10 Juni 2015

LAPORAN KUNJUNGAN KE NEGERI BELANDA TERKAIT PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA


Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH.

A.       Kodifikasi Hukum dan Hukum Pidana Khusus
Pada dasarnya Hukum Pidana Indonesia mewarisi civil law system, mengingat asas konkordansi yang menempatkan Hukum Pidana Kerajaan Belanda diterapkan di Hindia Belanda. Sekalipun setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dilakukan pertumbuhan peraturan perundang-undangan baru, termasuk dalam bidang Hukum Pidana,  tetapi pendekatan kodifikasi hukum hingga kini tetap dipertahankan, seperti juga di Negeri Belanda.

Pada umumnya tindak pidana di Negeri Belanda diatur dalam KUHP. Perkembangan bentuk-bentuk kejahatan baru, yang mengharuskan penambahan perumusan delik-delik baru, dilakukan dengan hanya dengan mengadakan amandemen KUHP, dan tidak membentuk undang-undang Hukum Pidana di luar KUHP. Kalaupun terdapat bentuk-bentuk Hukum Pidana Khusus, maka kecenderungannya kini dalam Hukum Pidana Belanda hanya berkenaan dengan delik-delik administratif, yang dalam penegakan hukumnya tidak dilakukan oleh Penyidik  Kepolisian Nasional Belanda (Ducth National Police), tetapi dilakukan oleh Penyidik Khusus (Special Investigative Service), yang diberada di bawah koordinasi kementerian atau lembaga tertentu pula.

Hukum Pidana Khusus yang memuat tindak pidana khusus, yang dilakukan penyidikan oleh Penyidik Khusus (Special Investigative Service), dan bahkan penuntutannya juga dilakukan oleh Penuntut Umum sendiri (National Office for Financial, Enviromental and Food Safety Offences), yang dipisahkan dari Penuntut Umum untuk tindak pidana umum lainnya (National Procsecutors’Office), sekalipun keduanya berada dalam organisasi Kejaksaan Belanda (Dutch Public Prosecutor Service) yang sama, yaitu:
a.       Tindak Pidana dibidang Keuangan
b.      Tindak Pidana dibidang Ekonomi (termasuk Pertanahan);
c.       Tindak Pidana dibidang Masalah-masalah Sosial dan Ketenagakerjaan;
d.      Tindak Pidana dibidang Infrastruktur dan Lingkungan


Penyidik Khusus (Special Investigative Service) terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut di atas, dibentuk dalam kementerian-kementerian terkait, dan menjalankan kewenangannya menurut undang-undang di luar KUHP. Dalam pelaksanaan tugasnya ini, kadangkala dilakukan berkoordinasi dengan otoritas administratif tekait untuk menentukan langkah penegakah hukum yang paling efektif terhadap kejadian itu, apakah dengan mengadakan penegakan Hukum Adminitrasi belaka, Hukum Adminitrasi dan Hukum Pidana sekaligus atau Hukum Pidananya saja, sehingga di Belanda “join handling” merupakan suatu lembaga yang ditentukan dalam undang-undang, seperti dikatakan Prof. Jan Crinjns di Universiteit Leinden. Keberadaan kekhususan-kekhususan dari segi hukum acara dan kelembagaan tersebut dalam penangan tindak pidana-tindak pidana administratif tersebut itulah, yang  dikatakan Dr. Cecily Rose di Universiteit Leiden sebagai Hukum Pidana Khusus.

 Hal ini sejalan dengan rencana pembentukan KUHP (baru) Nasional, melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang mengakhiri keberadaan Undang-Undang Pidana Khusus di luar KUHP, dan mengintegrasikan delik-delik itu ke dalam (RUU) KUHP. Sedangkan Hukum Pidana Khusus di luar KUHP hanya bagi Tindak Pidana Adminitratif, dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang bertindak sebagai Penyidik Khusus yang dibentuk di kementerian-kementerian terkait.

 Hukum Pidana Khusus terletak pada adanya Hukum Acara Pidana yang bersifat khusus, dan bukan pada Hukum Pidana Materielnya, yang dalam hal ini sebenarnya dikhususkan pada tindak pidana adminitratif di atas. Tindak pidana yang sekarang ini sering disebut sebagai tindak pidana khusus, diintegrasikan ke dalam KUHP, seperti Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak Pidana Pornografi, Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya. Tidak diperlukan undang-undang pidana khusus dalam bidang Hukum Pidana Materiel dan Hukum Pidana Formiel terkait hal itu. Kalaupun diperlukan kebijakan khusus terkait tindak pidana-tindak pidana tersebut, maka di dalam institusi Kepolisian  atau Kejaksaan dibentuk satuan yang bidang tugasnya mengurusi kebijakan-kebijakan khusus terkait hal itu, seperti yang dilakukan di  Belanda. Kalaupun perlu dibentuk lembaga-lembaga khusus tentang hal itu, seperti Badan Nasional Narkotika (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebenarnya cukup berkenaan dengan penyiapan “kebijakan” dan “pengkoordinasian” pencegahan dan penanggulangannya, yang di Belanda lembaga-lembaga itu berada di bawah Kementerian Keamanan dan Keadilan (Ministrie van Veligheid en Justitie). Sementara seharusnya tindak-tindak pidana tersebut tetap saja dalam penyidikannya menjadi kewenangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dibawah koordinasi Kejaksaan Agung.

Pendekatan di atas, yang mengidentikkan Tindak Pidana Adminitrasi dengan Tindak Pidana Khusus, tidak bertentangan pengertian Hukum Pidana Khusus itu sendiri, yang  diadakan mengingat berbagai kepentingan khusus, yaitu antara lain:
(1)   Subyeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut kualitas tertentu yang harus dipenuhi untuk mengujudkan suatu delik;
(2)   Objeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut benda-benda hukum tertentu yang mempunyai sifat kekhususan tertentu;
(3)   Diperlukan hukum acara yang bersifat khusus untuk penegakannya, yaitu menyangkut proses dan prosedur khusus, yang memberikan kewenangan khusus dan terbatas kepada aparat penegak hukum tertentu.
Dalam hal ini, subyeknya khusus misalnya wajib pajak dalam tindak pidana lingkungan, tindak pidana perpajakan, atau perusahaan sekuritas dalam tindak pidana pasal modal. Objeknya khusus, yaitu lingkungan hidup yang memerlukan pendekatan teknologi tertentu,  pajak yang memerlukan keahlian akutansi perpajakan tertentu, dan perdagangan saham yang berbeda dengan objek perdagangan pada umumnya. Penegarakan hukum terhadap hal ini dilakukan berdasarkan hukum acara yang bersifat khusus, yaitu dengan membentuk penyidik khusus, semisal Penyidik Lingkungan, Penyidik Pajak dan Penyidik Pasar Modal, yang dibentuk dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Keuangan. Sebenarnya tidak diperlukan penyidik khusus untuk Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pornografi dll, tetapi cukup Penyidik Polri yang mendapatkan pelatihan khusus untuk itu. 
Dengan pendekatan yang demikian itu, berbagai “pengecualian” atau “penyimpangan” terhadap asas-asas umum dalam kodifikasi (KUHP) menjadi dapat lebih terkendali, yang sebenarnya hanya merupakan penambahan kewenagan-kewenangan bagi penyidik yang khusus terkait dengan tindak pidananya tersebut, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Administratif terkait.


B.       Asas Legalitas
Seperti juga Hukum Pidana Indonesia, Hukum Pidana Belanda sangat ketat dalam menganut asas legalitas (principle of legality). Undang-Undang menjadi sumber utama diadakannya tindak pidana, dan tidak digunakan sumber lain selain hal itu. Sekalipun demikian, tergabungnya Kerajaan Belanda ke dalam Uni Eropa (European Union) sedikit banyak menyebabkan adanya perbedaan makna terhadap asas legalitas. Dalam hal ini asas legalitas menjadi tidak seketat dulu di Belanda, yaitu:
a.       Bagi Belanda,  setiap hal terkait dengan hukum yang diberlakukan oleh  Uni Eropa secara mutatis mutandis menjadi Hukum Kerajaan Belanda  tanpa perlu proses lebih lanjut. Artinya, KUHP Belanda tidak boleh bertentangan dengan Hukum Uni Eropa dan sebaliknya KUHP Belanda akan teramandemen dengan sendirinya dengan adanya ketentuan baru yang diberlakukan di Uni Eropa, jika hal itu terkait dengan suatu tindak pidana. Warga Negara Belanda atau penduduk yang berdiam di Negeri Belanda dapat menggunakan Hukum Uni Eropa untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, termasuk ketika dipersangkakan melakukan suatu tindak pidana;
b.      Customary Law (Hukum Kebiasaan) yang beraku di Negara-negara lain yang tergabung di Uni Eropa juga berlaku di Negeri Belanda. Artinya, asas legalitas dalam KUHP Belanda juga diperlunak dengan Hukum Kebiasaan dimaksud;

Dalam konteks ini Living Law yang diusung dalam  RUU KUHP mendapatkan pembenaran baru, jika hal itu dapat dipersamakan dengan Hukum Uni Eropa dan Customary Law yang berlaku di Uni Eropa. Artinya, masalah keberadaan Living Law (Hukum Adat dan Hukum Agama) menjadi sangat mungkin terintegrasi dengan Hukum Nasional, yang dalam bidang Hukum Pidana, diintrodusir didalam asas legalitas RUU KUHP.
Dalam hal ini, penegasan dalam RUU KUHP yang menyatakan tindak pidana yang ditentukan dalam Living Law (Hukum Adat dan Hukum Agama)  juga dipandang sebagai tindak pidana, dan telah pula diancamkan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan yang ditentukan dalam RUU KUHP, yang terlepas dari adanya sanksi menurut hukum yang hidup dan hukum agama tersebut, menjadi dasar bahwa tindak pidana dalam RUU KUHP juga dipandang tunduk kepada asas legalitas. Penjelasan dari Hakim-hakim Agung Belanda yang dalam kunjungan ini menegaskan bahwa ketentuan undang-undang yang menunjuk berlaku hukum tidak tertulis, menjadi dasar bahwa sebenarnya tindak pidana-tindak pidana dalam hukum tidak tertulis itu juga tunduk kepada hukum tertulis (asas legalitas).
Sekalipun Prof. Nico Keijzer di Universiteit Leiden menyarankan dihapuskannya pasal-pasal dalam RUU KUHP terkait dengan pemberlakukan tindak pidana menurut hukum yang hidup, karena menurutnya tindak menjamin perlindungan individu dan memungkinkan adanya tindakan sewenang-wenang Penyidik dan Penuntut Umum, serta aparat peradilan lainnya. Boleh jadi pandangan ini berpangkal tolak dari keadaan hukum dan masyarakat di Belanda yang lebih homogen. Kemungkinan mengenai hal itu dilakukan di Indonesia melalui RUU KUHP, menjadi bersifat a historis.  
Pada masa kolonisasi justru  pemerintahan Hindia Belanda, melalui Van Vollenhoven, yang  pada saat itu memperkenankan “hidup berdampingannya” hukum negara dan hukum yang hidup. Bagi Bangsa Indonesia, keberadaaa living law tentu tidak selalu relevan jika dihadapkan pada fenomena globalisasi jika hukum selalu dipandang sebagai state law. Namun demikian, kenyataan  kemajemukan masyarakat  Indonesia, menyebakan pendekatan Hukum Positif dirasakan terlalu “sesak” dan “membelenggu” dalam melihat fenomena hukum yang ada. Pencasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia memiliki kedudukan superior dibanding peraturan perundang-undangan, dan hal itu tidak perlu lagi dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dengan terang-terangan yang dilandasri dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian, harus dibangun suatu norma peraturan perundanng-undangan yang menentukan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum tertulis inferior atas  hukum tidak tertulis.
Tawaran Prof. Nico Keijzer untuk membuat delik-delik dalam hukum yang hidup itu “dituliskan” dalam Peraturan Daerah, tidak sepraktis yang dibayangkannya. Hukum yang hidup, katakanlah hukum adat yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat itu, tidak berada atau setidak-tidanya tidak selalu berada dalam suatu wilayah adminitrastif tertentu. Akibatnya ada pembagian wilayah Indonesia yang berbeda antara menurut versi adminitrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan atau desa) dengan menurut versi hukum yang hidup.  
Living law dalam kaitannya dengan perkembangan globalisasi dapat ditempatkan sebagai “filter” diintroduksinya gaya hidup, sikap pandang, prilaku  sosial individu bahkan masyarakat, yang keluar dari  batas, kebudayaan dan/atau transaksi kebudayaan dari kebudayan masyarakat Indoensia. Dalam hal ini Hukum Pidana diharapkan akan mempengaruhi perilaku individu dan secara global akan turut mempengaruhi watak masyarakan dan bangsa.
Era globalisasi setiap individu mempunyai tiga peranan utama yang saling berkaitan,  yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, dan sebagai sarana untuk menciptakaan keadaan tertentu. Dalam hal ini Hukum Pidana digunakan untuk mempengaruhi sikap dan prilaku individu sehingga dapat memainkan peran yang demikian. Kadangkala penekatan hukum positif saja tidak akan mampu melaksanakannya, sehingga diperlukan living law sebagai acuan dalam pengaturannya.
Perlindungan individu dan pencegahan kesewenang-wenangan aparat mengharuskan pemberlakukan hukum yang hidup dalam kerangka hukum nasional berdasarkan asas legalitas, perlu diformulasi secara lebih baik lagi. Terutama untuk menghindari tidak bekerjanya undang-undang (asas legalitas) sebagai early warning system bagi masyarakat untuk menghindar dari kelakuan yang melanggar hukum yang hidup. Termasuk dalam hal ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat lain yang tidak termasuk anggota masyarakat hukum adat itu atau warga negara asing yang kebetulan berada di wilayah yang dinyatakan  memiliki delik adat, sehingga seperti dikakakan Hakim Agung Belanda, yang penting kenyataan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, “tidak terlalu mengejutkan” bagi individu.



C.           Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Korporasi
Seiring dengan perkembangan ekonomi, perluasan subyek Hukum Pidana sehingga meliputi suatu korporasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari dimanapun, baik di Indonesia maupun di Belanda. Tindak pidana korporasi di Belanda dapat terjadi pada setiap tindak pidana, jika pada hakekatnya perbuatan itu dapat dipandang sebagai tindak pidana korporasi. Artinya, langkah penyusun RUU KUHP menjadikan tindak pidana korporasi menjadi objek pengaturannya, sehingga bukan pengaturan-pengaruran yang bersifat sporadis dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, baik Undang-Undang Pidana maupun Undang-Undang Administratif,  menjadi suatu langkah yang sangat tepat.
Di Belanda pada dasarnya tindak setiap tindak pidana oleh individu dalam suatu korporasi dipandang sebagai tindak pidana korporasi. Perlu lebih daripada sekedar adanya  suatu kelakukan individual dalam hal ini,  melakinkan penilaian hal itu dihubungkan dengan kedudukan yang bersangkutan dalam korporasi, tujuan korporasi, dan  dampaknya tindak pidana itu bagi  korporasi. Dalam hal ini penjelasan-penjelasan yang diperoleh dari para Hakim Agung Belanda ataupun  Guru Besar Hukum Pidana di Belanda, pada dasarnya telah sejalan dengan perumusan yang terdapat dalam RUU KUHP. Suatu tindak pidana dikatakan sebagai tindak pidana korporasi, jika dilihat dari kelakuannya merupakan kelakuan individu dalam suatu korporasi (organ korporasi), yang dilakukan dalam rangka menjalankan usaha atau kegiatan korporasi yang terlihat dari kesesuaiannya dengan tujuan korporasi itu, dan pada dasarnya perbuatan itu akan mempunyai relevansi dengan keuntungan yang langsung maupun tidak langsung diterima oleh korporasi itu.
Problemnya bagi Indonesia, ketika suatu tindak pidana korporasi dipertanggungjawabkan hanya terhadap individunya, lebih pada persoalan praktek penerapan norma daripada normanya itu sendiri, seperti dikatakan  Laura Lancee di Universiteit Leiden. Persoalan ini lebih pada persoalan profesionalitas penyidik, penuntut umum ataupun hakim dalam menilai suatu peristiwa. Namun sebenarnya hal ini mengajarkan bahwa  diperlukan pengaturan tersendiri tentang kriteria-kriteria yang lebih rinci bahwa terkait dengan tindak pidana korporasi, pidana dapat dijatuhkan pelakunya secara langsung atas delik itu, direksinya sebagai pengurus dari korporasinya, maupun korporasinya itu sendiri.
Pertanggungjawaban pidana korporasi di Belanda adalah pertanggungjawaban berbasis pada kesalahan (liability based on fault). Oleh karena sebenarnya ada benarnya pemahamannya Prof. Nico Keijzer yang menyatakan “it is not quite clear” berkenaan dengan Pasal 38 ayat (1) RUU KUHP (Pasal 32  ayat (3) RUU KUHP yang digunakan Prof Nico), yang dengan seolah-olah dikecualikannya asas kesalahan dalam tindak pidana-tindak pidana tertentu (libality without fault). Perlu perbaikan rumusan atas hal ini, jika pertanggungjawaban korporasi juga didasarkan pada kesalahan.
Di Belanda kesalahan korporasi dapat dipandang telah timbul jika beberapa organ korporasi masing-masing pada kedudukannya melakukan suatu kesalahan, baik kesengajaan atau kealpaan, sehingga suatu tindak pidana terwujudkan. Hal ini yang dinyakakan oleh beberapa Hakim Agung Belanda. Sebenarnya hal ini telah termasuk dalam penentuan kesalahan terhadap korporasi dalam RUU KUHP, hanya saja ditambah pula dengan penentuan kesalahan secara lainnya, yaitu kebijakan korporasi yang tidak sejauh mungkin menghindari timbulnya keadaan terlarang (unzumuthbarkeit), yang secara teoretik berasal dari Hukum Pidana Jerman. Di Belanda seperti dikatakan Prof. Jan Crijns, hal ini ditentukan dalam Standar of Care yang menjadi kewajiban suatu korporasi,  yang diperlukan untuk menentukan kesalahan korporasi itu.   
 Dalam hal suatu korporasi dipandang bersalah melakukan suatu tindak pidana, maka tidak serta merta direksinya juga harus dipidana. Kedudukan Direksi hanya mewakili korporasi dalam “proses hukum acaranya” untuk kemudian korporasinya yang dijatuhi pidana denda. Hal ini menyebabkan perlu pengaturan yang lebih mendetil di dalam RUU KUHP, untuk menentukan kapan suatu tindak pidana korporasi dipertanggungjawabkan terhadap pengurus korporasi (pelaku langsung atau direksinya) dan kemudian dijatuhi pidana oleh karenanya. Bakan Prof Jan Crijns menyatakan perlunya criteria of immune prosecution for corporation. Perumusan yang ada dalam RUU KUHP bahwa dalam hal ini pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya, tidak cukup menjamin kepastian hukum.
 Dalam Hukum Pidana Belanda pengurus korporasi dapat dipidana sebagai individual jika dipandang tidak mengambil langkah yang cukup untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Namun demikian, dalam Hukum Pidana Belanda juga dipandang lebih menguntungkan mengambil laba korporasi sebagai denda atas tindak pidana korporasi yang terjadi, daripada memenjara pengurus korporasi (termasuk direksinya).
Di Belanda tindak pidana korporasi juga hanya dapat terjadi pada badan hukum privat, tetapi juga pada badan hukum publik, seperti pemerintah kota yang tidak mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mencegah timbulnya bahya bagi nyawa atau tubuh orang atau harta bendanya ketika berada di ruang-ruang publik. Hal-hal ini sebenarnya perlu dipertimbangkan untuk dirumuskan setidaknya dalam penjelasan pasal-pasal tentang pertanggungjawaban pidana korporasi.
Catatan penting lain berkenaan dengan hal ini adalah berbedanya secara konseptual antara tindak pidana korporasi dengan kejahatan yang terorganisasi. Merupakan suatu kejahatan jika suatu individu atau korporasi terlibat dalam suatu organisasi kriminal.


D.    Jenis-Jenis Pidana
Menurut Prof Martin Moerings di Universiteit Leiden, masalah sanksi pidana secara umum dapat dibedakan dalam tiga persoalan, yaitu:
a.       Sanctions in  the law, yaitu pidana yang diancamkan;
b.      Sentencing: imposing sanctions, yang menjatuhkan pidana terhadap kasus-kasus konkrit;
c.       Application of sactions: execution in prison system and collcting fine, pelaksanaan eksekusi sanksi pidana tersebut.
  
Jenis-jenis pidana baru yang telah cukup lama diperkenalkan di Belanda, tetapi tidak termasuk dalam pidana yang sekarang dalam Pasal 10 KUHP warisan colonial antara lain adalah jenis pidana yang oleh Prof Martin Moerings di Universiteit Leiden disebut dengan “community sactions”, yaitu sanksi pidana memberikan pelayanan social kepada masyarakat. Sepertinya ketika RUU KUHP menentukan adanya pidana kerja social, perkembangan ini telah cukup diakomodir.
Namun demikian, Belanda tidak mengenal minimum khusus untuk suatu delik tertentu. Baik pidana denda maupun pidana penjara, pada dasarnya yang diancamkan hanya maksimum pidana untuk tiap-tiap delik. Berbeda dengan KUHP Indonesia, pidana penjara sementara waktu yang maksimal 20 tahun, di Belanda pidana penjara sementara waktu dapat dijatuhkan hingga 30 tahun. Denda di Belanda maksimum 67.000 euro. Dilihat dari sisi ini perlu penyelidikan tersendiri, berkenaan penentuan minimum khusus dalam Undang-Undang di luar KUHP yang telah diterapkan di Indonesia, yang juga akan diintrodusir di dalam RUU KUHP, apakah benar-benar telah mencerminkan rasa keadilan. Perlu penelitian dalam putusan-putusan  hakim yang menyimpangi ketentuan minimum khusus ini, menunjukkan justru ketentuan minimum khusus ini lebih banyak membawa kepada keburukan atau ketidakadilan daripada kebaikan dan keadilan. Selain itu, perlu penelitian tersendiri apakah maksimum pidana penjara sementara waktu itu sebaiknya diperlama seperti di Belanda hingga 30 tahun, atau cukup seperti tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dapat dijatuhkan hingga 25 tahun.
Salah satu perkembangan dalam penjatuhan sanksi pidana di Belanda adalah diadakannya sentencing guidelines yang disusun oleh para hakim sebagai pedoman penjatuhan pidana. Dalam hal ini pidana yang dijatuhkan umumnya lebih rencah daripada pidana yang diacamkan dalam undang-undang. RUU KUHP juga mengenai    sentencing guidelines dalam bentuk pedoman pemidanaan dan pedoman penjatuhan pidana penjara, tetapi dalam makna yang lain, disini sentencing guidelines dirumuskan dalam RUU KUHP dan bukan kesepakatan diantara para hakim.
            Belanda tidak mengenai Pidana Mati, karena  Belanda telah menghapuskan pidana mati sejak tahun 1870. Sekalipun setelah masa itu pidana mati masih bisa dijatuhkan untuk act commited in time of war and  in the army (kejahatan pada masa perang dan kejahatan militer), tetapi mengacu pada Hukum Uni Eropa menyebabkan  Konstitusi Belanda tahun 1983, menentukan pidana mati benar-benar telah dihapuskan untuk setiap keadaan. 
Bagi Indonesia, ketika penggunan pidana mati dalam Hukum Pidana dipertahankan sebagai national policy, maka sejumlah persoalan seharusnya ditelaah kembali, yaitu:
(1)   Penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit yang masih belum memiliki acuan yang memungkinkan hal itu dilakukan secara terukur dan non disparity. Ketika dalam RUU KUHP telah diintrodusir “pedoman penjatuhan pidana penjara”, maka untuk kedepannya perlu dibuat “pedoman penjatuhan pidana mati”, antara lain memuat ketentuan:
a.       Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang baru pertama kali melakukan tindak pidana (first offender) yang diancam dengan pidana mati;
b.      Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang memiliki alasan apapun yang dapat meringankan baginya, baik karena perbuatannya, kesalahannya, atau karena hal-hal lain diluar hal itu;
c.       Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana karena dirinya sendiri menjadi korban dari tindak pidana yang dilakukan pihak lain;
(2)   Pelaksanaan (eksekusi) pidana mati terhadap terpidana-terpidana tertentu harus ditunda, antara lain apabila diterui keadaan-keadaan tertentu, antara lain:
a.       Pidana mati ditunda pelaksanaannya terhadap terpidana yang sedang mengajukan Peninjauan Kembali, kecuali untuk yang kedua dan seterusnya;
b.      Pidana mati ditunda pelaksanaannya terhadap terpidana yang belum mengajukan peninjauan kembali dalam waktu tenggang waktu lima tahun dan tidak lebih dari sepuluh tahun, sejak putusan yang menjatuhkan pidana itu berkekuatan hukum tetap;
c.       Pidana mati ditunda pelaksanaanya jika menurut pertimbangan Jaksa Agung atas perintah Presiden, pelaksanaanya tidak berguna bagi kepentingan umum, atau bertentangan dengan kepentingan nasional;
(3)   Terpidana mati tidak menunggu waktu pelaksanaan eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan untuk mencegah dauble penalty.