21 Maret 2014

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERSUMBER DARI HUBUNGAN HUKUM KONTRAK DALAM BENTUK PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) DAN COST RECOVERY

Melawan Hukum dalam Hukum Pidana

Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.

Dosen Fak. Hukum UMJ
Rumusan tindak pidana adalah definisi tentang kejahatan, sehingga perumusannya harus sedefinitif mungkin. Sekalipun demikian, pembentuk undang-undang tidak selalu dapat mendefinisikan semua tindak pidana, seperti tidak dapat didefinisikannya “penganiayaan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 351 KUHP. Definisi suatu tindak pidana disusun sedemikian rupa sehingga hal itu dapat dikenali, dibedakan satu dengan yang lainnya ataupun diuraikan dalam bagian perbuatan-perbuatan yang menyusunnya. Dengan memahami “kenmerk” (ciri), “elemen” (unsur) dan “bestanddeel” (bagian inti)[1] suatu tindak pidana maka pada dasarnya sasaran norma yang dimaksud pembentuk undang-undang dengan melarang dan mengancam dengan pidana sutau perbuatan menjadi  terang benderang. 
Dalam definisi suatu tindak pidana harus tercermin adanya perbuatan melawan hukum. Rumusan tindak pidana harus disusun dalam kata-kata yang menggambarkan perbuatan berkonotasi negatif, sehingga dengannya saja sifat melawan hukum dari perbuatan itu menjadi nyata. Dalam hal pembentuk undang-undang tidak menemukan istilah yang dari arti leksikonnya saja sudah mencerminkan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, maka rumusan delik itu harus ditambahkan dengan kata-kata “melawan hukum”.  
Hal ini menjadi konsekuensi dari keyakinan bahwa “melawan hukum” selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana, seperti pada umumnya selalu dianut para ahli hukum pidana, begitu juga dengan penulis. Namun demikian, dalam konteks hukum pidana formil, “melawan hukum” baru harus dibuktikan apabila menjadi “bagian inti” dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain, baru dibuktikan “melawan hukum” jika perkataan tersebut disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Apabila tidak disebutkan maka, dipandang melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur-unsur lain dari suatu tindak pidana, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
Dalam tindak pidana korupsi perkataan “melawan hukum” hanya menjadi bagian inti yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan kata lain, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan hukum perbuatan itu direpresentasikan dengan kata-kata “secara melawan hukum” itu sendiri, sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi. Misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan hukumnya termaktub dari istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Demikian pula misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan hukumnya direpresentasikan dengan perkataan “dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Mengingat melawan hukum menjadi sifat umum dari suatu delik, maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila suatu perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun perbuatan itu tidak akan menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis hakim dalam suatu putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun, termasuk bukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi ataupun ketentuan pidana lainnya. Begitu penting sebenarnya posisi pertimbangan tentang terpenuhi atau tidak terpenuhinya unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak pidana, yang boleh jadi tanpa disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana lainnya dalam kasus itu.
Sementara itu, pada saat sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih mendalam, apakah tindak pidana adalah “species” dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum, atau justru sebaliknya,  melawan hukum itu hanya menjadi ciri, unsur atau bagian inti utama dalam setiap tindak pidana. Kecenderungan praktek peradilan telah menempatkan bahwa suatu tindak pidana adalah salah satu jenis dari sekelompok perbuatan yang melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan tidak ada lagi pengertian khusus ”melawan hukum” dalam hukum pidana, melainkan sama dan sebangun dengan melawan hukum pada umumnya, termasuk pemaknaan yang diberikan dalam bidang hukum perdata ataupun hukum administrasi. Dengan kata lain, memandang pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, seperti misalnya dipersamakan dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata, menyebabkan tindak pidana dipandang sebagai species dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum.
Hal ini berakibat tindakan penegakan hukum yang diambil atas suatu peristiwa, boleh jadi merupakan “keputusan politik” semata. Artinya, kalaupun digunakan instrumen hukum pidana dalam menyelesaikan suatu peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena perbuatan yang dipersoalkan bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi hal itu semata-mata sebagai “plilihan tindakan yang mungkin dilakukan” pemerintah. Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat pertahanan paling akhir (ultimum remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian menyebabkan penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang keputusan politik, tidak benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara berlandaskan hukum.
Kosekuensi di atas sepertinya tidak selalu disadari oleh para akademisi hukum yang mendukung pemikiran pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum (advokat, penyidik, penuntut umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus melawan hukum dalam hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan di luar hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian, yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah memiliki sifat melawan hukum yang umum itu.
 Dalam lintasan sejarah memang dapat disaksikan fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan. Hal ini tergambar dari praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur “dengan melawan hukum”. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel (bertentangan dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah materil, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pergeseran selanjutnya, melawan hukum materil diartikan pada pengertian dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan Terdakwa adalah “tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Mengartikan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif sama artinya memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata.
Berbeda dengan para praktisi (praktek peradilan), kalangan akademisi justru umumnya menolak penerapan melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif. Roeslan Saleh menyatakan sebagai berikut:

“Pandangan mengenai melawan hukum materiil hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya diangap sebagai perbuatan pidana. Jadi suatu perbuatan perbuatan yang dilarang undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi perbuatan pidana. Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil. Fungsinya yang positif, yaitu walapun tidak dilarang undang-undang tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum kita mengingat bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP”.[2]


Sementara itu, sekalipun Komariah E. Sapardjaja mengakui adanya pergesaran paradigma melawan hukum, dari melawan hukum formil kepada melawan hukum materil (kasus Machrus Efendi), dan melawan hukum materil dari fungsinya yang negatif menjadi melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif (kasus Sonson Natalegawa), tetapi beliau tetap memandang sebaiknya melawan hukum hanya diterapkan dalam fungsinya yang negatif. Hal ini didasarkan pada pernyataan beliau:

“Khusus bagi Indonesia, walaupun penafsiran itu dimungkinkan bahkan karena mengingat keadaan perundang-undangan pidana Indonesia sekarang kadang-kadang diperlukan untuk mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan baru, tetapi penafsiran ekstensif ini perlu dibatasi. Hendaknya untuk membatasi penafsiran ekstensif tentang arti sifat melawan hukum, setidak-tidaknya untuk menetapkan hilangnya sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar….” [3]


Dengan ini, berarti Komariah E. Sapardjaja, juga berpendapat bahwa praktek peradilan yang  menerapkan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif, harus dibatasi. Bahkan dengan menerima hal itu sebagai alasan pembenar, maka hal ini berarti keinginan beliau mengembalikannya kepada penerapan ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif.    
Sebenarnya tidak satupun ahli-ahli hukum pidana (akademisi) dapat membenarkan penerapan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Bahkan Indriyanto Seno Adji menyatakan hal-hal sebagai berikut:

“Bagi pandangan materiel, ditemukan suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiel hanyalah digunakan melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya diperlukan untuk meniadakan suatu tidak pidana dengan mempergunakan alasan-alasannya di luar undang-undang.”[4]

Mengenai praktek hukum yang menerapkan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif, memang mulanya memiliki dasar dalam  undang-undang yaitu penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun demikian, perlu diingat dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum” tidak selalu identik  dengan “undang-undang”. suatu ‘aturan undang-undang’ dapat kehilangan kekuatan mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai ‘aturan hukum’, misalnya jika hal itu oleh Putusan  Mahkamah Konstitusi dinyatakan  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu “aturan undang-undang” yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Berkenan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar diterapkanya pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, “telah ditertibkan” dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, yang dengan menyatakannya bahwa hal itu “bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Namun demikian, berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007, yang tidak jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi “latah” menggunakan kembali penafsiran demikian.
Sifat keras kepala praktek peradilan, termasuk yang diperlihatkan oleh Mahkamah Agung, dengan tetap menggunakan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang poitif dan tidak hanya  menerapkannya dalam fungsinya yang negatif, akan berbuah tindakan penegakan hukum yang semata-mata didasarkan pada pilihan dan kehendak politik dari penegak hukum dan hakim. Keingingan mereka sajalah sebenarnya yang menyebabkan suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana, dan bukan bersumber dari amanat pembentuk undang undang ketika melarang dan mengancam dengan pidana suat perbuatan  
Salah satu keberatan mendasar dari pengertian  melawan hukum materiil dalam fungsi positif, termasuk yang digunakan dalam memaknai unsur “dengan melawan hukum” dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya  kecenderungan untuk menerapkan “setiap perbuatan yang tidak hukum” (unlawfully) sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dalam tindak pidana korupsi. Sebenarnya  Oemar Seno Adji telah mengingtakan ekses dari penerapan unsur melawan hukum tersebut sebagai berikut:

“Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan pada para penegak, ”hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan, apabila tidak terapat hambatan, pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak eksessif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.” “Timbullah suatu kesan, seolah-olah peraturan pidana yang    luas/umum tersebut merupakan suatu “all purposes act”, suatu perundang-undangan Pidana yang sifatnya adalah  “all embracing” dan yang menggiring  lain perbuatan pidana ke dalam lingkungan peraturan pidana yang umum/luas dan terbuka, walaupun bukanlah maksud semula untuk memperlakukan tindak pidana lain sebagai tindak pidana yang luas itu “.[5]

Kiranya tidak berlebihan bila dikemukakan juga pendapat PAF. Lamintang terhadap hubungan antara sifat melawan‑hukum (onrechtmatige daad) dalam hukum perdata dengan sifat melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijk), yang menurut beliau belum tepat untuk menyamakan kedua hal tersebut di Indonesia.

"Apabila di dalam bidang hukum Perdata orang berpendapat bahiwa setiap "onrechtmatige daad " atau setiap perilaku yang bersifat melawan hukum itu dapat menjadi dasar untuk menuntut ganti rugi seperti yang dimaksud Pasal 1365 BW, maka saya kira tidak akan seorang pun akan mengajukan keberatannya, akan tetapi masalahnya menjadi lain apabila setiap perilaku yang di dalam bidang hukum perdata itu dapat dikualifikasikan sebagai onrechtmatige daad itu secara material harus dianggap sebagai bersifat "wederrechtelijk" hingga pelakunya dapat dihukum, walaupun tindakanya itu tidak diatur di dalam sesuatu ketentuan pidana menurut undang‑undang, oleh karena hal tersebut sudah jelas akan bertentangan dengan usaha manusia yang telah berjalan berabad‑abad lamanya untuk mendapatkan suatu kepastian hukum bagi setiap manusia, dan bagi kita di Indonesia hal tersebut sudah jelas bertentangan dengan bunyinya Pasal 1 ayat 1 KUHP".[6]

             Sifat keterlaluan dan kebablasan dari praktek peradilan dalam menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan perbuatan melawan hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang menurut ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi pelanggaran-pelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi, yang dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai perbuatan melawan hukum (wedderchtelijk heid).  Apabila pada bagian awal dari tulisan ini telah penulis kemukakan bahwa adanya kecenderungan untuk menjadikan seluruh tidak pidana sebagai bagian dari kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka lebih parah lagi disini, dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu perjanjian juga dipandang sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara melawan hukum dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad), melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk heid), maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi. Kontrak yang tadinya hanya dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat “layaknya undang-undang  bagi yang membuatnya” (pacta sunc servanda), kini dipandang kontrak sebagai ”identik dengan undang-undang”. Sama kekuatannya antara undang-undang, yang tidak lain merupakan pengejawatahan  kehendak rakyat melalui parlemen, dengan kontrak yang menjadi kehendak pribadi dari individu-idividu yang melaksanakan kontrak.
            Pelanggaran kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu perbuatan   melawan hukum, baik  dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad) maupun  dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk heid). Kalaupun terjadi perbuatan melawan hukum terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak, maka peristiwa itu bukan pelanggaran kontraknya, tetapi aturan hukum yang menjadi dasar diadakannya hubungan-hubungan kontraktual tersebut. Perbuatan melawan hukumnya terjadi karena adanya pelanggaran dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut.
            Product Sharing Contract (PSC) adalah bentuk kontrak yang dapat diadakan berkenaan  kegiatan hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Dengan demikian, pelanggaran suatu PSC semata tidak dapat dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum, baik  dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad) maupun  dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk heid). Pelanggaran PSC tidak dpat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat kemungkinan adanya  perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan dan pelaksanaan PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak diturutinya perintah maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 berserta peraturan pelaksanaannya. 

Analisis Putusan No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013
            Putusan No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013 atas nama terdakwa WIDODO, dalam amarnya memutus sebagai berikut:
  1. Menyatakan terdakwa WIDODO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Dakwaan Primair;
  2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwa Primair;
  3. Menyatakan terdakwa WIDODO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam Dakwaan Subsidiair;
  4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidan kurungan selama 3 (tiga) bulan;
  5. Menetapkan dst

Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim perkara No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Juli 2013 tersebut telah memutus “dengan suara terbanyak” WIDODO melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dikatakan “dengan suara terbanyak” karena majelis tidak berhasil mengambil keputusan dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dari anggota majelis tersebut.
Dalam pertimbangannya, mayoritas anggota majelis perkara yang diputus dengan putusan No 82/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, berpendapat dalam hlm 235 sebagai berikut:

“bahwa terdakwa WIDODO selaku Team Leade Waste Management SLN Duri PT. Chevron Pacific Indonesia, memiliki tugas antara lain untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor telah sesuai dengan isi kontrak yang sudah dibuat oleh tim pengadaan perusahaan. Menimbang bahwa dengan karakter, status/kedudukan atau sifat Terdakwa tersebut tidak terdapat dalam Dakwaan Primair sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari Dakwaan Primair”

Sebenarnya, tidak jelas betul apa yang dimaksud dengan pertimbangan tersebut di atas. Namun demikian, apabila yang dimaksud adalah bahwa Terdakwa WIDODO tidak memiliki kapasitas untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair, sehingga harus dibebaskan, sama artinya Terdakwa WIDODO tidak akan dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Mengingat salah satu usur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal  2 ayat (1)  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah unsur  “dengan melawan hukum”, maka dalam perkara ini Terdakwa  WIDODO tidak (akan dapat) memenuhi unsur “melawan hukum”.  Dengan demikian, perbuatan Terdakwa WIDODO tidak memiliki sifat umum dari setiap tindak pidana, yaitunsifat melawan hukum, sehingga menjadi pertimbangan yang saling bertentangan jika Majelis Hakim pada bagian lain justru memutuskan Terdakwa WIDODO terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal  3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang didakwakan dalam Dakwaan Primair. Bukankah “menyalahgunakan kewenangan” disini hanya menjadi representasi sifat melawan hukum dari  tindak pidana korupsi tersebut, sehingga dibebaskannya yang bersangkutan dari Dakwaa Primair mutatis mutandis menyebabkan yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana apapun, termasuk yang didakwakan dalam Dakwaan Susidiair.
Hakim Anggota II (Annas Mustaqim, SH, MH) yang memberikan pendapat berbeda tentang hal ini, yang dengan terang benderang memaknai  melawan hukum meliputi  pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif,  dalam halaman 284, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terdakwa selaku Team Leader Waste management PT. Chevron Pacific Indonesia terhadap pekerjaan Bioremediasi yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia yaitu membiarkan pekerjaan bioremediasi dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, menyalahi Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, maka Hakim Anggota II berpendapat perbuatan terdakwa telah bersifat melawan hukum”.
           
Dalam pertimbangan tersebut, Hakim Anggota II berpandangan bahwa perbuatan Terdakwa WIDODO bersifat melawan hukum karena hal-hal sebagai berikut:
  1. Membiarkan (nalaten) orang lain (Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia) melanggar peraturan perundang-undangan (Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003). Hakim Anggota II tidak menjelaskan lebih lanjt, apakah perbuatan pembiaran tersebut melanggar peraturan perundang-undangan bagi Terdakwa Widodo. Jika dihbungkan dengan pertimbangan mayoritas anggota Majelis Hakim yang memandang Terdakwa WIDODO tidak memiliki kapasitas melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair, maka tidak terdapat perintah peraturan perundang-undangan yang dilanggar Terdakwa WIDODO dalam melaksanakan tugasnya itu. Dengan demikian, Hakim Anggota II telah menerapkan dua dikonstruksi hukum yang tidak lazim, yaitu:
a.    Menerapkan vicarious liability atas perbuatan Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia terhadap Terdakwa WIDODO, padahal keduanya tidak berada dalam satu korporasi;
b.    Menerapkan hubungan penyertaan antara Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia dan Terdakwa WIDODO dalam bentuk “participation by omission”, padahal tidak ada ketentuan undang-undang yang menetapkan perbuatan demikian sebagai delik.
  1. Dalam hal pelaksanaan Bioremediasi yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM tersebut yang telah dituangkan dalam kontrak antara PT. Chevron Pacific Indonesia dan PT. Green Planet memang benar tidak merujuk atau  bertentangan Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, maka perbuatan melawan hukum tersebut sebenarnya dilakukan oleh pihak PT. Chevron Pacific Indonesia sebagai suatu korporasi, sebagai pihak  berkewajiban membersihkan lingkungan yang tercemar karena kegiatannya. Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003 tidak memberikan kewajiban pribadi ataupun jabatan kepada Terdakwa WIDODO untuk menentukan kontrak bioremediasi secara demikian.  Dengan demikian, Terdakwa WIDODO dipertanggungjawabkan atas perbuatan korporasinya tempatnya bekerja, padahal Terdakwa WIDODO bukan unsur fungsional yang mempunyai tugas dan fungsi menentukan hubungan hukum dengan Direktur PT. Green Planet Indonesia, yang ruang lingkup hubungan kontraktualnya ditentukan dalam Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003;
  2. Dalam hal pelaksanaan Bioremediasi yang dikerjakan oleh saksi Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia dengan metode landfarming yang dilakukan oleh Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM menyimpang dari kontrak antara PT. Chevron Pacific Indonesia dan PT. Green Planet, sehingga pelaksanaannya bertentangan Lampiran II Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, Terdakwa WIDODO dipandang melakukan perbuatan melawan hukum karena membiarkan Ir. Ricksy Prematuri, Dipl, MM, selaku Direktur PT. Green Planet Indonesia wanprestasi/cidera janji;
  3. Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan oleh Hakim Anggota II tersebut, sama sekali berlainan atau sangat berbeda dengan apa yang didakwa dan dituntut oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa WIDODO, yaitu dalam kedudukan selaku Petugas Lapangan maupun telah melakukan penandatangan OE/HPS dalam proses pemilihan Penyedia Jasa Biremediasi di wilayah SLS Minas telah bertentangan dengan Pedoman Tata Kerja Pengolaan Rantai SUplai Kontraktor Kontrak Kerjasama BP Migas No. 007/PTKIV/2004 dihubungkan dengan Pengawasan yang dilakukan BP Migas sebagaimana diatur dalam Pedoman Tata Kerja BP Migas No. 007 Revisi-1/PTK/IX/2009 dalam Bab II tentang Kewenangan dan Pengawasan. Dalam hal ini Hakim Anggota II telah “mengambilalih” kewenangan penyidik dan penuntut sekaligus atau menyatakan kebersalahan seorang terdakwa padahal hal itu tidak didakwakan dalam Surat Dakwaan (ultra petita);

Pemahaman pengertian melawan hukum Hakim Anggota II jelas keliru karena menggunakan pengertian yang bukan saja bertentangan dengan asas legalitas, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang, doktrin, atau yurisprudensi yang bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law in the land menunjukkan adanya perkosaan terhadap hak-hak dasar individu. Selain itu, pertimbangan Hakim Anggota II tersebut menunjukkan adanya “logika yang dipaksakan” tentang fakta dan hukum yang menjadi dasar pendapatnya.
Sementara itu, Hakim Anggota IV (SOFIALDI, SH), memberikan dissenting opinion terhadap pekara ini dengan menyatakan hal-hal sebagai berikut dalam halaman 304:
“Menimbang, bahwa terhadap tuntutan di atas menurut Hakim Anggota IV adalah tidak beralasan karena tidak ada satu pasalpun dalam Kepmen KLH No. 128  Tahun 2003 yang mengatur tentang pengawasan terhadap pelaksanaan pengolahan tanah terkontaminasi dari pekerjaannya yang diserahkan kepada pihak ketiga/kontraktor…”

Pendapat Hakim Anggota IV ini dengan sendirinya mematahkan dasar dari penentuan perbuatan melawan hukum oleh Terdakwa WIDODO, yaitu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Kepmen LH N. 128 Tahun 2003. Bagaimaa mungkin seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, karena perbuatannya bertentangan dengan Kepmen LH N. 128 Tahun 2003, padahal tidak terdapat satu ketentuanpun yang mengatur berkenaan pekerjaan atau tugas dan fungsi yang bersangkutan.

Analisis Putusan No. 85/PID.B/TPK/2012/PN. JKT.PST tanggal 07 Mei 2013
Putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 07 Mei 2013 atas nama terdakwa Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, dalam amarnya memutus sebagai berikut:
  1. Menyatakan terdakwa Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT;
  2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selam 2 (dua) bulan;
  3. Menghukum dst

Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim perkara No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 07 mei 2013 tersebut telah memutus “dengan suara terbanyak” Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dikatakan “dengan suara terbanyak” karena majelis tidak berhasil mengambil keputusan dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dari anggota majelis tersebut.
Dalam pertimbangannya, mayoritas anggota majelis perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, berpendapat dalam hlm 192 sebagai berikut:
“Menimbang, berdsarkan argumentasi hukum di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa disamping hukum formil sebagai sumber hukum positif maka doktrin dan yurisprudensi juga harus dipandang sebagai sumber hukum, dengan demikian majelis sependapat dengan pendapat Majelis Hakim MA RI di atas yang memaknai perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara tindak pidana korupsi….”

Pandangan majelis hakim  perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST yang demikian itu mencerminkan betapa tidak bergunanya   mekanisme yang dibangun dalam Konstitusi yang memberikan hak kepada semua orang untuk menguji keberlakuan suatu norma dan interpretasinya apabila dihubungkan dengan staats fundamental norm. Selain itu, demokratisasi penegakan hukum juga telah menjadi sirna, yang membedakan kewenangan pembentuk undang-undang dan pengadilan yang mengadili pelanggarannya. Menganut paham bahwa melawan hukum dalam hukum pidana dapat diwujudkan hanya dengan melanggar kepatutan atau kepantasan membuat hakim dapat menentukan menuliskan suatu norma baru dan sekaligus menerapkannya.
            Dalam halaman 199 dipertimbangkan majelis hakim  perkara yang diputus dengan putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa karena Perusahaan PT. Green Planet tidak mempunyai ijin untuk melakukan pekerjaan bioremediasi dari KLH sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Kepmen No. 128 Tahun 2003, dengan demikin perbuatan terdakwa selaku DIrektur PT. GPI melakukan kontrak kerja dengan PT. CPI untuk melakukan pekerjaan bioremediasi sebagaimana tersebut di atas adalah suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

Terhadap pertimbangan tersebut Ir. RICKSY PREMATURI, Dipl., MM dipandang melakukan perbuatan melawan hukum karena hal-hal sebagai berikut:
  1. Melakukan kontrak kerja Bioremediasi dengan PT CPI sekalipun tidak mempunyai ijin untuk melakukan pekerjaan bioremediasi dari KLH. Padahal dari segi hukum jikalau ijin tersebut membuat PT. Green Planet Indonesia “tidak cakap” dalam bertindak dalam suatu kontrak, maka hal itu hanya memiliki konsekuensi secara keperdataan, berupa batalnya kontrak demi hukum (null en void), yang menjadi dasar bagi BP MIGAS untuk menolak klaim cost recovery yang diajukan PT. Chevron Pacific Indonesia.    
  2. Melakukan kontrak kerja Bioremediasi dengan PT CPI sekalipun tidak mempunyai ijin untuk melakukan pekerjaan bioremediasi dari KLH tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum  Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM, baik sebagai pribadi maupun sebagai Direktur PT. Green Planet Indonesia. Apabila bernar demikian hal itu merupakan perbatan melawan hukum PT. Chevron Pacific Indonesia telah menyerahkan sebagian tanggungjawabnya memulihkan keadaan lingkungan yang tercemar akibat kegiatannya kepada pihak yang “tidak cakap” untuk bertindak untuk dan atas namanya. Dikatakan melawan hukum karena kontrak Bioremediasi dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak menuruti perintah peraturan perundang-undangan. Ketiadaan ijin tersebut dapat menjadi dasar untuk tidak menerima tawaran ataupun proposal kerja dari PT. Green Planet Indonesia oleh PT. Chevron Pacific Indonesia;
  3. Perbuatan melawan hukum Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM dipandang dapat terjadi karena perbuatannya melakukan pekerjaan bioremediasi adalah suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal benar demikian pada dasarnya kontrak bioremediasi antara PT. Chevron Pacific Indonesia dan PT. Green Planet Indonesia dipandang “tidak memiliki kausa yang halal” dalam suatu mengadakan suatu kontrak, maka hal itu hanya memiliki konsekuensi secara keperdataan, berupa batalnya kontrak demi hukum (null en void), yang menjadi dasar bagi BP Migas untuk menolak klaim cost recovery yang diajukan PT. Chevron Pacific Indonesia;    
  4. Perbuatan melawan hukum Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM dipandang dapat terjadi karena perbuatannya melakukan pekerjaan bioremediasi adalah suatu perbuatan melawan hukum, karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kalaupun berakibat pada lapangan hukum publik, hanya menimbulkan dasar untuk memberi sanksi administratif (jika ada) pada perbuatan demikian atau sanksi pidana berdasarkan   Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  5. Dalam hal cost recovery yang diajukan PT. Chevron Pacific Indonesia tetapi disetujui BP MIGAS, sekalipun kontrak bioremediasi yang dilakukannya dengan PT. Green Planet Indonesia melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perbuatanmelawan hukum pertama-tama terjad karena tindakan BP Migas, karen dari sinilah “keuangan negara” dalam bentuk cost recovery disetujui;

Konstruksi penerapan pengertian melawan hukum dalam  putusan No 85/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST menempatkan hukum pidana sebagai primum remedium, dan menempatkan undang-undang tindak pidana korupsi sebagai “multy purposes act” (undang-undang keranjang sampah), dan bukan sebagai special purposes act yang menjadi pengelolaan keuangan negara atau perekonomian negara berjalan pada tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Hakim Anggota II (Sofiandi, SH) memberikan dissenting opinion dalam halaman 234  dengan menyatakan hal-hal sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan hukum di atas tidak ada keharusan memperoleh ijin bagi kontraktor yang melakukan sebagian pekerjaan atas permintaa perusahaan/industry yang telah memperoleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup…”

Pertimbangan ini sebenarnya membuat jelas dan terang benderang, bahwa untuk melakukan kontrak bioremediasi kewajiban memiiki ijin ada pada penanggung jawab usaha yang kegiatannya menghasilkan limbah, yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh karena itu,  perbuatan Ir.  RICKSY PREMATURI, Dipl., MM sebagai Direktur PT. Green Planet  tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum karena perbuatannya tidak bertentangan dengan Kepmen No. 128 Tahun 2003 ataupun Pasal 40 ayat (1) a Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 31 tahun 2009 tetang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana dipertimbangkan oleh mayoritas majelis hakim lainnya.






[1] Ketiga istilah ini digunakan untuk menggambarkan substansi perbuatan yang dengan itu ternyata  definisi suatu tindak pidana. Bahkan khusus berkenaan dengan “elemen” (unsur) dan “bestanddeel” (bagian inti) digunakan secara ‘terbolak-balik’ oleh para ahli. Seorang ahli hukum pidana menyebut sesuatu sebagai “elemen”, tetapi hal yang sama menurut ahli yang lain sebagai “bestanddeel”. Begitu sebaliknya. Sekalipun demikian, istilah “elemen” atau “elementen”, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “unsur” atau “unsur-unsur”, adalah istilah yang paling popular.
[2]Roeslan Saleh,  Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987),18
[3]Komarian E Sapardjaja,  Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), 225-226,
[4]Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana,  (Jakarta: Kantor Pengacara Prof. Dr. Oemar Seno Adji, 2002), 306.

            [5]Oemar, Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985, 247.

[6](lihat Drs. P.A.F. LAMINTANG, S.H., Dasar‑dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997).