23 Maret 2018

Keterangan Ahli Tentang Konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d, sepanjang istilah “penahanan”, Pasal 11 sepanjang kalimat “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Oleh:

Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)


Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Kontitusi,
Yang Terhormat Pemohon dan/atau Kuasanya,
Yang Terhormat Pihak Pemerintah dan DPR RI,
Yang Terhormat Pihak Terkait,
Hadirin sekalian Yang Berbahagia.

Perkenankanlah saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana mengemukakan pandangan-pandangan berkaitan dengan keahlian saya, dalam persidangan  pengujian undang-undang ini. Mengingat pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya, merupakan bagian norma yang mengatur Sistem Peradilan Pidana, sehingga termasuk bidang keahlian saya.
Menurut hemat saya, permohonan judicial review No. 4/PUU-XVI/2018, ini menyangkut kewenangan Penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP  melakukan “penahanan” terhadap Tersangka. Persoalan pokoknya terkait dengan kenyataan bahwa penahanan merupakan pengurangan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan, yang didalilkan Pemohon seharusnya hanya menjadi kewenangan Hakim, dan bukan kewenangan Penyidik, atau setidak-tidaknya kalaupun hal itu diberikan kepada Penyidik, maka kewenangan itu hanya dapat digunakan atas izin Hakim. Terhadap persoalan ini, sebagaimana Keterangan Ahli yang pernah saya sampaikan dalam persidangan pengujian undang-undang lainnya, perkenankanlah saya mengemukakan pandangan-pandangan seputar masalah tersebut, terutama  dengan mengkaitkannya dengan  asas-asas hukum pidana dan acara pidana.

Kewenangan Penahanan  oleh Penyidik dan Asas Legalitas
Masalah “penahanan” memang berada dalam dua ranah, yaitu ranah “norma” dan ranah “pelaksanaan” dari norma tersebut. Berkenaan yang pertama, yaitu masalah norma hukum terkait dengan penahanan, persoalan konstitualitasnya menjadi domain Mahkamah Konstitusi, tetapi mengenai masalah yang kedua, tentu terkait keabsahan tindakan pejabat yang melakukan penahanan, pengujian validitasnya merupakan domain Praperadilan di Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, pertama-tama yang harus didudukkan dalam perkara permohonan uji materil ini,  harus dipastikan  benar bahwa yang dipersoalkan adalah norma hukum tentang penahanan, dan bukan masalah praktek hukum dimana penahanan yang diduga dilakukan secara  sewenang-wenang. 
Norma hukum terkait dengan penahanan berhubungan dengan masalah penegakan hukum pidana (law enforcement), dan sekaligus terkait pula dengan masalah perlindungan civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom dalam negara demokrasi. Dengan demikian, norma hukum berkenaan dengan penahanan sebagai bentuk pengurangan hak (proses) akan kebebasan, harus dilengkapi dengan mekanisme perlindungan hak (prosedur), dalam rangka memastikan bahwa setiap tindakan penahanan  masih dalam kerangka penegakan  rechtsstaat (rule of law). Prosedur ini merupakan  “the procedural guarantees”, yang diperlukan untuk “menjamin” bahwa tindakan penahanan   tidak lebih banyak lagi merusak hak atas kebebasan itu sendiri,  yang keberadaannya telah dijamin dalam negara demokratis.
Berdasarkan di atas, persoalan konstitusionalitasnya kemudian terletak pada kenyataan dimanakah norma terkait penahanan tersebut diatur, mengingat Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengisyaratkan bahwa hanya undang-undang yang dapat mengurangi kebebasan, untuk “memenuhi tuntutan yang adil… sesuai dengan pertimbangan… ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Dengan demikian, right to freedom dalam negara demokrasi dapat dikurangi sepanjang pengurangan itu ditentukan dalam undang-undang. Pengaturan penahanan dalam undang-undang merupakan wujud dari pertimbangan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, dalam rangka penegakan hukum. 
Berangkat dari hal di atas, kemudian pembentuk undang-undang menentukan dalam UU No. 8 Tahun 19981 (KUHAP) perihal kewenangan penahanan dimaksud. Hal ini menyebabkan proses dan prosedur dalam  penegakan hukum, terkait dengan penahanan, telah dilakukan dalam undang-undang. Dalam Hukum Pidana bahkan hal ini menjadi asas penting, dikenal dengan  asas legalitas, baik yang ditentukan dalam Hukum Pidana Materil, yang mempersyaratkan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat diadakan dengan undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, maupun dalam Hukum Acara Pidana keharusan untuk menyelenggarakan  peradilan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 KUHAP. Dalam hal ini, pengaturan mengenai penahanan bersifat konstitusional, jika ditentukan bahwa hal itu hanya dilakukan terhadap mereka yang disangka/didakwa melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam undang-undang (tindak pidana) tertentu, dan dilakukan dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.  Hukum  Pidana dan penegakannya seperti dikatakan Baker, seharusnya menjadi manifestasi perlindungan  “the right is not only  about having freedom do as one choose so long  as its does not wrong others,  but also about not being subjected to harmful consequences that flow from unfair criminalization” (Baker, 2001: 2).
Proses dan prosedur penahanan yang diatur memiliki sifat lex scripta, lex stricta, dan lex certa, sehingga tekanan konstritusionalitasnya disini terutama pada keharusan normanya dimuat dalam hukum tertulis, diatur hanya dapat diterapkan dengan persyaratan yang ketat, dan dirumuskan dalam ketentuan yang tidak multitafsir. Oleh karena itu, dilihat dari segi ini apakah “penahanan” yang notabene mengurangi hak akan kebebasan itu, dilakukan oleh Hakim, atau aparatur peradilan lainnya, semisal Penyidik atau Penuntut Umum, sama sekali bukan persoalan konstitusionalitas norma. Sepanjang dilakukan oleh pejabat yang “diberi wewenang” oleh undang-undang, siapapun itu, dan dilengkapi dengan prosedur tertentu sehingga dapat sejauh mungkin menghindari kesewenang-wenangan, maka pengaturan yang demikian sah dalam rechtsstaat (rule of law) atau konstitusional.
Berdasarkan hal di atas, apakah penahanan itu menjadi kewenangan Hakim, atau juga menjadi kewenangan pejabat peradilan lainnya, seperti Penyidik atau Penuntut Umum sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Hal itu merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy), yang tidak dicampuri Konstitusi. Pembentuk undang-undang (KUHAP) memilih untuk bukan saja memberikan kewenangan itu kepada Hakim, tetapi juga kepada Penyidik dan Penuntut Umum. Boleh jadi hal ini merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk memastikan peralihan dari sistem Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) menjadi sistem KUHAP berlangsung secara evolusioner.
Dalam hal pembentuk undang-undang menghendaki, dapat saja  sistem penahanan yang diatur dalam KUHAP tersebut diganti, dengan hanya memberikan kewenangan penahanan kepada Hakim atau setidak-tidaknya jika Penyidik diberikan kewenangan untuk menahan maka hal itu hanya dapat dilakukan atas izin Hakim, seperti konsep habes corpus di negara-negara common law. Akan tetapi tidak juga mengapa jika sekarang dan pada masa mendatang tetap dipertahankan sistem yang memberi kewenangan penahanan kepada Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim. Berkenaan dengan kewenangan Penyidik seperti yang sebagian ditentukan dalam  Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, berdasarkan konsepsi di atas, tidak ada sama sekali masalah  konstitusionalitasya dalam hal ini.

Penahanan oleh Penyidik, antara Atribution Power atau Unauthorized Discretion
Perlindungan terhadap  civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom, bukan berarti tidak dapat dikurangi, dengan  adanya pembatasan-pembatasan, termasuk diantaranya pengenaan penahanan, sepanjang dilakukan dengan undang-undang. Terhadap siapakah kewenangan penahanan tersebut diberikan, sepenuhnya merupakan domain pembentuk undang-undang. Apakah hal itu hanya diberikan kepada Hakim, atau juga kepada Penyidik dan/atau Penuntut Umum, merupakan pilihan-pilihan yang dapat ditentukan oleh pembentuk undang-undang sendiri, dengan memperhatikan berbagai aspek. Aspek historis, yaitu keharusan untuk membuat hukum berkesinambungan dari sistem HIR menuju kepada sistem KUHAP, atau aspek geografis yaitu keharusan untuk mempertimbangkan keluasan wilayah penegakan hukum (area law enforcement) yang tidak memungkinkan pengadilan berada di setiap pelosok, ataupun aspek pragmatis, yaitu keharusan memperhatikan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, tentunya merupakan parameter penting untuk menentukan kepada siapakah kewenangan melakukan penahanan tersebut diberikan.
Pemberian kewenangan melakukan penahanan kepada penyidik, setidaknya seperti yang ditentukan dalam   Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, merupakan pemberian kewenangan atributif (atribution power) yang diberikan pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang memberikan Penyidik kewenangan yang bersifat fakultatif, yang digunakan dalam keadaan yang benar-benar perlu. Asas  penggunaan kewenangan penahanan adalah, “non arrested is principle, and arrested is exception.” Oleh karena itu, penggunaan kewenangan penahanan berdasar prinsip  ini tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalime, terkait dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bukankah ketika Konstitusi berbicara masalah “kekuasaan kehakiman”, diakui pula “badan-badan lain yang fungsinya  berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.  Polri sebagai pengemban fungsi Penyidikan merupakan satu diantara badan-badan lain dimaksud, sehingga pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan yang diatur dalam KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, merupakan wewenang atribusi yang konstitusional.
Begitu pula ketika  gagasan “legal certainty” dan “equality before the law” diintrodusir dalam penegakan hukum, bersandar pada Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka tidak berarti hal itu merupakan “monopoli” pemegang kekuasaan kehakiman. Penahanan yang dilakukan Penyidik, atas dasar prinsip “non arrested is principle, and arrested is exception”, tidak berarti tidak mengakui, menjamin, dan melindungi “legal certainty” dan “equality before the law” yang menjadi hak setiap orang. Toh, Hakim di pengadilanpun menggunakan prinsip “non arrested is principle, and arrested is exception”, dan penahanan bukan “kewajiban” bagi Hakim.
Sama sekali merupakan logika yang absurd, jika ketika kewenangan melakukan penahanan diberikan hanya pada Hakim, sehingga  seolah-olah Penyidik tidak boleh diberi kewenangan tersebut, maka apa artinya Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Bukankah hal ini merupakan isyarat bahwa Kekuasaan Kehakiman tidak dapat “sendiri” menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, tetapi perlu sekali diadakan sharing power dengan badan-badan lain, termasuk institusi pengemban fungsi penyidikan, untuk melaksanakan tugas konstitusional tersebut. Selain itu, juga merupakan logika yang dangkal jika pengakuan, jaminan dan perlindungan setiap orang sehingga mendapatkan “legal certainty” dan  perlakuan “equality before the law”, hanya dapat diwujudkan oleh Hakim, sehingga penahanan hanya menjadi wewenangnya. Seolah-olah Penyidik tidak    mengakui, menjamin dan melindungi  kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum, sehingga tidak dapat diberikan kewenangan penahanan.
 Berdasarkan, common law system dengan habes corpus, yang membuat penahanan oleh Penyidik hanya dapat dilakukan oleh Hakim, sebatas pada persoalan teknis untuk memastikan bahwa penahanan oleh  Penyidik telah memperhatikan aspek rechtmatig dan doelmatig. Pada hakekatnya hal ini merupakan pilihan-pilihan pengaturan saja, untuk menghindari penggunaan diskresi yang tidak sah (unauthorized discretion).
Selain itu, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, yang dalam sistem KUHAP dapat dilakukan tanpa izin/persetujuan Hakim, tidak dapat diperbandingkan dengan keharusan Penyidik mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Tidak “apple to apple” perbandingan tersebut, karena perlakuan terhadap benda yang tidak mempunyai kehendak sendiri tidak dapat disebandingkan dengan  perlakuan terhadap Tersangka/Terdakwa, yang pada dasarnya mempunyai free will. Selain itu, hak asasi juga yang memungkinkan seseorang “mempunyai kekuasaan penuh” terhadap dirinya sendiri, sedangkan benda sitaan memungkinkan dimiliki oleh  pihak-pihak yang tidak terkait dengan suatu tindak pidana yang dipersangkakan/didakwakan terhadap Tersangka/Terdakwa.
Penahanan oleh Penyidik dan  Mekanisme Pengendaliannya (Control Mechanisme)
Skolnick menyatakan, dalam negara demokrasi, akan selalu terjadi konflik antara norma-norma yang diperlukan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dan mekanisme pertanggungjawabannya atas dasar prinsip  rechtsstaat (rule of law), yang menjadi dasar yang membenarkan berbagai kewenangan Polisi melaksanakan hal itu (Skolnick: 166:17). Tentunya sinyalemen Skolnick tersebut termasuk masalah norma hukum berkenaan dengan penahanan yang ditentukan dalam KUHAP dalam hal ini. Dengan  demikian, konstitusionalitas penahanan bukan ditentukan oleh dalam hal bagaimana dan menurut cara seperti apa Penyidik melakukan penahanan, tetapi terletak pada apakah norma undang-undang yang mengatur masalah penahanan menyebabkan tindakan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip  rechtsstaat (rule of law).
  Pengaturan mengenai penahanan oleh Penyidik, apakah konstitusional atau tidak, dapat dilihat dari mekanisme pengendalian (control mechanisme), yang disediakan KUHAP. Oleh karena itu, konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d,  Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP harus dikaitkan dengan pengaturan terkait hal itu dalam ketentuan lainnya, terutama yang memastikan adanya pengendalian yang komprehensif mengenai hal ini. Baik oleh Penyidik sendiri (self control), pengendalian oleh aparatur sistem peradilan pidana lainnya (horizontal control), mapun pengendalian oleh pengadilan (judicial control). Hal inilah yang membedakan  kewenangan penahanan oleh Penyidik menurut KUHAP dengan sistem lama dalam HIR.
Sekalipun KUHAP seperti juga HIR memberikan kewenangan kepada Penyidik melakukan penahanan, tetapi pengaturannya sangat jauh berbeda. Dalam hal ini pengaturan KUHAP berkenaan dengan penahanan telah  sungguh-sungguh memberikan perlindungan civil rights, yang termasuk diantaranya  right to freedom  dalam negara demokrasi. Konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP tidak dapat semata-mata dilihat dari ketentuan pasal-pasal tersebut, tetapi harus dihubungkan dan dikaitkan dengan pengaturan lainnya dalam KUHAP. Memang benar Penyidik (dan Penuntut Umum) diberi kewenangan mengurangi hak atas kebebasan dengan penahanan, tetapi prosedur yang ditentukan dalam KUHAP cukup menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Hal ini setidaknya terlihat dari tiga hal. Pertama, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dihubungan dengan ketentuan tentang tenggang waktu penahanan yang relatif terbatas, yang menyebabkan institusi Penyidik “mengendalikan sendiri” terhadap perintah-perintah penahanan yang dikeluarkannya. Dalam hal ini penahanan yang dapat dilakukan Penyidik ditentukan secara limitatif, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 KUHAP. Berbeda dengan HIR yang memberi keleluasaan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan tanpa batas waktu.
Administrasi penyidikan, yang diantaranya berupa tenggang waktu dilakukannya penahanan yang dinyatakan dengan tergas dalam surat-surat perintah untuk melakukan penahanan, dengan sendirinya menjadi sarana pengendali “atasan” Penyidik terhadap pelaksanaan penahanan yang dilakukan “bawahannya”. Hal ini merupakan satu diantara sekian banyak mekanisme self control terhadap penahanan menurut KUHAP, yang tidak ditemukan dalam HIR.
Selain itu, juga merupakan self control penahanan, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dikaitkan dengan prosedur, dalam hal dan dengan cara bagaimana, penahanan dapat dilakukan oleh Penyidik. Penyidik dapat melakukan penahanan, ketika memiliki alasan subyektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun alasan obyektif (Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Alasan-alasan ini menjadi bagian yang paling diperhatikan ketika proses berlangsung oleh berbagai elemen di instansi Penyidik, seperti ketika diadakan “gelar perkara”.
   Alasan subyektif melakukan penahanan adalah dalam hal adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Hanya saja, karenai istilahnya (alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini kerap dipandang ada atau tidak tergantung pada subyektifitas penyidik, atau sering dipandang telah ada tanpa ukuran-ukuran yang objektif. Padahal ukuran objektif dari alasan subyektif ini juga telah tercermin dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan  dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”
Dalam hal ini  “berdasarkan bukti yang cukup” seharusnya bukan saja digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya alasan objektif, tetapi juga digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya alasan subjektif. Artinya penahanan dilakukan terhadap Tersangka/Terdakwa yang “berdasarkan bukti yang cukup” diduga keras melakukan tindak pidana, dan Tersangka/Terdakwa itu “berdasarkan bukti yang cukup” pula  adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana”. Dengan demikian, “bukti yang cukup” Tersangka/Terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi tindak pidana bukan suatu hal yang tergantung pada subjektifikas Penyidik semata. Misalnya, sebagai seseorang yang akan melarikan diri ke luar negeri, tersangka/terdakwa masih memiliki visa atau mengajukan visa ke negara tertentu. Demikian pula jika ternyata yang bersangkutan telah bersiap melakukan perjalanan jauh, seperti menyiapkan tiket perjalanan ataupun sejumlah uang. Begitu seterusnya, yang pasti “bukti yang cukup” untuk melarikan diri dan seterusnya itu telah benar-benar ada.
Berdasarkan hal di atas, sungguh pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan penahanan bukan suatu “blank check”, melainkan prosedur yang cukup ketat, yang dapat dikontrol sendiri oleh instansi penyidik.  Hal ini perlu diatur tidak lain dalam rangka  perlindungan civil rights, berupa hak atas kebebasan, yang  dengan adanya penahanan  dirancang dengan  prosedur  ketat sebagaimana  ditentukan dalam KUHAP, sehingga  cukup menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Kedua, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, yang diberikan  dalam tenggang waktu yang relatif terbatas,  dapat dilanjutkan oleh Penuntut Umum karena kewenangannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 KUHAP, dan dalam keadaan tertentu dapat diperpanjang oleh Hakim, sebagaimana dimaksud dalam 29 KUHAP. Dalam hal ini, alasan-alasan penahanan yang dijadikan dasar oleh Penyidik akan dikaji ulang ketika Penuntut Umum atau Hakim melaksanakan kewenangannya melakukan penahanan. Kewenangan yang bersifat fakultatif ini memungkinkan Penuntut Umum dan/atau Hakim bersikap berbeda dengan Penyidik terkait dengan penahanan, sehingga horizontal control sesama aparat peradilan pidana juga sebagai sarana untuk memastikan  perlindungan civil rights, berupa hak atas kebebasan, dan menjamin dapat dihindarinya kesewenang-wenangan.
Ketiga, kewenangan Penyidik melakukan penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d,   Pasal 11, dan  Pasal 20 ayat (1) dan (2) KUHAP, dikaitkan dengan Pasal 77 KUHAP yang telah menentukan bahwa penahanan yang dilakukan oleh Penyidik (dan Penuntut Umum) dapat diuji keabsahannya melalui permohonan Praperadilan. Hal ini merupakan mekanisme kontrol dari Hakim (judicial control) terhadap Penyidik dalam menggunakan kewenangannnya itu, sehingga dapat dipastikan bahwa hal itu dilakukan atas dasar prinsip rechtsstaat (rule of law)
Dalam negara demokrasi, tidak boleh ada kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, termasuk kekuasaan (baca kewenangan) Penyidik untuk melakukan penahanan. Sekalipun sistem yang dianut KUHAP memberikan kewenangan ini kepada Penyidik, dan untuk pelaksanaannya Penyidik tidak memerlukan izin Hakim, tetapi bukan berarti pelaksanaan kewenangan ini tidak dalam kontrol Hakim.  Memang dalam hal ini, “semua penahanan yang dilakukan Penyidik (dan Penuntut Umum) adalah sah, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh Hakim Praperadilan. Dengan demikian, penahanan oleh Penyidik (dan Penuntut Umum) didasarkan pada asas praduga sah. Asas ini dimaksudkan untuk mengefisiensikan sistem peradilan pidana.
Pada dasarnya dengan undang-undang (KUHAP) kewenangan Penyidik melakukan penahanan diasumsikan “sah” karena dilakukan dengan mekanisme yang “ketat”, namun demikian karena kewenangannya Hakim dapat “mencabut” kewenangan itu, jika dalam permohonan Praperadilan Tersangka dapat membuktikan bahwa penahanan yang ditetapkan padanya melanggar  “the procedural guarantees”, yang  diperlukan untuk “menjamin” bahwa tindakan penahanan tidak lebih banyak lagi merusak hak atas kebebasan itu sendiri,  yang keberadaannya telah dijamin dalam negara demokratis.

8 Oktober 2017

Menyoal Delik dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan



Oleh : 
Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta

Ahli Hukum Pidana
Persoalan mengenai Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) sejauh ini lebih ditekankan berkenaan masalah prasyarat “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time), yang disinyalir banyak pihak belum terpenuhi dalam situasi konkrit yang melatarbelakanginya. Makanya ramai berbagai pihak mempermasalahkan aspek ketatanegaraan hal itu  kepada MK, untuk melakukan judicial revieu terhadap  Perppu tersebut. Namun demikian, masih sedikit mereka yang menyoal adanya penggunaan sanksi pidana untuk menegakkan norma-norma administratif yang ada didalam Perppu Ormas. Padahal hal ini merupakan bagian perubahan UU No. 17 Tahun 2013  yang palig krusial dengan adanya Perppu ormas dimaksud.

2 Oktober 2017

Beberapa Catatan tentang Konsep Strict Liability dan Penerapannya dalam Praktek Penegakan Hukum Lingkungan dan Hukum Kehutanan dan Perkebunan



Oleh : Dr. Chairul Huda, SH.MH.
Pengantar
Ahli Hukum Pidana FHUMJ
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009), menentukan:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola B3 dan/atau menimbulkan acaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa membuktikan unsur kesalahan.”

Sementara itu, ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU No. 41 Tahun 1999), menentukan:

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Ketentuan-ketentuan  di atas, seringkali menjadi dasar berlakunya “tanggung jawab mutlak (strict liability)” dalam pertanggungjawaban pidana.
Konsep strict liability merupakan hal “baru” dalam sistem hukum Indonesia, bahkan umumnya di negara-negara yang mewarisi sistem hukum Eropah Kontinental, kecuali  dalam hal pelanggaran,  karena sebenarnya konsep ini mula-mula hanya ada di common law system. Hal ini menyebabkan pemahaman sementara kalangan terhadap hal ini, baik para pakar maupun praktisi, apalagi di kalangan penegak hukum dan hakim,  belum cukup solid, masih meraba-raba tentang hal ini. Akibatnya,  penerapan ketentuan di atas kerapkali menimbulkan persoalan ketidakadilan, karena adanya permintaan tanggung jawab secara hukum lebih daripada apa yang seharusnya dipikul yang bersangkutan (versarii in reillicita).
Terutama terhadap mereka yang kemudian dituntut secara pidana atas pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup atau hutan, juga dipandang harus bertanggung jawab karena “perbuatan orang lain yang tidak ada hubungannya dengannya”. Diantaranya, kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena kegiatan atau perbuatan masyarakat atau oknum tertentu yang menggunakan “kelonggaran” yang diberikan Penjelasan  Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya), yang   kemudian dipersalahkan dan dibebankan berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap  perusahaan-perusahaan yang areal kegiatannya menjadi rembetan kebakaran hutan dan lahan tersebut. Padahal jika begitu kasus posisinya, perusahaan-perusahaan tersebut justru berposisi sebagai “korban” karena  mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit, berupa kehilangan aset berupa tanaman, dan mesti mengeluarkan biaya-biaya tambahan, seperti biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru.  
Mengacu pada hal di atas, sepertinya pemahaman tentang strict liability yang harus diluruskan, terutama berkenaan pasal dan ayat a quo yang mudah sekali ditafsirkan secara keliru, sehingga problem implementasi yang menimbulkan ketidakadilan, dapat ditekan seminimal mungkin. Penerapan strict liability karenanya tidak boleh  bertentangan atau setidaknya harus sejauh mungkin sejalan dengan maksud perumusannya semula (original intent). Diabaikannya hal ini pada gilirannya juga akan menabrak Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa  seharusnya negara, dengan undang-undang yang ditetapkannya, mampu memberikan “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap orang. Pemahaman tentang pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang tidak tepat, tentunya berdampak pada kekeliruan  penerapannya, yang boleh jadi dengan alsan-alasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman menimbulkan disparitas disana sini.

Strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund
atau tatbestand ausdehnungsgrund

Ketika konsep strict liability ditelaah lebih mendalam, maka sedikitnya ada dua pandangan yang saling bertolak belakang tentang hal ini. Pertama, sebagian pakar menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasar tanggung jawab mutlak adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (liabilitiy without fault). Dengan demikian, konsep ini adalah konsep Hukum Pidana Materiel, yaitu seseorang dikatakan bertanggung jawab atas suatu tindak pidana (actus reus) sekalipun tidak ada niat jahat atau kesalahan pada dirinya (mens rea). Kedua, strict liability dipandang sebagai konsep Hukum Pidana Formiel, yaitu kegiatan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup maupun kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya menjadi tanggung jawabannya,  tanpa lebih jauh membuktikan pembuktian unsur kesalahan. Kesalahan (mens rea) yang bersangkutan tetap ada dan harus ada, hanya saja dianggap telah terbukti adanya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.
Penggunaan pandangan pertama menyebabkan titik berat persoalan menjadikan strict liability sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund). Artinya, ketika akibat yang dilarang telah timbul, maka ketentuan strict liability memperluas pertanggungjawaban pidana atas hal itu, terhadap siapapun yang ditentukan, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah ada kaitan yang wajar antara akibat dimaksud dengan perbuatan atau aktivitas yang bersangkutan. Tidak mengherankan ketika sejumlah pihak dipandang bertanggung jawab atas  akibat kebakaran hutan/lahan, pencemaran lingkungan, terlampaui batas baku mutu udara, yang timbul di areal yang menjadi tempat kegiatannya, walaupun tidak ada kontribusi kelakuan yang nyata terhadap  hal itu dari yang bersangkutan.
Berdasarkan penafsiran pertama, Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009  diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan kehutanan/perkebunan yang arealnya terbakar, karena sebab apapun. Perusahaan-perusahaan itu dipandang bertanggung jawab atas akibat yang timbul atas dasar strict liability, sekalipun hal itu bukan sebagai bagian mata rantai kegiatan usahanya. Kenyataan bahwa api bukan berasal dari kegiatan perusahaan-perusahaan itu, dan upayanya bahu membahu dengan masyarakat dan aparat negara memadamkan api, tidak menjadi pertimbangan. Pendeknya, mereka dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas hal itu. Disini sebenarnya strict liability diterapkan sebagai absolut liability.
Pandangan kedua menyebabkan strict liability adalah problem pembuktian semata, dan sama sekali bukan masalah perluasan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana  didasarkan pada syarat-syarat dapat dikenakannya pidana bagi seseorang, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) dan kesalahan (mens rea). Hanya saja persoalan mens rea dipandang telah ada tanpa harus dibuktikan lebih jauh kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Persoalannya, bagaimana kemudian seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam konsep strict libality, nah disini pembuktian bahwa adanya kelakuan yang memenuhi isi rumusan larangan undang-undang dan adanya akibat yang timbul dari kelakuan yang dilarang itu, menjadi syarat mutlak. Dalam keadaan  tertentu kelakuan dan akibat itu tidaklah perlu karena adanya perbuatan fisik secara langsung dari yang bersangkutan, tetapi cukup dengan  adanya hubungan tertentu dengan pelaku materielnya menyebabkan orang (perseroangan atau korporasi) juga dipandang sebagai perbuatannya. Oleh karena itu, strict liability adalah konsep tentang tatbestand ausdehnungsgrund, yaitu perluasan pengertian perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, hal ini menyebabkan perlu penyesuaian-penyesuaian tentang konsep perbuatan (actus reus), supaya pertanggungjawaban tetap berdasar pada kesalahan (liability based on fault).  Perbuatan orang-orang dalam lingkungannya dimana yang bersangkutan bertanggungjawab dalam  pengelolaan kegiatan dengan keterlibatan orang-orang itu, dipandang juga sebagai perbuatannya. Dengan demikian, pengaturan mengnai adanya hubungan-hubungan ini menjadi penting, supaya memenuhi syarat lex scripta, lex stricta dan lex certa. Disini strict liability diartikan sebagai strict liability crime.

Strict liability apakah dapat diterapkan pada manusia
atau hanya bagi korporasi

Persolan lain terkait penerapan strict liability sebagai straf ausdehnungsgrund  diperparah dengan desain rumusan delik dalam umumnya peraturan perundangan, yang masih melulu dirancang untuk pembuat manusia. Akibatnya, seseorang dipandang bertanggung jawab secara mutlak terhadap kejadian-kejadian atau akibat-akibat  yang terjadi atau timbul dalam ruang lingkup pekerjaannya dan bukan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya atau perbuatan-perbuatan orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Walaupun tidak ada kehendak pribadi dari yang bersangkutan atas terjadinya atau timbulnya akibat-akibat dimaksud.
Semula di lingkungan common law, konsep strict liability diterapkan bagi korporasi, di Indonesia justu banyak diterapkan bagi individu. Padahal seharusnya tidak demikian, penerapan strict liability  dalam delik dibidang lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan, seharusnya diterapkan bagi korporasi saja. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009, yang menentukan bahwa pertanggungjawaban mutlak atau strict liability menjadi konsep yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban tanpa membuktikan adanya kesalahan (liability without fault), pada dasarnya  tidak dapat diterapkan terhadap manusia (natuurlijke persoon), tetapi hanya dapat diterapkan pada korporasi. Pertanggungjawaban pada manusia selalu harus diartikan pada adanya kesalahan (liability base on fault), kecuali terhadap pelanggaran, sesuai dengan prinsip Geen Straf Zonder Schuld (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Hal ini telah cukup lama diakui dalam doktrin Hukum Pidana, seperti yang pernah dikemukakan Moeljatno, bahwa  pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil terhadap orang perseorangan, telah ditinggalkan sejak adanya Arrest HR tentang Susu dan Air. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau  leer van heit materielle feit atau fait materielle atau ajaran perbuatan materil dahulunya diberlakukan terhadap tindak pidana pelanggaran telah ditinggalkan sejak Hoge Raad mengeluarkan  Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest, dengan menerima adanya dasar pemaaf pidana diluar dari yang ditentrukan dalam undang-undang, yang dikenal dengan  sebutan Awezigheid Van Alle Schuld (AVAS), dimana seseorang tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan sama sekali atau tidak ada sifat tercela sama sekali padanya.
Mengacu kepada hal di atas, kekeliruan yang kerapkali  muncul dalam penerapan  Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 (strict liability) adalah ketika hal itu dijadikan dasar pemidanaan terhadap orang perseorangan manusia (natuurlijke persoon), karena dipandang bertanggung jawab secara mutlak atas apapun yang terjadi dalam lahan atau hutan “tempatnya bekerja”, sekalipun hal itu terjadi bukan karena perbuatannya sendiri atau orang-orang yang bekerja bersamanya atau bekerja untuknya. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang diterapkan terhadap orang perseorangan, merupakan bentuk ketidakadilan dan kesewenangan.
 Selain itu, kalaupun pertanggungjawaban mutlak atau strict liability berdasarkan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya dianggap secara demikian pula berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  diterapkan terhadap korporasi, tetapi praktek hukum terkadang justru mengabaikan konsep pertanggungjawaban pidana itu sendiri, diamana pertanggungjawaban pidana hanya timbul karena perbuatan. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban pidana diterapkan tanpa memperhatikan apakah telah ada perbuatan yaang melawan hukum yang telah dilakukan suatu korporasi. Padahal dalam  Hukum Pidana, pertanggungjawaban hanya timbul karena adanya perbuatan, atau tiada pertanggungjawaban pidana tanpa adannya perbuatan melawan hukum (wedderechtelijke heid).  Dengan demikian, penerapan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999  dilakukan dengan menabrak asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana” yang dilakukannya.

Strict liability dan Corporate Liability
 Korporasi dapat dipidana (dimintai pertanggungjawaban pidana) dengan  menggunakan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 atau setidak-tidanya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, apabila telah  memenuhi syarat-syarat suatu perbuatan sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).  Dalam hal ini asas “tiada pertanggungjawaban tanpa adanya tindak pidana”, menjadi asas yang sangat fundamental dalam hal ini. Oleh karena itu untuk meminta pertanggungjawaban korporasi (corporate crime), termasuk dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liablity), maka terlebih dahlu harus dibuktikan adanya tindak pidana korporasi.
Tindak pidana korporasi tentu tidak sama dengan tindak pidana oleh manusia, karena korporasi hanya bertindak melalui suatu kontruksi, dan bukan perbuatan langsung dengan tingkah laku jasmaniahnya. Korporasi hanya dapat bertindak “melalui orang-orangnya”. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan “orang-orang” dalam suatu korporasi itu, harus sedemikian rupa dapat dikonstruksi sebagai perbuatan korporasinya itu sendiri.
Dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, maka dalam  ranah teori dan juga sebenarnya telah diadopsi dalam berbagai undang-undang, tindak pidana korporasi dipandang ada jika:
a.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut terjadi karena perbuatan orang-orang dalam suatu korporasi (pengurus atau pegawai), baik berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hukungan lainnya. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut umumnya terjadi justru karena kegiatan masyarakat atau oknum tertentu yang tidak ada hubungannya dengan koporasi, maka sebenarnya akibat dari hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan terhdap korporasi;
b.   Terbukti bahwa kebakaraan hutan atau lahan tersebut terjadi karena untuk pencapaian tujuan korporasi yang ternyata dalam Anggaran Dasar. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan yang terjadi justru karena serangkaian tindakan okupasi lahan oknum atau masyarajat tertentu terhadap areal kegiatan korporasi, atau justru tidak diketahui sama sekali apa penyebabknya yang pasti, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;
c.    Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut menyebabkan korporasi mendapat keuntungan. Disini motivasi yang melatarbelakangi peristiwa itu menjadi sangat penting. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut bukan karena kegiatan koporasi yang menguntungkannya, atau bahkan justru merugikan korporasi secara finansial yang tidak sedikit, karena kehilangan aset berupa tanaman, biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;.
Hal-hal di atas seyogianya digunakan aparat penegak hukum dan otoritas administratif sebagai pedoman dalam memaknai ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009. Oleh karena itu,  ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, seharusnya dimaknai:
Setiap orang yang merupakan korporasi yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, sepanjang kerugian tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan konsepsi dan argumentasi yang sama, maka Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”, seharusnya juga  dimaknai bahwa: “Suatu korporasi sebagai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya, sepanjang kebakaran hutan tersebut disebabkan perbuatan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, dalam rangka untuk mencapai tujuan korporasi tersebut, sehingga dengannya korporasi  mendapatkan keuntungan”.
Demikianlah kentuan tetang strict liability seharusnya dimaknai, sehingga peneraannya benar-benar sesuai dengan maksud semula penggunaan ini. Mereka yang telah menjalankan usahanya dengan baik, tetapi tetap juga mendulang masalah kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, tetap terlindungi dan mendapatkan perlakuan dengan adil. Wallahu’alam.