjadinya delik,
perannya besar atau kecil, serta
disadari atau tidak berada dalam rangkaian delik itu, mereka semua
dipidana dengan perantaraan Pasal 55 KUHP tersebut. Pasal ini telah dijadikan dasar menjatuhkan
pidana (strafausdehnungsgrunde), dan
bukan dasar menentukan apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (taatbetandausdehnungsgrunde) dan dapat
dipersalahkan atas hal itu
(schuldausdehnungsgrunde). Tidak mengherankan kalau pengadilan, terutama
Pengadilan Tipikor, dituding sebagai “tempat menghukum”, dan bukan “tempat
mengadili”. Pengadilan bukan lagi menjadi “tempat memisahkan orang tidak
bersalah dari orang-orang yang bersalah”, tetapi telah menjelma menjadi “tempat
menghukum mereka yang diajukan sebagai terdakwa”.
Dalam penyertaan yang berbentuk turut
serta melakukan, kerjasama antara mereka yang melakukan (pleger) dan mereka yang turut serta melakukan (medepleger) mutlak adanya. Dengan kata lain, hanya dengan adanya
kerjasama itu delik dapat diujudkan atau tanpa kerjasama itu delik tidak akan
terjadi. Para penulis menggunakan istilah “kerjasama yang erat” untuk
menggambarkan hal itu, sekalipun diakui pula tidaklah semua mereka harus
mengujudkan perbuatan secara bersama-sama dan berada pada tempat yang sama.
Pendek kata, mereka “bekerja bersama-sama” dan “sama-sama bekerja” untuk
mengujudkan delik itu. Dalam delik suap misalnya, jika pemberian suap dilakukan oleh beberapa orang, maka
masing-masing memainkan peranan penting dalam mengujudkan hal itu. Dikatakan peranan penting disini tentunya
perbuatan yang memiliki kontribusi significant terhadap terpenuhinya unsur “memberi atau menjadikan sesuatu” kepada
penerima suap. Dalam hal ini “deal”,
“kesepakatan” atau “janji” memberikan sesuatu atau hadiah itu, karena mereka
sepenuhnya berbuat untuk itu. Jika kesepakatan dengan penerima suap hanya
dibuat oleh seorang saja, sementara yang lain tidak ambil bagian atas hal itu,
maka penyertaan menyuap belum ada, melainkan penyuapan dengan pemberi suap
tunggal.
Selain itu, kerjasama yang erat saja belum cukup untuk
dapat memidana peserta delik. Kerjasama tersebut harus lahir dari kesadaran
atau pengetahuannya (willen en wettens).
Dengan kata lain, kerjasama dalam penyertaan harus dilakukan dengan kesengajaan
(opzettelijke). Seorang pengemudi taksi yang mengantar
penumpangnya ke sebuah mini market, lalu penumpang tersebut tanpa sepengetahuan pengemudi taksi
ternyata merampok kasir mini market itu, dan melarikan diri dengan menumpang
taksi yang mengantarnya itu, tidak dapat dipandang adanya kesengajaan bekerjasama melakukan pencurian dengan
pemberatan. Secara
lahiriah memang terlihat ada kerjasama diantara mereka, tetapi dilihat dari
segi bathinnya si pengemudi taksi hal itu bukan karena kesadaran atau
pengetahuannya (willen en wettens). Tidak
ada pemahaman dan keinsyafan bagi pengemudi taksi bahwa perannya mengemudikan
mobil menuju dan dari tempat kejadian perkara (crime scene) tersebut, dimaksudkan sebagai perbuatan ambil bagian
dari kejahatan penumpangnya. Kerjasama antara pengemudi dan penumpang taksi
tersebut bukan suatu hal yang disengaja oleh pengemudi taksi, maka tidak ada
kesalahan baginya (zonder schuld).
Dalam kasus penyuapan, jika pemberian
suap (actieve omkoping) terkait
dengan beberapa orang, maka kesepakatan yang dibuat salah satu diantara mereka
dengan penerima suapnya, harus merupakan suatu hal yang disadari dan diketahui
mereka yang lain. Dalam banyak kejadian, yang terjadi justru terputusnya
hubungan kerjasama itu dengan kesengajaannya. Dalam pikiran mereka yang
menyediakan atau memberikan dana dimaksud, sama sekali bukan bagi kepentigan penyuapan, namun jelas-jelas
dana yang digunakan untuk menyuap berasal darinya. Dalam hal ini tidak
terbatahkan adanya kerjasama diantara mereka, tetapi tidak ada kesengajaan bagi
penyandang dananya bahwa kontribusi yang disediakan atau diberikannya itu untuk
kepentingan suatu delik.
Selanjutnya, setelah dapat dibuktikan adanya
kesengajaan dalam berkerjasama dalam penyertaan, maka hal itu juga harus
diikuti dengan kesengajaaan terhadap kejahatannya itu sendiri. Dalam literatur
Hukum Pidana dikatakan hal itu sebagai “kesengajaan ganda” atau “double opzet”. Kesengajaaan pertama,
tadi tertuju pada kepada kerjasamanya, yaitu adanya kesadaran atau pengetahuan
dari mereka yang terlibat atas suatu kerjasama diantara mereka. Kesengajaaan
kedua tertuju kepada kejahatannya itu sendiri, yatu kesadaran atau pengetahuan
dari mereka bahwa keterlibatan mereka semua dalam mengujudkan suatu kejahatan.
Dalam delik penyuapan, inisiatif dan tindakan tersebut
tidak boleh datang dari salah satu pihak saja. Dengan demikian, sekalipun hal
itu merupakan kepentingan beberapa orang secara bersamaan atau kepentingan
orang yang bukan pelaku langsungnya, maka tetap harus dapat dibuktikan
kesadaran bersama atas kehendak menyuap dalam hal ini. Dengan demikian, adanya
kesamaan kepentingan diantara mereka dalam pemberian suap tidak serta merta
dapat dipandang sebagai kesengajaan berkerjasama dalam memberi suap. Adakalanya berbagai pihak
belum benar-benar dapat dipandang sengaja turut serta melakukan kejahatan,
karena sebenarnya bagian inti delik itu sendiri masih sangat jauh dari dapat diwujudkan.
Beberapa orang menyiapkan sejumlah uang dan menyerahkan kepada seseorang untuk
dipergunakan sebagai suap. Sementara orang yang dipercayakan itu belum memiliki “deal”,
“kesepakatan” atau “janji” dengan penerima suapnya. Katakanlah jika telah ada
penangkapan terhadap orang itu, maka
dapat dipandang belum ada kesengajaan untuk turut serta melakukan penyuapan
bagi penyedia dananya. Dalam banyak kejadian
mereka yang menyatakan mampu “memperatarai” penyuapan sebenarnya hanya
berusaha memperdagangkan pengaruh (trading
in inffluence) calon penerima.
Betapa pentingnya memahami “bentuk kerjasama” dan “persyaratan dapat
dipertanggungjawabkannya” para peserta delik. Tentunya hal itu untuk
benar-benar memastikan bahwa pidana dijatuhkan kepada mereka yang telah
melakukan tindak pidana (actus reus)
dan bersalah karenanya (mens rea).
Hanya dengan memisahkan kedua hal itu sebagai buah dari cara berfikir yang dualistis,
maka pidana dapat dikenakan benar-benar terhadap orang yang memiliki kesalahan.
Kesalahan yang memang dibuktikan, dan bukan sekedar diasumsikan ada di dalam
tindak pidananya itu ssendiri (inheren), seperti selama ini menjadi cara
gampang mereka yang berfikir monistis dalam melihat persoalan ini. Tidak
mengherankan jika sekarang ini mereka yang menjadi terpidana banyak yang merasa
sebagai orang yang terdzolimi, karena sebenarnya kesalahan mereka hanya
berdasarkan asumsi-asumsi belaka. Wallahu’alam.