10 Juni 2015

BEBERAPA ISU PENTING DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN TERKAIT DENGAN HUKUM PIDANA BELANDA

Dr. CHAIRUL HUDA, SH., MH

A.    Kodifikasi Hukum dan Hukum Pidana Khusus
Pada dasarnya Hukum Pidana Indonesia mewarisi civil law system, mengingat asas konkordan yang menempatkan Hukum Pidana Kerajaan Belanda diterapkan di Hindia Belanda. Sekalipun setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dilakukan pertumbuhan perundnag-undangan baru, termasuk dalam bidang Hukum Pidana,  tetapi pendekatan kodifikasi hukum hingga kini tetap dipertahankan, seperti juga di Negeri Belanda.

Pada dasarnya pula, perkenalan dengan Hukum Pidana Khusus, seperti pembentukan Undang-Undang Pidana Khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga diperkenalkan oleh Sistem Hukum Belanda, sehingga di Indonesia bertumbuh kembang, hingga hampir tidak terkendali, pembentukan undang-undang pidana di luar KUHP, seperti melalui pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Tindak Piana Pornografi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya.

Hukum Pidana Khusus bidang hukum pidana materil keberlakukananya didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Sedangkan Hukum Pidana Khusus bidang hukum acara pidana keberlakuannya didasarkan pada ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Hukum Pidana Khusus diadakan mengingat berbagai kepentingan khusus, yaitu antara lain:
(1)   Subyeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut kualitas tertentu yang harus dipenuhi untuk mengujudkan suatu delik;
(2)   Objeknya yang bersifat khusus, yaitu menyangkut benda-benda hukum tertentu yang mempunyai sifat kekhususan tertentu;
(3)   Diperlukan hukum acara yang bersifat khusus untuk penegakannya, yaitu menyangkut proses dan prosedur khusus, yang memberikan kewenangan khusus dan terbatas kepada aparat penegak hukum tertentu.


Persoalan mendasar mengenai hal ini, sejauhmanakah dalam sistem kodifikasi Hukum Pidana Khusus dimungkinkan. Hal ini perlu dipastikan untuk kemudian menentukan berbagai “pengecualian” atau “penyimpangan” terhadap asas-asas umum dalam kodifikasi menjadi dimungkinkan pula. Bagaimana kemudian pertumbuhanya ke dean, apakah  seharusnya hanya meliputi bidang Hukum Pidana Formiel  (Hukum Acara Pidana) belaka atau justru dalam batas-batas tertentu Hukum Pidana subtantifnya dan Hukum Pelaksanaan Pidana juga mungkin “disimpangi”.
Untuk menjawabnya, pertama-tama harus didudukkan terlebih dahulu peristilahan mengenai hal ini.  Istilah yang umumnya digunakan adalah “Tindak Pidana Khusus” (speciale delicten), padahal hal ini bukan hanya menyangkut “hukum pidana materil” yang diantaranya mengatur masalah-masalah “tindak pidana”, tetapi juga berkaitan dengan “hukum pidana formil” dan “hukum pelaksanaan pidana”. Istilah lain yang digunakan adalah “Undang-Undang Pidana Khusus” (bijzondere wetten), yang mengandung kelemahan karena seolah-olah suatu sifat kekhususan aturan  hanya terdapat dalam undang-undang ini, padahal baik aturan-aturan yang bersifat umum   dan “kekhususannya yang logis” maupun “kekhususannya  yang sistematis” dapat terjadi dalam satu undang-undang.
Istilah “Hukum Pidana Khusus” lebih relevan untuk menggambarkan isi dari studi ini, sehingga dapat meliputi asas-asas (principles), aturan-aturan (rules) dan kebijakan-kebijakan (policies) dalam hukum pidana yang sifatnya “khusus” (lex specialis), yang “menyimpang” dari hal yang sifatnya “umum” (lex generalis), baik dalam lapangan hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana,
Berdasarkan hal itu, Hukum Pidana Khusus memiliki ruang lingkup studi antara lain:
(1)   Tindak pidana-tindak pidana tertentu  yang teknik perumusannya “menyimpang” dari design tindak pidana pada umumnya;
(2)   Pertanggungjawaban pidana terhadap orang-orang yang mempunyai kedudukan khusus;
(3)   Sanksi pidana yang bersifat khusus;
(4)   Proses dan prosedur khusus dalam penegakan hukum pidana;
(5)   Pelaksanaan sanksi pidana yang bersifat khusus.

Mengacu pada hal-hal di atas, maka Hukum Pidana Khusus berkaitan dengan teknik perumusan tindak pidana sebaiknya sama sekali dihindari. Kesulitan-kesulitan penerapannya akan dating menghadang jika perumusan delik dikecualikan. Hukum Pidana Materiel yang bersifat khusus tidak diperlukan lagi  apabila dalam kodifikasi baru  (RUU KUHAP) telah mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1)   Pengecualian peringanan pidana bagi tindak pidana tertentu telah ditentukan dalam kodifikasi. Misalnya ketentuan peringanan pidana bagi persiapan, permufakatan jahat, percobaan, dan  pembantuan terhadap tindak pidana terorisme, korupsi dan peredaran gelap narkotika yang dinyatakan tidak berlaku dalam kodifikasi;
(2)   Perluasan tindak pidana sehingga dapat dilakukukan dan kemudian dimintai pertanggungjawabkan terhadap korporasi telah diatur dalam kodifikasi.

Sebaiknya pengaturan yang bersifat khusus perlu ditekankan pada Hukum Acara Pidana dan Hukum Pelaksanaan Pidana Dalam hal ini Hukum Acara Pidana khusus diperlukan mengingat hal-hal sebagai berikut:
(1)   Perlunya kelembagaan khusus untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu tindak pidana, karena sifat kekhususan pembuktian atas tindak pidana itu, seperti tindak pidana korupsi dengan adanya KPK, dan  tindak pidana pencucian uang terkait dengan peran PPATK dan tindak pidana pelanggaran hak berat terkait dengan peran  Komnas Ham, sebagai lembaga strategis yang menentukan dalam penyidikan hal itu;
(2)   Perlunya perlakuan khusus terhadap objek suatu tindak pidana, seperti illegal logging, illegal fishing dan illegal mining atau cyber crime, yang memerlukan pendkatan khusus, baik lembaga peradilan khusus (seperti Pengadilan perikanan) maupun teknik pembuktin khusus melalui bukti elektronik;
Sedangkan Hukum Pelaksanaan Pidana Khusus sekarang ini diperlukan mengingat keadaan sebagai berikut:
(1)   Perluya perlakuan dan treatment khusus bagi terpidana tertentu, seperti terpidana anak-anak, terpidana pelaku kejahatan dengan prilaku menyimpang (pedofil, homo sexual), terpidana pengguna, penyalahguna, dan pecandu narkotika, terpidana yang menderita HIV/AIDS dan penyakit berbahaya lainnya,  terpidana terorisme yang perlu deradikalisasi;
(2)   Perlunya  tempat khusus bagi terpidana yang menunggu pelaksanaan pidana mati, sehingga tidak mengganggu proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyakatan; 

Kesemua itu menunjukkan Hukum Pidana Khusus lebih tertuju pada proses dan prosedur khusus bagi tersangka/terdakwa, serta pembinaan dan perlakuan yang khusus bagi narapidana, daripada pembentukan delik-delik khusus. Bagaimanakah  hal-hal di atas disikapi oleh pemerintah Belanda dalam Hukum dan Undang-Undang Pidananya, perlu dicermati secara lebih mendalam.

B.     Perubahan dan Struktur Hukum Pidana
Perubahan terhadap Undang-Undang Hukum Pidana sebenarnya merupakan keniscayaan, sebagai konsekuensi dinamika vertikal dan  horizontal. Dinamika vertikal yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia yang mengharuskan diadakannya penyesuaian-penyesuaian daam bidang Hukum Pidana antara lain:
(1)   Amandemen Konstitusi, yang menyebabkan timbulnya amanat perlindungan yang baru melalui mekanisme Hukum Pidana. Misalnya diintrodusirnya berbagai ketentuan tentang perlindungan dan pernghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2)   Perubahan Undang-Undang lain yang menyangkut kepentingan sektor pebangunan tertentu yang membutuhkan perlindungan dari segi Hukum Pidana, seperti sektor: (1) pembangunan politik, keamanan dan pertahanan, (2) pembangunan ekonomi dan industi, (3) pembangunan sumber daya manusia,   (4) pembangunan kemaritiman. Kesemua sector pembangunan tersebut telah memiliki landasan hukunya (sectoral law), tetapi terkadang efektivitasnya sangat perlu ditunjang oleh Hukum Pidana;
(3)   Ratifikasi konvensi-konvensi internasional sebagai upaya untuk mengikuti perkembangan global dan kecenderungan internasional, dengan  harus disesuainya Hukum Pidana Nasional ddengan kecenderungan demikian sebagai konsekuensi menempatkan Indonesia sebagai negara beradab dalam pergaulan bangsa-bangsa. Sekalipun tidak selalu harus diikuti, tetapi penyesuaian dalam bidang Hukum Pidana terkait hal itu sanga diperlukan;
(4)   Perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi dan seni, yang menyebabkan perubahan cara pandang, gaya, dan perilaku hidup individu atau masyarakat, yang pada satu sisi memerlukan proteksi dan tetapi pada sisi yang lain memerlukan pembatasan dari segi Hukum Pidana

Untuk menyikai hal di atas, bagi Hukum Pidana terbuka dua kemungkinan untuk mensikapi hal-hal tersebut, yaitu:
(1)    Mengadakan amandemen terhadap KUHP, seperti yang selama ini telah dilakukan, antara lain: dengan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965,  Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara,  Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 dan lain sebagainya;
(2)    Membentuk Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP dan Undang-Undang Administratif bersanksi pidana, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang  No. 15 Tahun 2003, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dan lain sebagainya, serta  undang-undang administratif pada umumnya;
Sebenarnya kedua pendekatan di atas selain mengandung kelebihan-kelebihan juga kelemahan-kelemahan sekaligus. Perubahan dengan melakukan amandemen KUHP  menyebabkan penambahan delik-delik baru harus dilakukan dalam sistematika yang ada. Hal ini menjadi kelebihan dan sekaligus kelemahanya. Dikatakan kelebihannya karena ketika telah dihimpun dalam satu naskah, Hukum Pidana  akan lebih mudah dipahami dan dipelajari, serta lebih praktis penerapannya. Kekurangannya adalah kadangkala kepentingan yang hendak dilindungi oleh delik-delik baru itu jika tidak terdapat dalam sistematika yang ada, sehingga jika tidak mungkin dibuat bab tersendiri (seperti pembentukan Bab tersendiri Kejahatan terhadap Penerbangan dan Sarana Penerbangan), maka pasal-pasal dimaksud dimasukkan “disisipkan” dalam bab yang paling mendekati yang sebenarnya tidak selalu tepat (seperti tindak pidana penodaan agama ditempatkan dalam Bab tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum).
Sementara itu, pembentukan Undang-Undang Pidana tersendiri, baik Undang-Undang Pidana Khusus atau Undang-Undang Administratif bersanksi pidana, menyebabkan kerapkali terjadi penyimpangan terhadap asas-asas dalam KUHP. Misalnya dengan memperluas subyek tindak pidana sehingga meliputi korporasi dalam banyak undang-undang yang belum memiliki “cantolan” sistemnya dalam KUHP. Pengaturan dari satu undang-undang ke undang-undang yang lain terhadap tindak pidana korporasi kerap berbeda-beda yang menimbulkan kekacauan dalam prakteknya. Begitu pula halnya dengan jenis dan jumlah (strafmaat dan strafsoort) yang tidak sebanding, yang menimbulkan kekacauan sistemik baik dalam ranah teoritis mapun aplikasinya;
Hukum Pidana Belanda umumnya menggunakan pendekatan amandemen, dengan mengadakan penyesuaian yang bukan semata-mata menyisipkan delik-delik baru tetapi juga memperbaiki asas-asas hukum yang berlaku sebagai aturan umum. Misalnya, ketika Hukum Pidana Belanda menerima korporasi sebagai subyek delik, pertama-tama dilakukan dengan meperluas makna “hij die” (barangsiapa) sehingga meliputi pula korporasi. Penambahan delik baru yang ditujukan pada korporasi juga menyebabkan perubahan sistem asas pada KUHP Belanda.
Ketika Indonesia mengambil langkah perubahan dengan membetuk undang-undang di luar KUHP maka pendekatan yang dilakukan untuk memberi “rational respons to crimes” semakin tidak sistemik. Oleh karena itu, tidak diperlukan “evolusi” Hukum Pidana dalam hal ini, melainkan “revolusi” yang mendasar dengan mengkonslidasikan undang-undang di luar KUHP ke dalam sistem KUHP dalam RUU KUHP. Nanti dengan  telah membagi habis kepentingan-kepentingan yang hendak dilindungi dengan Hukum Pidana, sehingga ketika RUU KUHP telah diundangkan, barulah sistem amandemen diterapkan. Oleh karena itu, ketika perubahan dengan model amandemen diterapkan sekarang sedangkan  sebaiknya hal itu dilakukan untuk dua kepentingan:
(1)   Memperbaiki aturan umum yang memuat asas-asas hukum pidana;
(2)   Mengkompilasi tindak pidana-tindak pidana yang selama ini tersebar dalam banyak undang-undang menjadi bagian kepentingan yang dilindungi dalam sistem kodifikasi;
Maka kesulitan-kesulitan akademis perumusannya sangat besar. Perubahan yang dibutuhkan sekarang adalah “mengganti” KUHP peninggalan Belanda dengan “kodifikasi yang lebih baik”, dan barulah kemudian hari perubahan-perubahan lebih lanjut pasca diundangkannya KUHP baru di Indonesia cukup dilakukan dengan mengadakan amandemen kodifikasi tersebut, dan harus dihindari pembentukan Undang-Undang Pidana Khusus
            Pendekatan yang demikian menyebabkan struktur Hukum Pidana pada masa mendatang cukup dibedakan dalam dua kelomok besar, yaitu:
(1)   Hukum Pidana Umum dalam KUHP, yaitu memuat semua tindak pidana yang menyangkut kepentingan asli (original interest) kehidupan masyarakat beradab, sehingga hal itu  merupakan perlindungan norma-norma etis;
(2)   Hukum Pidana Adminitratif, yaitu memuat tindak pidana yang penegakannya tergantung pada konsep dan  instrumen administratif, sehingga merupakan perlindungan norma-norma non etis belaka;
 
Bagaimanakah  hal-hal di atas disikapi oleh pemerintah Belanda dalam Hukum dan Undang-Undang Pidananya, perlu dicermati secara lebih mendalam. Sesungguhnya pembedaan Hukum Pidana yang terakhir di atas, merupakan pendekatan yang telah digunakan dalam Hukum Pidana Belanda, dan seyogianya diikuti di Indoensia.



C.       Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawaban Korporasi
Seiring dengan perkembangan ekonomi, perluasan subyek Hukum Pidana sehingga meliputi suatu korporasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari dimanapun, baik di Indonesia maupun di Belanda. Dalam Hukum Pidana Indoensia telah dilakukan beberapa perubahan yang bersifat parsial dan sporadis berkenaan dengan hal ini. Hal itu menimbulkan  masalah-masalah yang belum mendapatkan pemecahan yang komprehensif dan terukur berkenaan dengan hal ini, yang  dapat dibedakan kedalam beberapa kelompok persoalan, yaitu:
(1)   Masalah penentuan apakah suatu perbuatan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh individu atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Misalnya, dalam perkara dugaan korupsi yang dalam proyek bioremediasi PT. CHVERON PACIVIC INDONESIA yang memandang peristiwa tersebut seolah-olah sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh individu dan bukan korporasinya. Seharusnya perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, menyebabkan tindak pidana itu bukan tindak pidana yang dilakukan seseorang dalam kapasitas individunya, tetapi harus dipandang sebagai tindak pidana korporasi;
(2)   Masalah penentuan siapakah dari  pengurus korpoasi yang seharusnya dipertanggungjawakan karena suatu tindak pidana korporasi. Misalnya, dalam perkara tindak pidana dibidang perpajakan yang dilakukan oleh PT. ASIANG AGRI GROUP justru yang dipertanggungjawabkan hanya tax manager dan bukan direksinya. Tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi tetapi keuntungan hal itu sepenuhnya dinikmati oleh korporasi itu, seharusnya dipertanggngjawabkan kepada direksinya ;
(3)   Masalah penentuan sanksi pidana yang paling tepat terhadap tindak pidana korporasi. Misalnya, dalam tindak pidana di bidang kehutanan yang dilakukan oleh PT. BUKIT KENDI, pidana dijatuhkan berupa pidana badan (pidana penjara) kepada Direktur Utama yang sedang menjabat ketika perkara disidik, dituntut dan diadili, dan membebasakan Direktur Utama yang justru menjabat ketika tindak pidana mulai dilakukan, dengan alasan bahwa tindak pidana ini adalah tindak pidana korporasi. Demikian pula pidana badan dijatuhkan terhadap Direksi PT. INDONSAT M2 dan PT. MERPATI NUSANTARA, padahal yang seharusnya dipidana adalah korporasi itu sendri, karena pada pengurus itu sebenarnya mereka itu hanya menjalankan bisnis yang sejalan dengan Anggaran Dasar korporasi itu tanpa ultra vires. Sesungguhnya pidana yang seharusnya dijatuhkan hanyalah pidana denda bagi korporasinya.

Pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada adanya kewajiban pada setiap korporasi untuk mengambil jarak sejauh mungkin dengan terjadinya tidak pidana, dan jika kewajiban ini dilalaikan maka korporasi dapat dicela karena suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dapat diminta apabila korporasi tidak menjadikan dapat dihindarinya tindak pidana sebagai bagian kebijakannya menjalankan kegiatan/usahanya. Pertanggungjawaban pidana korporasi dipandang memenuhi syarat apabila suatu korporasi dalam kenyataanya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tingkat pengamanan dalam mencegah dilakukannya tindak terlarang oleh “pengurus”, “pegawai” atau “orang-orang yang dapat dipersamakan dengan hal itu”.
Pertanggungjawaban Pidana  Korporasi hanya dapat dilakukan apabila ada kaitan erat proses pengambilan atau pembentukan keputusan didalam suatu korporasi dengan tindak pidana yang terjadi. Pertanggungjawaban Pidana korporasi cukup ditandai oleh kenyataan bahwa tindak pidana terjadi karena bersumberkan atau terkait pada cara pengelolaan usaha/keputusan korporasi.
Dalam hal tindak pidana dilakukan pengurus “untuk” suatu korporasi perbuatannya diletakkan dalam konstruksi “penyertaan” (deelneming) antara korporasi dan pengurusnya, sehingga pertanggungjawabannya berdasar kepada kesalahan (liability base on fault) pengurusnya dan kesalahan pengurus dipandang sebagai kesalahan korporasi. Sedangkan dalam hal tindak pidana dilakukan pengurus korporasi “atas nama” suatu korporasi maka pebuatannya diletakkan sebagai perbuatan korporasi secara“vicarious liability crime”, karenanya pertanggungjawabannya secara “strict” tanpa lebih jauh memperhatikan kesalahannya. Sementara itu, dalam hal tindak pidana dilakukan pegawai korporasi atau orang yang dapat dipersamakan dengan pegawai korporasi “untuk dan/atau atas nama” suatu korporasi maka perbuatannya dipandang sebagai perbuatan “pengurus” dan “korporasi” berdasar konstruksi “vicarious liability crime.”
Kesemua hal-hal di atas, memerlukan pendalaman melalui bagaimana hal itu diatur dalam Hukum Belanda. Diharapkan dengannya perumusan norma-norma tindak pidana, pertanggungjawaban dan pemidanaan korporasi yang dapat diterapkan lebih akurt dan fairness dapat ditemukan, guna menyempurnakan pengaturan yang ada di RUU KUHP. 

D.    Hukum yang Hidup (living law)
Living Law merupakan istilah yang pertama kali digunakan secara sadar oleh Engen Ehrlich. Dalam konteks RUU KUHP masalah keberadaan living law (Hukum Adat dan Hukum Agama) menjadi kembali mengemuka.  Pada masa kolonisasi hal itu tidak mendapatkan tempat yang begitu banyak, karena sistem hukum civil law system-lah yang diberlakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu.  Akibatnya pribumi diperlakukan secara tidak adil dimata hukum, mengingat seolah-olah semua orang dipaksa untuk tunduk kepada Hukum Positif, dan diarahkan untuk meninggalkan hukum asli banga Indonesia.
Dilihat dari segi ini kemungkinan besar tidak terdapat informasi yang memadai di Negeri Belanda tentang bagaimana bangsa itu memperlakukan living law masyarakatnya. Memang dalam konteks kekinian living law mengalami goncangan yang begitu besar di era globalisasi saat ini, goncangan tersebut dikerenakan terjadi perubahan-perubahan didalam masyarakat, yang meliputi pelbagai aspek kehidupan baik itu Ekonomi, sosial, maupun budaya, sehingga keberadaannya terasa semakin pudar, \ tak terurus lagi dan dirasakan kuno.
Bagi Bangsa Indonesia, keberadaaa living law tentu tidak selalu relevan jika dihadapkan pada fenomena globalisasi jika hukum selalu dipandang sebagai state law. Namun demikian, kenyataan  kemajemukan masyarakat  Indonesia, menyebakan pendekatan Hukum Positif dirasakan terlalu “sesak” dan “membelenggu” dalam melihat fenomena hukum yang ada. Pencasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia memiliki kedudukan superior dibanding peraturan perundang-undangan, dan hal itu tidak perlu lagi dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dengan terang-terangan yang dilandasri dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian, harus dibangun suatu norma peraturan perundanng-undangan yang menentukan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum tertulis inferior atas  hukum tidak tertulis.
Living law dalam kaitannya dengan perkembangan globalisasi dapat ditempatkan sebagai “filter” diintroduksinya gaya hidup, sikap pandang, prilaku  sosial individu bahkan masyarakat, yang keluar dari  batas, kebudayaan dan/atau transaksi kebudayaan dari kebudayan masyarakat Indoensia. Dalam hal ini Hukum Pidana diharapkan akan mempengaruhi perilaku individu dan secara global akan turut mempengaruhi watak masyarakan dan bangsa.
Era globalisasi setiap individu mempunyai tiga peranan utama yang saling berkaitan,  yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, dan sebagai sarana untuk menciptakaan keadaan tertentu. Dalam hal ini Hukum Pidana digunakan untuk mempengaruhi sikap dan prilaku individu sehingga dapat memainkan peran yang demikian. Kadangkala penekatan hukum positif saja tidak akan mampu melaksanakannya, sehingga diperlukan living law sebagai acuan dalam pengaturannya.

E.     Bentuk-bentuk tindak pidana administratif yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi  (illegal logging, illegal fishing  dan illegal mining  fishing)
Bentuk-bentuk tindak pidana baru, sekalipun berangkat dari tindak pidana adminitratif perlu mendapat perhatian serius, utamanya karena kerugian ekonomi yang sangat besar dan dampak dari tindak pidana itu yang menyangkut international interst. Artinya, secara nasional dan internasional akibat tindak pidana administratif itu cenderung mempunyai daya rusak yang lebih tinggi daripada generic crime  pada umunya.
Ilegal fishing misalnya, menurut pemerintah mencapai hingga 20 Milyar USD per tahun merupakan angka yang sangat fantastif. Dana sebesar itu sangat diperlukan dalam pembangan di sector pembangunan sumber daya manusia, khsusunya subsektor pendidikan da kesehatan, serta pembangunan sector-sektor lain. Demikian pula dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat illegal mining dan illegal logging dimana antara tahun 2002 sampai dengan 2012 saja, per tahunnya Indonesia kehilangan 6. 020.000 hektar per tahun. 
Perlu terobosan penting berkenaan dengan penanggulangan tindak pidana ini. Boleh jadi Belanda mempunyai pengalaman yang sangat baik untuk diikuti oleh Indonesia. Persoalan mendasar yang perlu mendapatkan jawaban segera mengenai hal ini adalah, apakah pendekatan terhadap masalah ini yang menempatkan Hukum Administrasi sebagai primum remedium dan menempatkan Hukum Pidana sebagai ultimum remedium adalah langkah yang erlu dikaji ulang atau jusru tetap dipertahankan. Artinya, apakah sejauh ini kebijakan legislatif (legislative policy) menempatkan masalah ini sebagai delik adminitratif telah cukup mampu mengendalikan aktivitas ilegal itu, atau justru diperlukan langkah yang lebih keras lagi.
Salah satu cara yang sebaiknya digunakan dalam membawa persoalan ini ke dalam ranah kebijakan yang lebih serius adalah membuka tindak pidana-tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana dengan yurisdiksi internasional (international jurisdiction). Artinya, illegal fishing bukan hanya dimaknai sebagai  tindak pidana pidana terhadap pencurian ikan di Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera asing, tetapi juga ketika kapal-kapal Indonesia melakukannya di luar wilayah perairan Indonesia. Hal ini juga berdampak bahwa ketika apparat penegak hukum Indonesia gagal melakukan penindakan terhadap plaku illegal fishing, maka penegak hukum negara lain yang juga menyatakan hal itu sebagai tindak pidana dapat menindaknya.

Langkah ini tentu beresiko adanya Warga Negara Indonesia  atau kapal berbendera Indonesia yang akan ditindak di luar negeri jika melakukan perbuatan yang merugikan suatu Negara, tetapi pada sisi lain dengan mutual legal assistance lepas dari jerat hukum di Insonesia bukan berarti lepas dari pertanggungjawaban bagi pelaku illegal fishing dimanapun dia berada. Sepertinya pendekatan ini belum menjadi norma dalam RUU KUHP. Apabila  kebijakan ini yang diambil, maka illegal fishing tidak lagi menjadi delik administratif, tetapi harus menjadi geneneric crime. Undang-Undang Perikanan dan Undang-Undang Zona Ekonomi Ekslusif  tinggal menjadi sumber penafsiran norma, dan bukan lagi menjadi instrument yang harus diterapkan lebih dulu.
            Begitu pula halnya dengan illegal logging dan illegal mining  harus dijadikan delik dengan international jurisdiction.  Negara-negara yang opelaku ekonominya ikut menampung hasil kejahatan ini akan “terpaksa” menerapkan sanksi yang lebih tegas, jika kelakuan demikian lolos dari jerat hukum di Indonesia, karena notabene pelakunya da di luar negeri. Dengannya menyebabkan RUU KUHP selain mengatur Hukum Pidana Nasional, juga memberi landasan bekerja Hukum Pidana di negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi di Indonesia dan dampaknya timbul di negara lain.
  
F.     Masalah Pidana Mati  
            Eksekusi terpidana mati yang baru-baru ini terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK menyita perhatian semua kalangan, dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai pusat perhatian duania, dikaitkan dengan issue hak asasi manusia. Sebenarnya jika Hukum Pidana ditempatkan sebagai symbol of sovereginity, maka tekanan, kritik, pertanyaan dari banyak kalangan dalam dan luar negeri, negara-negara yang warga negaranya ikut dikesekusi ataupun dari lembaga-lembaga internasional, termasuk Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat dengan mudah diabaikan. Namun demikian, dalam konteks ini, masalah Pidana Mati di Indonesia bukan dipandang sudah selesai, dengan ditolaknya berbagai permohonan uji materiel terhadap undang-undang yang didalamnya mencantumkan pidana mati oleh Mahkamah Konstitusi. Masih terdapat sejumlah persoalan yang sebenarnya masih relevan dipersoalkan dan diperbandingkan dengan negera lain, tetapi tidak termasuk dengan Hukum Belanda, karena  Belanda telah menghapuskan pidana mati sejak tahun 1870.
Legal Policy bangsa Indonesia tidak mengadakan “perubahan” atas perundang-undangan  peninggalan kolonial yang menggunakan pidana mati. Legal policy bangsa Indonesia justru meningkatkan (menambah) jumlah penggunaan pidana mati dalam perundang-undangan. Sementara itu, Criminal policy bangsa Indonesia menggunakan pidana mati baik terhadap tindak pidana (murni) maupun tindak pidana administratif. Criminal policy bangsa Indonesia misalnya mengancamkan pidana mati untuk tindak pidana korupsi, terorisme dan illegal traffic drugs. Korupsi adalah “property crime” karenanya harus berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan/perekonomian negara. Terorisme adalah “political crime” karenanya sangat tergantung dari perspektif rezim yang berkuasa. Perdagangan Ilegal Narkoba adalah “administrative crime” karenanya sanksinya hanya sejauh upaya membuat hukum administratif ditaati dan tidak boleh sampai merampang nyawa orang.
Sementara itu, penalpolicy Menghapuskan pidana mati secara de facto dari beberapa tindak pidana yang terdapat dalam perundang-undangan kolonial, misalnya terhadap terpidana makar (ingat kasus tokoh-tokoh eks G30S/PKI atau kasus Xanana). Tetapi pada sisi lain meningkatkan penjatuhan pidana mati terhadap illegal traffic of drugs (mislnya Duo Bali Nine) dan terorisme (misalnya kasus Amrozi dkk), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (seperti Fabianus Tibo dkk).
Secara internasional perlu disadari terjadi kecenderungan meningkatnya penghapusan pidana mati dalam perundang-undangan di berbagai negara:
(1)   Tahun 1965 hanya 12 negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk semua tindak pidana (Kolombia (1910), Costa Rica (1877), Ecuador (1906), Republik Federal Jerman (1949), Honduras (1956), Iceland (1928), Monaco (1962), San Marino (1865), Uruguai (1907), Venezuela (1863), Argentina (1921), Brazil (1882)); dan 11 negara yang menghapuskan pidana mati untuk tindak pidana tertentu (Austria (1950), Denmark (1930), Finland (1949), Israel (1954), Italy (1947), Belanda (1870), Selandia Baru (1961), Norwegia (1905), Portugal (1867), Swedia (1921) dan Swis (1942)
(2)   Tahun 1988 terdapat 35 negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk semua tindak pidana dan 18 negara menghapuskan pidana mati untuk tindak pidana tertentu (jumlah negara 180)
(3)   Tahun 1995 terdapat 58 negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk semua tindak pidana dan 14 negara yang menhapuskan pidana mati untuk tindak pidana tertentu (jumlah negara 191);
Dan terdapat Kecenderungan menurunnya jumlah negara yang mempertahankan pidana mati dalam perundang-undangannya:
(1)   Tahun 1988 terdapat 101  negara atau 56% yang tetap mempertahankan pidana mati (jumlah negara 180);
(2)   Tahun 1995 terdapat 90 negara atau 47% yang mempertahankan pidana mati (jumlah negara 191);
Bagi Indonesia, ketika penggunan pidana mati dalam Hukum Pidana dipertahankan sebagai national policy, maka sejumlah persoalan seharusnya ditelaah kembali, yaitu:
(1)   Penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit yang masih belum memiliki acuan yang memungkinkan hal itu dilakukan secara terukur dan non disparity. Ketika dalam RUU KUHP telah diintrodusir “pedoman penjatuhan pidana penjara”, maka untuk kedepannya perlu dibuat “pedoman penjatuhan pidana mati”, antara lain memuat ketentuan:
a.       Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang baru pertama kali melakukan tindak pidana (first offender) yang diancam dengan pidana mati;
b.      Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang memiliki alasan apapun yang dapat meringankan baginya, baik karena perbuatannya, kesalahannya, atau karena hal-hal lain diluar hal itu;
c.       Pidana mati tidak dijatuhkan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana karena dirinya sendiri menjadi korban dari tindak pidana yang dilakukan pihak lain;
(3)   Pelaksanaan (eksekusi) pidana mati terhadap terpidana-terpidana tertentu harus ditunda, antara lain apabila diterui keadaan-keadaan tertentu, antara lain:
a.       Pidana mati ditunda pelaksanaannya terhadap terpidana yang sedang mengajukan Peninjauan Kembali, kecuali untuk yang kedua dan seterusnya;
b.      Pidana mati ditunda pelaksanaannya terhadap terpidana yang belum mengajukan peninjauan kembali dalam waktu tenggang waktu lima tahun dan tidak lebih dari sepuluh tahun, sejak putusan yang menjatuhkan pidana itu berkekuatan hukum tetap;
c.       Pidana mati ditunda pelaksanaanya jika menurut pertimbangan Jaksa Agung atas perintah Presiden, pelaksanaanya tidak berguna bagi kepentingan umum, atau bertentangan dengan kepentingan nasional;