15 Februari 2009

Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang hukum Pidana*

Oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH.* *

  1. Pengantar

Panitia diskusi ini beberapa hari lalu mengirim term of reference, dan sekaligus meminta kesediaan kami menjadi nara sumber. Sungguh suatu kehormatan, sekaligus tugas berat mengingat tema yang diusung berkenaan “Kejahatan Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RKUHP”. Dalam pemahaman kami, “kejahatan” disini lebih merujuk kepada perbuatan-perbuatan yang dalam RKUHP disebut dengan “tindak pidana”, yang pada diskusi kali ini difokuskan terhadap perbuatan yang dirumuskan dalam Bab VII Pasal 341 s/d 348 RKUHP. Mengingat perbuatan-perbuatan tersebut umumnya juga telah dinyatakan sebagai “kejahatan” dalam KUHP, maka pemaparan terutama dilakukan untuk “menunjukkan” sejauhmana “pembaharuan” yang telah dilakukan Tim Perancang.

Sebenarnya, kontroversi yang muncul akhir-akhir ini berkenaan RKUHP mengerucut pada beberapa akar persoalan. Diantaranya yang terpenting adalah pertama, hukum (termasuk hukum pidana) dipahami semata-mata sebagai refleksi budaya dari suatu masyarakat yang telah tumbuh, berkembang dan dipelihara oleh masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pembentukan hukum semata-mata dipahami sebagai proses pemberian bentuk yuridis (pempositifan) atas gambaran kebudayaan tersebut. Hukum selalu ditempatkan dalam posisi mengikuti perkembangan masyarakat. Kedua, umumnya pemahaman tentang RKUHP dilakukan dengan sudut pandang KUHP (WvS). Padahal terdapat perbedaan konseptual yang mendasar, baik teori maupun filosofis, antara RKUHP dan KUHP. Tentunya masih banyak lagi pangkal tolak yang dapat menyebabkan RKUHP seperti sebuah konsep yang “kontroversial”, tetapi kedua hal inilah yang menurut hemat kami paling dominan. Kedua akar persoalan di atas, akan kami jadikan pangkal tolak dalam melihat paradigma dibelakang pembentukan RKUHP, terutama dalam hubungannya dengan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama.

Berkenaan dengan hal itu, harus dipahami bahwa Tim Perancang KUHP 2004 yang diketuai Prof. Dr. Muladi, SH., merupakan kelanjutan dari tim-tim sebelumnya, mulai dari dibawah pimpinan Alm. Prof. Sudarto, SH, Alm. Prof. Mr. Roeslan Saleh, dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA. Oleh karena itu, tugasnya bukan sama sekali “menyusun” RKUHP baru, tetapi “mengaktualisasi” rancangan yang ada dengan perkembangan terakhir. Hal ini dilakukan mengingat proses penyusunan RKUHP tersebut sudah memakan waktu yang cukup lama, dengan menggunakan berbagai metode, dan melibatkan kalangan yang cukup luas. Sehingga tim yang terakhir ini lebih banyak menyesuaikan rancangan yang ada dengan berbagai perkembangan, baik perkembangan dalam tataran teoretis (ilmu hukum), politis (perundang-undangan), praktis (praktek peradilan) maupun perkembangan global (konvensi internasional dan perundang-undangan negara lain). Berkenaan dengan hal ini, sekalipun kami tercatat sebagai salah seorang anggota Tim Perancang RKUHP 2004, tetapi berbagai “penjelasan” yang kami sampaikan disini lebih banyak merupakan upaya kami untuk memahami RKUHP tersebut berdasarkan ide dasar dan suasana spirituil penyusunannya, dan karenanya merupakan pendapat pribadi saya dan bukan atas nama Tim.

  1. Pembangunan Hukum Nasional dan Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan KUHP baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional. Hal ini pertama-tama harus dilihat sebagai upaya men-design sistem hukum nasional. Sekalipun kita harus membuka diri sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan demokratisasi, tetapi sistem hukum nasional harus bersumber dari kebudayaan kita sendiri, sehingga khas berkepribadian Indonesia. Menurut Baharuddin Lopa, “sistem hukum nasional kita bukanlah seratus prosen sama dengan sistem rule of law yang mengutamakan perlindungan kepentingan perseorangan dan bukan pula seperti sistem socialist legality yang terlalu mengutamakan kepentingan negara”. (Artidjo Alkostar ed., 1997; 25). Berdasarkan hal ini, tidak tepat apabila RKUHP hanya dikaji berpangkal tolak pada prinsip-prinsip hukum Barat, tetapi harus tempatkan sebagai upaya anak bangsa untuk membangun sistem hukumnya sendiri. Dengan demikian, sekalipun harus diakui sifat universalitas nilai-nilai demokrasi, tetapi hal itu tidak dapat dilepaskan dari konteks ke-Indonesia-an, termasuk ketika mencermati proses pembangunan hukum.

Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis berbagai “kontroversi” yang dilontarkan masyarakat terhadap RKUHP, dikarenakan perbedaan perspektif yang digunakan. Apabila RKUHP dilihat dalam perspektif rule of law masyarakat liberal, maka memang ada sejumlah ketentuan yang dapat dipandang memasuki ruang privat seseorang terlalu dalam atau menciderai nilai-nilai demokratisasi dan kebebasan. Justru hal ini akan terlihat sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilihat “sistem baru” yang disusun dalam RKUHP tersebut. Dilarangnya perbuatan tertentu yang masuk kategori kejahatan terhadap agama dan kehidupan beragama jangan dilihat dari perspektif liberal. Tentunya hal ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang religius, yang menempatkan agama dan kehidupan beragama (apapun agamanya) menjadi pangkal tolak pengembangan diri dan lingkungannya.

Penyusunan RKUHP tidak hanya didasarkan pada suatu usaha merumuskan norma-norma yang telah tumbuh, berkembang dan dipelihara masyarakat Indonesia. Melainkan diyakini pula perlunya “pembentukan arah masyarakat” melalui pembaharuan hukum. Hukum karenanya mempunyai watak menentukan arah perkembangan masyarakat, dari kondisi nyata (riil) menuju kepada kondisi yang diharapkan (ideal). Akibatnya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP, tidak semata-mata dipandang sebagai usaha mereaktualisasi KUHP peninggalan kolonial, dengan cipta, rasa dan karsa yang bersifat nasional, tetapi lebih jauh lagi daripada itu. Bila para ahli menyatakan “hukum pidana adalah cermin peradaban suatu bangsa”, maka hukum pidana Indonesia melalui RKUHP dimaksudkan seperti itu, juga sebagai “alat pencapaian tujuan dari bangsa Indonesia”.

Dalam pada itu, perumusan “tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama” mengarahkan pembentukan masyarakat untuk menggunakan hak menjalankan kehidupan beragama sejauh tidak menodai kesucian agamanya sendiri atau agama orang lain. Oleh karena itu, perumusan delik serupa yang terdapat dalam KUHP, harus diperbaiki menyesuaikan dengan Indonesia masa kini. Hal ini, jelas bukan didasarkan pada sistem rule of law Barat ataupun socialist legality.

Selain itu, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, bukan semata-mata mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP baru yang lebih mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, tetapi meliput suatu skala yang lebih luas lagi. Pendek kata, pembaharuan hukum (pidana) bukan hanya sekedar memperbaharui hukum yang telah ada, sehingga menggantinya dari “baju kolonial” menjadi “baju nasional”. Tetapi lebih jauh daripada itu pembaharuan hukum (pidana) berarti menggantikan yang ada dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, cara melihat hal itu tidak dapat semata-mata dilakukan terhadap “naskah” Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut, tetapi harus pula mengkaji berbagai latar belakang pemikiran yang berkembang dan suasana kebatinan yang timbul dalam proses perumusannya.

  1. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RKUHP

a. Refleksi tentang Penempatan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP

Pada mulanya tidak ada “Kejahatan terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” yang diatur secara khusus dalam KUHP. Hanya saja terdapat beberapa rumusan delik yang dapat dipandang sebagai “kejahatan terhadap kehidupan beragama”, yaitu dalam Pasal 175, 176 dan 177 KUHP. Sedangkan Pasal 156a KUHP yang didalamnya memuat rumusan delik tentang “kejahatan terhadap agama” merupakan “pasal amandemen” yang disisipkan berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada masa itu Penetapan Presiden (Penpres) merupakan produk hukum yang setara dengan undang-undang, yang sekarang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sehingga diintrodusirnya hal ini dalam KUHP mencerminkan kebutuhan aktual masyarakat Indonesia.

Baik Pasal 156a KUHP maupun Pasal 175, 176 dan 177 KUHP merupakan delik-delik yang berada dalam Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Ketika tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama ditempatkan dalam bab tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, maka pada dasarnya “agama” atau “kehidupan beragama” bukan kepentingan utama yang hendak dilindungi dengan hukum pidana. Melainkan pelarangan atas perbuatan tersebut karena sangat berpotensi menggangu ketertiban umum. Sementara itu, dalam RKUHP tindak pidana ini ditempatkan dalam bab tersendiri. Dengan demikian, “agama” dan “kehidupan beragama” dipandang sebagai benda hukum tersendiri, yang merupakan kepentingan khusus bangsa dan karenanya diperlukan perlindungan tersendiri dengan ancaman pidana.

Berdasarkan hal ini, terdapat perkembangan yang mengadakan perubahan secara fundamental dari KUHP kepada RKUHP, terutama dalam melihat perbuatan-perbuatan yang “menista” suatu agama atau berbagai kegiatan peribadahan yang dilakukan pemeluknya. RKUHP menempatkan “agama” sebagai fundamen kehidupan bangsa, sehingga penodaan terhadap hal itu dipandang sebagai perbuatan tercela dan karenanya diancam pidana. Keleluasaan dalam menjalan “kehidupan beragama” bagi bangsa Indonesia merupakan hak dasar, sehingga segala gangguan terhadap hal itu harus dieliminasi. Masyarakat Indonesia yang religius menyebabkan pemeliharaan atas pola hidup demikian mutlak diperlukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Hatta yang memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan semata-mata tentang sikap saling menghormati antara para pemeluk agama berbeda, tetapi kehidupan beragama menjadi fundamen dan menentukan arah perkembangan bangsa.

b. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Agama

Dalam KUHP “kejahatan terhadap agama” ini dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Penpres No. 1 Tahun 1965 memberi pembatasan yang sangat umum mengenai delik ini. Disebutkan dalam penjelasannya bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang “semata-mata (pada pokoknya) ditunjukan pada niat untuk memusuhi atau menghina, dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, Zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini”.

Jika dicermati maka, rumusan delik ini tertuju pada pelarangan tiga perbuatan utama yaitu “memusuhi”, “menyalahgunakan” atau “menodai” agama. Namun penjelasannya hanya mengetengahkan dua perbuatan saja, yaitu “memusuhi” dan “menghina”. Menurut hemat kami, tidak jelas betul apa yang dimaksud “memusuhi” atau “menyatakan perasaan permusuhan” disini. Mengingat kata “musuh” dalam KUHP terutama berarti “lawan perang” (Pasal 96 ayat (2) KUHP atau “negara lain yang sedang berperang dengan negara RI” (Pasal 106 KUHP) atau “pemberontak” (Pasal 96 ayat (1) KUHP), sehingga kata-kata ini dihapus dalam RKUHP. Demikian pula, halnya dengan “penyalahgunaan” yang diragukan dapat ditentukan secara objektif maksudnya. Sementara itu, perkataan “penghinaan” atau “menghina” justru muncul sebagai istilah yang lebih konkrit dalam hal ini. Sebagaimana diketahui “penghinaan” telah menjadi mala in se dimanapun juga, dan didefinisikan secara umum dalam pasal penghinaan (Pasal 310 KUHP atau Pasal 529 RKUHP). Kalaulah “penghinaan” terhadap orang atau lembaga negara atau presiden telah menjadi delik, tentu lebih-lebih “agama” dan “simbol-simbol keagamaan”.

Selain itu, menurut hemat penulis rumusan perbuatan “mengeluarkan perasaan” masih merupakan rumusan yang “terlalu umum”. Demikian pula perkataan “perbuatan yang pada pokoknya”, yang juga tidak menentukan dengan “pasti” apa yang sebenarnya dilarang. Mungkin hal ini terutama yang melatarbelakangi mengapa dalam RKUHP, selain perumusan secara umum seperti itu, rumusan deliknya juga lebih dirinci dan dikonkritkan, yaitu dengan menggunakan perkataan “mengejek”, “menodai”, atau “merendahkan”. Selain itu, mengingat “agama” adalah “benda hukum” yang abstrak, dalam RKUHP juga ditegaskan objek dari “penghinaan agama”, yaitu dengan menggunakan kata-kata seperti “keagungan Tuhan”, “firman (Tuhan)”, “sifat-Nya”, “rasul”, “kitab suci”, “ajaran agama”, atau “ibadah keagamaan”.

Dalam hal tindak pidana penghinaan terhadap agama dilakukan dengan sarana percetakan atau rekaman, pidananya diperberat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 344 ayat (1) RKUHP. Pemberatan ini lazim digunakan dalam hukum pidana seperti yang dianut dalam KUHP, dan tetap dipertahankan dalam RKUHP.

c. Pembaruan Rumusan Tindak Pidana Penghasutan Untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama

Dalam KUHP tindak pidana ini dirumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam Penjelasan Penpres No. 1 Tahun 1965, pengertian pasal ini ditentukan bahwa “orang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping menggangu ketentraman orang beragama, pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatan itu dipidana sepantasnya”.

Dalam RKUHP perkataan “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” dikonkretisasi menjadi perbuatan “penghasutan”. Perbuatan “penghasutan” juga merupakan mala in se, yang dirumuskan dalam Pasal 160 KUHP atau 288 s/d 290 RKUHP. Keberatan sebenarnya dapat diajukan terhadap perumusan bagian inti (bestanddeel) “agama yang di anut di Indonesia” yang maknanya lebih sempit daripada unsur “agama apapun juga” yang terdapat dalam KUHP. Penulis sendiri berpendapat rumusan KUHP lebih tepat dibandingkan RKUHP berkenaan dengan hal ini, mengingat mestinya perlindungan hukum terhadap “agama” tidak dibatasi semata-mata kepada agama-agama yang memiliki pemeluk di Indonesia.

d. Pembaruan Tindak Pidana Gangguan tehadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Dalam Pasal 175 KUHP ditentukan bahwa:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”

Dalam RKUHP delik ini ditempatkan dalam tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Dalam hal ini, kriminalisasi diperluas sehingga mencakup pelarangan terhadap perbuatan yang “menggangu, merintangi, secara melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan” kegiatan peribadahan. Delik ini dipandang sejalan dan sangat diperlukan untuk memanifestasikan Pasal 29 UUD 1945, yang menjamin kemerdekaan menjalankan ibadah keagamaan. Gangguan dalam arti konkrit seperti “membuat gaduh di dekat tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung” diancam dengan pidana tersendiri. Sejalan dengan hal ini ketentuan Pasal 176 KUHP. Kata-kata “diizinkan” sama sekali dihapus, karena kegiatan keagamaan tidak memerlukan izin sama sekali, sepanjang dilakukan di tempat atau rumah-rumah ibadah

Selain itu, untuk menjaga kehormatan pemeluk agama atau pemuka agama, juga diancam dengan pidana perbuatan “mengejek” orang yang sedang menjalankan ibadah atau petugas agama yang sedang menjalankan tugasnya. Perkataan “mengejek” merupakan terminologi baru yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, sehingga dapat dibedakan dengan “penghinaan”. Sekalipun demikian istilah “mengejek” jauh lebih konkrit sifat tercelanya daripada istilah “mentertawakan” yang digunakan dalam Pasal 177 KUHP.

e. Tindak Pidana perusakan Tempat Ibadah

Pasal 348 RKUHP merupakan lex specialis dari Pasal 646 RKUHP tentang perusakan bagunan prasarana umum. Dalam hal ini ditentukan bahwa:

“Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk ibadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”

Keberatan dapat diajukan tentang perkataan “menodai”, yang sebenarnya masuk kedalam tindak pidana terhadap agama dengan menambahkan “tempat dan/atau rumah ibadah” sebagai “simbol keagamaan” dalam Pasal 343 RKUHP. Selain itu, ancaman pidana dalam Pasal 348 mestinya lebih berat daripada Pasal 646, untuk memberi sifat kekhususannya.

  1. Penutup

Berdasarkan hal di atas, RKUHP telah mengadakan perubahan yang mengarah pada “konkretisasi” dan “objektifikasi” tindak pidana terhadap agama, sehingga prinsip lex certa dan lex stricta benar-benar diperhatikan. Pikiran-pikiran yang “mengkawatirkan” hal ini menjadi bentuk pembelengguan atau pembatasan hak untuk menyampaikan pendapat, pikiran atau gagasan, menjadi tidak relevan jika mengingat penjelasan Penpres No. 1 Tahun 1965, yang menyatakan “uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, Zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana”. Apalagi menurut RKUHP yang didasarkan pada pemikiran yang lebih maju tentang penghormatan terhadap hak beragama yang dilindungi Konstitusi.



*Makalah dalam Diskusi Nara Sumber Terpilih dengan tema: “Kejahatan Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RKUHP”, diselenggarakan DESANTARA, Institute for Cultural Studies, di Wisma Makara Universitas Indonesaia Depok, 16 Nopember 2006.

** Dosen/Ketua Bagian Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota Tim Perancangan KUHP Tahun 2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Ketua Tim Anotasi Yurisprudensi Tentang Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional.