15 Februari 2009

PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan

dalam Pencegahan dan Penanggulangan

Tindak Pidana Korupsil

Oleh Dr. Chairul Huda, SH., MH.¥

Pengantar

Barangkali tidak ada tindak pidana yang mendapat perhatian begitu besar dari segala kalangan, selain tindak pidana korupsi. Apresiasi yang begitu tinggi dipertunjukkan oleh mereka yang berkecimpung dalam stadia teoretik, perundang-undangan, maupun praktek hukum dalam hampir lima dasawarsa terakhir ini, menandakan skala korupsi yang sangat serius sedang dihadapi Bangsa Indonesia. Terlebih lagi, perhatian mengenai hal ini bukan hanya melibatkan para ahli-ahli hukum, baik ahli hukum teoretis maupun ahli hukum praktis, tetapi hampir semua kalangan termasuk masyarakat pada umumnya. Namun ironisnya, kecenderungan terjadinya tindak pidana korupsi belum juga mengendur, bahkan menguat di sektor-sektor tertentu. Misalnya, disinyalir praktek-praktek koruptif cenderung menguat dikalangan penegak hukum. Hal ini menyebabkan pendeklarasian tindak pidana korupsi sebagai “extra ordinary crime” sehingga diizinkan (permission) pendekatan yang bersifat “extra ordinary measures”, tidak lagi cukup untuk memerangi (combating) hal itu. Diperlukan daya upaya yang lebih dahsyat daripada itu.

Sebenarnya sifat “extra ordinary” tindak pidana korupsi bukan hanya berpengaruh sebatas pemberian kewenangan yang sifatnya “extra ordinary” pula kepada aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam merepresi kejahatan ini, tetapi lebih jauh lagi menjadi landasan bagi pengerahan “people power” menghadapi masalah krusial bangsa ini. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi mengejawantahkannya dengan memberikan hak dan tanggungjawab kepada masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam memerangi korupsi, dan memberikan penghargaan terhadap anggota masyarakat yang telah berjasa karenanya, sebagaimana dirumuskan daam Pasal 41 dan 42 undang-undang tersebut. Sehubungan dengan hal itu, ketentuan undang-undang tersebut memang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah mengenai hal tersebut. Sekalipun telah diundangkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi gerakan yang bersifat “people power” untuk memerangi korupsi belum terlihat tampak benih-benihnya.

Bukan tidak mungkin minimnya peran serta masyarakat dikarenakan kurang tersosialisasinya Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000, tetapi tidak tertutup kemungkinan hal itu disebabkan jeleknya pengnormaan dalam peraturan tersebut, yang sedikit banyak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Sudah pada tempatnya apabila seminar yang diselenggarakan Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) ini, saya pergunakan untuk mengemukakan beberapa pokok pikiran tentang hal itu.

Catatan Kritis terhadap Anatomi Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah, termasuk tetapi tidak terbatas pada Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 , merupakan peraturan perundang-undangan yang tunduk pada kaidah-kaidah perumusan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dilihat dari masa pembentukannya, sudah pasti Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tidak mengacu kepada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, sehingga hal ini dapat dijadikan pangkal tolak melakuan tinjauan kritis.

Penamaan

Peraturan Pemeintah ini adalah Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari namanya ada dua materi pokok yang diatur, yaitu: (1) Tata Cata Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (2) Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua materi ini merupakan materi muatan Peraturan Pemerintah karena didelegasikan oleh Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun demikian, jika merujuk pada judul/penamaan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ada yang kurang sinkron dengan judul/penamaan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata “pemberantasan” merupakan kata pengumpul bagi kegiatan yang bersifat “pencegahan” maupun “penindakan/penanggulangan”. Aspek “prevention” dan “repression” telah ada pada kata “eradication”. Sementara itu, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 merupakan Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah telah mengeluarkan pengertian “pencegahan” dari istilah “pemberantasan”, sehingga dalam juludnya disebutkan “pencegahan dan pemberantasan”. Suatu hal yang bukan saja bertentangan dengan prisip “ekonomi” kata tetapi juga berdampak pada pengaturan ruang lingkupnya.

Sebenarnya Peraturan Pemerintah tersebut seharusnya menggunakan nomenklatur “pemberantasan” saja, ataupun kalau mau diperinci “pencegahan dan penindakan” atau “pencegahan dan penanggulangan”. Dengan demikian, ruang lingkup yang diatur didalamnya, meliputi: (1) Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, (2) Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penindakan Tindak Pidana Korupsi, (3) Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, dan (4) Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penghargaan dalam Peenindakan Tindak Pidana Korupsi.

Konsideran

Konsideran merupakan bagian penting dari suatu peraturan perundang-undangan, yang memberi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembentkan peraturan perudang-undangan. Sayangnya, Peraturan pemerintah No. 71 Tahun 2000 dirumuskan dengan konsideran tunggal, yang memuat hanya landasan yuridis dan tidak memuat landasan filosofis dan sosiologis. Hal ini menyebabkan keinginan pembentuk undang-undang tindak pida korupsi yang membuka kemungkinan kegiatan yang bersifat “people power” dalam memerangi korupsi, tidak terejawantahkan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Sementara itu, konsideran Peraturan Pemerintah ini juga mengandung -kekeliruankekeliruan. Pertama, kekeliruannya terlihat pada penggunaan kata-kata “untuk melaksanakan” terhadap “ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang No. 31 tahun 1999”. Padahal Peraturan Pemerintah ini adalah dalam rangka pelaksanaan Pasal 41 dan 42 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (tanpa ayat). Mengingat Pasal ayat-ayat yang disebutkan tersebut merupakan ayat yang menentukan delegasi/perintah pembentukan atau pengaturan lebih lajut mengenai materi yang terdapat dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dalam Peraturan Pemerintah. Dengan kata lain, perumusan konsideran “untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 dan 42” dengan menyebutkan ayat tertentu kurang tepat karena sebenarnya yang dilaksanakan adalah keseluruhan isi pasal tersebut.

Kedua, dalam konsideran tersebut disebutkan “Pasal 42 ayat (5)” (Peraturan Pemerintah yang penulis jadikan acuan adalah yang disampaikan panitia). Padahal jika dicermati dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tidak ada ayat (5). Pasal tersebut terdiri dari dua ayat, dimana ayat (2) yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, penyebutan “Pasal 42 ayat (5)” adalah suatu kekeliruan, yang benar adalah “Pasal 42 ayat (2)”. (Kekeliruan ini juga diikuti oleh panitia seminar ini dalam proposalnya). Suatu kekeliruan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Pengertian dalam Ketentuan Umum

Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 diantaranya mengatur tentang pelaksanaan peran serta “masyarakat” dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila dilihat ketentuan Pasal 1 angka 1 peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 ini, mendefinisikan “peran serta masyarakat” sebagai “peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masayarakat….” Dengan rumusan demikian, maka masyarakat itu terdiri atas “perorangan”, “Organisasi Masyarakat” atau “LSM”. “Perorangan” berarti individu-individu tertentu, sehingga kelompok orang yang menjadi anggota komunitas tertentu, tetapi tidak tergabung dalam suatu organisasi, yang menjadi pengertian sejati ‘masyarakat” itu sendiri tidak terwadahi dalam pengertian ini. Hal ini menyebabkan sekolompok anggota masyarakat yang menyebut dirinya sebagai “masyarakat betawi” misalnya, ketika melaporkan praktek korupsi yang terjadi di intansi tertentu, akan dipandang tidak mempunyai “legal standing” untuk melakukan hal tersebut. Yang mungkin hanya perorangan warga betawi yaitu, si-fulan, fulana, dan Fulani.

Pengertian di atas juga mengkualifikasi Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai bagian dari pengertian “masyarakat”. Namun demikian, kedua hal itu tidak didefiniskan atau paling tidak semestinya ditunjuk peraturan perundang-undangan yang menentukan persyaratan sesuatu sebagai “Organisasi Masyarakat” atau “LSM” itu. Hal ini dapat berakibat “sifat dapat dipercayanya” laporan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi menjadi meningkat, ketika dilakukan oleh organisasi masyarakat atau LSM yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Tentang Penyampaian Informasi Dugaan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi

Penyampaian informasi dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, harus disampaikan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan dan kesopanan (Pasal 2 ayat (2)). Dalam penjelasannya, hal ini berarti penyampaian informasi dimuka umum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Pendapat Di Muka Umum, tidak diperkenankan. Secara mutatis mutandis penyampaian informasi tentang terjadinya tindak pidana korupsi melalui media massa, yang sebenarnya dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, juga tidak diperkenankan. Dengan demikian, jika penyampaian informasi ini dilakukan dimuka umum atau melalui media massa, maka pemberi informasi dapat dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP.

Perlindungan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000, tidaklah melindungi pemberi informasi dari tuntutan hukum para kooruptor dalam hal ternyata bukti-bukti untuk mengkualifikasi tindak pidana korupsinya tidak terpenuhi. Hal ini sudah barang tentu akan menyebabkan anggota msyarakat yang semula bermaksud berperanserta secara aktif memerangi korupsi, justru diadili sebagai pencemar nama baik (Misalnya, kasus Eggy Sudjana vs Harry Tanoe).

Ditambah lagi Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000, menentukan bahwa pemberi informasi harus juga melengkapi informasinya dugaan pelaku tindak pidana korupsi dengan “bukti-bukti permulaan”. Dengan demikian, pemberi informasi dituntut untuk mampu menunjukkan atau mempunyai kualifikasi menilai sesuatu sehingga dapat menjadi “bukti-bukti permulaan” ketika memberi informasi tentang terjadinya tindak pidana korupsi. Padahal laporan tentang terjadinya tindak pidana pada umumnya yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP saja tidak mensyaratkan pelapor melengkapi laporannya dengan “bukti-bukti permulaan”. Penemuan “bukti-bukti permulaan justru kewajiban/tanggung jawab penyidik, karena mereka dididik dan dipersiapkan untuk dapat mengkualifikasi sesuatu sebagai “bukti-bukti permulaan”. Jika penyidik saja tidak dapat menemukan “bukti-bukti permulaan” bagaimana mungkin masyarakat yang umumnya awan hukum dapat menyampaikannya. Dengan demikian, ketentuan dimana setiap pemberian informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi harus dilengkapi dengan :”bukti-bukti permulaan”, suatu ketentuan yang justru menyulitkan peran serta masyarakat dalam hal ini.

Tentang Pemberian Penghargaan Terhdap Masyarakat Atas Peran Sertanya memberantas Tindak Pidana Korupsi

Pasal 8 ayat (1) Peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1999 menentukan bahwa ketentuan mengenai tata cara pemberian penghargaan serta bentuk dan jenis piagam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan. Ketentuan ini menyebabkan tentang dari mana sumber dana untuk memberikan premi kepada masyarakat yang berjasa membantuk memberantas tindak pidana korupsi, ditentukan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Sekarang Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia). Sementara itu, jika memperhatikan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000, maka sumber dana pemberian premi tersebut adalah kerugian keuangan negara yang berhasil dikembalikan dari suatu tindak pidana korupsi. Padahal sebagai bentuk pelaksanaan pidana setiap pembayaran denda ataupun uang pengganti dimasukkan ke kas negara, sehingga kembali menjadi keungan negara. Dengan demikian, kompetensi pengeluaran premi tidak bisa diatur dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan, karena menyangkut kewenangan Meneteri Keuangan dan instansi terkait.

Sebenarnya, justru mengenai sumber dana dan tata cara pembayaran premi disini menjadi ruang lingkup Peraturan pemerintah, dan tidak dapat didelegasikan kepada Peraturan Meneteri. Dengan sudut pandang lain, maka sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang sumber dana dan tata cara pembayaran premi penghagaan ini, tidak diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan demikian, ada suatu “loop hole” dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 yang menyebabkan pelaksanaan pemberian penghargaan terhadap masyarakat yang berjasa membantuk memberantas tindak pidana korupsi, khususnya dalam bentuk premi (uang), menjadi “non applicable”. Sekali lagi harapan untuk menggerakkan “people power” memberantas tindak pidana korupsi, kembali menjadi cita-cita yang bersifat utopis.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, selain karena persoalan minimnya sosialisasi tentang peran serta masyarakat dan pemberantasn korupsi dan pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa karena, ternyata masih banyak hal yang belum diatur secara memadai dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000.



lMakalah dalam Seminar “Bedah dan Sosialisasi PP No. 71 Tahun 2000” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), di Jakarta tanggal 9-10 Juli 2007.

¥Dosen/Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Direktur Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Ketua Tim Anotasi Putusan Pengadilan Tentang Kejahatan terhadap Kekayaan Negara dan Anggota Tim Analisis dan Evaluasi Tentang Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Badan Pembinaan Hukum Nasional, Domestic Consultant Gap Analysis UNCAC 2003 pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Anggota Tim Perancang KUHP Tahun 2004.