15 Februari 2009

PROBLEMATIKA SEPUTAR PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

PROBLEMALIKA SEPUTAR

PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY)

HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.

Pengantar

Upaya untuk membuat “corruption doesn’t pay” telah dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam atmosfir proses pembentukan dan penegakan hukum (law making process and law enforcement process) di Indonesia (Romli Atmasasmita: 2003). Terlebih lagi dengan adanya kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde sekarang ini, sehingga upaya pengungkapan maupun pembuktiannya di pengadilan masih jauh dari harapan. Diperparah lagi dengan adanya sinyalemen bahwa berbagai oknum profesional tertentu (akuntan, financial analyst, lawyer dan notaris) kerap memberikan jasa menghapus jejak-jejak white collar crime itu. Belum lagi economic power dan bureaucratic power yang membuat para koruptor beyond the law (Indriyanto Seno Adji: 2006), semakin memupus harapan terlaksananya penegakan hukum secara adil. Sementara itu, suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena “meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan” korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu, “pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya diarahkan pada penangan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan, melainkan juga diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan” untuk dilakukan, dan mensinegikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Diantaranya yang mungkin untuk itu adalah membangun mekanisme pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.

Dalam hukum pidana Indonesia, upaya untuk “menghalangi” atau “menuntup kemungkinan” para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara. Dalam tataran filosofis secara terbatas mengenai hal ini telah pula menjadi pemikiran para pemikir-pemikir tua seperti Jeremy Bentham (Bentham, translate Upendra Baxi, 1979). Sedangkan secara pragmatis, hal itu dapat dilakukan dalam proses acara, misalnya dapat dilakukan dari sejak awal berupa penyitaan (Pasal 39 KUHAP) atau pemblokiran (Pasal 32 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003), ataupun pembekuan rekening (Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menjadikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Demikian misalnya telah dikriminalisir perbuatan penadahan (Pasal 480, 481 dan 482 KUHP) ataupun pencucian uang (money laundering) seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Melakukan double criminality seperti ini, merupakan upaya memberantas suatu tindak pidana dengan membuatnya sebagai “tidak menguntungkan”, karena perbuatan-perbuatan lain seperti menyembunyikan, memperjualbelikan, atau menyamarkan, hasil tindak pidananya merupakan tindak pidana tersendiri. Bahkan pernah tercetus ide untuk memperluas rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Korupsi, sehingga mencakup tiga kelompok (yang ada sekarang hanya dua kelompok), yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana setelah terjadi korupsi. Hal yang tersebut terakhir ini adalah penarikan money laundering menjadi tindak pidana korupsi dan kriminalisasi bentuk-bentuk pembantuan setelah tindak pidana korupsi terjadi (Barda N. Arief: 2001).

Selain itu, upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP). Bagi tindak pidana korupsi, hal ini dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang penggati yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).

Namun demikian, seluruh ketentuan di atas belum benar-benar membuat corruption doesn’t pay, mengingat umumnya hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indoensia. Dengan bantuan tekonologi informasi hasil-hasil kejahatan korupsi rupanya mendapat sentuhan “modernisasi’, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara lain. Ternyata kejahatan pun mengalami modernisasi. Modernisasi yang menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial (Sztompka, 2004), ternyata juga termasuk perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. “Modernitas adalah globalisasi”, ternyata juga sangat diperhatikan oleh pelaku kriminal. Aset hasil korupsi dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita, apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata menjadi faktor kriminogen (Muladi: 2002), yaitu pendorong terjadi transnational crime. Memang umumnya para ahli sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan msyarakat dunia tanpa terkecuali.

Upaya pemberantasan korupsi juga harus diarahkan untuk memberangus kecenderungan korupsi sebagai aktivitas bisnis baru, (crime as a business), karena kejahatan ternyata cukup menguntungkan (crime does pay). Sebagai contoh kasus yang belakangan ini terungkap, ternyata putusan pengadilan untuk membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi Bank Duta, belum sepenuhnya dibayar Terpidana Dicky Iskandar Dinata, sampai yang bersangkutan kembali tersangkut perkara korupsi baru. Mekanisme yang tidak begitu jelas dalam mengembalikan aset hasil korupsi, membuat seluruh aspek pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Melihat kasus ini, maka apabila terhadap aset hasil korupsi yang berada di Indonesia saja sulit diperoleh kembali, bagaimana halnya yang berada di luar negeri. Tentunya jauh lebih sulit.

Harapan akan dapat diperoleh kembali aset hasil korupsi kembali timbul dengan adanya Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diprakarsai Kantor PBB urusan Masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan (UNODC) dan Bank Dunia. Tidak terlalu mengejutkan apabila dalam Laporan Tahun 2007 menempatkan mantan Presiden Soeharto pada rangking teratas yang menggelapkan uang negara dengan jumlah US$ 15-35 juta yang dilakukan antara 1967-1998. Namun demikian, sejauhmana mekanisme ini dapat “diterima” dalam sistem hukum Indonesia, masih merupakan tanda tanya besar.

Dimensi Internasional Pengembalian Aset Hasil Korupsi

Dalam kasus Indonesia sebenarnya masalah pengembalian aset hasil korupsi dapat dibedakan kedalam dua kelompok besar, yaitu pengembalian aset hasil korupsi yang berada di Indonesia dan pengembalian aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Untuk yang terakhir peluang untuk mewujudkannya terbuka dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 yang merupakan ratifikasi atas United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Sekalipun sesuai dengan sifatnya sebagai hukum yang berasal dari konvensi internasional, yang masih membutuhkan pemberian bentuk positif (Roeslan Saleh: 1983) lebih lanjut, mengingat belum dapat berlaku langsung sebagai hukum positif, tetapi paling tidak dengan meratifikasinya membuka kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan prosedur dan protokol pengembalian aset hasil korupsi yang diatur didalamnya.

Dalam konvensi ini disadari bahwa kepentingan untuk dapat menarik kembali aset hasil korupsi di luar negeri praktis hanya dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional. Hal ini menjadi motivasi utama bagi Indonesia untuk menandatangani UNCAC 2003 (Romli Atmasasmita: 2004) dan meratifikasinya. Mengingat, salah satu arti penting konvensi ini bagi Indonesia, adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 tahun 2006). Namun demikian, jika diperhatikan dengan seksama masih terlalu banyak “gap” antara UNCAC dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia (KPK: 2006), yang kemudian dapat menjadi faktor penghambat yang signifkan bagi pengembalian aset hasil korupsi. Dalam hubungannya dengan ruang lingkup kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya. Pasal 41 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, kerjasama internasional yang dapat dilakukan KPK terbatas dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan “pengembalian aset” hasil korupsi berhubungan dengan tindakan yudisial yang terutama dilakukan melalui putusan pengadilan. Dengan demikian, “pengembalian aset” hasil korupsi belum sepenuhnya dapat dilakukan jika semata-mata mengandalkan kewenangan KPK yang ada berkenaan dengan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. “Pengembalian aset” umumnya hanya dapat terjadi melalui putusan pengadilan, baik pidana ataupun perdata, secara langsung ataupun dalam kerangka bantuan timbal balik dalam bidang hukum pidana.

Apabila mekanisme pengembalian aset korupsi dalam UNCAC 2003 saja belum secara adequate dapat berkontemplasi dalam peraturan perundang-undangan yang ada, bagaimana pula halnya dengan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Ada beberapa catatan tersendiri mengenai hal ini dalam kerangka kerjasama internasional dalam pengembalian aset korupsi. Pertama, dari segi peristilahan. Apabila UNCAC 2003 menggunakan nomenklatur “Corroption Asset Recovery” dapatkah hal ini dipersamakan dengan “Stolen Asset Recovery”. Hukum Indonesia, termasuk tidak terbatas hukum korupsi, yang berwatak dogmatis dapat menjadikan perbedaan peristilahan tersebut sebagai batu sandungan penting, mengingat “stolen” mempunyai pengertian tersendiri yang berbeda dari “corruption”. Lebih jauh lagi mekanisme “recovery” antara barang bukti hasil kejahatan pencurian ataupun penggelapan dan hasil korupsi juga sangat berbeda. Oleh karena itu, perlu elaborasi lebih jauh apakah “stolen“ dalam StAR Initiative adalah “istilah” ataukah atau merupakan suatu “definisi”. Tegasnya, apakah aset yang dalam kerangka StAR Intiative adalah sama dengan aset hasil korupsi dalam perundang-undangan korupsi di Indonesia. Jika bukan merupakan dua hal yang sama, maka semakin sulit untuk menggunakan StAR Initiative sebagai terobosan pengembalian aset hasil korupsi di dalam negeri apalagi di luar negeri. Kedua, “informasi” tentang adanya uang negara yang digelapkan dalam StAR Initiative adalah “Laporan” dibawah judul: Stolen Asset Recovery (StAR)” Challenge, Opportunities and Action Plan (The World Bank and UNDOC, 2007). Jika diasumsikan “stolen asset” tersebut berada di Indonesia, pertanyaan teknis yuridisnya, apakah “laporan” ini dapat dijadikan alat bukti dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Meneladan pada Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 187 KUHAP, laporan tersebut tidak termasuk alat bukti yang sah dalam acara pidana. Paling banter “laporan” tersebut merupakan alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud Pasal 26 A huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Hanya saja sesuai dengan sifatnya, alat bukti ini seperti juga alat bukti petunjuk lainnya tergolong “indirect evidence”. Terlebih lagi jika dilihat kedudukan lembaga yang merilis laporan ini, jika perwakilan dari lembaga ini dihadirkan dalam persidangan di Indonesia untuk menyatakan isi laporannya, belum jelas kapasitasnya apakah sebagai Saksi (orang yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana) atau sebagai Ahli (orang yang mempunyai keahlian khusus). Barangkali sebagian besar pejabat penegak hukum di Indonesia mengetahui tentang StAR Initiative sepanjang sebagai “berita” di meda massa, yang sangat muskhil dapat menjadi bukti hukum (legal evidence). Ketiga, jika laporan StAR Initiative tersebut dapat diterima sebagai alat bukti, lalu apakah akan digunakan dalam mekanisme acara perdata seperti yang sekarang sedang berjalan antara Jaksa Pengacara Negara versus Soeharto dan yayasan-yayasan yang didirikannya, atau apakah akan digunakan dalam mekanisme acara pidana, upaya pengembalian aset korupsi tersebut. Baik melalui mekanisme acara perdata maupun acara pidana tidak selalu mudah menggunakan hal itu sebagai alat bukti. Putusan pengadilan di Indonesia tentang “kesalahan Soeharto” atas suatu tindak pidana atau perbuatan melawan hukum yang merugikan negara, baik dari segi pidana dan dari segi perdata, sangat menentukan dapat dimenangkannya gugugatan ataupun tuntutan pengembalian asset hasil korupsi di luar negeri. StAR Initiative tidak akan berarti banyak tanpa adanya putusan declaratoir tentang “Kesalahan Soeharto” tersebut menurut pengadilan Indonesia. Belum lagi jika benar sinyalemen banyak pihak yang menyatakan substansi Laporan StAR Initiative tersebut, tidak lebih dari asumsi-asumsi yang masih belum dapat dipastikan kebenarannya secara hukum, apalagi digunakan sebagai alat bukti di muka sidang pengadilan.

Sementara itu, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab V, Pasal 51 s/d 60 UNCAC 2003, sebenarnya membawa babak baru upaya membuat “corruption does pay”. Bab ini merupakan matarantai ketentuan tentang kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Lebih tepatnya ketentuan konvensi dalam ini berisi tentang kerjasama internasional khusus dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Sementara mengenai kerjasama internasional yang umum diatur dalam Bab IV konvensi ini. Dengan demikian, ketentuan konvensi dalam bab ini tidak terkait langsung dengan kenyataan kebutuhan instrumen hukum dalam pengembalian aset korupsi yang masih berada di Indonesia. Kebutuhan reformasi hukum pidana korupsi di Indonesia pada satu sisi sebenarnya adalah pencarian terobosan prosedur hukum yang dengan itu dapat mengatasi kesulitan-kesulitan terutama dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang masih berada di Indonesia (Bandingkan dengan Hasil Kajian Bank Dunia mengenai kebutuhan reformasi hukum dalam pemberantasan korupsi. The World Bank: 2004). Baik terhadap tersangka, terdakwa yang telah diadili maupun yang belum dapat diadili seperti mantan Presiden Soeharto.

Ketentuan konvensi berkenaan dengan pengembalian aset memiliki dimensi internasional. Selalu terkait unsur “asing” dalam hal ini, yaitu pengembalian aset hasil korupsi yang dilakukan di negara lain (asing) ataupun yang dilakukan di negara sendiri oleh negara lain (asing). Oleh karena itu ketentuan pengembalian aset dalam konvensi ini dapat dibedakan dalam dua bagian. Pertama, ketentuan pengembalian aset tindak pidana korupsi dalam hal suatu negara sebagai “pihak yang meminta” dikembalikannya aset tersebut yang berada di negara lain. Kedua, ketentuan pengembalian aset tindak pidana korupsi dalam hal suatu negara berposisi sebagai “pihak yang diminta” mengembalikan aset tersebut oleh negara lain. Baik dilakukan secara langsung maupun dalam kerangka kerjasama internasional, baik bilateral, regional ataupun multilateral.

Ketentuan ini merupakan bagian yang sangat signifikan bagi perkembangan hukum korupsi. UNCAC 2003 menganut pendekatan komprehensif dalam menghadapi korupsi yang melibatkan dua atau lebih negara yang sudah tentu melibatkan warga negara asing sehingga titik berat pengaturannya terletak pada prosedur bagaimana melacak dan menyita serta mengembalikan aset hasil korupsi dari suatu negara yang “menikmatinya” ke negara korban (state’s victim)(Romli Atmasasmita: 2004). Sedangkan bentuk kerjasama internasional dalam berbagai Undang-Undang Korupsi di Indonesia, hanya berkenaan dengan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan ataupun sebatas memperluas rumusan delik korupsi dengan adanya bentuk-bentuk penyertaan (deelneming) tindak pidana dari negara atau oleh orang lain di luar negeri.

Kerjasama dan bantuan suatu negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi yang berada di negaranya dilakukan oleh warga negara lain, mutlak adanya dan hal ini merupakan kewajiban bagi setiap negara peratifikasi UNCAC 2003. Dalam Pasal 51 UNCAC 2003 hal itu disebut sebagai “fundamental principle”. Bagi Indonesia yang umumnya menjadi state’s victim, ketentuan ini dapat menjadi jalan keluar bagi sejumlah kebuntuan upaya Indonesia mengembalikan aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Dengan demikian, tardapat mekanisme yang jelas untuk upaya mengembalikan aset hasil korupsi, dan kegagalan upaya sebelumnya dapat diatasi, seperti “tim pemburu harta koruptor” yang dibentuk Kejaksaan Agung.

Berdasarkan hal ini, harmonisasi perundang-undangan korupsi di Indonesia dengan meneladan pada asset recovery UNCAC 2003 merupakan “jalan masuk” bagi dapat digunakannya mekanisme Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Dilihat dari kecenderungannya, StAR Initiative mengkualifikasi Indonesia sebagai state victim atau “negara yang meminta” dikembalikannya set hasil korupsi yang berada di luar negeri. Hal ini menyebabkan untuk dapat diterima StAR Initiative dalam kerangka hukum korupsi Indonesia, penyelarasan hukum dan perundang-undangan Indonesia dengan UNCAC 2003 adalah suatu keharusan.

Antisipasi Hukum Positif

Ratifikasi UNCAC 2003, khususnya terkait dengan ketentuan-ketentuan tentang pengembalian aset hasil korupsi, masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk kendala yuridis tentang kesiapan hukum positif. Dalam hal Indonesia sebagai “negara yang diminta” mengembalikan aset secara langsung misalnya, masih harus dikaji tentang kemungkinan legal standing pihak peminta yang notabene adalah suatu negara. Dalam hukum acara perdata Indonesia, gugatan dapat diajukan terhadap orang atau badan hukum yang bertempat tinggal/berkedudukan di Indonesia ataupun dalam hal sengketa terhadap aset yang berada di Indonesia. Baik oleh penggugat yang merupakan penduduk/ berkewarganegaraan Indonesia ataupun orang asing. Dalam hal ini dasar dari gugatan adalah adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Terlebih lagi juga perlu pengkajian tersendiri dalam hal penggugatnya adalah “suatu negara”. Padahal Pasal 53 UNCAC 2003, mewajibkan suatu negara untuk membangun konstruksi hukum nasionalnya, dimana memungkinkan negara lain dapat mengajukan gugatan perdata, menuntut ganti kerugian, dan meletakkan sita, pada pengadilan-pengadilan negara tersebut, dalam rangka mengembalikan aset hasil korupsi yang berada atau ditempatkan di negara tersebut secara langsung, bukan dalam kerangka kerjasama government to government (G to G).

Sementara itu, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi adalah gugatan perdata yang bersifat khusus yang diatur dalam hukum pidana korupsi, dan bukan gugatan perbuatan melawan hukum secara umum. Dalam hal ini mekanisme keperdataan yang diatur dalam hukum (acara) pidana. Ada sifat lex specialis dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 apabila dihadapkan pada Pasal 1365 BW yang bersifat lex generalis. Sayangnya hal ini justru yang tidak dipahami Jaksa Pengacara Negara yang sekarang sedang menggugat mantan Presiden Soeharto dan yayasan-yayasan yang didirikannya.

Selain itu, juga ketika Indonesia “negara yang diminta”, maka boleh jadi pengadilan-pengadilan Indonesia akan menolak gugatan tersebut, karena dalam hukum pidana korupsi di Indoneisa, gugatan perdata yang dapat dilakukan dalam hal adanya kerugian keuangan negara tetapi perbuatan pelaku tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi terkait lainnya. Sama sekali belum terdapat presedennya jika gugatan tersebut dilakukan oleh “negara asing” terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di negara lain pula. Dengan demikian, UNCAC 2003, bukan hanya berdampak pada keharusan mereformasi hukum pidana (korupsi), bahkan lebih jauh lagi juga berbagai ketentuan dalam hukum perdata, baik materil maupun formilnya (acara).

Sementara itu, ketika Indonesia adalah “negara yang meminta” pengembalian aset hasil korupsi juga masih memiliki kendala yuridis. Mengingat ketentuan Pasal 6 huruf c, Pasal 12 ayat (1) huruf h, Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 jo Pasal 7 ayat (2) KUHAP, KPK berwenang melakukan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan. Dalam hal ini dengan menggunakan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, yang didalamnya menyangkut kewenangan melakukan penyitaan atau pemblokiran (sementara) aset. Namun demikian, hal itu belum dapat dilakukan dalam hal pengembalian aset berupa “penyitaan permanen” atau “perampasan” yang diduga hasil tindak pidana korupsi. Baik terhadap aset hasil korupsi yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar negeri.

StAR Initiative juga tidak cukup menjanjikan untuk memberikan terobosan jalan keluar dalam hal ini. Dilihat dari informasinya dimana jutaan dollar disinyalir dana yang “dilarikan” Presiden Soeharto selama berkuasa dari Indonesia yang sekarang “diparkir” diluar negeri, maka dalam kerangka pengembalian aset UNCAC 2003, Indonesia berkedudukan sebagai “negara yang meminta”. Lembaga manakah yang berwenang untuk mewakili Indonesia melakukan hal ini, mengingat hingga kini belum ada “central authority” pemberantasan korupsi di Indonesia. Jelas KPK hanya kompeten kerjasama internasional paling jauh berkenaan dengan penuntutan pidana dan tidak kompeten melakukan eksekusi putusan yang menjadi inti utama asset recovery apalagi melakukan gugatan perdata sama sekali tidak berwenang. Sementara itu, Kejaksaan memang berwenang di bidang perdata dan tata usaha negara untuk bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah (Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004), tetapi jika hal itu dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional menjadi persoalan tersendiri karena Undang-Undang Kejaksaan sama sekali tidak mewadahi kemungkinan international cooperation (Bandingkan dengan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang KPK). Sedangkan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana justru Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memonopoli kewenangan mengajukan permintaan bantuan kepada negara lain. Belum lagi seperti layaknya kerjasama internasional pada umumnya, Departemen Luar Negeri juga mempunyai kewenangan tertentu berkenaan dengan hal ini.

Selain itu, sifat khusus dari kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan UNCAC 2003, mengharuskan pengkajian kembali berbagai payung hukum (umbrella act), baik Undang-Undang Ekstradisi, atau Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Dalam Bidang Pidana, mapun berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang memberikan kompetensi kepada pihak tertentu melakukan kerjasama internasional. Diperlukan pengkajian apakah lembaga-lembaga yang berwenang tersebut (misalnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Departemen Luar Negeri), mempunyai sumberdaya memadai, baik untuk “meminta” maupun dalam hal “diminta”, bantuannya berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Jangan sampai ketidaksiapan lembaga yang bersangkutan berdampak pada ditempatkannya Indonesia sebagai “non cooperative country” ataupun berdampak kontra produktif terhadap upaya pemberantas korupsi di tanah air.

Keberlakuan Keputusan Pengadilan Negara Lain

UNCAC 2003 juga menyebabkan Keputusan Pengadilan Pidana negara lain yang menetapkan penyitaan atau pembekuan rekening, ataupun yang memutuskan perampasan aset hasil korupsi yang berada di Indonesia, menjadi berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat bagi otoritas-otoritas apapun yang menunjukkan bahwa aset hasil korupsi tersebut dibawah pengendaliannya. Untuk itu, setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 juga berkewajiban meneruskan keputusan pengadilan negara lain yang berisi penetapan sita, pemblokiran atau pembekuan rekening ataupun perampasan aset hasil korupsi kepada otoritas berwenang yang menentukan atas penguasaan atas kekayaan tersebut, sehingga dapat dikembalikan kepada negara peminta.

Selain itu, setiap negara juga berkewajiban meneruskan permintaan batuan timbal balik dalam bidang hukum yang diminta oleh suatu negara peratifikasi UNCAC 2003 lainnya kepada pengadilan setempat atau otoritas lainnya yang berwenang melakukan itu di negaranya, untuk melakukan penyitaan, pemblokiran atau pembekuan rekening ataupun perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan keputusan pengadilan atau otoritas berwenang setempat. Ketentuan ini mengharuskan penentuan pihak yang berwenang pada setiap negara, yang menjadi alamat pengajuan permintaan-permintaan bantuan timbal balik dalam bidang hukum tersebut. Kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah kerjasama yang bersifat khusus, sehingga dapat saja ditetapkan lembaga seperti KPK sebagai pihak yang berwenang melakukan hal tersebut.

Sebagai konsekuensi dari kerjasama internasional pengembalian aset hasil korupsi, setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 juga wajib memusnahkan, mengembalikan kepada yang berhak, atau mengembalikan kepada negara yang meminta, aset yang disita, tanpa mengurangi hak (merugikan) pihak ketiga dinegaranya yang beritikad baik atas kepemilikan aset tersebut (Pasal 57 UNCAC 2003).

Ketentuan kerjasama internasional untuk penyitaan ini ditentukan dalam Pasal 55 UNCAC 2003. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang sifatnya wajib bagi setiap negara peratifikasi UNCAC. Sekalipun hal itu melalui Pasal 54 UNCAC dikemas sebagai bagian bantuan timbal balik dalam bidang hukum pidana (mutual legal assistance). Namun demikian, perlu diingat sekalipun setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 terikat tanpa perjanjian MLA, tetapi perjanjian-perjanjian tersebuti dalam kerangka bilateral maupun multilateral masih diperlukan, untuk mengefektifkan kerjasama internasional tersebut (Pasal 59 UNCAC). Sejauh ini dapat dijadikan contoh adalah ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty (AMLAT’S) 2004.

Selain ketentuan yang sifatnya wajib, UNCAC 2003, juga menyarankan agar hukum nasional suatu negara memperkenankan penyitaan atau perampasan itu, dilakukan sekalipun tidak ada putusan pidana bagi yang bersangkutan. Sekalipun tidak adanya putusan pidana tersebut dibatasi sepanjang yang bersangkutan (tersangka/terdakwa) meninggal dunia, melarikan diri atau tidak hadir. Demikian pula, dianjurkan untuk memungkinkan pelaksanaan (eksekusi) penyitaan atas penetapan penyitaan oleh pengadilan negara lain yang sedang memproses suatu tuntutan pidana terhadap yang bersangkutan. Bagi sementara kalangan, hal ini sedikit banyak dipandang sebagai penggerogotan atas kedaulatan negara, jika dilihat Indonesia sebagai negara “yang diminta”, sementara justru sebaliknya dapat sangat membantu upaya mengembalikan milyaran dollar yang dilarikan para koruptor ke luar negeri. Ketika suatu negara berada dalam posisi “yang diminta”, berlaku ketentuan Kerjasama Internasional untuk tujuan penyitaan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UNCAC 2003.

Uraian diatas menggambarkan begitu detailnya sebenarnya UNCAC 2003 membuka peluang asset recovery, termasuk tetapi tidak terbatas dengan memberdayakat StAR Initiative. Pertanyaan yuridisnya, dapatkah Indonesia mengharapkan adanya putusan pengadilan dari negara lain peratifikasi UNCAC 2003, menggunakan StAR Initiative menyatakan sejumlah aset yang berada di negaranya sebagai milik Indonesia yang “dilarikan” mantan Presiden Soeharto. Walaupun agak utopis, sebenarnya hal ini menjadi peluang bagi Indonesia mengembalikan kekayaan negara tersebut. Tentunya diperlukan keterampilan diplomatik tingkat tinggi, dan international relationship yang kondusif. Desakan kepada Bank Dunia dan UNDOC untuk menekan negara-negara “penadah” harta hasil korupsi Indonesia agar dengan “sukarela” mengembalikannya ke Indonesia, adalah prosedur yang paling mudah membuat StAR tersebut benar-benar berguna bagi Indonesia. Dapatkah hal ini terwujud? Wallahu Alam.

Simpulan

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk dapat mengupayakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, bukan hanya memerlukan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana (korupsi), tetapi juga bidang hukum lain seperti hukum perdata dan administrasi negara, termasuk hukum acaranya. Sementara itu, masih terdapat berbagai problematik teknis yuridis untuk dapat menggunakan StAR Initiative mechanism sebagai bagian dari upaya membuktikan hak negara atas dugaan kerugian negara akibat penyalahgunaan Presiden Soeharto selama berkuasa, termasuk ketika memasukkannya sebagai asset recovery mechanism berdasarkan Undang-Undang No. & Tahun 2006 sebagai ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003.

Bahan-Bahan Acuan

Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UII Press, 2005.

Barda N. Arief. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

C. F. G. Sunaryati Hartono. Business and The Legal Profession in an Age of Computerization and Globalization. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2000.

Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Prof. Seno Adji & Rekan, 2006.

K. D. Gaur (ed.). Criminal Law & Criminology. Deep& Deep Publication, 2002.

KPK, Identification of Gaps between Laws/Regulations of The Republik Indonesia and The United Nations Conventions Against Corruptions. Jakarta: KPK, 2006.

Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2002.

Reformasi Hukum di Indonesia; Hasil Studi Perkembangan Hukum-Proyek Bank Dunia. Jakarta: Cyberconsult, 1999.

Roeslan Saleh. Sifat Melawan Hukum daripada Perbuatan Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada Media, 2003.

-------------------------. Sekitar Masalah Korupsi; Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mondar Maju, 2004.

Stolen Asset Recovery (StAR): Challenges, Opportunities and Action Plan. The World bank & UNODC, 2007.

The World Bank. Combating Corruption in Indonesia; Enhancing Accountability for Development . Jakarta: The World Bank, 2004.

United Nations Convention Against Corruption 2003

Undang-Undang No. 7 Tahun 2006

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang No. 20 Tahun 2001

Undang-Undang No. 30 tahun 2002

Undang-Undang No. 8 tahun 1981

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946

Undang-Undang No. 1 tahun 1979

Undang-Undang No. 1 Tahun 2006

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998



Dosen/Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Anggota Tim Evaluasi dan Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2007, BPHN.