15 Februari 2009

ANOTASI PUTUSAN MK NO. 069/PUU-II/2004

1
ANOTASI
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TANGGAL 15 PEBRUARI 2005
ATAS PERKARA NOMOR 069/PUU-II/2004
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH
I
Pengantar
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Pebruari 2005 atas perkara
dengan No.069/PUU-II/2004, telah menimbulkan berbagai reaksi dalam
masyarakat. Reaksi mereka yang pro atas putusan tersebut sama kerasnya
dengan mereka yang kontra. Reaksi beragam juga timbul dikalangan para ahli
hukum, seperti tampak dari silang pendapat para ahli yang didengar
keterangannya dalam perkara tersebut.
Reaksi yang begitu menonjol terhadap putusan tersebut disebabkan
oleh sifat dari setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat
seluruh penyelenggara negara dan masyarakat. Dikatakan final karena tidak
ada upaya hukum yang tersedia atas putusan tersebut. Dengan demikian,
seketika putusan ini diucapkan, langsung berkekuatan hukum tetap, dan
karenanya tidak perlu diikuti oleh pengadilan lain putusan tersebut telah
menjadi yurisprudensi. Selain itu, setiap putusan Mahkamah Konstitusi
berbeda daya berlakunya jika dibandingkan dengan putusan-putusan
pengadilan lainnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat
Pemohon dan Pihak Terkait lainnya (pihak-pihak berperkara), tetapi juga
menjadi suatu ketetapan hukum bagi segenap anggota masyarakat dan
penyelenggara negara lainnya.
2
Putusan Mahkamah Konstitusi juga sarat dengan sengketa akademik
keilmuan. Setiap pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
(judicial review), tidak cukup apabila hanya dipandang dari kacamata Hukum
Tata Negara atau Ilmu Perundang-undangan, tetapi sangat tergantung pula
dari substansi undang-undang yang sedang diujimaterilkan. Apabila uji materil
menyangkut undang-undang pidana misalnya, maka pertimbangan hukum juga
harus mengacu pada teori dan doktrin yang berkembang dalam hukum pidana.
Selain itu, seperti umumnya suatu putusan pengadilan, putusan Mahkamah
Konstitusi juga harus diputuskan melalui suatu proses dan prosedur acara
yang layak (due process), karena dari sinilah dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya.
II
Kasus Posisi
Putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah putusan atas permohonan
Bram H.D. Manopo yang mengajukan uji materil atas Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut UU
KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya
disebut UUD 45).
Dalam permohonannya, didalilkan oleh Pemohon Pasal 68 UU KPK
bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 45. Pasal 68 UU KPK mengatur tentang
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untak mengambilalih
setiap perkara korupsi yang sedang diproses (penyelidikan, penyidikan dan
penuntutannya) oleh Polri atau Kejaksaan RI. Dengan ini didalilkan oleh
Pemohon seolah-olah KPK berwenang menyelidiki, menyidik dan menuntut
setiap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum lembaga itu ada. Hal ini oleh
Pemohon dipandang bertentangan Pasal 28 I UUD 45 yang melarang
3
pembatasan dalam bentuk apapun hak-hak asasi manusia, termasuk tetapi
tidak terbatas pada hak untuk tidak diterapkan aturan hukum secara retroaktif.
Tindakan KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
Pemohon atas sangkaan tindak pidana yang dilakukannya sebelum berlakunya
UU KPK, didalilkan oleh Pemohon sebagai pelanggaran hak asasi manusia
yang tercantum dalam UUD 45 tersebut, karena telah menerapkan UU KPK
secara retroaktif.
Sekalipun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan
menolak permohonan Pemohon, tetapi dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu “fatwa hukum” bahwa KPK tidak
berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang
terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002, tanggal pemberlakuan UU KPK.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga membatasi kewenangan KPK untuk
mengambilalih perkara korupsi dari Polri dan Kejaksaan RI, hanya sampai
dengan perkara yang terjadi sesudah 27 Desember 2002.
III
Putusan dilihat dari aspek Hukum Tata Negara
1. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memandang Pasal 68 UU KPK
sebagai suatu Ketentuan Peralihan, tetapi sebagai Ketentuan Penutup.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan Pasal 68 UU
KPK dihubungkan Pasal 70 dan 72 undang-undang yang sama merupakan
cara penafsiran yang keliru. Dalam hal ini ketentuan Peralihan dihubungkan
dengan Ketentuan Penutup. Ketentuan Penutup ada pada setiap undangundang,
karena didalamnya berisi tentang kekuatan mengikat suatu
peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak dapat dihubungkan dengan
4
Ketentuan Peralihan yang merupakan ketentuan yang sifatnya administratif
atas berbagai hal termasuk kewenangan yang ditimbulkan oleh
pemberlakukan undang-undang tersebut.
Apabila Pasal 68 UUKPK dipandang sebagai ketentuan Peralihan, maka
pada dasarnya hal itu merupakan aturan peralihan tentang kewenangan
penegakan hukum, dari Polri dan Kejaksaan RI kepada KPK. Hanya saja
aturan peralihan ini sifatnya fakultatif, tidak imperatif. Dilihat dari teori
tentang Ketentuan Peralihan, pembenaran Pasal 68 UU KPK jika
diterapkan terhadap perkara-perkara yang telah ada sebelum undangundang
tersebut diberlakukan, dapat dilihat sebagai pengejawantahan
semangat baru yang hendak ditumbuhkan pembentuk undang-undang
dengan memberlakukan suatu undang-undang baru. Dalam hal ini,
undang-undang baru yang diberlakukan (UUKPK dan bukan KUHAP)
karena undang-undang tersebut dipandang lebih sesuai dengan
perkembangan masyarakat pada saat terakhir.
Pandangan terakhir ini juga telah diintrodusir dalam RKUHP 2004.
Demikian pula halnya jika nantinya terjadi perubahan KUHAP, tentu KUHAP
baru berlaku bukan hanya terhadap proses perkara yang terjadi sesudah
KUHAP baru tersebut diberlakukan, tetapi juga sebelumnya.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan Pasal 28 I
UUD 45 dalam hubungannya dengan Pasal 28J UUD 45
Dengan menyatakan Pasal 68 UU KPK tidak bersifat retroaktif,
Mahkamah Konstitusi secara tersirat ingin menyatakan bahwa asas
retroaktif tidak dapat digunakan dalam peraturan perundang-undangan
karena bertentangan dengan UUD 45. Padahal Pasal 28 I UUD 45 yang
melarang penggunaan asas retroaktif merupakan pasal yang penerapannya
dibatasi oleh pasal 28 Huruf J yang menyatakan untuk kepentingan-
5
kepentingan tertentu, terutama dalam menjadi hak-hak orang lain dan
keadilan, asas retroaktif dapat digunakan. Dengan demikian, jika memang
Pasal 68 UU KPK dipandang bersifat retroaktif, hal inipun tidak dapat
dipandang telah bertentangan dengan UUD 45.
IV
Putusan dilihat dari Penerapan Hukum Acaranya
Putusan Mahkamah Konstitusi dilihat dari prinsip-prinsip beracara yang
baik dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan diputus
berdasarkan prinsip transparansi.
Pada dasarnya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini
terbelah pada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan Pemohon
tidak mempunyai legal standing atas perkara ini, karena tidak menderita
kerugian konstitusional atas Pasal 68 UU KPK. Hal ini mengingat Pemohon
disidik oleh KPK berdasarkan Pasal 6 huruf c UU KPK, sehingga
penyelidikan dan penyidikan oleh KPK terhadap Pemohon adalah tindakan
pertama (first action), dan bukan pengambilalihan sehingga tidak terdapat
korelasi linear dengan Pasal 68 UU KPK. Dalam putusan tersebut
pandangan ini merupakan pandangan dua hakim Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, tidak dikemukakan hakim mana yang berpandangan
demikian, sehingga tidak pula dapat dipandang sebagai dissenting opinion.
Dalam dissenting opinion perkara Ir. Akbar Tanjung misalnya,
ketidaksetujuan dan perbedaan pendapat Hakim Agung Abdurrachman
Saleh, SH., pada waktu itu dinyataka dengan tegas.
Pendapat kedua, melihat masalah legal standing Pemohon akan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Hanya sayangnya dalam putusan
tersebut, tidak dikemukakan secara tegas bahwa tujuh hakim Mahkamah
Konstitusi yang lain berpendapat demikian. Hal ini mencerminkan sifat
6
tertutup dari putusan. Pada satu sisi hal ini mencerminkan Mahkamah
Konstitusi sangat tidak transparan, yang dapat menyulitkan penelusuran
pandangan para hakim tersebut untuk kepentingan keilmuan. Pada sisi lain,
sifat tidak transparan Mahkamah Konstitusi sangat menyulitkan masyarakat
untuk menilai kredibilitas yang bersangkutan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus bersama-sama masalah
legal standing Pemohon (aspek-aspek hukum formal dari suatu
permohonan) dan pokok perkara (aspek-aspek hukum materil dari
suatu permohonan), bertentangan dengan kelaziman dalam hukum
acara.
Pemeriksaan atas suatu sengketa lazimnya dilakukan secara bertingkat.
Setelah memenuhi aspek formalitas barulah masalah-masalah yang
berhubungan dengan aspek materil (pokok perkara) diperiksa. Kelaziman
demikian berlaku untuk semua jenis peradilan. Di Peradilan Umum (baik
kamar (chamber) pidana, perdata, anak, niaga dan pelanggaran HAM
Berat), Peradilan Agama (kamar perdata khusus), Peradilan Tata Usaha
Negara maupun Peradilan Militer, berlaku prinsip pemeriksaan bertingkat
formal dan materil. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, juga
tidak dikemukakan alasan dan dasar hukum penyimpangan yang dilakukan
Mahkamah Konstitusi, sehingga memutus bertentangan dengan kelaziman
dan prinsip beracara demikian.
3. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertentangan antara
pertimbangan hukum dan amar putusan.
Pada prinsipnya setiap putusan didasarkan pada permohonan
Pemohon. Dalam acara perdata hakim hanya wajib mempertimbangkan halhal
yang diajukan Penggugat dalam Surat Gugatan. Dalam acara pidana,
kewajiban hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus tentang
terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwa adalah pelakunya
7
sebagaimana yang termuat dalam Surat Dakwaan. Dalam perkara yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi ini, Pemohon pada dasarnya mengajukan
permintaan (petitum), bahwa Pasal 68 UU KPK bertentangan dengan
Pasal 28 I UUD 45 dan karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat. Namun demikian, sekalipun dalam amar putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon, dan
karenanya secara a contrario menyatakan Pasal 68 UU KPK tidak
bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 45, tetapi dalam pertimbangan
hukumnya Mahkahah Konstitusi menyatakan, “undang-undang a quo (UU
KPK-pen), hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang
tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang-undang dimaksud
diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak
berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum
undang-undang a quo diundangkan”.
Pertimbangan demikian, justru merupakan pertimbangan yang
“mengabulkan” permohonan Pemohon, yaitu tidak dapat digunakannya
kewenangan KPK mengambil alih proses perkara yang sedang
berlangsung, atas suatu sangkaan tindak pidana yang terjadi (tempus
delicti-nya) sebelum adanya UU KPK.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi telah keliru menerapkan adagium
hukum acara bahwa, “hakim tahu tentang hukumnya”.
Pada prinsipnya, hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena
hukum yang berlaku tidak ada atau tidak jelas mengatur. Hal ini berangkat
dari adagium “hakim tahu mengenai hukumnya”. Dalam acara perdata,
suatu gugatan tidak perlu sampai memuat pasal-pasal undang-undang
yang dijadikan dasar gugatan, karena hakim dipandang tahu tentang
hukumnya. Setiap perkara yang diajukan ke pengadilan harus diputus oleh
8
hakim karena hakim yang ahli hukum dipandang tahu mengenai hukum
atas persoalan yang diajukan kepadanya.
Untuk mendapatkan keyakinan atas putusannya, hakim dapat meminta
pendapat orang ahli. Apabila pandangan-pandangan orang ahli yang
didengar keterangannya saling bertentangan satu dengan yang lain, hakim
tetap harus mengemukakan pandangan mana yang diikuti dan yang tidak,
beserta argumentasinya. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
mengesampingkan pendapat ahli Prof. Dr. Indiyanto Seno Adji, SH., MH,
karena dipandang memilki conflict of interest, mengingat yang
bersangkutan menjadi Kuasa Hukum Abdullah Puteh, tersangka lain yang
dituntut KPK atas kasus yang sama dengan Pemohon. Namun demikian,
pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 68 UU KPK, justru
mengacu pada pandangan Ahli yang telah ditolaknya tersebut. Sebaliknya,
hal ini dapat dipandang Mahkamah Konstitusi telah menolak pandangan
ahli yang berpandangan lain dari Prof. Dr. Indrianto Seno Adji, SH., MH
(Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH dan Prof Dr. Komariah Emong
Sapardjaja, SH). Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi telah “tahu
hukumnya sendiri” tanpa didasarkan atas keterangan orang ahli yang telah
didengar keterangannya. Mahkamah Konstitusi telah melampaui
kewenangannya, yaitu mempunyai “pendapat hukum” atau “fatwa hukum”
sendiri, padahal hal itu tidak diminta oleh Pemohon.
V
Putusan dilihat dari segi Hukum Pidana
Dilihat dari hukum pidana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat
dikemukakan beberapa catatan berikut:
1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi atas Pasal 68 UU KPK bahwa pasal
tersebut tidak dapat diterapkan terhadap peristiwa pidana yang
9
tempus delicti-nya sebelum berlakunya undang-undang tersebut,
adalah penafsiran yang tidak didukung oleh pertimbangan yang
komprehensif (on voldoende gemotiveerd).
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak melihat latar belakang sejarah
(tidak melakukan historical interpretation) dari pembentukan UU KPK.
Dilihat dari sejarahnya, pembentukan super body yang berwenang
melakukan trigger mechanism terhadap tindak pidana korupsi, didasari atas
tidak efektifnya subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), terutama Polri dan Kejaksaaan RI. Selain itu juga, korupsi di
Indonesia dipandang sudah berada pada tahap yang luar biasa tingkat
bahayanya bagi masyarakat, negara dan bangsa, sehingga perlu ditempuh
cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measures) untuk mengatasinya.
Oleh karena itu, KPK dibentuk bukan hanya untuk merespons tindak pidana
korupsi yang terjadi sesudah adanya lembaga ini, tetapi juga yang
sebelumnya. Sebelumnya disini, tidak hanya dibatasi sampai dengan 27
Desember 2002 yaitu ketika UU KPK diundangkan, karena secara yuridis
“pengambilalihan atas suatu perkara yang sedang diproses” menunjukkan
pada “pengambilalihan kewenangan” dan bukan “pengabilalihan
perkaranya”. “Perkaranya” disini sudah barang tentu perkara yang telah
ada “sebelum” KPK ada, yang sebenarnya menjadi “wewenang” Polri
dan/atau Kejaksaan RI.
2. Putusan Mahakamah Konstitusi telah menempatkan pengertian asas
non-retroaktif dan asas retroaktif secara keliru.
Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi berpandangan
bahwa Pasal 68 UU KPK tidak bersifat retroaktif. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi memandang bahwa pasal tersebut bersifat prospektif
atau non-retroaktif. Pada dasarnya, dalam hukum pidana prinsip nonretroaktif
bersumber dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tiada perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan perundang-undangan yang
10
telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Sifat non-retroaktif aturan pidana
ditujukan terhadap aturan tentang perbuatan, yaitu “tindak pidana” (nullum
crimen sine lege) dan aturan tentang “sanksi pidana” (nulla poena sine
lege). Bagi penganut dualistis, non-retroaktif terhadap aturan tentang
“tindak pidana” disini terdiri atas aturan tentang “perbuatan pidana” dan
aturan tentang “pertanggungjawaban pidana”. Dengan demikian, tidaklah
mungkin diadakan tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pengadilan, dan pelaksanaan pidana, jika sebelumnya secara materil tidak
ada aturan perundang-undangan yang menentukan bahwa suatu perbuatan
adalah tindak pidana, dan karenanya orang yang melakukannya dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga apabila hal itu dilakukan dengan
kesalahan padanya dapat dikenakan pidana. singkatnya, dalam hal tidak
ada deliknya, tidak mungkin secara retroaktif mengadakan tindakan formil
acara pidana.
Berbeda halnya jika suatu perbuatan telah dinyatakan sebagai tindak
pidana, dan karenanya telah timbul (telah ada kewenangan) bagi aparat
penegak hukum untuk mengadakan penyelidikan, penyidikan dan
seterusnya. Lalu jika oleh undang-undang dibentuk lembaga baru, yang
dapat secara retroaktif “mengambilalih” kewenangan lembaga yang telah
ada sebelumnya, tidak termasuk dalam larangan berlaku surut (asas non
retroaktif) dalam hukum pidana. Dengan demikian, dalam Pasal 68 UU
KPK tidak dimaksudkan sebagai penerapan secara diam-diam asas
retroaktif, tetapi sesuatu yang lain yang sifatnya lebih kepada pengaturan
(administrasi) kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya
Polri, Kejaksaan RI dan KPK.
Pada hakekatnya dalam hukum pidana, hanya mengakui asas nonretroaktif
terhadap aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana dan pemidanaan. Sementara itu, asas retroaktif dapat diterapkan di
11
luar aturan pidana yang demikian itu, bahkan untuk suatu undang-undang
untuh sekalipun. Dalam hal aturan tentang tindak pidana, kesalahan dan
pemidanaan asas legalitas lebih utama daripada asas retroaktif. Sebaliknya
dengan suatu ketentuan undang-undang dalam menentukan luas lingkup
kewenangan agent of law enforcement, dapat saja suatu aturan hukum
berlaku secara retroaktif.