15 Februari 2009

EKSAMINASI PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR NO. 18/PID.B/TPK/2006/PN. JKT.PST

Eksaminasi

Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 18/Pid.B/TPK/2006/PN. JKT. PST

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.

I

Pengantar

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 18/Pid.B/TPK/2006/PN. JKT. PST d adalah putusan yang telah dikeluarkan terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang didakwakan terhadap Gubernur Kalimantan Timur (non aktif) H. SUWARNA ABDUL FATAH. Pada tingkat pertama perkara ini diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan Putusan No. 18/Pid.B/TPK/2006/PN. JKT. PST. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membebaskan Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH dari Dakwaan PRIMAIR dan meyatakan Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut, sebagaimana dimaksud dalam dakwaan SUBSIDIAIR”. Dalam amar putusan tersebut Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana kepada yang bersangkutan dengan pidana penjara 1 (satu tahun) dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), yang apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Kontroversi sehubungan dengan adanya perkara ini, ternyata menurut sejumlah kalangan juga terlihat dalam putusan tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jernih mengenai hal ini dan mengingat begitu strategisnya kasus ini, mendorong penulis untuk melakukan eksaminasi terhadap kedua putusan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan legal annotation sebagai berikut.

II

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 18/Pid.B/TPK/2006/PN. JKT. PST

A. Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana

  1. Bahwa, dalam Surat Dakwaan perkara aquo Penuntut Umum mendakwa Terdakwa H. Suwarna Abdul Fatah dengan dakwaan yang bersifat subsidiairitas, yaitu: Primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, atau Subsidiair Pasal 3 Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana;
  2. Bahwa, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana dari Dakwaan Primair tersebut (hlm. 329), menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa dalam Dakwaan Primair adalah sebagai berikut:

a. setiap orang;

b. secara melawan hukum;

c. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

d. yang dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian negara.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dari Dakwaan Subsidiair terdiri atas:

a. setiap orang;

b. dengan tujuan menguntungkan diri diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

d. yang dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian negara.

  1. Bahwa, dengan demikian, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak memasukkan sebagai bagian “unsur delik” dalam Dakwaan Primiar dan Dakwaan Subsidiair ketentuan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Bahwa padahal baik Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP maupun Pasal 64 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang memperluas pengertian delik yang diajukan oleh Penuntut Umum sebagai “rumusan tindak pidana yang didakwakan”, sebagaimana ternyata dalam Surat Dakwaan yang telah menjadi bagian putusan tersebut, yaitu “rumusan tindak pidana dakwaan primair” (hlm. 195) dan “rumusan tindak pidana dakwaan subsidiar” (hlm. 209);
  2. Bahwa, suatu rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya diformulasi untuk pembuat (dader) tunggal dan untuk satu perbuatan. Namun demikian, dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang pembuat, maka rumusan dapat diperluas penerapannya dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tentang penyertaan (deelneming), yang terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Demikian pula dalam hal perbuatan materil (feit materiel) yang dijadikan dasar dalam pengajuan dakwaan terdiri atas beberapa perbuatan (feit normatief), maka dapat digunakan ketentuan yang memperluas delik tersebut dengan ketentuan tentang perbarengan (samenloop), yang terdapat dalam Pasal 63, 64 dan 65 KUHP;
  3. Bahwa, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang didakwakan terhadap H. SUWARNA ABDUL FATAH, Penuntut Umum mendakwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana tersebut bersama-sama dengan orang lain, yaitu Ir. WASKITO SURYODIBROTO, MARTIAS alias PUNG KIAN HWA, Ir. UUH ALIHUDIN, MM dan Ir. H. ROBIAN, MSi dan terdiri dari beberapa perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri tetapi dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut. Bahwa dengan demikian, konstruksi yang digunakan Penuntut Umum adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa bersama-sama orang lain dan sebagai perbuatan berlanjut, sehingga bentuk penyertaan yang digunakan adalah “turut serta melakukan” (medeplegen) melalui suatu perbuatan yang berlanjut (voort gazette handeling). Bahwa dengan demikian diperlukan “kerjasama yang erat” antara “pelaku” (pleger) dan “peturut serta” (medepleger) untuk mewujudkan delik tersebut dan kerjasama tersebut dilakukan untuk beberapa perbuatan tetapi satu sama lain mempunyai hubungan sehingga dapat dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut, sehingga konstruksi “bersama-sama” atau “turut serta” dan “perbuatan berlanjut” menjadi bagian unsur delik yang harus dibuktikan Penuntut Umum. Secara mutatis mutandis hal itu juga harus dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai unsur tindak pidana, yang dalam putusan aquo justru tidak ditetapkan sebagai unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan Terdakwa;
  4. Bahwa, Putusan yang demikian itu menurut pendapat Annator menunjukkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya.

B. Tentang Pertimbangan Hukum mengenai unsur “Setiap Orang”.

1. Bahwa, kata-kata “setiap orang” dalam suatu rumusan tindak pidana merupakan isyarat pembentuk undang-undang tentang siapakah yang dituju dari norma (addressaat norm) suatu tindak pidana. Dengan demikian tidak tepat apabila Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mendalilkan hal ini sekedar berartisiapa saja” yang didakwa melakukan tindak pidana (korupsi). Hal ini ternyata dari dari pertimbangannya bahwa ”menurut Majelis ialah siapa saja, artinya setiap orang yang karena kedudukanya atau perbuatannya yang didakwakan melakukan suatu tindak pidana korupsi, baik karena ia pegawai negeri atau bukan pegawai negeri, dan mampu bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut” (hlm. 330). Bahwa sekalipun demikian, karena telah dinyatakan sebagai unsur tindak pidana maka sebagai konsekuensinya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dapat membuktikan Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH termasuk dalam pengertian tersebut;

2. Bahwa, selanjutnya dalam mempertimbangankan terbuktinya unsur “setiap orang” (dari Dakwaan Primiar yang juga diambilalih dalam Dakwaan Subsidiair) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan” …dari fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan tersebut ternyata Terdakwa adalah orang perseorangan yang melakukan dan bertanggungjawab atas perbuatan yang disangka tindak pidana dalam perkara ini” (hlm.331). Bahwa perlu digarisbawahi bahwa Majelis Hakim menyatakan Terdakwa adalah “orang perseorangan”. Namun demikian, dalam uraian selanjutnya ketika membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang lain, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai ”Gubernur Kalimantan Timur/Kepala Daerah Tingkat I yang telah merencanakan program pembangunan perkebunan kelapa sawit satu juta hektar di Kalimantan Timur yang diusulkan dalam Properda Kalimantan Timur Tahun 2001-2005 yang telah disetujui oleh DPRD dengan PERDA No. 5 Tahun 2001, dan telah dimasukkan dalam RENSTRA Kalimantan Timur Tahun 2003-2008 dengan PERDA No. 6 Tahun 2004” (Hlm. 325). Baik ketika Terdakwa memberikan Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan Kayu atau ketika Terdakwa mengeluarkan Persetujuan Sementara HPHTP, ataupun ketika Terdakwa memberikan Dispensasi Penyerahan Jaminan Bank (Bank Garansi) atau karena tindakan Terdakwa mengeluarkan surat Rekomendasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, seluruhnya dilakukan oleh “Gubernur Kalimantan Timur” dan bukan “orang perseorangan” yang bernama H. SUWARNA ABDUL FATAH. Semua perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan oleh H. SUWARNA ABDUL FATAH dalam kapasitas pribadinya, melainkan hanya dapat dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Timur yang dalam hal ini dalam kejadian tersebut (sedang) dijabat H. SUWARNA ABDUL FATAH. Bahwa dalam hal ini harus dapat dibedakan apakah suatu perbuatan merupakan tindakan “orang perseorangan” ataukah tindakan “seorang pejabat”. Subyek tindak pidana korupsi yang dituju oleh norma (addressaat norm) tindak pidana korupsi adalah “orang perseorangan” dan “korporasi”. Tindakan seorang “pejabat” dan karenanya yang berbuat adalah “pejabat” tidak termasuk dalam kaegori subyek hukum yang dituju dari norma perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi;

3. Bahwa, menurut hemat Annator Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi “tidak konsisten” memandang perbuatan Terdakwa antara penafsiran dan pembuktian unsur “setiap orang” dan ketika melakukan penafsiran dan pembuktian unsur-unsur lainnya (melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan). Dalam membuktikan unsur “setiap orang” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memandang Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH adalah perbuatan “orang perseorangan” sementara ketika membuktikan unsur “melawan hukum” atau “menyalahgunakan kewenangan” justru memandang hal itu adalah perbuatan “Gubernur Kalimantan Timur”;

4. Bahwa, inkonsistensi demikian yang bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang selalu menjadi cita dan tujuan hukum itu sendiri, dan menunjukkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tengah menjalankan proses pemeriksaan perkara bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku.

C. Tentang Pertimbangan Hukum mengenai unsur “Secara Melawan Hukum”.

  1. Bahwa, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan unsur “secara melawan hukum” tidak terbukti ada pada perbuatan Terdakwa (hlm. 341);
  2. Bahwa, dalam memberi arti unsur “melawan hukum” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berpendirian melawan hukum dalam arti formil. Hal ini ternyata dari pertimbangannya bahwa:

a. “bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas tentang Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan baik dalam Kepmenhutbun dan ketentuan lainnya, maka perbuatan Terdakwa belum dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar oleh Terdakwa” (hlm. 337)

b. “…dengan tidak diaturnya HPHTP-Sementara, baik dalam Kepmenhutbun dan ketentuan lainnya, maka perbuatan Terdakwa belum dapat dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh Terdakwa. Oleh sebab itu perbuatan Terdakwa tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.” (hlm. 338);

c. “…oleh karena pemberian Dispensasi aquo… pengaturannya berdasarkan Surat Edaran Dirjen PHP yang bersifat regulasi dan belum bersifat hanya merupakan syarat untuk keluarnya IPK oleh Dinas Kehutanan maka tindakan Terdakwa yang mengeluarkan surat Dispensasi aquo belum dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum (hlm. 340);

d. “..oleh karena tindakan Terdakwa mengeluarkan surat Rekomendasi aquo sudah sesuai dengan kewenangannnya, maka tindakan Terdawa tidak dapat dikalifisir sebagai perbuatan melawan hukum” (hlm. 341);

  1. Bahwa, menurut hemat Annator sebatas pada pemaknaan terhadap unsur “secara melawan hukum”, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memperhatikan dengan baik perkembangan asas-asas hukum pidana Indonesia, yang diantaranya menghendaki pembatasan penggunaan ajaran melawan hukum materil hanya dalam fungsinya yang negatif, dan tidak menggunakan ajaran tersebut dalam fungsinya yang positif karena lebih membawa kepada ketidakpastian hukum daripada keadilan;
  2. Bahwa sementara itu, menurut Dr. Nur Basuki, SH., MH (Ahli Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya), dalam Disertasinya tentang “Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi”, “Melawan hukum adalah genus, sedangkan menyalahgunakan kewenangan adalah species-nya”. Bahwa dengan demikian, suatu perbuatan yang tidak dapat dikualifikasi sebagai “melawan hukum” secara mutatis mutandis juga tidak dapat dikualifikasi sebagai “menyalahgunakan kewenangan”, karena menyalahgunakan kewenangan adalah bentuk perbuatan melawan hukum yang khusus. Bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain menyatakan perbuatan Terdakwa tidak merupakan perbuatan yang melawan hukum dan karenanya membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Primair, tetapi menyatakan Dakwaan Subsidiair terbukti secara sah dan meyakinkan. Bahwa dengan demikian, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan perbuatan terdakwa bukan perbuatan “melawan hukum”, tetapi justru menyatakannya sebagai “menyalah-gunakan kewenangan”.
  3. Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi justru memandang “menyalahgunakan kewenangan” justru merupakan suatu pengertian yang lebih luas daripada “melawan hukum”, mengingat setelah menyatakan perbuatan Terdakwa bukan merupakan perbuatan “melawan hukum”, tetapi justru menyatakannya sebagai “menyalahgunakan kewenangan”. Bahwa dengan demikian, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi justru memandang “menyalahgunakan kewenangan” sebagai suatu pengertian umum (lebih luas) daripada “melawan hukum”, yang mana pandangan ini menurut hemat Annator tidak mempunyai dasar-dasar teoretik yang memadai, yang cenderung menyesatkan (rechtersdwaling);
  4. Bahwa, menurut Annator Putusan yang demikian itu menunjukkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah salah menerapkan hukum.

D. Tentang Pertimbangan Unsur “Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri, Orang Lain atau Suatu Korporasi”

  1. Bahwa, dalam mempertimbangkan terbuktinya unsur “Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri, Orang Lain atau Suatu Korporasi”, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan sebagai berikut: “bahwa terkait dengan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH in casu sebagai Gubernur Kalimantan Timur kepada perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Surya Damai Group tersebut diatas, ternyata dapat diperoleh fakta-fakta hukum yang terungkap didepan persidangan bahwa terdakwa telah memeberikan fasilitas berupa pembebasan atau Dispensasi pembayaran Bank Garansi sebagaimana diisyaratkan dalam permohonan IPK, dengan adanya Dispensasi tersebut telah keluarnya IPK sehingga terdakwa telah melakukan penebangan kayu, jelasnya telah menguntungkan terdakwa dan menurut pernyataan dari saksi MARTIAS selaku Board of Director Surya Damai Group keuntungan yang telah diperoleh sebesar Rp. 5.167.723.032,- (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah) sebagaimana surat bukti No. 1021” (hlm. 346) (cetak tebal oleh Annator).
  2. Bahwa, dari pertimbangan di atas Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terpenuhi adalah bagian unsur “menguntungkan diri sendiri”, tetapi besar keuntungannya adalah sebesar keuntungan yang diterima Surya Damai Group Rp. 5.167.723.032,- (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah). Bagaimana mungkin Terdakwa menguntungkan dirinya sendiri melalui Surya Damai Group padahal Terdakwa tidak mempunyai afiliasi dengan kelompok perusahaan tersebut;
  3. Bahwa, sekali lagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan pertimbangan yang menyesatkan (rechtersdwaling).

E. Tentang Pertimbangan Hukum mengenai unsur “Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Yang Ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan”.

  1. Bahwa dengan mengutip pendapat Adami Chawazi, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengartikan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” sebagai berikut: ”pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus ada hubungan kausal antara keberadaan kewenangan, kesempatan dan sarana dengan jabatan atau kedudukan. Oleh karena memangku jabatan atau kedudukan akibatnya dia mempunyai kewenangan, kesempatan atau sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut” (hlm. 347). Dari pandangan ini dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan pemenuhan unsur ini diperlukan pembuktian dalam tahap-tahap berikut:

a. Adanya jabatan atau kedudukan tertentu yang diduduki atau dipunyai seseorang;

b. Orang yang menduduki jabatan atau mempunyai kedudukan tersebut mempunyai sejumlah kewenangan, kesempatan atau sarana tertentu;

c. Kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut tertentu telah digunakan diluar dari tujuan mengadakan kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut;

  1. Bahwa namun demikian justru Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam membuktikan unsur ini berkenaan dengan pengeluaran Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan Kayu menyatakan sebagai berikut: “…Majelis Hakim berpendapat bahwa yang berwenang mengeluarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan Kayu adalah Menteri Kehutanan cq. Direktorat Jendral Pengusahaan Hutan Produksi (Dirjen PHP) atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, dan bukan kewenangan Terdakwa selaku Gubernur Kalimantan Timur” (hlm. 350). Bahwa dengan demikian Terdakwa tidak mungkin menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukannya karena Terdakwa tidak mempunyai kewenangan tersebut. Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak mungkin menyalahgunakan kewenangan atau orang yang tidak mempunyai kesempatan tidak mungkin menyalahgunakan kesempatan dan orang yang tidak mempunyai sarana tidak mungkin menyalahgunakan sarana.
  2. Bahwa juga dalam mempertimbangkan terbuktinya unsur menyalahgunakan kewenangan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap Surat Persetujuan Hak Penguasaan Hutan Tanaman Perkemubunan (HPHTP) Semen Tara, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan hal-hal sebagai berikut: “…terhadap Surat Persetujuan Sementara Hak Penguasaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP) Sementara yang diterbitkan Terdakwa…belum ada pengaturannya yang pasti, berdasarkan keterangan Ahli SUPARNO, SH dari Biro Hukum Departemen Kehutana, bahwa HPHTP tidak ada dasar hukumnya…”. Bahwa lebih lanjut dipertimbangkan bahwa, “…jika penerbitan HPHTP oleh Gubernur in casu Terdakwa mengacu kepada Surat keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 312 Tahun 1999… ternyata kewenangan tersebut telah ditangguhkan dengan Surat Keputusan No. 857 tahun 1999…” (hlm. 351). Bahwa dengan demikian, Terdakwa juga tidak mempunyai “kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukannya” sehingga tidak mungkin menyalahgunakannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyitir pendapat Adami Chawazi bahwa, “Jika jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan, kesempatan dan sarana akan hilang, dengan demikian tidak mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya” (hlm. 347);
  3. Bahwa dmikian pula ketika menilai pemberian Izin Pemanfaatan Kayu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: “…bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 538/Kpts-II/1999 tanggal 12 Juli 1999 tentang Izin Pemanfaatan Kayu menentukan, “Apabila Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi memberikan persetujuan prinsip, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi memerintahkan kepada pemohon untuk menyetorkan jaminan bank Dana Reboisasi…” (hlm. 352). Bahwa dengan demikian, Gubernur tidak mempunyai kewenangan memberikan Dispesasi Penyedaran Bank Garansi dan lagipula Gubernur tidak mempunyai hubungan hirarkhis dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan;
  4. Bahwa terhadap semua “Kebijakan” Terdakwa selaku Gubernur Kalimantan Timur tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memnadang perbuatan terdakwa “telah melampaui batas kewenangannya”. Bahwa pada bagian lain seperti dijelaskan di atas Terdakwa dipandang “tidak mempunyai kewenangan” tetapi pada bagian lain dinyatakan “melampaui batas kewenangannya”. Bagaimana orang yang tidak mempunyai kewenangan melakukan perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan tersebut. Menurut hemat Annator sekali lagi hal ini menunjukkan inkonsistensi yang bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang selalu menjadi cita dan tujuan hukum itu sendiri, dan karenanya menunjukkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tengah menjalankan proses pemeriksaan perkara bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku.

F. Tentang Pertimbangan Hukum Mengenai Unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”.

1. Bahwa, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam mempertimbangkan pemenuhan unsur ini menyatakan bahwa, “…untuk menghitung kerugian keuangan negara Majelis Hakim berpedoman pada surat pernyataan saksi MARTIAS alais PUNG KIAN HWA…yang menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh Surya Damai Group adalah sebesar Rp. 5.167.723.032 (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah) merupakan laba/keuntungan yang diperoleh dari hasil rekapitulasi penjualan kayu… keuntungan yang diperoleh saksi MARTIAS tersebut diatas terhadap pemberian IPK yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka keuntungan Rp. 5.167.723.032 (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah) merupakan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;

2. Bahwa pembuktian unsur ini hanya berdasarkan pernyataan seseorang yang bila yang bersangkutan sebagai sanksi, seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan suatu hal (unus testis nullus testis). Bahwa selain itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, suatu kerugian negara adalah kekurangan uang, barang atau surat berharga dari negara yang jelas dan pasti jumlahnya. Bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa pertihungan kerugian keuangan negara harus didasarkan pada perhitungan yang komprehensif oleh orang mempunyai keahlian khusus untuk itu. Bahwa dalam perkara ini Majelis Hakim telah menolak perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPKP dan perhitungan saksi-saksi lain dalam perkara ini, maka seharusnya Majelis Hakim Pengadilan TIndak Pidana Korupsi menyatakan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;

3. Bahwa hanya dengan mengambilalih jumlah keuntungan Surya Damai Group sebagai kerugian keuangan negara, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya;

G. Tentang Pertimbangan Hukum mengenai Penerapan Ketentuan tentang Penyertaan

  1. Bahwa, sekalipun Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak menetapkan “turut serta” atau “bersama-sama” (medeplegen) sebagai unsur tindak pidana, namun perlu juga mencermati pertimbangan hukum Majlis aquo mengenai hal itu;
  2. Bahwa, dalam menggunakan ketentuan tentang penyertaan (deelneming), khususnya ketika menghadapi bentuk penyertaan “turut serta melakukan” ( medeplegen), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, bukan sekedar mengkualifikasi suatu peristiwa bahwa telah dilakukan “secara bersama-sama” antara Terdakwa dengan orang-orang lain, tetapi lebih jauh lagi juga harus dapat dikualifikasi kedudukan masing-masing mereka yang terlibat.
  3. Bahwa dari pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi justru hanya sekedar mengkualifikasi bahwa tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH sebagai tindak pidana yang dilakukan “secara bersama-sama” dengan orang lain, tanpa mengkualifikasi kedudukan masing-masing mereka yang telibat. Hal ini ternyata dari pertimbangannya sebagai berikut: “…oleh karena Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH telah menerbitkan Surat Rekomendasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, kemudian surat tersebut dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan IPK kepada saksi IR. WASKITO SURYODIBROTO, MM. Dirjen PHP Departemen Kehutanan dan Perkebunan, maka perbuatan Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH tidak berdiri sendiri dalam mewujudkan perbuatan tersebut, melainkan bersama-sama dengan orang lain yaitu saksi Ir. WASKTO SURYODIBROTO, MM, saksi Ir. UUH ALIYUDIN, MM saksi Ir. H. ROBIAN, MSi., dan saksi MARTIAS alias PUNG KIAN HWA” (hlm. 361). Bahwa Majelis aquo sama sekali tidak menentukan kedudukan Terdakwa H. SUWARNA ABUL FATAH itu sebagai “mereka yang melakukan” (pleger) atau “mereka yang turut serta melakukan” (medepleger). Bahwa selain itu dalam menerapkan ketentuan penyertaan dalam bentuk “turut serta melakukan” (medeplegen) diperlukan “kerjasama yang erat” antara “pelaku” (pleger) dan “peturut serta” (medepleger). Pendapat mana sebenarnya juga dianut oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan mengutip pendapat Roeslan Saleh (hlm. 359). “Kerjasama yang erat” diantara mereka harus ditandai oleh “kesengajaan ganda” (double opzet), yaitu “sengaja berkerjasama” dan “sengaja melakukan kejahatan”. Oleh karena itu, dalam penyertaan dengan bentuk “turut serta melakukan” (Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP) peran serta mutlak diperlukan “constructive presence” dalam melakukannya, artinya keseluruhan unsur tindak pidana dilakukan dengan konstruksi hadirnya baik “pelaku” maupun “peturut serta” dalam mewujudkan seluruh unsur delik. Namun demikian, dalam pertimbangan Majelis aquo sama sekali tidak dipertimbangkan bahwa kerjasama yang erat dalam turut serta melakukan juga harus terbentuk sebagai “constructive presence” yang ditandai oleh dauble opzet tersebut atau setidak-tidaknya tidak adanya fakta hukum yang membuktikan Terdakwa H. SUWARNA ABDUL FATAH berada dalam keadaan demikian;
  4. Bahwa menurut hemat Annator dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah membuat pertimbangan hukum yang tidak lengkap (on voldoende gemotiveerd), sehingga telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya;

H. Tentang Pertimbangan Hukum mengenai Penerapan Ketentuan tentang Perbuatan Berlanjut.

  1. Bahwa, demikian pula sekalipun Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak menetapkan “sebagai perbuatan berlanjut” (voort gazette handeling) sebagai unsur tindak pidana, namun perlu juga mencermati pertimbangan hukum Majelis aquo mengenai hal itu;
  2. Bahwa jika dicermati ketentuan tentang perbuatan berlanjut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, yang dimaksud dengan kata “perbuatan” dalam ketentuan tersebut adalah “tindak pidana”, mengingat kata “perbuatan” tersebut diperjelas dengan anak kalimat “meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran”. Kejahatan dan pelanggaran adalah tindak pidana, sehingga “beberapa perbuatan yang berlanjut” tersebut adalah “beberapa tindak pidana yang berlajut”. Dengan demikian, jika pendapat R SOESILO yang dirujuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dijadikan pedoman adanya perbuatan berlanjut, maka makna syarat kedua adanya hal itu, yaitu: “perbuatan itu harus sama atau sama macamnya” (hlm. 362) harus ditafsirkan sebagai “tindak pidana-tindak pidana itu harus sama atau sama macamnya”;
  3. Bahwa menerbitkan Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan Kayu, menerbitkan Surat Persetujuan Sementara Hak Penguasaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP) Sementara, menerbitkan Surat Dispensasi Kewajiban Penjaminan Bank (Bank Garansi) dan menerbitkan Surat Rekomendasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit adalah “bukan tindak pidana yang sama atau sama macamnya”, bahkan sama sekali bukan “tindak pidana” baik “kejahatan maupun pelanggaran”. Bahwa dalam putusan ini justru, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa penerbitan surat-surat tersebut merupakan tindak pidana (yang dilakukan secara berlanjut), yang bertentangan dengan pertibangan sebelumnya yang menyatakan hal itu adalah “kebijakan-kebijakan” Gubernur Kalimantan Timur;

Bahwa menurut hemat Annator dalam hal ini sekali lagi Majelis aquo telah salah menerapkan hukum.