10 Juni 2015

HAL IHWAL TENTANG HARTA KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.

 Pengantar
      Kontroversi seputar tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menimbulkan silang pendapat dikalangan para ahli maupun praktisi. Khususnya terkait harta kekayaan hasil tindak pidana, terutama soal pembuktian, penyitaan dan perampasannya. Dalam banyak hal, masalah-masalah tersebut berangkat dari rumusan-rumusan dalam (UU No. 8 Tahun 2010) yang sama-samar (vaagen normen), sehingga konstitusionalitasnya patut dipertanyakan.

Diskusi ini menjadi penting, sebagai telaahan mandiri yang tidak bias kepentingan pihak-pihak yang memepersoalkan dana/atau mempertahankan berbagai ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2010, yang sedang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.


Tentang “diketahuinya atau “patut diduganya” harta kekayaan hasil tindak pidana
           
Penggunaan istilah “patut diduganya” dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, yang menimbulkan kesan bahwa harta kekayaan dimaksud tidak perlu benar-benar merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, tetapi cukup sebagai harta kekayaan yang “diduga” sebagai hasil tindak pidana-tindak pidana tersebut. Padahal sebenarnya tidaklah demikian.

Istilah “patut diduganya” atau istilah-istilah lain yang mempunyai makna serupa seperti “patut diduga”, “menduga”, “menduga-duga”, “selayaknya dapat menduga”, “sepatutnya menduga”, kesemuanya semula merupakan istilah yang dalam Hukum Pidana digunakan sebagai ukuran adanya “kelalaian”, yaitu salah satu indicator of blame dari pembuat tindak pidana. Dalam hal ini dipandang terdapat kelalaian, apabila pembuat mengabaikan suatu “kewajiban hukum” terhadap suatu hal, yaitu: “menduga-duga sebagaimana diwajibkan orang lain menduga-duga”. Pengabaian kewajiban hukum tersebut dapat dipandang suatu bentuk “kelalaian”, jika menimbulkan kejadian tertentu yang dilarang.

Namun demikian, ilmu pengetahuan dan praktek hukum menunjukkan bahwa, dirasakan sulitnya membuktikan “ukuran” tentang “bila” kewajiban hukum tersebut telah timbul. Roeslan Saleh (1983: 122) menyatakan: “sudah sejak dulu dirasakan sukar untuk membuktikan hal itu”, karenanya arrest Hoge Raad tahun 1911 telah menegaskan: ”hal bahwa akibat yang dilarang itu dapat diduga-duga sebelumnya tidaklah perlu disebutkan tersendiri dalam surat tuduhan”. Kesukaran untuk menentukan parameter yang objektif tentang telah adanya kewajiban untuk “menduga” suatu hal, sehingga bagi diri pembuat telah masuk dalam kategori “patut diduganya” jika menimbulkan keadaan terlarang, menyebabkan ketidakseragaman pola penerapan berkenaan dengan ketentuan pidana yang memuat unsur ini.

 Berbeda halnya apabila dalam menentukan adanya “kelalaian” digunakan ukuran lain, seperti tuntutan atau keharusan adanya “pengetahuan” pada orang tertentu, sebagai konsekuensi dianutnya teori pengetahuan dalam kesalahan, sehingga hal itu dapat diukur secara normatif, dengan melihat tingkat pendidikan, pengalaman hidup, tingkat pergaulan ataupun pola hubungan sosial dari pembuat. Jika dalam istilah “patut diduganya” tercermin adanya keharusan pembuat “berspekulasi” atas suatu hal, disini ukurannya adanya “pengetahuan” pada diri pembuat sehingga yang bersangkutan bereaksi dengan perbuatan tertentu dalam hal menghadapi suatu keadaan tertentu. Dalam hal ini dikatakan ada kelalaian, jika pada dirinya tidak terdapat “pengetahuan” tentang suatu hal sehingga menimbulkan keadaan yang terlarang, padahal “seharusnya” hal itu ada pada yang bersangkutan. Dengan parameter ini kelalaian relatif lebih mudah ditentukan, yaitu bilamana suatu perbuatan telah terjadi diluar dari apa yang diharapkan masyarakat pada yang bersangkutan (unzumuthbarkeit). Dengan demikian, dilihat dari caranya berbuat atau tidak berbuat akan tergambar apakah yang bersangkutan telah berprilaku seperti yang diharapkan oleh masyarakat atau justru sebaliknya. Dengan ini “keharusan adanya pengetahuan” dimaksud merupakan “ukuran yang lebih objektif ”tentang adanya “kelalaian”, daripada “kepatutan” untuk “menduga” atau “menduganya”, yang tidak cukup terang kriterianya.

Pemikiran di atas menyebabkan pengertian tentang “kelalaian” yang berbasis pada adanya keadaan dimana seseorang “tidak menduga-duga sebagaimana orang lain diwajibkan menduga-duga” berangusur-angsur beralih menjadi tuntutan untuk “berhati-hati” dalam melakukan suatu hal. Pemaknaan demikian sebagai konsekuensi menguatnya penerimaan teori resiko dalam memberi arti tentang kelalaian. Dipandang “tidak berhat-hati” ketika melakukan sesuatu tanpa takut menimbulkan resiko yang dilarang. Disini sama sekali yang dinilai bukan psike pembuat apakah dapat menduga-duga akan timbulnya akibat yang terlarang, tetapi tingkah lakunya apakah telah cukup berhati-hati sehingga telah memenuhi ukuran-ukuran yang berlaku dalam pergaulan masyarakat. Hal ini menyebabkan, dari sejak lama penggunaan istilah “menduga”, “menduga-duga”, “selayaknya dapat menduga”, “sepatutnya menduga” atau kemudian “patut diduga” dan “patut diduganya” dalam pengertian istilah atau rumusan tindak pidana yang telah menimbulkan kesulitan-kesulitan, baik dalam ranah teoretis apalagi praktis, seharusnya berangsur-angsur ditinggalkan dan diganti dengan istilah yang lebih clear maknanya, yaitu “seharusnya mengetahui”.

Istilah “seharusnya mengetahui” lebih baik dan tidak ambigu daripada istilah “patut diduga” atau “patut diduganya”, yang sebenarnya cukup sepadan dengan istilah“should have known”, yang telah mulai diintrodusir dalam Pasal 28 Statuta Roma, yang dengannya tercermin tingkat “kehati-hatian” pada diri seseorang dalam bertindak dilihat dari segi masyarakat. Dikaitkan dengan harta kekayaan hasil tindak pidana dalam tindak pidana pencucuian uang, maka kewajiban hukum seseorang itu ketika akan bertransaksi seperti “menempatkan”, “mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”, “menghibahkan”, “menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”, “menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau “menyamarkan”, “menerima atau menguasai” harta kekayaan tertentu, harus dapat memastikan bahwa hal itu bukan hasil tindak pidana. Dengan demikian, ketika yang bersangkutan tidak memastikan hal itu, padahal seharusnya sebaliknya, yaitu “seharusnya mengetahui” bahwa hal itu merupakan unsur harta kekayaan hasil tindak pidana, maka unsur “patut diduganya” telah terpenuhi.

Sementara itu, dalam berbagai rumusan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan  Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, kata-kata “yang diketahuinya” atau “patut diduganya” disebutkan dalam suatu rangkaian alternatif didapat kata harta kekayaan hasil tindak pidana”. Konstruksi ini melahirkan dua pandangan yang mengartikan tentang delik-delik yang dirumuskan secara demikian secara sangat berbeda,yaitu:

Pertama, tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dipandang sebagai “pro parte dolus pro parte culpa”, sehingga pembuat tindak pidana tersebut dapat dipidana jika melakukannya “dengan kesengajan” atau “karena kealpaan”. Dalam ini perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut membuat pembuatnya dapat dipidana dengan pidana yang sama, jika karena “kesengajaan” atau “kelalaian” yang bersangkutan mengujudkan suatu keadaan yang dilarang. Sebagaimana diketahui “kesengajaan” atau “kealpaan” adalah betuk-bentuk kesalahan (schuld) yang menjadi dasar dicelanya pembuat (indicator of blame), dimana salah satu bentuk atau pertanda tersebut harus terdapat pada diri pembuat delik.

Kedua, tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, dipandang sebagai delik “culpa yang tidak sesungguhnya”. Sebenarnya pembentuk undang-undang menghendaki agar syarat umum untuk menyatakan sifat melawan hukum suatu perbuatan, yaitu keseluruhan kelakuan itu terwujud karena “kesengajaan” pembuatnya dapat diperlunak, dengan mengkonstruksikan sebagian unsurnya cukup jika telah ada sikap alpa atau lalai atas suatu hal. Dalam hal ini delik itu tetap dipandang sebagai delik “kesengajaan”, dengan sebagian unsurnya “diculpakan”. Dengan demikian, pendapat Jan Remmelink (2003: 165), yang menyatakan bahwa “menempatkan sebagian unsur-unsur tersebut ke dalam lingkaran pengaruh dolus, sebagian lainnya di objektifikasi, dan sebagian lainnya mengkaitkannya dengan persyaratan culpa”, harus dimaknai bahwa kelonggaran yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang tersebut diwujudkan dengan menetapkan sebagian dari unsur delik dolus itu cukup diwujudkan dengan persyaratan culpa pembuatnya. Oleh karena itu, sebenarnya “kesengajaan” atau “kelalaian” bukan suatu pilihan yang bersifat alternatif, tetapi hanya bentuk “delik-delik culpa yang tidak sesungguhnya”, dimana sebenarnya merupakan delik dolus tetapi sebagian unsurnya dipandang terpenuhi cukup jika syarat kealpaan telah ada pada diri pembuatnya.

Pandangan kedua menyebabkan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, tidak boleh dipandang sebagai perbuatan dapat dipidana karena “kealpaan” atau “kesengajan” pembuatnya, seperti yang dimaksud dalam pandangan pertama. Melainkan kelalaian itu tertuju hanya pada sebagian unsurnya, yaitu “tidak menduga-duga padahal diwajibkan menduga-duga” bahwa harta kekayaan yang dilakukan perbuatan hukum tertentu tersebut merupakan hasil tindak pidana tertentu, yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Dengan demikian, dalam konteks ini perbuatan “menempatkan”, “mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”, “menghibahkan”, “menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”, “menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau “menyamarkan”, “menerima atau menguasai” harta kekayaan tertentu, adalah perbuatan-perbuatan yang diwujudkan dengan “kesengajaan” pembuatnya, tetapi bahwa hal itu dilakukan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana (proceed crime), dipandang melawan hukum cukup jika dapat diperkirakan atau mungkin diperhitungkan olehnya.

Penafsiran kedua lebih tepat dalam hal ini. Sama sekali keliru, jika tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 dipandang telah terwujud, tanpa perlu membuktikan tentang “kesengajaan” pembuat untuk melakukan transaksi-transaksi dimaksud. Dalam hal ini tindak pidana ini dipandang sempurnanya (vooltoid), hanya dengan membuktikan bahwa pelaku sebenarnya “dapat menduga” bahwa objek yang ditransaksikan adalah hasil tindak pidana. Berbeda dengan kecenderungan praktek hukum selama ini dalam menerapkan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1), UU No. 8 Tahun 2010, yang lebih banyak memaknainya seperti pandangan pertama.

Penggunaan istilah “yang diketahuinya atau patut diduganya” sebagai suatu konstruksi alternatif, telah menempatkan tindak pidana-tindak pidana ini sebagai “tindak pidana yang dapat dipidana dengan kesengajaan atau karena kealpaan pembuatnya”. Penerapan hukum yang demikian itu, telah “mendegradasi” delik-delik dolus menjadi delik-delik culpa. Dengan demikian, sebenarnya telah dilakukan kriminalisasi in concreto terhadap perbuatan itu in abstracto merupakan perbuatan yang patut dan legitim. Orang dipidana terhadap suatu perbuatan yang sebenarnya tidak dilarang oleh undang-undang. Penerapan yang demikian ini terjadi terhadap Andhika Gumilang yang “tidak menduga-duga” bahwa pemberian mobil-mobil mewah isterinya itu (Melinda Dee) merupakan hasil tindak pidana. Andhika Gumilang lalai “memperkirakan” bahwa Melinda Dee yang dia kenal memang sejak semua adalah wanita paruh baya kaya raya, sehingga bersedia menjadi suaminya, bahwa pemberian-pemberian itu adalah hasil tindak pidana. Atas kelalaiannya itu, Andhika Gumilang mebayarnya dengan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Demikian pula misalnya Eddies Adelia, sekarang mendekam dalam tahanan Polda Metro Jaya karena “tidak menduga-duga” tentang asal usul nafkah yang diberikan suaminya, padahal “patut diduganya” hal itu merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini, delik ini dipandang ada karena “kealpaan” Edies Adelia memperkirakan bahwa nafkah suaminya itu berasal dari tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan, telah menjeratnya sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang. Dua kasus ini menggambarkan bahwa setiap suami/isteri orang-orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, menjadi potential offender, karena istilah “patut diduganya” dipandang menyebabkan tindak pidana ini adalah delik culpa;

Pemaknaan Pasal 3, Pasal 4, dan  Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 sebagai tindak pidana yang dapat diterapkan baik sebagai delik dolus ataupun delik culpa atau dipandang sebagai “pro parte dolus pro parte culpa”, berpangkal tolak dari perumusan undang-undang tentang tindak pidana itu, yang  sedemikian rupa sehingga dapat ditafsirkan keliru oleh para penegak hukum dan hakim, karena dapat memaknai delik ini sebagai “delik culpa sesungguhnya”. Hal ini boleh jadi sebagai akibat dari keterangan-keterangan yang tidak cukup memadai yang disampaikan pembentuk undang-undang tentang maksud sesungguhnya dari perumusan itu, atau pembentuk undang-undang sekedar mengambil alih instrumen hukum internasional, semisal United Nations Model Law on Money Laundering and Proceed of Crime Bill 2003, tanpa mengerti maknanya dengan baik, ataupun pembentuk undang-undang sama sekali tidak menjadikan hal ini sebagai perhatian.

Kedepannya untuk mengukuhkan bahwa pemaknaan Pasal 3, Pasal 4, dan  Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 adalah delik dolus dengan sebagian unsurnya diculpakan, perlu kebijakan legislatif untuk mengganti istilah “yang diketahuinya atau patut diduganya” dengan istilah “yang diketahui atau seharusnya diketahuinya”, sehingga maknanya tidak menggambarkan pilihan bahwa delik ini dapat terwujud dengan kesengajaan atau kealpaan pembuatnya. Hal ini menyebabkan jika pasal-pasal tadi tidak ditafsirkan secara demikian akan terjadi orang-orang yang perbuatannya  tidak berlawanan dengan hukum turut dipidana karena kekeliruan pemaknaan. Kekeliruan tersebut jelas menimbulkan kesewenang-wenangan hukum akan terus terjadi, karena pada dasarnya ketentuan tersebut tidak menjamin kepastian hukum yang adil, seperti yang diamanahkan dalam Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945.

Tentang Pembuktian Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
           
            Patut diingat, bahwa gagasan dasar kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang kemudian disebut sebagai tindak pidana pencucian uang adalah sebagai upaya untuk membuat “crime doesn’t pay”, termasuk terhadap tindak pidana korupsi. Terlebih lagi dengan adanya kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde sekarang ini, sehingga upaya pemberantasannya ditempuh juga dengan cara mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan terhadap harta kekayaan hasil korupsi itu. Mengingat suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena “meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan” korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu, “pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya diarahkan pada penangan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagai predicate crime, melainkan juga diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan” untuk dilakukan, dan mensinergikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Hal inilah yang menjadi landasan United Nations Convention Agains Corruption 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, memasukkan kriminalisasi pencucian uang sebagai bagian upaya pencegahan (preventive measures) tindak pidana korupsi, yang ditempatkan dalam Bab II konvensi tersebut.
Dalam hukum pidana Indonesia, upaya untuk “menghalangi” atau “menuntup kemungkinan” para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara, yang diantara dilakukan dengan menerapkan ketentuan tindak pidana pencucian uang (money laundering), sebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, selain tindak pidana asalnya. Melakukan double penality seperti ini, merupakan upaya memberantas suatu tindak pidana dengan membuatnya sebagai “tidak menguntungkan”, karena perbuatan-perbuatan lain seperti “menempatkan”, “mentransfer”, “mengalihkan”, “membelanjakan”, “membayarkan”, “menghibahkan”, “menitipkan”, “membawa ke luar negeri”, “mengubah bentuk”, “menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”, “menyembunyikan”, atau “menyamarkan”, “menerima atau menguasai” harta kekayaan hasil tindak pidana asalnya, merupakan  tindak pidana tersendiri.
Persoalan pokok yang sebenarnya belum dicapai kesepakatan dikalangan para ahli dan praktisi adalah, tentang pembuktian tindak pidana asal (seminsal tindak pidana korupsi) dalam menerapkan ketentuan tentang tindak pidana pencucian uang. Sikap kalangan ahli dan praktisi mengenai hal ini terbelah menjadi dua kelompok pandangan, sebagian menyatakan tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya, sebagian lain menyatakan harus dibuktikan, setidak-tidaknya secara kumulatif tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian uang didakwakan dalam suatu surat dakwaan. Pandangan pertama menyatakan bahwa diantara dasarnya adalah Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, yang menyatakan “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Sementara pandangan kedua, merujuk pada ketentuan Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, yang selalu menjadikan sebagai unsur (elemen) atau bagian inti (bestanddel) “merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”, dari tindak pidana itu. Bahkan ada yang menyatakan predicate crime yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 adalah “causa” dari timbulnya money laudering, yang ditentukan dalam Pasal 3, 4, dan 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Artinya, membuktikan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaskud dalam Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tersebut, selalu dengan membuktikan adanya tindak pidana asalnya (predicate crime), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, yang hasilnya dijadikan objek tindak pidana pencucian uang tersebut.
Telaah kritis mengenai hal ini antara lain dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan: sudahkah penggunaan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 dalam prakteknya, dimaknai sebagai upaya untuk membuat “crime doesn’t pay”, included “corruption doesn’t pay”? ataukah dengan dalih menggunakan Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, hukum khususnya hukum pidana, telah digunakan sekedar sebagai upaya “memiskinkan koruptor”. Sudahkan penggunaan Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010 ditempatkan sebagai upaya untuk memberantas (mencegah dan menindak) tindak pidana asalnya, termasuk tindak pidana korupsi? Ataukah dengannya justru sebagai penerabasan asas praduga tak bersalah(presumption of innocence), yang melandasi KUHAP, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 angka 2 International Convenant Civil and Political Right, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Sebaliknya, apakah kewajiban membuktikan predicate crimejustru hanya akan menghambat upaya untuk membuat “crime doesn’t pay”, included “corruption doesn’t pay” itu sendiri?
Sepertinya praktek hukum pidana berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang, tidak lagi berangkat dalam upaya untuk membuat “korupsi, sebagai dalam satu tindak pidana asal, “tidak lagi menguntungkan”. Praktek hukum berkenaan tindak pidana pencucian uang  bukan lagi ditempatkan sebagai bagian upaya pemberantasan (pencegahan dan penindakan) tindak pidana asalnya, tetapi hanya sebagai alasan untuk “merampas” kekayaan seseorang “yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi”.  Penerapan ketentuan  tindak pidana pencucian uang, misalnya dalam kasus  Djoko Susilo, bukan hanya dijadikan dasar untuk “merampas” hasil tindak pidana korupsinya ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes Polri, tetapi sebagai dasar untuk “merampas” semua harta kekayaannya yang diperolehnya sejak adanya Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal ini pengadilan dilaksanakan  tanpa sedikitpun “memandang bahwa yang bersangkutan tak bersalah karena korupsi (sebelum menjabat Kakorlantas) sampai dengan pengadilan menyatakan benar terbukti atas kejahatan itu”. Alih-alih bukannya tidak dipertimbangkan tentang hal itu, tetapi semata-mata oleh Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, sama sekali tidak didakwakan (apalagi dibuktikan) tentang tindak pidana asalnya tersebut. Dalam hal ini karena Djoko Susilo terbukti melakukan tindak pidana korupsi  ketika menjabat Kakorlantas, maka semua harta kekayaannya yang diperolehnya sebelum masa itu dan setelah adanya undang-undang tindak pidana pencucian uang juga “dianggap” sebagai hasil tindak pidana korupsi juga. Demikian pula hal yang sama terlihat dari kasus atas nama Bahasyim, Wa Ode Nuhayati, Luthfi Hasan Ishaq, Akil Muchtar maupun Anas Urbaningrum, dan lain sebagainya.
Bahwa dilihat dari segi ini, Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010 telah dimaknai keluar dari alasan sosiologis dan filosofis maksud pembentukan undang-undang tersebut. Dalam hal ini, seharusnya Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, dimaknai bahwa untuk dapat melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib “ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap” tindak pidana asalnya. Artinya, tidak wajib “dibuktikan terlebih dahulu” tindak pidana asalnya, maksudnya tidak wajib “ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap” tindak pidana asalnya. Penafsiran ini, juga bersumber dari digunakannya kata “terlebih dahulu” mengikuti kata “tidak wajib dibuktikan”. Dengan demikian, pembuktian, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di muka sidang pengadilan,  dilakukan “bersamaan” dengan tindak pidana asalnya, sebagai dakwaan kumulatif atau setidak-tidaknya sebagai salah satu unsur dari tindak pidana pencucian uang.
Kalaulah pembentuk undang-undang bermaksud bahwa Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, dimaknai sebagai tidak diperlukan pembuktian tindak pidana asal dalam penyidikan penuntutan, maupun pemeriksaan di muka sidang pengadilan suatu tindak pidana pencucian uang, maka pembentuk undang-undang tidak akan menggunakan istilah “terlebih dahulu” dalam pasal tersebut. Dalam hal ini, Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, seharusnya dirumuskan “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya” (tanpa kata-kata “terlebih dahulu”).
Pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang, baik sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri yang dikumulatifkan dengan tindak pidana pencucian uang dalam satu surat dakwaan, atau setidak-tidaknya tindak pidana asal itu dibuktikan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana pencucian uang, tidak menghambat tujuan untuk membuat “korupsi” dan tindak pidana lainnya, sebagai dalam satu tindak pidana asal, “tidak lagi menguntungkan”. Mengingat sekalipun terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang ditransaksikan bukan hasil tindak pidana, tokh tidak dapat dilakukannya hal itu oleh terdakwa tidak lantas menjadikan harta kekayaan itu benar-benar hasil tindak pidana. Tambahan lagi, penuntut umum yang tidak membuktikan sama sekali bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tidak pidana tetapi “diduga” sebagai hasil tindak pidana, tidak menyebabkan harta kekayaan itu benar-benar merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini, pembuktian terhadap predicate crime hanya berkenaan dengan harta kekayaan yang dihasilkan tindak pidana itu, dan tidak mengenai yang lainnya.  
Berdasarkan uraian di atas,menafisrkan Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010 dengan makna bahwa “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya” (tanpa kata-kata “terlebih dahulu”) adalah tafsiran yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, yang menjadi salah satu fundamen dasar dapat ditegakkannya negara hukum. Dengan kata lain, jika Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010, menjadi konstitusional apabila dimaknai bahwa “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib ‘ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap’ tindak pidana asalnya”. Dalam hal ini  Pasal 69  UU No. 8 Tahun 2010. Dengan demikian, tindak pidana asal itu dibuktikan setidak-tidaknya bersamaan dengan tindak pidana pencucian uangnya atau sebagai salah satu unsurnya. Tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan “lebih dulu” dalam putusan pengadilan yang berdiri sendiri.

            Sementara itu Pasal 77 dan 78 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan adanya pembalikan beban pembuktian dalam rezim hukum pencucian uang, dimana terdakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara yang dihadapinya bukan merupakan hasil tindak pidana atau tidak terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

            Ketentuan di atas, harus dimaknai bahwa terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya “yang dapat dikualifikasi sebagai transaksi keuangan mencurigakan”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5  UU No. 8 Tahun 2010, sebagai bukan merupakan hasil tindak pidana atau tidak terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian, kata-kata “yang terkait dengan perkara” yang disebutkan dalam Pasal 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, diartikan sebagai harta kekayaannya “yang dapat dikualifikasi sebagai transaksi keuangan mencurigakan”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5  UU No. 8 Tahun 2010. Jadi yang wajib dibuktikan oleh terdakwa adalah harta kekayaan yang ditransaksikan secara mencurigakan (sucpicius transaction) sehingga menjadi objek perkara yang dengannya seorang terdakwa didakwa, diperiksa, dan diadili karena melakukan tindak pidana pencucian uang.

            Namun demikian, praktek hukum yang umumnya terjadi berkenaan dengan penerapan Pasal 77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 merujuk pada diwajibkannya terdakwa untuk membuktikan terhadap “seluruh harta kekayaan” terdakwa yang sebelumnya telah “disita” oleh Penyidik Kejaksaan, Penyidik Polri maupun Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Lihatlah Bahasyim dan Djoko Susilo, atau Gayus H. Tambunan, juga Akil Muchtar, yang diperintahkan membuktikan semua harta kekayaannya yang sebelumnya disita oleh penyidik. Sangat tidak logis mereka semua itu diminta untuk membuktikan suatu hal yang boleh jadi diperolehnya dalam rentang waktu yang relatif lama. Bahkan mungkin saja harta kekayaan itu diperoleh dari kumpulan berbagai penghasilan selama bertahun-tahun. Ketika yang bersangkutan tidak dapat membuktikannya bahwa hal itu bukan hasil tindak pidana korupsi atau tidak terkait dengan tindak pidana korupsi, dan penuntut umum juga tidak membuktikan sebaliknya dari apa yang dibuktikan para terdakwa tersebut, lalu harta kekayaan tersebut dengan serta merta dipandang hasil tindak pidana  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. Konstruksi ini dapat terjadi karena norma dalam Pasal 77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, khususnya kata-kata “yang terkait dengan perkara” yang disebutkan dalam Pasal 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, sangat samar (vaagennormen), sehingga tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945.

            Pada dasarnya Pasal 77 dan 78 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tetap dapat dipandang konstitusional (conditionally constitutional) sepanjang pasal-pasal tersebut dimaknai bahwa terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya “yang dapat dikualifikasi sebagai transaksi keuangan mencurigakan” sebagai bukan merupakan hasil tindak pidana atau tidak terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, dan bukan dimaknai sebagai diwajibkannya terdakwa untuk membuktikan terhadap “seluruh harta kekayaan” terdakwa yang sebelumnya telah “disita” oleh Penyidik Kejaksaan, Penyidik Polri maupun Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang
           
Hukum Acara Pidana dibuat dan dirancang secara “strict” dengan maksud sebagai ejawantah dari perlindungan individu (yang powerless) dari kesewenangan aparat penegak hukum negara (yang powerfull). Hal ini menyebabkan segala proses dan prosedur yang dibangun dalam Hukum Pidana formiel (Hukum Acara Pidana) juga dilandasi oleh asas legalitas (principle of legality). Hukum Acara Pidana karenanya juga memiliki sifat lex scripta, lex stricta, lex certa, sebagai komponen dasar dari asas legalitas. Dengan demikian, Hukum Acara Pidana karenanya harus dituangkan dalam hukum tertulis (written law). Perbedaan mendasar asas legalitas Hukum Pidana materiel dan Hukum Acara Pidana dapat diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan (wettelijke strafbepaling), yang berbentuk undang-undang dan peraturan daerah, sebagaimana juga telah ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan dalam Hukum Acara Pidana ejawantahnya hanya dapat dilakukan dengan undang-undang (strafordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien), sebagai pelaksanaan perintah langsung Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), sebagai norma hukum yang lebih tinggi. Tekanan pengaturan Hukum Acara Pidana ada pada proses (pengurangan hak individu) dan prosedur (perlindungan hak individu), yang kesemuanya dijalankan oleh aparatur peradilan pidana menyebabkan persyaratan pengaturannya jauh lebih “ketat” daripada pembentukan delik, sehingga harus dengan undang-undang. Dalam hal ini penuntutan sebagai suatu “proses” yang mengurasi hak individu haruslah suatu kewenangan yang bersumber dari atribusi undang-undang, dan bukan penafsiran belaka.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengaturan yang sifatnya Hukum Acara Pidana, tidak ditafsirkan. Keadaan yang menunjukkan bahwa Hukum Acara Pidana atas suatu tindak pidana, seperti tindak pidana pencucian uang yang cenderung dapat ditafsir-tafsirkan, karena under legislation dalam menegaskan suatu kewenangan, dapat menjadi suatu ketentuan yang tidak konstitusional. Misalnya, penyitaan oleh Penyidik KPK (dan juga kemungkinan oleh penyidik yang lain) terhadap harta kekayaan tersangka tindak pidana pencucian uang. Dilihat dari definisinya, seperti yang ditentukan dalam KUHP, penyitaan itu dilakukan terkait dengan “barang bukti” suatu tindak pidana. Dalam hal ini barang yang diperoleh dari, dihasilkan dari dipergunakan dalam suatu tindak pidana, dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan suatu tindak pidana ataupun barang yang mempunyai hubungan langsung terhadap suatu tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP. Namun demikian praktek menunjukkan penyitaan harta kekayaan tersangka dimaksud dilakukan pada “seluruh” harta kekayaannya. Ketika dikaitkan dengan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucuian uang adalah tindak pidana korupsi, maka hampir bisa dikatakan “seluruh” harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menjadi tersangka tindak pidana tersebut disita oleh penyidik. Seolah-olah seluruh kekayaannya adalah hasil tindak piana korupsi.

Dalih yang yang sering didengar mengenai hal ini, utamanya oleh juru bicara KPK, jika nantinya pengadilan menyatakan barang-barang yang disita tersebut bukan hasil tindak pidana korupsi, dan karena tidak menjadi harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010,  maka hal itu akan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Selain itu, didalihkan pula bahwa, tindakan penyitaan dilakukan dalam rangka “pengamanan” jangan sampai harta kekayaan tersebut beralih kepada pihak ketiga, padahal diperlukan untuk mengganti pembayaran denda atau pidana uang pengganti yang tidak dibayar terdakwa/terpidana. Hal ini menyebabkan “penyitaan” telah bergeser pada “penyanderaan” harta kekayaan tersangka/terdakwa, Kesemua itu dilakukan tanpa undang-undang, “cuma bisa-bisanya” KPK. Mengingat kita semua telah “mempertuhan” KPK sehingga sepertinya tindakannya tidak pernah melawan hukum, kecenderungan praktek yang demikian menjadi seolah-olah benar adanya.

Penyitaan adalah penyitaan, pembekuan adalah pembekuan, perampasan adalah perampasan. Ketiganya tidak boleh dipandang sama, dan karenanya juga tidak sama karena mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Tindakan hukum yang disebut “penyitaan”, yang dilakukan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana, tetapi dijalankan sebagai bentuk “pembekuan” atau “penyanderaan” harta kekayaan tersangka, merupakan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Pada gilirannya, harta kekayaan yang demikian itu juga tidak dapat dijadikan objek pidana perampasan barang-barang tertentu. Mengingat hanya barang-barang yang disita saja yang seyogianya dirampas oleh negara. Lihatlah putusan terhadap Bahasyim, Djoko Susilo (khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjabat Kakorlantas), Akil Muchtar (khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi), Anas Urbaningrum (khususnya harta kekayaan yang diperoleh sebelum menjadi anggota DPR RI) dll, yang kesemuanya merampas harta kekayaan “yang diduga” dari hasil tindak pidana korupsi dan bukan hasil tindak pidana korupsi. Kesemuanya itu dapat terjadi karena sebelumnya, sekalipun bukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang tersebut telah dilakukan penyitaan oleh penyidik. Sepanjang pengamatan saya, baru putusan terhadap Syarifudin, yang didalamnya memerintah mengembalikan uang yang disita penyidik KPK tetapi bukan barang bukti suap yang diterimanya, itupun barang kali karena Syarifudin diadili oleh koleganya.

Praktek peradilan sama sekali terkadang terkesan tidak mengindahkan prinsip-prinsip hukum. Sekalipun bukan berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang lihatlah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan No. 42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama Terdakwa Rustam Syarifudin Pakaya. Dalam hal ini Terdakwa Rustam Syarifudin Pakaya dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan karenanya menjatuhkan pidana penjara 4 tahun dan denda sebanyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah), serta menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebanyak Rp. 2.570.000.000 (dua milyar lima ratus tujuh puluh  juta rupiah), dan menjatuhkan pidana tambahan perampasan barang-barang bergerak, yang dikatakannya berada dalam penguasaaan Saksi Tan Suhartono, Mediana Hutomo, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP, dan Drg. Els Mangundap, Drs. Amir Syarifudin Ishak, SH., MH, PT. Graha Ismaya, PT. Indofarma Global Medika. Dalam hal ini sama artinya para saksi tersebut juga turut dijatuhi dengan pidana  perampasan barang bergerak itu, yang dalam perkara tersebut berupa sejumlah  uang. Perampasan bukan hanya bukan terhadap barang yang tidak disita tetapi juga barang milik orang lain yang tidak berperkara. Sungguh sesuatu yang jauh dari perlindungan terhadap hak-hak individual seseorang, termasuk terhadap harta bendanya yang dilindungi oleh Konstitusi.