15 Februari 2009

POLITIK HUKUM TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH OLEH MENTERI DALAM NEGERI

POLITIK HUKUM

TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH

OLEH MENTERI DALAM NEGERI

Oleh: DR. CHAIRUL HUDA, SH., MH.¥

Pengantar

Wacana kebangsaan dan kenegaraan pasca orde baru memusat pada issue seputar Otonomi Daerah. Sistem sentralistik yang mewarnai pemerintahan Presiden Soeharto menjadi detonator “meledaknya” pembicaraan dan pengkajian tentang hal ini, yang tampaknya juga menjadi “benteng” atas desakan ide federalisime yang pernah meninggalkan pengalaman traumatik dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebagai perwujudan terkuat ide otonomi daerah adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan extreme design mengenai hal tersebut dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Namun demikian, implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diyakini menimbulkan sejumlah ekses, yang kemudian melahirkan “sistem kompromi” sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat. Dilihat dari ruanglingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya berlakunya sebagai norma hukum, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang pandangan yang melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidak berlebihan. Namun demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah “diciderai” oleh ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pertanyaan yuridis yang mengemuka dari persoalan ini adalah berkenaan dengan validitas kewenangan Mendagri tersebut dan pengaruhnya terhadap kedudukan Perda sebagai suatu produk hukum apabila ditinjau dari politik hukum dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah ini terutama menyoroti masalah Politik Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.

Perda dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan

Norma hukum disusun berjenjang-jenjang dan bertingkat-tingkat. Norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar pembentukan norma hukum yang lebih rendah, dan norma hukum yang lebih rendah menjadi sumber dari norma hukum yang lebih rendah lagi. Demikian misalnya sistem norma dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen (Kelsen: 1971). Pandangan ini membuat peraturan perundangan berada dalam suatu susunan hirarkis. Secara prinsipil peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip ini diikuti oleh sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.

Sehubungan dengan hal masalah ini, menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang paling tinggi untuk tingkatan produk legislasi daerah, sehingga peraturan yang lebih rendah semisal Peraturan Gubernur (Pergub) mempunyai dasar pembentukan dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan Perda. Namun demikian, sebagai bagian sistem peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam skala nasional Perda lebih rendah apabila dibandingkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Perda karena mempunyai yurisdiksi nasional.

Dalam kaitan dengan inilah problematik seputar Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengemuka. Ketentuan tersebut memungkinkan Perda (dan juga Peraturan Gubernur) dibatalkan oleh Mendagri yang notabene menerbitkan Keputusan Mendagri untuk melaksanakan kewenangannya tersebut. Dilihat sepintas lalu Keputusan Mendagri bukan dan karenanya tidak termasuk kedalam hirarkis perundang-undangan. Dengan demikian, kekuatan hukum Keputusan Mendagri tidak dapat ditentukan oleh kedudukannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan dan karenanya mempunyai kekuatan hukum berdasar kedudukan hirarkinya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tetapi ditentukan oleh hal lain.

Jawaban atas persoalan validitas kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda tersebut memang ditentukan oleh penilaian apakah Keputusan Mendagri merupakan produk hukum yang “lebih rendah” atau justru “lebih tinggi” apabila dibandingkan dengan Perda, tetapi penilaian hal tersebut tidak berpangkal tolak dari (disebutkan atau tidak disebutkannya hal itu dalam) hirarkis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2004. Sekalipun demikian, ukurannya penilaiannya sama, yaitu bukan suatu masalah ketika Keputusan Mendagri dipandang sebagai produk hukum yang “lebih tinggi”, tetapi tidak sebaliknya. Dengan demikian, untuk menjawab persoalan ini, kajian harus diperluas bukan hanya dilihat dari sekedar urut-urutan hirarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tetapi melihatnya dalam spektrum yang lebih luas.

Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menentukan: “jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Ketentuan ini menjadi dasar adanya peraturan perundang-undangan lain yang masuk dan menjadi bagian hirarkis peraturan perundang-undangan, tetapi tidak disebutkan secara langsung dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2004. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menentukan bahwa, “jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Perlu ditegaskan segala produk hukum sebagaimana tersebut di atas adalah “peraturan”, yang secara prinsipil berbeda dari “keputusan”. Berdasarkan hal ini, Keputusan Mendagri bukan sebagai salah satu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10Tahun2004, sehingga penilaian mengenai kedudukan dan kekuatan hukumnya bukan dilihat dari susunan hirarki peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, peraturan yang dikeluarkan Menteri, termasuk misalnya Mendagri, mendapat tempat dalam hirrakhi peraturan perundang-undangan bukan dibawah Perda. Apabila diperhatikan dengan seksama, susunan berbagai produk hukum yang berupa peraturan yang tidak disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, mempunyai susunan hirarkis berdasarkan penyebutannya seperti yang ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan misalnya Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi atau Peraturan Guburnur, suatu Peraturan Mendagri mempunyai kedudukan lebih tinggi karena Peraturan Menteri disebutkan lebih dahulu. Analog dengan hal ini adalah kedudukan Keputusan Menteri, termasuk Keputusan Mendagri. Kedudukan Keputusan Menteri lebih tinggi dari Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Keputusan Gubernur. Hal ini ditegaskan pula oleh Pasal 54 Undang-Undang No. 10 Tahun2004, yang menentukan penyusunan dan/atau bentuk keputusan Presiden dan keputusan lain-lainnya itu (termasuk Keputusan Menteri), harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut H. A. S. Natabaya untuk menghindari kerancuan kata-kata “harus berpedoman” dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 diatas seharusnya ditulis “mutatis mutandis” (H.A.S. Natabaya: 2006). Dengan demikian, sistem hirarki “keputusan” secara mutatis mutandis sama dengan sistem hirarki peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal di atas, penilaian mengenai validitas Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda tidak dilihat dari bagian sistem peraturan perundang-undangan (dalam arti sempit yaitu dalam arti regeling). Melainkan sebagai analog hal itu dalam “susunan hirarkis keputusan”. Apabila suatu produk keputusan dalam “hirarkis keputusan” adalah lebih tinggi, maka “keputusan” tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi juga dalam susunan hirarkis “peraturan”. Keputusan Mendagri lebih tinggi dari Peraturan Daerah karenanya, dilihat dari sistem hirarkisnya.

Pengawasan/Pengendalian Pembentukan Peraturan perundang-undangan

Tidak terbantahkan lagi bahwa Perda adalah salah satu Peraturan Perundang-undangan. Seperti layaknya peraturan perundang-undangan yang lain, pembentukan Perda tidak lepas dari pengawasan dan pengendalian. Sebenarnya hal ini berkenaan dengan kontrol terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, melalui apa yang biasa disebut dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism) Menurut Jimli Asshiddiqie ada tiga bentuk pengawasan/pengendalian (norma hukum dalam) peraturan perundang-undangan (Jimli Asshiddiqie: 2006). Pertama, kontrol yuridis, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan melalui uji materil (judicial review). Dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia untuk pengujian Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2003. Sedangkan untuk pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004). Kedua, kontrol administratif, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan oleh eksekutif atau lembaga administrasi yang menjalankan fungsi “bestuur” dibidang eksekutif. Dalam hal ini, misalnya kontrol administratif terhadap Undang-Undang berujung pada pengesahan oleh Presiden. Dalam hal Presiden terdapat hal yang luar biasa yang tidak memungkinkan Undang-Undang tersebut diberlakukan, maka Presiden berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang “membatalkan” keberlakukan Undang-Undang yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat tersebut (contohnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Jalan. Ketiga, kontrol politik, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan oleh lembaga polikik misalnya parlemen. Dalam hal ini perubahan Undang-Undang melalui jalur hak inisiatif sebagai amandemen dari Undang-Undang yang telah disahkan oleh Presiden.

Berdasarkan hal ini norma hukum yang terdapat dalam Perda juga tidak luput dari legal norm control mechanism tersebut. Kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, merupakan bentuk kontrol administratif Mendagri yang menjalankan fungsi “bestuur”. Dengan demikian, dari segi ini validitas kewenangan Mendagri mempunyai dasar yang lebih kuat, apalagi apabila dilihat dari kedudukan Mendagri sebagai pejabat yang lebih tinggi. Kedudukan Mendagri yang lebih tinggi ini, bukan saja terlihat dari produk hukum yang dihasilkannya lebih tinggi, tetapi juga memang kedudukannya yang lebih tinggi dari DPRD dan Gubernur.

Kewenangan Mendagri Melakukan Pembinaan Pemerintahaan Daerah

Otonomi daerah merupakan wujud demokrasi dalam konteks negara kesatuan (eenheidstaat), yang bukan saja berarti adanya desentrasilasi politik (staatskundige decentralisatie) yang menimbulkan kewenangan daerah untuk membuat peraturan perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), tetapi lebih jauh lagi menyebabkan daerah dapat menjalankan pemerintahan sendiri (zelfbestuur), sehingga dapat dikatakan daerah menjalankan rumah tangganya sendiri (eigen huishouding) (Laica Marzuki: 2006). Namun demikian, otonomi daerah bukan merupakan sesuatu “terberi dari langit”, melainkan amanat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dan derive dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkenaan dengan penggunaan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan (zelfwetgeving), melalui pembentukan Perda juga harus ditempatkan dalam konteks ini. Dalam hal ini konsep “negara kesatuan” berarti adanya “kesatuan hukum” di seluruh Republik Indonesia. Perda seperti layanknya peraturan perundang-undangan yang lain, memuat sejumlah norma hukum. Mengingat Perda tidak hanya mengikat/berlaku di daerah tempat diberlakukannya, tetapi juga adakalanya mengikat instansi pusat, maka pembentukan tidak dapat dilepaskan dari kerangka tersebut. Dengan demikian, sekalipun daerah mempunyai kewenangan membentuk Perda, tetapi tidak boleh bertabrakan dengan sendi-sendi dan asas-asas hukum nasional. Untuk itu diperlukan sistem pengendalian, yang tugas utamanya adalah menjaga agar Perda yang dibentuk di daerah, baik secara formil maupun materil sejalan dengan sendi-sendi dan asas-asas hukum nasional.

Sementara itu, penggunaan kewenangan untuk menjalankan pemerintahan sendiri tidak berarti terjadinya desentralisasi secara harfiah (“de” berarti lepas dan “centrum” berarti pusat) atau melepaskan diri dari pusat. Dalam hal ini pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi berpaut hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintahan daerah. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan sebagai hubungan seorang bapak dengan anak-anaknya yang sudah dewasa yang tinggal dalam satu rumah. Tentunya dalam batas-batas tertentu anak tersebut mempunyai kewenangan sendiri (privacy), namun tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan bersama penghuni rumah. Dengan demikian, otonomi daerah memungkinkan daerah mengurus kepentingan daerah itu sendiri tanpa mengabaikan kepentingan daerah lain dan kepentingan pemerintah pusat.

Selalu terkaitnya pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik dalam pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri maupun pelaksanaan pemerintahan sendiri, menyebabkan diperlukan mekanisme pengendalian (pembinaan dan pengawasan). Salah satu bagian dari konsep ini adalah pemberian kewenangan kepada Mendagri untuk melakukan Pembinaan terhadap Pemerintahan di daerah, sebagaimana dimaksud Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Berkenaan dengan pembentukan Perda, turunan dari kewenangan Mendagri tersebut adalah adanya Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dilihat lebih jauh lagi, pembatalan Perda oleh Mendagri, sebagaimana dimaksud Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah berkenaan dengan Perda APBD, yang notabene masalah keuangan selalu menjadi kewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No. 32 tahun 2004), sehingga pengendalian (pembinaan dan pengawasan) tentang hal ini tetap diperlukan.

Pembentukan Perda Dilihat Dari Asas-Asas Dalam Pembentukan Peraturan-peraturan Yang Patut (Beginselen van Behoorlijke Regeling)

Pembentukan Perda tunduk kepada teknik dan bentuk peraturan perundang-undangan yang digariskan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Namun demikian, yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 adalah segala hal ihwal pembentukan peraturan perundang-undangan, yang tentunya berlaku sebagai norma hukum yang bersifat umum (lex generalis). Bukan tidak mungkin, untuk setiap jenis peraturan perundang-undangan ditentukan norma-norma hukum lain yang bersifat khusus (lex speciali), mengingat sifat kekhasan jenis peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam pada inilah norma hukum yang mengatur pembentukan Perda yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 harus ditempatkan. Dengan demikian, adanya kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, harus dilihat sebagai norma yang bersifat khusus bagi Perda, yang melengkapi norma bersifat umum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Perda) yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004.

Diyakini oleh para ahli pembentukan peraturan perundang-undangan juga tunduk kepada sejumlah asas hukum. Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat dibelakang atau didalam sistem hukum (Dworkin: 1986). Dengan demikian, Undang-Undang No. 10 tahun 2004 yang memuat sejumlah norma hukum yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, juga dilatarbelakangi atau memuat oleh sejumlah asas hukum. Dalam hal ini menurut penulis diyakini bahwa Undang-Undang No. 10 tahun 2004 hanya memuat norma-norma umum pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dimana perlu untuk bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan tertentu diadakan suatu pengaturan yang bersifat khusus. Keseluruhan hal itu oleh Hamid Attamimi disebut sebagai asas-asas dalam pembentukan peraturan-peraturan yang patut (beginselen van behoorlijke regeling), baik bersifat formal maupun material (Maria Farida Indrati Soeprapto: 1998).

Kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda APBD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, lebih kepada penormaan atas perlunya perhatian terhadap asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang tidak dibentuk oleh lembaga atau organ pembentuk yang tepat dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dalam kasus Perda, pembatalan dapat dilakukan karena ketika suatu Perda memuat norma hukum yang tidak semestinya, dapat dipandang sebagai telah dibentuk oleh lembaga atau organ pembentukan yang tidak tepat, karena kemungkinan merupakan kewenangan atau tugas dari lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan yang lain.

Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat digarisbawahi bahwa dilihat dari sistem peraturan perundang-undangan, kontrol pembentukan peraturan perundang-undangan, pembinaan dan pengawasan otonomi serta asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, kententuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, masih sejalan dengan politik hukum tentang otonomi daerah.

Rujukan

H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Setjen MK, 2006.

Hans Kelsen. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia, 2006

Jeremy Bentham. Teori Perundang-undangan; Prinsip Legislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Bandung: Nusamedia, 2006.

Jimli Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006

Laica Marzuki. Berjalan-jalan di Ranah Hukum. Jakarta: Setjen MK, 2006.

Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998.



¥Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia di Jakarta.