8 Oktober 2017

Menyoal Delik dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan



Oleh : 
Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta

Ahli Hukum Pidana
Persoalan mengenai Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) sejauh ini lebih ditekankan berkenaan masalah prasyarat “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time), yang disinyalir banyak pihak belum terpenuhi dalam situasi konkrit yang melatarbelakanginya. Makanya ramai berbagai pihak mempermasalahkan aspek ketatanegaraan hal itu  kepada MK, untuk melakukan judicial revieu terhadap  Perppu tersebut. Namun demikian, masih sedikit mereka yang menyoal adanya penggunaan sanksi pidana untuk menegakkan norma-norma administratif yang ada didalam Perppu Ormas. Padahal hal ini merupakan bagian perubahan UU No. 17 Tahun 2013  yang palig krusial dengan adanya Perppu ormas dimaksud.
Perlu diingat kembali bahwa Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengandung asas legalitas, yang menjadi landasan yuridis pembentukan semua tindak pidana (delik). Dimana ditegaskan delik hanya diadakan dengan “peraturan perundang-undangan” dan hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa “setelah peraturan perundang-undangan yang memuat suatu delik itu sah berlaku”. Persoalan yang pertama muncul berkenaan dengan hal ini adalah, apakah setiap peraturan perundang-undangan dapat membentuk delik. Apakah mulai dari Undang-Undang Dasar dan Tap MPR sebagai konstitusi sampai dengan peraturan perundangan yang lebih rendah yang tersusun secara hirarkhis dapat membetuk delik, atau hanya jenis peraturan perundang-undangan tertentu yang dapat membentuknya. Jawaban atas masalah ini dapat mengacu pada  Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011), yang  menentukan bahwa, Materi muatan ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya kata “peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP harus dibaca hanya terbatas pada “Undang-Undang dan Perda”. Dengan kata lain, dilihat dari sisi ini Perppu pada hakekatnya tidak dapat memuat sanksi pidana. 
Namun demikian, Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa, “Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muataan Undang-Undang”. Hal ini yang kerap dijadikan dalil mereka yang berpendapat bahwa Perppu juga dapat memuat sanksi pidana layaknya UU.  Sementara sebagian ahli hukum lainnya, berpendapat sebaliknya, bahwa ketentuan mengenai materi muatan UU dan Perppu yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 berkenaan dengan materi muatan-materi muatan yang secara umum dapat dimuat jenis peraturan perundang-undangan tersebut, tetapi berkenaan dengan penggunaan sanksi pidana justru dibatasi dengan Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011. Artinya, Perppu tidak dapat memuat sanksi pidana.
            Sementara itu, praktek ketatanegaraan menunjukkan sejumlah ketentuan pidana dimuat dalam Perppu, termasuk Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme dan Perppu Ormas (Perppu No. 2 Tahun 2017 tetang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan). Hal ini menyebabkan timbul problematik moral, dimana  adanya Pasal 15 UU No. 2011 yang sebenarnya dimaksudkan untuk membatasi penggunaan ketentuan pidana, yaitu hanya dapat diadakan dalam UU dan Perda, untuk menjamin pengurangan kebebasan dengan adanya suatu delik  justru dilakukan melalui proses pembentukan perundang-undangan dalam keadaan normal, yang menitikberatkan adanya persetujuan bersama pemerintah dan representasi rakyat (DPR dan DPRD). Sedangkan perppu adalah peratua perundang-undangan yang dibentuk dalam keadaan tidak normal,  dan prakteknya semata-mata bertumpu  pada kehendak subyektif Presiden, tentang keadaan yang mengarah pada “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time), sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembentukannya hanya dalam keadaan darurat belaka.
            Pembentukan delik yang tidak melibatkan representasi rakyat sebenarnya menyalahi “perjanjian suci” pembentukan negara,  “du contrac social”, dimana kebebasan yang dimiliki individu kemudian dilepaskan karena kesepakatannya membentuk negara, tetapi kemudian pengurangan akan kebebasan selanjutnya hanya dapat dilakukan apabila menjadi kehendak umum yang ditandai dengan adanya persetujuan kekuasaan legislatif. Pemerintah oleh karenanya hanya dapat mengurangi kebebasan individu jika hal itu telah menjadi kehendak umum, yang inilah makanya ketentuan pidana hanya dapat diadakan melalui Undang-Undang dan Perda. Sedangkan Perppu tidak mewakili kehendak umum masyarakat, melainkan pertimbangan Presiden menghadapi “kegentingan yang memaksa” (dangerous threat, reasonable necesity, or limited time) tersebut.
Salah satu perubahan mendasar yang diadakan lewat Perppu Ormas adalah perubahan UU  UU No. 17 Tahun 2013 dari UU administratif murni menjadi UU Administratif bersanksi pidana (odnungsstrafrecht). Dalam hal ini,  semula UU Ormas tidak memuat ketentuan pidana, tetapi dengan Perppu Ormas diadakan Ketentuan Pidana, yang dibuat untuk “memaksakan” berlakunya norma-norma administratif mengenai keormasan. Pasal 60 sampai dengan Pasal 80 UU Ormas semuanya berisi pengaturan sanksi administratif yang dapat diterapkan bagi ormas atau pengurusnya jika tidak mematuhi norma administratif yang diatur dalam undang-undang itu. Sanksi pidana tidak diatur tersendiri, melainkan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 81 ayat (1) UU Ormas.
Perubahan yang diusung Perppu Ormas, yang menjadikan UU Ormas menjadi UU Administratif bersanksi pidana, sebenarnya bertentangan dengan prinsip kriminalisasi, bahwa Hukum Pidana bersifat adagium ultimum remedium. Dimana kriminalisasi in abstracto hanya dimungkinkan jika bagian hukum lain nyata-nyata tidak efektif dalam mengendalikan perbuatan karena Hukum Pidana bersifat the final resort. Artinya, sekalipun belum pernah terbukti, bahwa sanksi administratif dalam  UU No. 17 Tahun 2013  tidak berhasil atau tidak efektif dalam mengendalikan “pertumbuhan dan perkembangan ormas”, tetapi Presiden mendekatinya dengan pendekatan represif dengan melakukan kriminalisasi, sebagaimana dimaksud dalam Bab XVII Ketentuan Pidana, Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013 jo Perppu No. 2 Tahun 2017. Bahkan mungkin belum pernah diadakan riset berbasis analysis economic of law (AEL) yang umumnya menjadi studi yang menjadi prasarat pembentukan delik di banyak negara,   termasuk terkadit delik dalam Perppu Ormas ini. Oleh karena itu, kesan represif ini juga tampaknya tidak dapat dihindarkan ketika ketentuan mengenai sanksi administratif bagi ormas yang tadinya ditempatkan sebagai primum remedium, tetapi  dengan perubahan Pasal 60 ayat (2) pada hakekatnya prinsip ini telah digugurkan, dan bahkan mekanisme penerapan sanksi administratif itu sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 63 sampai dengan Pasal 80 UU No. 17 Tahun 2013, yang menjadi ciri demokratisnya UU No. 17 Tahun 2013  sebagai UU yang mengamankan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945, kemudian  dihapus sama sekali.
Perubahan Pasal 60, 61 dan 62, serta penghapusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 80, serta pembentukan Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017, menunjukkan bahwa sanksi pidana  alih-alih menjadi primum remedium dalam menghadapi fenomena keormasan.     Sekalipun in concreto, seperti dikatakan baanyak kalangan pro Perppu Ormas, sepanjang kooperatif sanksi pidana tidak langsung diterapkan bagi anggota dan/atau pengurus ormas, tetapi tetap saja dari segi yuridis Polri tidak dapat disalahkan jika menggunakan instrumen pidana dimaksud, sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah  yang diwakili Menteri Hukum dan Ham mencabut surat keterangan terdaftar dan/atau status badan hukum atau penghentian kegiatan ormas, dengan menggunakan Pasal 61 ayat (3) dan Pasal 62 ayat (3) dan (4) UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017. Disini kegaduhan tidak dapat dihindarkan, dan Polri berada pada pusaran hal itu.
            Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017 menentukan rumusan delik:
“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paaling lama 1 (satu) tahun.”  Dalam hal ini Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017 mempunyai bagian ini (besatanddeel) berupa larangan perbuatan “menjadi anggota dan/atau pengurus” orrmas yang antara lain:
a.      Menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, aatau atribut lembaga pemerintahan;
b.      Menggunakan dengan tanpaa izin nama, lambaang bendera negara laain atau lembaga/badan internasioal menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas;
c.       Menggunakan nama, lambang, bendera, aatau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik;
d.      Menerima dari dan memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.      Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama ras, atau golongan;
f.        Melakukan penyalahgunaaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
g.      Melakukan tindak kekerasan, menggangu ketentraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
h.      Melakukaan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuati dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan;
i.        Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan naama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang;
j.        Melakukaan kegiatan separatis yang mengancam kedaulataan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
k.       Menganut, mengembangkan, serta menyebarkaan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Dalam hal kalaulah benar Menteri Hukum dan Ham mencabut keterangan terdaftar atau status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena ormas tersebut dipandang “menganut, mengembangkan, serta menyebarkaan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”, maka pada dasarnya Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017 tidak dapat diterpkan terhadap pengurus dan/atau anggotanya. Hal ini dikarenakan, larangannya tertuju pada keanggotaan dan/atau kepengurusan HTI yang dilakukan “sebelum” HTI “dibubarkan”, dengan mencabut  keterangan terdaftar atau status badanya. Mengingat secara logis keanggotaan dan/atau kepengurusan HTI disini dilakukan “ketika” HTI belum dibubarkan. Sekalipun para anggota dan/atau pengurus HTI tahu bahwa ormas mereka “menganut, mengembangkan, serta menyebarkaan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”, tetapi selagi Menteri Hukum dan Ham belum memnggunakaan kewenangannya memberi sanksi admiistratif, sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 61 ayat (3) dan Pasal 62 ayat (3) dan (4) UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017, maka menjadi pegurus dan/atau anggoota HTI adalah perbuatan yang legitim dan  bukan merupakan perbuatan yang terlarang.  
Apabila dipaksakan Pasal 82A UU No. 17 Tahun 2013  jo Perppu No. 2 Tahun 2017 diterapkan bagi pengurus dan/atau anggota HTI, misalnya Polri melakukan proses penyidikan terhadap anggota/pengurus HTI, maka persoalannya bukan begitu banyaknya pihak yang harus dijadikan tersangka dalam hal ini, tetapi yang paling mendasar   maka hal itu berarti Perppu ormas diberlakukan secara retroaktif (berlaku surut). Anggota/Pengurus HTI akan dipidana atas perbuatan mereka menjadi anggota atau pengurus organisasi yang dikatakan mengembangkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, pada waktu yang laampau ketika belum dinyatakan demikian.   Sekali lagi hal ini bukan hanya bertentangan dengan asas legalitas (non retroactive principle), tetapi juga tidak demokratis, karena kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif berada pada satu tangan.
            Konstruksi demikian berpangkal tolak dari ketidakcermatan penyusunan Perppu No. 2 tahun 2017, yang melarang “keanggotaan dan/atau kepengurusan” ormas tertentu, dan larangan  tidak berbasis pada actual act (actus reus). Sekali lagi kesan represif dari Perppu No. 2 Tahun 2017 disini sangat menonjol, dan  menjadi problem moral bagi Polri menerapkan norma pidana yang demikian itu. Wallahu’alam.