10 Juni 2015

PERKEMBANGAN TERAKHIR KORELASI ANTARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENJATUHAN PIDANA

Dr. CHAIRUL HUDA, SH, MH

Abstract
This is thesis on criminal law conceprtion, exspecially  about correlation  criminal liability and criminal of punishment. Tendency of teorethical buildings is old fashioned still stage around of individual liability, and yet perfectly develop for complex crime. There are at least three correlation discussed, related corporate crime, organized crime and collective crime or collective violence.


Pendahuluan
            Ilmu Hukum pidana adalah science about fault, yang menyebabkan kesalahan (schuld)  sebagai pusat perhatiannya, baik ketika menentukan perbuatan mana yang sepatutnya dijadikan tindak pidana, menentukan kriteria bahwa seseorang sepantasnya dicela karena perbuatannya sehingga dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan menentukan jenis dan jumlah pidana yang tepat bagi seseorang yang melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatannya itu. Ketiga masalah mendasar di atas, kerapkan dibicarakan secara parsial oleh para ahli, yang menyebabkan diantara ketiga terfagmentasi secara konseptual.
Berkaitan dengan hal di atas, salah satu masalah penting yang hingga kini masih terus dikembangkan oleh para ahli hukum pidana adalah korelasi antara ketiga masalah mendasar tadi. Terlebih-lebih khususnya korelasi antara  pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana. Sebelumnya hal itu kerap kedua konsep di atas dipandang identik sama lain, sehingga tidak relevan memikirkan korelasinya. Dalam hal ini “dapat dipertanggungjawabkan” dalam hukum pidana berarti “dapat dipidana”. Namun demikian, belakangan ternyata dapat dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana (karena melakukan tindak pidana), tidak serta merta menyebabkan seorang itu dipidana. Penormaan tujuan pidana, pedoman pemidanaan dan pedoman penjatuhan pidana penjara, yang telah pula diadopsi dalam RUU KUHP, out of court settlement yang semakin mendesak untuk diperkenalkan dalam RUU KUHAP, atau prinsip restorative justice yang telah pula diintrodusir dalam sistem peradilan pidana anak (Undang-Undang No. 11 Tahun 2012), menyebabkan terdapat hal-hal lain yang harus dipertimbangkan hakim ketika akan menjatuhkan pidana, termasuk menjatuhkan pidana penjara. Artinya, “dapat dipertanggungjawabkan” dalam hukum pidana, karena satu dan lain hal “dapat tidak dijatuhi pidana”.
Korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana, semakin menjadi persoalan ketika dalam banyak hal telah terjadi pergeseran bentuk-bentuk kejahatan konvensional, menjadi suatu kejahatan yang bukan hanya melibatkan yang dulu disebut Mardjono Reksodiputro[1] sebagai pysike dader, tetapi psyke dader lainnya, yang membutuhkan telaahan tersendiri dalam menempatkan konstelasi mengenai hal ini. Artinya, kerangka teoretik korelasi pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana yang sekarang ada, melulu masih mengenai pelaku materiel, yang perbuatannya bersifat simpel karena yang bersangkutan langsung mewujudkan rumusan delik. Akan tetapi konsep tersebut belum dibentuk untuk tindak pidana yang kompleks. Dimaksud dalam hal ini adalah tindak pidana yang melibatkan banyak pihak, dengan perbuatan yang tidak bersifat fisik semata, dan jalinan hubungan antara satu peserta dengan peserta lain terbangun secara sangat unik.
Makalah ini, mengemukakan telaahan awal tentang tiga konteks korelasi atau hubungan antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana. Pertama pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap corporate crime. Kedua, pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap  organized crime.  Ketiga, pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap collective crime atau collective violence. Ketiga bentuk kejahatan tersebut adalah tindak pidana yang kompleks, yang masih memerlukan kerangka teoretik penentuan pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidananya.

Korelasi antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Corporate Crime

            Persoalan-persoalan tentang korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana, mendapat tatangan berat ketika ilmu hukum pidana dituntut dapat memberikan justifikasi terhadap pemidanaan korporasi, khususnya yang bersifat strict liability crime. Dalam hal ini, tindak pidana korporasi dilakukan oleh pegawainya, tetapi dipertanggungjawabkan secara “strict” kepada korporasinya. Struktur organisasi korporasi modern memungkinkan adanya pengalihan dan pendistribusian tanggungjawab atas pengambilan keputusan, yang menyebabkan persoalan pertanggungjawaban dan penjatuhan pidananya menjadi sangat kompleks, ketika korporasi itu melakukan tindak pidana.  Hal ini menyebabkan penentuan terhadap siapa sebenarnya tindak pidana tersebut dipertanggungjawabkan menjadi suatu persoalan baru.
Kecenderungan berbagai korporasi mensiasati kemungkinan tuntutan pidana dengan membangun struktur yang dengannya memisahkan jarak yang begitu jauh antara tindak pidana yang dilakukan pegawai korporasi dengan para pengambil keputusannya. Misalnya dengan membentuk holding company, yang dengannya dapat “menutupi jejak” pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana yang sebenarnya, tetapi hanya pada korporasi yg secara langsung mengujudkan delik itu. Padahal keuntungan terbesar bukan pada korporasi pelaku langsungnya. Persoalan mendasar mengenai hal ini adalah, sampai batas mana jika pertanggungjawaban pidana bertingkat akan diterapkan. Belum terpecahkannya masalah ini menyebabkan timbulnya keadaan yang tidak menggembirakan dalam perkembangan pertanggungjawaban dan penjatuhan pidana korporasi, yang  dengan meminjam istilah  William S. Laufer dapat dipandang sebagai “perkembangan yang mengecawakan”. Dikatakannya “the evolution of corporate criminal law was and is predictably disappointing”.[2]
 Dalam jangkauan yang lebih kecil, keterbatasan konsep pertanggung jawaban pidana dan penjatuhan pidana terhadap korporasi ketka dihadapkan pada perubahan-perubahan kepengurusan korporasi. Misalnya,  direksi baru perusahaan  yang harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (dalam arti dijatuhi pidana) karena tindak pidana korporasi yang terjadi sebelum masa kepemimpinannya. Dalam hal ini pengadilan terlihat gamang menjatuhkan pidana, karena tindak pidana sebenarnya sudah terjadi sebelum direksi tersebut menjabat, seperti Putusan Pengadilan Negeri Muara Enim No. 149/Pid.B/2010/PN.ME, tanggal 23 Desember 2010 yang memidana IR. MUZTAV SJAB, selaku Direktur Utama PT BUKTI KENDI karena korporasi itu telah “tanpa ijin mengekspoitasi bahan tambang di kawasan hutan”, sekalipun sebenarnya tindak pidana terjadi pada masa kepemimpinan Ir. MUNANDAR alias MUNANDAR SAI SOHAR, yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan Negeri Muara Enim, berdasarkan  Putusan No. 215/Pid.Sus/2010PN.ME, tanggal 22 Desember 2010, karena hanya menghindari dilanggarnya asas “terhadap satu tindak pidana hanya dapat dijatuhkan hukuman kepada pelakunya”.  Persoalan mungkin tidak terlalu rumit ketika yang dijatuhi pidananya adalah korporasinya, dengan pidana denda tentunya, tetapi menjadi persoalan serius ketika pidana penjara dijatuhkan terhadap direksi baru itu, sehingga yang bersangkutan “dipidana penjara karena kedudukannya bukan karena perbuatannya”.
Kelemahan  konsepsi yang ada yang menghubungkan pertanggung jawaban pidana dan penjatuhan pidana juga terlihat sangat telanjang ketika proses hukum memajukan sebagai terdakwa “orang yang tidak dapat mewakili korporasi”, tetapi pidana harus dijatuhkan dalam konteks pertanggungjawaban korporasi. Misalnya,  ketika Mahkamah Agung mempidanakan PT. ASIAN AGRI GROUP dalam putusan No. 2239K/PID. SUS/2012 atas nama Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK  dengan denda Rp. 2.519.955.391.304 (dua trilyun lima ratus sembila belas milyar Sembilan ratus lima puluh juta tiga ratus sembila puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah). Sepintas lalu putusan ini  sepertinya merupakan dimulainya babak baru tentang korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana, khususnya terkait dengan pemidanaan  korporasi. Dalam hal ini, asas dasar pertanggungjawaban pidana bahwa “tiada penjatuhan  pidana tanpa tindak pidana” dimaknai secara lain. Pidana denda sebanyak lebih dari 2,5 Trilyun Rupiah tersebut  telah dijatuhkan kepada PT. ASIAN AGRI GROUP oleh Mahkamah Agung, sekalipun korporasi itu bukan yang didakwa dan diadili. Terdakwa SUWIR LAUT aliasn LIU CHE SUI alias ATAK didakwa bukan mewakili korporasi PT. ASIAN AGRI GROUP, tetapi pembayaran denda yang cukup besar tersebut dijadikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana atas terdakwa tersebut. Fakta bahwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK bukan Direksi PT. ASIAN AGRI GROUP,  menjadi pertanda yang paling kuat bahwa yang bersangkutan didakwa dan diadili sebagai pribadi, bukan mewakili PT. ASIAN AGRI GROUP, mengingat dalam doktrin dan banyak ketentuan undang-undang dipersyaratkan,  dalam hal tindak pidana korporasi maka pertanggungjawabannya diwakili oleh direksi korporasi tersebut.
Memang antara SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK bukan tanpa tautan sama sekali, jabatannya sebagai tax manager di PT ASIAN AGRI dipandang bahwa segala tindakannya dilakukan untuk dan atas nama korporasi tersebut. Segala “keuntungan” dari tindakan SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK tersebut bukan dinikmati oleh yang bersangkutan pribadi, tetapi “mengurangi” pajak PT. ASIAN AGRI GROUP yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Jalan berfikir ini sepertinya yang menyebabkan Majelis Hakim Agung yang terdiri dari DJOKO SARWOKO, SH, PROF DR. KOMARIAH EMONG SAPARDJAJA, SH dan MURWAHYUNI, SH, MH mengambil putusan fenomenal tadi, dan sekaligus “menggeser” konsep tentang pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintakan terhadap seseorang secara pribadi, dan karenanya yang bersangkutan sendiri yang harus menerima nestapa karena pidana yang dijatuhkan. Hal ini antara lain tergambar dari pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sebagaimana dipertimbangkan di atas bahwa perbuatan Terdakwa berbasis pada kepentingan bisnis 14 (empat belas) korporasi yang diwakilinya untuk menghidari Pajak Penghasilan dan Pajak Badan yang seharusnya dibayar oleh karena itu tidaklah adil jika tanggung jawab pidana hanya dibebankan kepada Terdakwa selaku individual akan tetapi sepatutnya juga menjadi tanggungjawab korporasi yang menikmati atau memperoleh dari hasil Tax Evation tersebut”;

“Menimbang bahwa sekalipun secara individual perbuatan Terdakwa terjadi karena “mensreea” dari Terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukukan oleh Terdakwa adalah dikehendaki atau “mensrea” dari 14 (empat belas) korporasi. Sehingga dengan demikian pembebanan tanggan jawab pidana “individual liability” dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respodeat superior atau doktrin “vicarious liability” diterapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan tanggung jawab lagi pula pula apa yang dilakukan terdakwa telah diputuskan secara kolektif”.

Pertimbangan di atas menunjukkan bahwa sekalipun tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa   secara pribadi (direct liability), tetapi pertanggungjawabannya dimintakan terhadap pribadi yang bersangkutan dan korporasi yang mendapatkan manfaat dari tindak pidana yang dilakukannya (vicarious liability). Konsepsi ini menyebabkan pidana bukan hanya diterapkan terhadap terdakwa, tetapi pindana juga dijatuhkan terhadap korporasi. Pertanggungjawaban individual dan korporasi diterapkan secara simultan dalam perkara dimana terdakwanya adalah pegawai korporasi itu. Dalam istilah Lacey, Wells dan Quick,[3] konstruksi ini merupakan paduan “direct liability” dengan “vicarious liability” sekaligus. Dua konsep yang selama ini hanya menjadi alternatif satu sama lain, tetapi dalam perkara tersebut  telah dikumulasikan.
            Dengan pertimbangan tersebut, pemidanaan terhadap korporasi tidak lagi sebagai konsekuensi lansung dari tindak pidana yang dilakukan pengurus korporasi itu, atau sebagai kelanjutan dari dapat dipertanggungjawabkannya korporasi karena suatu tindak pidana yang dilakukan pegawainya, tetapi sebagai wujud “pembebanan” tanggung jawab pidana dengan menjatuhkan pidana kepada korporasi karena tindak pidana yang dilakukan pegawainya demi untuk kepentingan korporasi. Konsep vicarious liability yang sejak semula menjadi dasar untuk mendakwa, mengadili dan memidana  korporasi (yang diwakili oleh pengurusnya)  karena tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi itu atau pihak lain yang berbuat untuk dan atas nama korporasi, sehingga tidak lagi bersifat individual, telah bergeser mejadi dasar penjatuhan pidana bagi korporasi karena sejatinya perbuatan pegawainya itu adalah demi kepentingan korporasi, sekalipun hal itu bukan dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini, sekalipun disebut-sebut dalam putusan di atas bahwa pertanggungjabawan pidana secara individual dan pertanggungjawaban pidana korporasi secara bersamaan dalam perkara di atas, dengan menyatakan penerapan vicarious liability dalam pertanggungjawaban korporasi karena tindak pidana yang dilakukan pegawainya atas dasar doktrin respodeat superior yang umumnya telah diterima dalam Hukum Pidana Indonesia, tetapi sebenarnya penerapannya terhadap pegawai korporasi dan bukan pengurusnya dalam kasus aquo merupakan suatu hal yang baru.
Dalam penerapan vicarious liability tersebut tetap saja yang didudukkan sebagai terdakwa adalah korporasinya, yang karenanya dipidana karena perbuatan “orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain” dengannya tersebut. Dengan demikian,  jika dikonstruksi sebagai bentuk vicarious liability, maka Direksi PT. ASIAN AGRI GROUP mewakili korporasi itu didakwa dan diadili dan karenanya dipidana karena perbuatan manipulasi pajak yang dilakukan SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK. Namun  tidak demikian yang terjadi dalam putusan No. 2239K/PID. SUS/2012 tersebut.  Tindak pidana yang didakawakan terhadap Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dipandang terbukti, yaitu melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, tetapi pidana bukan hanya dijatuhkan terhadap yang bersangkutan (dua tahun penjara dengan masa percobaan selama tiga tahun), tetapi pidana juga dijatuhkan terhadap PT. ASIAN AGRI GROUP tempat terdakwa bekerja, dengan pidana denda sebanyak lebih dari 2,5 Trilyun Rupiah (dua kali pajak terhutang yang tidak atau kurang bayar atau dua kali lebih dari 1,25 Trilyun Rupiah), sebagai syarat khusus dari pidana bersyarat dimaksud. Dengan demikian vicarious liability dimaknai secara sangat berlainan dari konsep aslinya. Hal inilah yang bukan hanya menyebabkan pergeseran tentang konsep individualisasi pidana  tetapi boleh jadi dipandang peniadaan konsep dimaksud, dimana pidana dapat dijatuhkan terhadap siapa saja  sepajang memiliki hubungan kerja dengan terdakwa. Pidana tidak dijatuhkan secara individual terhadap orang (orang perseorangan atau korporasi)  yang didudukkan sebagai terdakwa, tetapi terhadap pihak lain, sepanjang ada keterkaitan dengan perbuatan yang secara individual pula didakwakan terhadap terdakwa.
Vicarious liability yang secara harafiah dimaknai dengan “pertanggungjawaban pengganti”, dimana korporasi menggantikan tanggungjawab pegawainya yang melakukan tindak pidana untuk dan atas nama korporasi itu. Namun demikian dalam kasus ini, vicarious liability digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap korporasi yang pegawainya didakwa dan diadili karena melakukan tindak pidana dalam melaksanakan kegiatan terkait korporasi itu. Dalam kasus PT. ASIAN AGRI GROUP, hal itu dimaknai lebih jauh lagi, karena pidana bukan saja dijatuhkan terhadap PT. ASIAN AGRI GROUP yang menggantikan tanggung jawab Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK, tetapi dalam hal ini pidana tetap dijatuhkan terhadap Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK (pidana penjara dua tahun dengan percoban selama tiga tahun) dan tidak digantikan oleh PT. ASIAN AGRI GROUP  sebagai pihak yang memperkerjakannya, melainkan pidana “ditambahkan” lagi terhadap korporasi itu ( lebih dari 2,5 Trilyun Rupiah). 
Tanpa ukuran-ukuran yang jelas penerapan dual liability tersebut (direct liability and vicarious liability) dalam satu perkara, dapat menyebabkan dauble penalty, yang sangat mudah menjadi kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Korelasi antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Organized Crime

Dalam bidang Hukum Acara Pidana,  kesulitan-kesulitan dibidang pembuktian kejahatan terorganisir disiasati dengan berbagai perkembangan baru, antara lain dengan memberi privilege  terhadap justice collabolator dan wistle blower. Namun perkembangan dalam ranah Hukum Pidana Materiel kebuntuan tentang menemukan korelasi antara peratnggungjawan pidana dan penjatuhan pidana juga menjadi isu krusial dalam kejahatan terorganisir. Kebuntuan mengenai hal ini menyebakan kecenderungan timbulnya  apa yang disebut David Dyzenhaus sebagai “legalized illegality”.[4]
Konsep penyertaan yang selama ini menjadi tumpuan perluasan tindak pidana sehingga dapat dipandang juga diliputi oleh bukan pelaku langsungnya, sekarang ada tidak mampu lagi mengkonstruksi tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan terorganisir. Akibatnya penjatuhan pidana tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah dasarnya, melainkan melompat kepada siapa saja yang berada didekat pusaran tindak pidana atau pembuatnya tersebut.
Dalam hal ini pidana tidak lagi dijatuhkan terhadap terdakwa yang notabene sedang diadili perbuatannya, tetapi kepada pihak lain yang kebetulan “berada pada tempat yang salah dan wkatu yang salah”. Terlihat mulai ditinggalkannya pertanggung jawaban  individual dalam hukum pidana tergambar dalam pekara tindak pidana korupsi. Suka atau tidak suka, tindak pidana korupsi kecenderungannya sekarang makin teroragisir, sehingga sulit mengkaitkan satu pelaku dengan pelaku yang lain. Kalaupun dapat dikaitkan, biasanya pada hasil-hasil tindak pidananya. Akibatnya, jika hal itu tidak dapat dikonstruksi sebagai bentuk penyertaan, ataupun tidak pula dapat dipidanakan dengan mengikuti hasil-hasil kejahatannya (follow the money), terutama dengan tindak pidana pencucian uang, maka penjatuhan pidana yang membabibuta telah dilakukan hanya karena mengejar target pengembalian kerugian keuangan negara. 
 Hal ini misalnya terlihat dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan No. 42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA. Dalam hal ini Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan karenanya menjatuhkan pidana penjara 4 tahun dan denda sebanyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah), serta menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebanyak Rp. 2.570.000.000 (dua milyar lima ratus tujuh puluh  juta rupiah), dan menjatuhkan pidana tambahan perampasan barangbarang bergerak, yang dikatakannya berada dalam penguasaaan Saksi TAN SUHARTONO, MEDIANA HUTOMO, Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP, dan Drg. ELS MANGUNDAP, Drs. AMIR SYARIFUDIN ISHAK, SH., MH, PT. GRAHA ISMAYA, PT. INDOFARMA GLOBAL MEDIKA. Dalam hal ini sama artinya para saksi tersebut juga turut dijatuhi dengan pidana  perampasan barang bergerak itu, yang dalam perkara tersebut berupa sejumlah  uang.
Sekali lagi pidana bukan saja secara individual dijatuhkan terhadap Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, yang didakwa dan  diadili dalam perkara tersebut, tetapi dijatuhkan pula terhadap pihak lain, yang tidak sedang didakwa atau diadili dalam perkara itu. Dalam pertimbangannnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan bahwa dasar dijatuhkannya pidana perampasan barang-barang bergerak tersebut adalah Pasal 18 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999, yaitu “putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan”.  Dalam hal ini, konstruksi yuridis yang seharusnya digunakan hakim adanya barang-barang bergerak mapun tidak bergerak yang berada dalam penguasaan Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, tetapi bukan milik yang bersangkutan, tetap dapat dirampas sepanjang tidak merugikan pihak ketiga yang beritikad baik yang menjadi pemilik dari barang itu. Dengan demikian, pidana secara individual dijatuhkan terhadap terdakwa yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, hanya saja barang yang dirampas dengan pidana perampasan barang-barang tersebut bukan milik terdakwa. Pertanggungjawbaan pidana menjadi dasar dijatuhkannya pidana terhadap terdakwa.
Dalam putuan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan No. 42/Pid.B/TPK/2012/PN. JKT.PST, tanggal 27 Nopember 2012, atas nama Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA  tersebut, kembali terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana yang menjadi dasar penjatuhan pidana bukan hanya terhadap terdakwa secara individual. Dalam hal mana pidana dijatuhkan Majelis Hakim perkara ini menjatuhkan pidana berupa perampasan harta kekayaan milik pihak lain (TAN SUHARTONO, MEDIANA HUTOMO, Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP, dan Drg. ELS MANGUNDAP, Drs. AMIR SYARIFUDIN ISHAK, SH., MH, PT. GRAHA ISMAYA, PT. INDOFARMA GLOBAL MEDIKA) sebagai suatu bentuk pidana (tambahan) terhadap Terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, karena pihak lain itu dipandang memilikinya bukan atas dasar itikat baik. Dalam hal ini pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu) dijatuhkan kepada saksi dan bukan terdakwa, cuma karena apa yang menjadi milik saksi bersangkutan diperolehnya bukan atas dasar itikad baik. Namun demikian, dalam perkara atas nama terdakwa RUSTAM SYARIFUDIN PAKAYA, justru yang dinyatakan dirampas adalah uang saksi yang ada pada penguasaan saksi itu sendiri. Hal ini dapat diartikan saksi yang tidak didakwa dan diadili karena tindak pidana korupsi, justru telah  dijatuhi pidana perampasan barang-barang bergerak dimaksud.  
Demikian pula ilmu hukum pidana dituntut justifikasinya terhadap penentuan subyek yang dijatuhi pidana dalam kejahatan terorganisasi (orginezed crime), seperti kegamangan pengadilan dalam dugaan keterlibatan ABU BAKAR BA’ASYIR dalam tindak pidana terorisme, peledakan Hotel JW. Mariott I dan II. Keberadaan yang bersangkutan berada dalam lembaga pemasyarakatan, karena dipidana terkait dengan tindak pidana terorisme lainya, menyurutkan pembangunan konstruksi pertanggungjawaban penyertaan dengan pelaku-pelaku  langsung pemboman Hotel JW Mariott I dan II yang coba dilakukan pada waktu itu. Padahal seperti dikatakan  Marja Letho, bahwa:
“the extension  of criinal responsibility  ton non violent supportive acts thus  makes the concept of terrorisme  broader: terrorism is not limited  to terrorist acts but comprises the victimless crime of incitement, financing, long term preparation as well as various aspect of material support  to maintenance of the terrorist infrastructure”.[5]

Pemberantasan terorisme, terutama dengan membangun konsep pertanggungjawaban dan penjatuhan pidananya, masih terbatas pada target-target pelaku langsungnya. Belum dapat secara sempurna mengejar mereka yang memberi dukungan teknis dan non teknis, termasuk pendanaan dan peralatan serta perencanaan tindak pidana terorisme. Hukum pidana kesulitan menghubungkan pelaku langsungnya dengan mereka itu, terutama bagaimana membangun konstruksi pertanggungjawabannya.
            Persoalan semakin rumit ketika penanggulangan tindak pidana terorganisir ini mengharuskan dibedakannya apa yang disebut Carlo Morselli sebagai “noncriminall social networks” dari “criminal networks”.[6] Hal ini terkait dengan kecenderungan perkembangan jaringan terorisme yang ter-slamur-kan  dengan jaringan sosial, budaya dan keagamaan yang tidak melakukan aktivitas kriminal. Terlihat dalam penangan terorisme di Indonesia, terhentinya pengkaitan Jamaat Ansharut Tauhid dengan aktivitas terorisme. Jaringan dakwah ini, yang jelas-jelas sebagai noncriminal social networs disebut-sebut sebagai organisasi yang semula dituduh sebagai jelmaan baru Jamaah Islamiah di Indonesia.  Konsepsi pertanggungjawaban pidana sama sekali belum menyentuh dapat dikonstruksinya hal ini.

Korelasi antara Pertanggungjawaban Pidana dan Penjatuhan Pidana terhadap Collective Crime atau Collective Violance

Tantangan terakhir yang tidak kalah pentingnya, terkait dengan pembangunan korelasi antara konsep pertanggungjawban pidana dan penjatuhan pidana, berkenaan dengan kejahatan yang bersifat massal, terutama kekerasan massal. Ilmu hukum pidana juga dituntut untuk dapat membenarkan pemidanaan terhadap beberapa orang saja dalam tindak pidana yang berupa aksi masa, sementara bersikap impunity terhadap pelaku lainnya.
Persoalan mendasar mengenai hal ini adalah, apakah memang konstruksi pertanggungjawaban pidana kejahatan berkelompok atau bersifat massal ini terbatas hanya ditujukan terhadap pemimpin-pemimpinnya. Misalnya seperti dilansir sejumlah teoritis yang menyatakan bahwa terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana hanya terhadap pemimpinnya,  atau justru semua yang “hadir” dalam kejahatan itu dapat dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana secara equal dengan para pemimpinnya tersebut. Hal ini masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan.
Seperti putusan terhadap kasus kekerasan massal terhadap warga Ahmadiyah di  Cikeusik, yang pertangungjawaban pidana hanya dimintakan terhadap mereka yang “terlihat” atau “terekam” dalam gambar video yang tersebar luas itu, sementara yang lain yang konon dikabarkan melakukan aksi kekerasan yang sebenarnya terlepas begitu saja. Demikian pula dengan penanganan kekerasan massal dalam demontrasi pembentukan Provinsi Tapanuli, yang membuat Ketua DPRD Sumatera Utara ABDUL AZIS ANGKAT meninggal dunia. Dalam hal mana tidak selalu  mudah untuk menentukan pengurus/aktor yang paling abash (rightfully) untuk dijatuhi pidana karena kejahatan yang dilakukan pegawai/anggota kelompoknya.
Salah satu     perkara yang paling fenomenal mengenai hal ini adalah dalam kasus Habieb Rizieq. Terlihat  “pergeseran” tentang ajaran penyertaan dari apa yang ditentukan oleh undang-undang, dengan keadaan  yang diharapkan timbul karena perubahan arah kebijakan (politik) hukum, dipertontonkan dengan sangat telanjang. Paling tidak hal itu terlihat dari dua hal, yaitu: penentuan tindak pidana yang dilakukan Habieb Rizieq dan pertanggungungjawaban pidananya atas hal itu.
Pertama, antara kejadian di sekitar Monas dan Habieb Rizieq dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian, Ketua Umum FPI ini didakwa melakukan tindak pidana “menganjurkan” orang lain melakukan kejahatan. Dalam hal ini Habieb Rizieq dipandang sebagai “orang yang menggerakkan orang lain melakukan kejahatan”, yang disebut-sebut dilakukan “dengan menyalahgunakan martabat” dan/atau “dengan penyesatan”. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI dipandang sebagai “martabat” yang “disalahgunakan”, diantaranya melalui ceramah-ceramahnya yang dilakukan sebelum “peristiwa monas” yang dipandang sebagai “penyesatan”, yang berisi “dorongan” untuk membubarkan Ahmadiyah, karena dipandang sesat dan telah keluar dari Islam. Pemahaman yang dimiliki para anggota FPI tentang Ahmadiyah dari pengajian-pengajian Habieb Rizieq   inilah yang  dipandang sebagai faktor penyebab kekerasan di Monas. Dengan demikian,  “ isi pengajian Habieb Rizieq” inilah yang dipandang sebagai kejahatan, yang locus delictie-nya di Markas FPI. 
Konstruksi di atas boleh jadi benar, apabila tindak kekerasan di sekitar monas tersebut dilakukan terhadap warga Ahmadiyah dan hal itu dilakukan oleh bukan hanya anggota FPI, tetapi lebih jauh lagi anggota FPI yang mendengar dan mengikuti pengajian Habieb, yang terpengaruh dan terdorong untuk melakukan kejahatan karena ceramah yang bersangkutan. Masalahnya menjadi lain, ketika kekerasan dilakukan oleh anggota FPI lainnya (yang tidak mengikuti pengajian) dan hal itu dilakukan terhadap AKBB (aliansi pro Ahmadiyah). Dengan demikian, terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, khususnya dalam hal penganjuran, dari perbuatan “menggerakkan orang lain melakukan kejahatan”, menjadi dipandang juga penyertaan “menjadi pimpinan organisasi yang anggotanya melakukan kejahatan”. Kejahatan Habieb Rizieq adalah “menjadi Ketua Umum FPI”. Dengan demikian, setiap kali anggota FPI melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, dimanapun hal itu dilakukan, maka selalu dapat dihubungkan dengan Habieb Rizieq, sebagai Ketua Umum FPI.   
Kedua,  terjadi pergeseran dalam penentuan kesalahan (schuld) Habieb Rizieq, atas perbuatan-perbuatan para anggota FPI atau kelompok-kelompok seperjuangannya, atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap masa AKBB yang pro Ahmadiyah. Memandang ajaran penyertaan sebagai perluasan pengertian delik, menyebabkan terhadap peserta dalam suatu penyertaan kejahatan,  seharusnya juga diliputi kesalahan, sesuai asas “geen straf zonder schuld”. Dengan demikian, bukan kesalahan anggota FPI yang diteruskan kepada ketua umumnya (Habieb Rizieq), tetapi merupakan kesalahan bagi pimpinan FPI apabila ada anggotanya yang melakukan tindak kejahatan sebagai pelaksanaan dari kegiatan organisasi.  
Habieb Rizieq sejak semula harus telah mengetahui dan menyadari bahwa ceramah-ceramahnya yang menyatakan Ahmadiyah sesat dan telah keluar dari Islam dan karenanya harus dibubarkan dengan cara apapun dapat menimbulkan tindak kekerasan. Persoalannya seharusnya diletakkan pada perbuatan yang bersangkutan melakukan ceramah-ceramah tersebut, dan bukan kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Mengingat isi ceramah Habieb Rizieq yang dipandang sebagai kejahatan, sehingga celaan terhadap yang bersangkutan ditujukan karena perbuatannya tersebut, dan bukan celaan terhadap kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI. Kedudukannya sebagai Ketua Umum FPI sama sekali bukan kejahatan, sehingga sama sekali tidak patut dicela oleh karenanya. Apabila para pelaku kekerasan monas adalah hanya sekedar anggota FPI, tidak anggota FPI yang “sesat” karena ceramah Habieb Rizieq sehingga melakukan kejahatan, maka pertanggungjawaban hal ini tidak berdasar kesalahan (liability without fault). Kembali terjadi pergeseran “Ajaran Penyertaan” dalam hal ini, kesalahan karena penyertaan dikonstruksi dalam bentuk strict liability.

Penutup
Berbagai perkembangan di atas, kesemuanya itu menunjukkan persoalan korelasi antara pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan pidana belum lagi usai. Perlu kehati-hatian lebih untuk menjatuhkan pidana yang tepat, guna menghindari dipidananya orang-orang yang tidak bersalah atau dipidananya seseorang melebihi daripada kesalahannya.




[1]Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Perilaku Kejahatan di Indonesia”, dalam Kemajuan Pembangan Ekonomi dan Kejahatan Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadailan dan Pengabdian Hukum, 2007, 96-115.

[2]Willian S. Laufer, Corporate Bodies and Guilty Mindes; The Failure of Corporate Criminal Liability, Chicago: The University of Chicago Press, 2006, 42.

[3]Lacey, Wells and Quick, Reconstructing Criminal Law; Text anda Materials, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, 678 

[4]David Dyzenhaus, “The State of Emergency in Legal Theory”, dalam  Victor V. Ramraj, Michael Hor and Kent Roach, ed., Global Anti Terrorism Law and Policy, Cambridge, Cambridge  University Press, 2005, 65.

[5]Marja Letho, Indirect Responsibility for Terrorist Acts; Redefinition of Concept of Terrorism Beyond Violent Acts, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2009, 422. 

[6]Carlo Morseli, Inside Crimminal Networks, Montreal: Springer, 2009, 5