27 April 2016

KETERANGAN AHLI Tentang Konstitusionalitas Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945


KETERANGAN AHLI
Tentang Konstitusionalitas Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

oleh:
Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)
 
Yang Mulia,  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat, Pemohon atau Kuasa Hukumnya,
Hadirin yang berbahagia.

Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan pengujian undang-undang ini. Mengingat Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi yang diuji konstitusionalitasnya, merupakan norma Hukum Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya. Saya akan memfokuskan Keterangan Ahli ini pada persoalan utamanya saja, yaitu “masalah permufakatan jahat”, sekalipun disana sini mengkaitkannya dengan masalah lain yang juga diatur didalam pasal yang diuji ini, yaitu percobaan dan pembantuan. Dalam hal ini penjelasan dibagi kedalam dua bagian keterangan, yaitu: pertama persoalan kedudukan norma “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dikaitkan dengan sistem perundang-undangan pidana, dan yang kedua, tentang makna norma “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 itu sendiri.


Kedudukan norma “permufakatan jahat” dalam sistem perundang-undangan  pidana

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 15

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14

Dilihat dari substansinya pasal ini merupakan bentuk kriminalisasi tidak sempurna (uncomplete criminalization), karena hanya memuat sanksi pidana yang dapat dijatuhkan (strafmaat dan strafsoort), itupun dengan merujuk sanksi pidana yang ada di rumusan tindak pidana lainnya (Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14), tanpa memberikan rumusan unsur-unsur perbuatan yang dilarangnya (strafbaar). Dalam hal ini Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 melarang dan mengancam dengan pidana perbuatan-perbuatan sebagai berikut:

1)       Percobaan tindak pidana korupsi;
2)       Pembantuan tindak pidana korupsi, dan;
3)       Permufakatan Jahat tindak pidana korupsi.


Tidak ada unsur (strafelemen), uraian cara melakukan (strafmodus) atau penjelasan lebih lanjut mengenai maknanya, tentang apakah yang dimaksud perbuatan-perbuatan atau istilah-istilah tersebut, dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999, ataupun undang-undang tentang tindak pidana korupsi lainnya, seperti: Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption sebagai Undang-Undang dan lain sebagainya. Seolah-olah telah jelaslah unsur-unsur dan maknanya dari perbuatan-perbuatan atau istilah-istilah tersebut. Padahal suatu rumusan tindak pidana bukan hanya harus secara tertulis (lex scripta), tetapi juga tegas batas-batasnya (lex stricta), dan tentunya jelas maksudnya hingga tidak dapat ditafsirkan lain (lex certa), karena dengannya hak-hak konstitusional seseorang sedang dikurangi.

            Memang, dilihat dari segi Ilmu Hukum Pidana, istilah percobaan (poging), pembantuan (medeplightige) dan permufakatan jahat (samenspanning) merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi. Ketiganya merupakan konsep tentang perluasan berlakunya ketentuan undang-undang tentang suatu tindak pidana (tatbestandausdehnungsgrud), dengan cara menduplikasikannya. Suatu rumusan tindak pidana, dikaitkan dengan konsep tersebut, menjadi suatu tindak pidana tersendiri. Namun demikian, ketika menjadi suatu rumusan delik, jelas secara keilmuan (by science), belum tentu jelas secara perundang-undangan (by law).
           
            KUHP  memang telah merumuskan unsur-unsur percobaan (Pasal 53 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) dan permufakatan jahat (Pasal 88 KUHP). Namun demikian, “kedudukan” yang berbeda antara pasal-pasal tersebut terhadap ketentuan pidana diluar KUHP, termasuk yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, berbeda satu sama lain, khususnya berbeda antara ketentuan pidana tentang percobaan/pembantuan, dengan permufakatan jahat. Ketentuan tentang percobaan (Pasal 53 KUHP) dan pembantuan (Pasal 56 KUHP) dapat digunakan bagi ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP, yang menentukan sebagai berikut:

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi  perbuatan-perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain.”

Dalam hal ini, Pasal 53 yang didalamnya mengatur tentang unsur-unsur percobaan melakukan kejahatan berada dalam Bab IV tentang Percobaan,  sedangkan Pasal  56 KUHP yang didalamnya mengatur tentang unsur-unsur pembantuaan melakukan kejahatan, berada dalam Bab V Penyertaan Dalam Delik. Dengan demikian secara sistematis, ketentuan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP tentang percobaan, dan pembantuan merupakan unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam KUHP tetapi juga berlaku bagi tindak pidana di  luar KUHP, jika undang-undang itu menggunakan istilah-istilah tersebut atau menentukan perbuatan percobaan atau pembantuan tindak pidana itu juga turut dipidana.  Dalam konteks permohonan dalam perkara ini, maka secara sistememik, makna istilah “percobaan” dan “pembantuan” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah identik dengan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP, karena Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menentukan definisinya sendiri, sehingga berlaku ketentuan Pasal 103 KUHP.

            Berbeda halnya dengan istilah “permufakatan jahat”, yang didalam KUHP dirumuskan pengertiannya dalam Buku Kesatu, Bab IX Tentang Arti Beberapa Istilah Yang Dipakai Dalam Kitab Undang-Undang,  Pasal 88 KUHP.  Ketentuan ini tidak dapat dipakai dalam perundang-undangan pidana atau perundang-undangan lainnya di luar KUHP, karena permufakatan jahat tidak masuk dalam Pasal 103 KUHP (hanya Bab I s/d Bab VIII Buku Kesatu KUHP),  dan terdapat  Bab IX Buku Kesatu KUHP. Artinya, dalam konteks perkara ini, istilah “permufakan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak dapat mengacu pada Pasal 88 KUHP, kecuali ditegaskan oleh  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 itu sendiri.

            Mengingat Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberi rumusan unsur (strafelemen), uraian cara melakukan (strafmodus) atau penjelasan lebih lanjut mengenai makna perbuatan atau istilah “permufakatan jahat”, dan juga tidak merujuk ketentuan Pasal 88 KUHP, sehingga memperluas bekerjanya Pasal 103 KUHP, maka norma “permufakatan jahat” dapat dipandang sebagai norma yang samar pengertiannya (vaagennorm), yang bertentangan dengan Konstitusi karena tidak menjamin “kepastian hukum”. Tampaknya ini merupakan “kelalaian” pembentuk undang-undang yang potensial akan merugikan konstitusonal warga negara dan siapapun yang menjadi subjek tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pada dasarnya “permufakatan jahat” adalah nama dan bukan perbuatan itu sendiri. Hal ini menyebabkan, makna “permufakatan jahat” tidak boleh hanya didasarkan pada penafsiran, melainkan harus dirumuskan dalam undang-undang dalam bentuk penguraian unsur-unsurnya. Mengingat pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi tidak memberi unsur-unsur tersebut, baik dirumuskan sendiri maupun merujuk pada ketentuan yang ada, maka hal ini memberi peluang untuk dilakukan pemaknaan atas hal itu dengan cara apapun juga, yang karenanya dapat dipandang mengabaikan persyaratan lex scripta, lex stricta dan lex certa. Seperti misalnya mereka yang memaknai permufakatan jahat cukup hanya jika telah ada “meeting of minds bukan perbuatan, yang pada dasarnya bukan konsep yang berasal dari Hukum Pidana Indonesia, dan juga umumnya civil law system.   Meeting of minds adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya mens rea (guilty mind) dalam kejahatan conspiracy, yang terdapat dalam common law system. Meeting of minds adalah persesuaian kehendak atau persamaan niat diantara orang-orang yang akan mengadakan conspiracy. Dengan demikian, meeting of minds bukan “perbuatan”, tetapi merupakan “sikap batin” ketika melakukan perbuatan.  Oleh karena itu, merupakan kekeliruan yang mendasar apabila memandang dapat dipidananya permufakatan jahat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 88 KUHP, semata-mata dengan telah adanya meeting of minds terhadap perbuatan tersebut. Permufakan jahat adalah perbuatan (actus reus), yang untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana membutuhkan kesalahan (mes rea), sesuai dengan asas geen straf zonder schuld atau no liability without fault (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Dengan demikian, permufakatan jahat tidak sama dengan meeting of minds, yang notabene merupakan unsur kesalahan (mens rea) dalam permufakatan jahat itu sendiri. Apabila permufakatan jahat dipersamakan dengan meeting of minds maka sama artinya memidana “kehendak”, “niat”  atau ”mens rea” semata. Suatu konstruksi penafsiran terhadap “permufakatan jahat” yang sangat berbahaya, yang dapat menyebabkan hak-hak konstitusional seseorang dirampas hanya karena ada “su’udzon” belaka berbentuk “meeting of minds” itu. Oleh karena itu, sedikit berbeda dengan Pemohon dalam permohonan ini, menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Pidana, frasa “permufakatan jahat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Hadirin yang saya hormati


Makna norma “permufakatan jahat”
           
Dalam Hukum Pidana, dikatakan telah ada  permufakatan jahat apabila “dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 KUHP. Dengan demikian, permufakatan jahat tidak dapat berdiri sendiri, melainkan bagian dari persiapan melakukan penyertaan tindak pidana, yaitu membuat kesepakatan diantara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana tertentu.  Selain itu, tidak semua permufakatan merupakan tindak pidana, tetapi hanya kesepakatan akan melakukan tindak pidana-tindak pidana tertentu yang ditentukan secara tegas dalam undang-undang. Dengan kata lain, tidak merupakan permufakatan jahat yang dapat dipidana, jika yang disepakati akan dilakukan adalah kejahatan-kejahatan yang tidak dinyatakan oleh undang-undang, bahwa permufakatan jahatnya juga dipidana.

Perbuatan permufakatan jahat tidak disiapkan dapat dipidana untuk semua tindak pidana. Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud dalam “permufakatan jahat” tidak diatur dalam Bab I s/d Bab VIII Buku Kesatu KUHP hanya untuk delik-delik yang tidak memerlukan kualitas, yang berdasarkan Pasal 103 KUHP juga berlaku bagi tindak pidana diluar KUHP. Permufakatan jahat hanya ditujukan terhadap Kejahatan terhadap Keamanan  Negara, antara lain : sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP, yang hal ini ditentukan secara khusus dalam Pasal 110 KUHP. Hal ini merupakan isyarat pembentuk WvS bahwa hanya kejahatan-kejahatan yang sangat-sangat serius dan mengancam eksistensi negara saja yang bisa dipidana dengan ketentuan ini.

Perkembangan perundang-undangan pasca kemerdekaan, ternyata juga mengkriminalisasi beberapa tindak pidana di luar KUHP, seperti misalnya tindak pidana korupsi, sehingga dapat dipidana sekalipun baru berupa permufakatan jahat, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun seperti telah saya jelaskan dalam bagian pertama  penjelasan di atas, secara sistemik ketentuan Pasal 88 KUHP tidak dapat dirujuk sebagai perumusan unsur-unsur permufakatan jahat, karena tidak diamanatkan Pasal 103 KUHP. Meskipun demikian, kalaulah konstruksi di atas dipandang “terlalu keras”, masalahnya kemudian memusat pada persoalan, apakah pengertian permufakatakan jahat dalam Pasal 88 KUHP secara substansial memang dapat dipandang memadai untuk diterapkan dalam delik-delik korupsi, sebagaimna dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Pada dasarnya pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP hanya ditujukan bagi delik-delik yang tidak memerlukan kualitas tertentu untuk melakukannya, seperti   Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Pasal-pasal pidana lainnya yang dialamatkan terhadap orang dengan kualitas khusus, seperti pegawai negeri, anggota tentara, dokter, nahkoda, seorang ibu dan lain sebagainya sama sekali tidak ada yang ditetapkan dapat dipidana karena permufakatan jahatnya. Berbeda dengan tindak pidana korupsi, yang dapat dilakukan oleh orang pada umumnya, seperti dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tetapi berkenaan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, merupakan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan kualitas khusus (kwaliteisdelicts).
 
Berdasarkan hal di atas, ketika permufakatan jahat menurut versi Pasal 88 KUHP digunakan pula bagi tindak pidana korupsi, yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan kualitas khusus (kwaliteisdelicts), maka “dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan” tersebut, harus diartikan hanya dapat diterapkan bagi “perbuatan orang-orang dengan kualitas yang sama”. Oleh karena itu, terlepas dari konstruksi dalam bagian pertama pendapat saya di atas, setidak-tidaknya ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 88 KUHP dinyatakaan  konstitusional bersyarat, apabila frasa “permufakatan jahat” diartikan   “dua orang atau lebih dengan kualitas yang sama telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Hal ini sepertinya sejalan dengan yang mohonkan oleh Pemohon dalam perkara ini. 

Pada sisi lain, perlu juga dipahami bahwa Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 merupakan tindak pidana korupsi yang berasal dari tindak pidana-tindak pidana dalam KUHP, antara lain: Pasal 209, Pasal 210, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal  425, ataupun Pasal 435 KUHP. Namun demikian, tidak satupun pasal-pasal tersebut yang ditegaskan dalam KUHP juga dapat dilakukan sekalipun dalam fase “permufakatan jahat”.  Oleh karena itu, tidak pada tempatnya pula jika Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 KUHP. Hal ini merupakan bentuk overcriminalization yang telah dilakukan pembentuk undang-undang, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang hendak dilindungi oleh Konstitusi. Dengan demikian, kembali berbeda dengan konstruksi yang dimohonkan dalam permohonan ini, maka pada dasarnya Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan bahwa frase “Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 bertentangan dengan undang-undang dasar dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum.

Sementara itu, perlu diingat bahwa permufakatan jahat terhadap tindak pidana korupsi, frasa “Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” yang ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, seharusnya selain berkedudukan sebagai penentuan sanksi pidana (strafmaat dan strafsoort) bagi permufakatan jahat tindak pidana korupsi, tetapi juga menjadi delik inti (berstanddeelen delicts) dari tindak pidana permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi tersebut itu sendiri. Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 merupakan delik kualitatif karenanya tidak dapat dijatuhkan delik permufaktan jahat. Oleh karena itu, dalam menerapkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mutlak harus ditentukan tindak pidana korupsi yang mana yang “disepakati oleh dua orang atau lebih akan dilakukan”. Bukan adanya kesepakatan saja yang penting diantara orang-orang itu, tetapi kesepakatan untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi tertentu, yaitu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 199 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, jika frasa “Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” dinyatakan inkonstitusional.


Berdasarkan uraian di atas, memidana permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi, hanya apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Komponen Perbuatan (actus reus), yaitu:
(1)              Adanya kesepakatan dua orang atau lebih, atau kesepakatan dua orang atau lebih dengan kualitas yang sama;
(2)              Adanya perbuatan dari orang-orang yang bersepakat itu yang tertuju pada suatu unsur atau unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,  baik suatu tujuan yang melawan hukum ataupun suatu tujuan yang sah tetapi dilakukan dengan cara yang melawan hukum;

b.       Komponen Kesalahan (mens rea), yaitu:
(1)             Terdapat “persesuaian kehendak”, “kesamaan niat” atau “meeting of minds” diantara dua orang atau lebih tersebut yang tertuju pada sasaran yang dilarang;
(2)              Adanya dampak terhadap kepentingan hukum tertentu yang dituju dari sasaran perbuatan yang disepakati dua orang atau lebih tersebut;

Demikian pendapat saya. Wallaualam.