17 Juni 2016

Tanggapan Terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia



Oleh: Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.

Umum

    1.   Urgensi revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian)
a.    Kepentingan revisi UU Kepolisian harus juga diletakkan dalam konteks reformasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, mengingat salah satu fungsi Polri adalah sebagai “penegak hukum”. Dalam hal ini, Polri tidak dapat dipandang semata-mata  pelaksana fungsi pemerintahan, tetapi juga merupakan badan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
 b.Pelaksanaan fungsi Polri sebagai Penegak Hukum menempatkan lembaga ini bukan bagian dari kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, tetapi menjelma menjadi bagian dari kekuasaan yudikatif yang merdeka dan independen, dengan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun juga. Oleh karena itu, patut dipertanyakan “tempus” dari pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU kepolisian (RUU) ini, mengingat sekarang ini sedang dibahas DPR dan Pemerintah RUU KUHP, yang nantinya harus pula diikuti dengan pengajuan RUU KUHAP. Dengan demikian, RUU Perubahan UU Kepolisian seharusnya diajukan “setelah” RUU KUHP dan RUU KUHAP ditetapkan sebagai undang-undang;

     2.   Perubahan atau Penggantian UU Kepolisian
a.    Secara keseluruhan RUU mengadakan perubahan beberapa konsepsi yang bersifat fundamental, seperti berkenaan dengan kedudukan kelembagaan Polri dalam sistem ketatanegaraan, pengisian jabatan Kapolri, prinsip tata kelola dan pelaksanaan fungsi dan tugas, serta reposisi kedudukan Kompolnas. Oleh karena itu, RUU ini sebenarnya lebih tepat sebagai RUU yang mengganti UU Kepolisian dan bukan revisi hal itu. 
b.   Tambahan lagi beberapa perubahan yang lebih merupakan  perbaikan kebahasaan dan teknik perundang-undangan, juga turut direvisi, sehingga telah merubah hakekat undang-undang tersebut secara keseluruhan, dan karenanya kalaupun hal ini dilakukan tidak lagi bersifat perubahan semata; 

Khusus
    3.   Kedudukan Polri dalam Sistem Pemerintahan Negara
a.    Pada dasarnya suatu UU seperti layaknya “bejana berhubungan”, dimana perubahan suatu ketentuan akan berpengaruh pada ketentuan yang lain. RUU tampaknya mengadakan perubahan teknis perundang-undangan, tetapi hal itu justru menjadi “mengganggu” karena “tidak bersambungan” satu sama lain secara sistemis. Misalnya Pasal 2 ayat (1) dan  Pasal 1 angka 1 RUU yang pada dasarnya keduanya berisi “pengertian” dari Polri, yang dalam hal ini menggunakan pendekatan peran (role approach). Apabila disandingkan, revisi yang diusulkan justru membuat hal ini tidak selaras atau bahkan duplikasi yang tidak sama. Dalam hal ini ditentukan:
Pasal 1 angka 1 RUU
“…Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”
Pasal 2 ayat (1) RUU
“Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat”
b.   Dalam RUU, posisi Polri tampaknya ingin “didegradasi” menjadi tidak lagi langsung “dibawah Presiden”. Dalam Pasal 9 ayat (1)  RUU, Kapolri hanya ditempatkan “penanggung jawab penyelenggaraan” fungsi dan tugas  Polri, sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum, dan bukan lagi sebagai “policy maker”, seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 UU Kepolisian, yang bertanggung jawab “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) RUU ini menjadi “pintu masuk” untuk menempatkan Polri di bawah kementerian negara. Padahal posisi Polri berada langsung dibawah Presiden, bukan hanya didasarkan pada UU Kepolisian itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan pelaksanaan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR No. VI/MPR/200 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Fungsi dan Peran TNI dan Polri. Dengan demikian, Polri  di bawah Presiden, sebagai “norma Konstitusi”, yang hanya dapat diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan tidak dapat diubah melalui undang-undang, bentukan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk RUU Perubahan UU kepolisian ini. Dengan kata lain, hanya perubahan Konstitusi yang dapat merubah kedudukan Polri, dari berada dibawah langsung Presiden, menjadi dalam kedudukan lainnya, seperti dibawah lembaga tinggi Negara lain atau bahkan dibawah suatu kementerian negara; 
c.    Meskipun demikian, kedudukan Polri versi Konstitusi dan UU Kepolisian tersebut sangat unik, karena tidak menyebabkan  Presiden mempunyai kewenangan untuk melakukan “intervensi” terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, yang diselenggarakan Polri. Mengingat jika dilakukan hal itu bertentangan dengan Konstitusi dan Sumpah Jabatannya, misalnya dengan mengartikan kedudukan tersebut juga dimaknai dalam pelaksanaan fungsi Penyidik (Polri), maka berada “dibawah Presiden” menyebabkan kekuasaan eksekutif  dapat menentukan kelangsungan atau penghentian suatu proses hukum. Konstruksi ini menyebabkan makna kemerdekaan dan kemandirian proses penegakan hukum itu menjadi kabur, bahkan hilang sama sekali;
d.   Polri karenanya tidak dapat dan tidak boleh berada dibawah Presiden dalam pengertian yang sama dengan kedudukan Kementerian Negara apalagi dibawah suatu kementerian negara. Artinya, kalaupun dibentuk kementerian dibidang keamanan yang menterinya dijabat oleh Kapolri, hal itu tidak dimungkinkan secara konstitusional. Kapolri tidak boleh merangkap Menteri pada Kementerian Kamtibmas, karena hal itu menyebabkan penegakan hukum menjadi murni urusan pemerintahan. Amanat Konstitusi yang menempatkan Kapolri dibawah Presiden secara langsung hanya dalam hubungannya dengan “urusan pemerintahan dibidang keamanan”, tetapi bukan sama sekali dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penegakan hukum pidana melalui Sistem Peradilan Pidana;

    4.   Asas-asas Pelaksanaan Fungsi dan Tugas Polri
a.    Pasal 2A RUU pada dasarnya memuat ketentuan baru tentang asas-asas yang harus diperhatikan dalam “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian serta pelaksanaan fungsi dan tugas Polri. Dalam hal ini dtentukan:
Pasal 2A
Polri dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berlandaskan pada asas:
a.    profesionalitas;
b.   keterbukaan;
c.    akuntabilitas; dan
d.   netralitas.

b.   Tampaknya konseptor RUU kurang “memahami” konsepsi teoretis hubungan asas dan aturan Hukum dalam suatu norma UU. Ada baiknya dipelajari tulisan-tulisan dari Paul Scholten, Ronald Dworkin atau Roeslan Saleh mengenai hal ini. Pada dasarnya para ahli terkemuka itu menyatakan bahwa asas hukum adalah “pikiran-pikiran yang berada didalam atau dibelakang suatu aturan hukum”. Jadi penormaannya bukan dengan “menyebutkan” asas-asas dimaksud tetapi dengan membuat norma aturan yang mengandung atau menegaskan berlakunya suatu asas hukum. Oleh karena itu, justru seharusnya substansi “penjelasan” Pasal 2A RUU yang “diangkat” menjadi norma, dan penamaan asas-asas itu justru yang ditempatkan dalam penjelasan. Dengan demikian, sebaiknya hal ini dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 2A
Pelaksanaan fungsi dan tugas Polri dilaksanakan:
a.    berdasarkan keahlian, kapabilitas, dan sumpah sebagai Pimpinan, Pejabat dan Anggota Polri, serta senantiasa menjaga keluhuran dan kredibilitas Polri;
b.   secara terbuka, responsif, dan memudahkan akses informasi bagi masyarakat;
c.    dengan bertanggung jawab penuh, baik secara etik, disiplin, maupun hukum dan peraturan perundang-undangan.
d.   dengan berpegang pada kebenaran, tidak memihak, bebas intervensi, antidiskriminasi, dan menjunjung tinggi hukum demi terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara.

Penjelasan Pasal 2A
Pada dasarnya ketentuan memuat asas-asas yang harus diperhatikan dalam  “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian serta pelaksanaan fungsi dan tugas Polri., yaitu:
a.    profesionalitas;
b.   keterbukaan;
c.    akuntabilitas; dan
d.   netralitas.  
    5.   Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri
a.    Pasal 10A dan 11 RUU “membalik” kewenangan pengangkatan Kapolri dari executive heavy menjadi legislative heavy. Setidaknya, pada dasarnya ketentuan ini menyebabkan Presiden “tersandera” DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam hal ini tergambar dengan jelas dari ketentuan Pasal 10A ayat (3), (4) dan (5)  RUU, yang menentukan:
Pasal 10A
(3)  Sebelum mengusulkan pengangkatan Kapolri kepada DPR, Presiden terlebih dahulu mengusulkan pemberhentian Kapolri  kepada DPR beserta alasan dengan memperhatikan pertimbangan dari Komisi Kepolisian Nasional.
(4)  Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul pemberhentian Kapolri oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR.
(5)  Jika DPR menolak usul pemberhentian Kapolri maka Presiden menarik kembali usulannya dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.
 b.   Pada dasarnya pemberhentian Kapolri semata-mata harus ditempatkan sebagai bagian dari hak prerogatif Presiden, dan bukan sebagai “syarat” pengangkatan Kapolri. Pemberhentian Kapolri merupakan konsekuensi logis dari kehendak Presiden untuk menunjuk Kapolri “baru” dan karenanya Kapolri “lama” harus diberhentikan.
    6.   Hubungan Penyidik Polri dan PPNS
a.    Pasal 15 ayat (2) huruf j dan l RUU menegaskan kembali hubungan Penyidik Polri PPNS yang oleh berbagai undang-undang telah dibuat “merenggang”.  Hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS dan PPNS khas yang telah diatur dalam KUHAP telah diabaikan oleh pembentuk UU sendiri dalam berbagai produknya. Pola umum hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS dan PPNS berangsur-angsur dikecualikan atau dikesampingkan oleh  praktek,  termasuk oleh swa regulasi yang dibuat oleh Kejaksaan. Dampak hal ini antara lain:
1)   Penegakan hukum yang dilakukan oleh PPNS yang tidak terlebih dahulu menjalankan koordinasi dengan Penyidik Polri dapat berakibat fatal jika mendapatkan resistensi dari masyarakat atau perlawanan dari para kriminal;
2)   Adanya tindak pidana-tindak pidana yang murni menjadi kewenangan PPNS, dan undang-undang tidak memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana-tindak pidana tersebut kepada Polri, menimbulkan rechtsvacuum, dalam bentuk keabsenan negara melakukan tindakan penegakan hukum, jika PPNS tersebut belum terbentuk. Misalnya, tindak pidana-tindak pidana yang menjadi kewenangan PPNS Kereta Api, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian, yang sejauh pengetahuan penulis hingga kini belum terbentuk.
3)   Penyerahan  berkas perkara dari PPNS yang diserahkan ke Penuntut Umum tidak melalui penyidik Polri, padahal sesuai ketentuan dalam Pasal 107 ayat (3) KUHAP menyebutkan PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;
4)   Penyidik Polri tidak pernah menerima turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan yang dikirim Penuntut Umum ke pengadilan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Akibatnya Penyidik Polri juga tidak bisa melakukan pengawasan kepada PPNS yang “menyerahkan langsung” Berkas Perkara kepada Penuntut Umum, selain juga menyebabkan Penyidik Polri tidak dapat mengikuti perkembangan proses penuntutan perkara PPNS tersebut di pengadilan;     
5)   Dalam hal PPNS membutuhkan bantuan dalam penyidikan, maka kedudukan Penyidik Polri sebagai KORWAS PPNS seharusnya dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan kewenangan PPNS;
6)   Kedudukan Polri sebagai KORWAS PPNS juga terkait dengan kerjasama internasional penegakan hukum (mutual legal assistance)    yang selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara informal melalui kerja sama police to police.
b.   Persoalan “meregangnya” hubungan antara PPNS dengan Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS, seharusnya diatasi dengan membangun sinkronisasi. Mengingat hal ini juga wujud dari terfragmentasinya sistem atau subsistem yang dapat berakibat pada penurunan daya guna dan hasil guna penanggulangan kejahatan,  baik substansi, struktural maupun kultural. Persoalan pokok mengenai hal ini perkembangan yang hendak diusung oleh RUU ini justru tidak sejalan dengan RUU KUHAP, yang membagi dan menjadikannya sebagai masing-masing penyidik yang independen, Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Lembaga.
     7.   Reposisi Kompolnas
a.    Tidak disangsikan lagi jika ketentuan tentang Kompolnas dalam UU Kepolisian sangat sumir bahkan bersifat lips service semata. Oleh karena itu empowerment Kompolnas yang dimuat dalam Pasal 37, 38, 38A, 38B, 39,  39A dan 39B RUU merupakan perkembangan positif.
b.   Kompolnas sebenarnya harus didorong menjadi Komisi Kepolisian yang berada disetiap Polres, sehingga dapat berfungsi sebagai police complaint committee.
c.    Beberapa hal yang seharusnya secara tegas menjadi kewenangannya dalam menjamin adanya akuntabilitas publik proses penegakan hukum. Baik pelaksanaan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan didepan pengadilan. Misalnya, menurut Roslyn Muraskin dan Albert R. Robert setiap lembaga kepolisian dituntut akuntabilitasnya setidaknya terhadap hal-hal sebagai berikut:
 1)   penggunaan kekuatan bersenjata/kekerasan;
2)   keputusan menangkap dan menahan  tersangka;
3)   hasil tes penggunaan narkotika dan zat psikoaktif lainnya;
4)   hasil dengar pendapat dan promosi pejabat kepolisian;
5)   diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin atau usia;
6)   pembukaan catatan rahasia (termasuk rahasia bank) dan privacy
7)   manajemen rumah tahanan