21 Maret 2014

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM PELAKSANAAN KONTRAK BIOREMEDIASI

Melawan Hukum dan Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Pidana
Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Dosen Fak. Hukum UMJ
Dalam setiap rumusan tindak pidana harus tercermin adanya perbuatan melawan hukum. Rumusan tindak pidana harus disusun dalam kata-kata yang menggambarkan perbuatan berkonotasi negatif, sehingga dengannya saja sifat melawan hukum dari perbuatan itu menjadi nyata. Dalam hal pembentuk undang-undang tidak menemukan istilah yang dari arti leksikonnya saja sudah mencerminkan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, maka rumusan delik itu harus ditambahkan dengan kata-kata “melawan hukum”. Dengan demikian, “melawan hukum” selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana. Namun demikian, dalam konteks hukum pidana formil, “melawan hukum” baru harus dibuktikan apabila menjadi “bagian inti” dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain, baru dibuktikan “melawan hukum” jika perkataan tersebut disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Apabila tidak disebutkan maka, dipandang melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur-unsur lain dari suatu tindak pidana, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
Dalam tindak pidana korupsi perkataan “melawan hukum” hanya menjadi bagian inti yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan kata lain, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan hukum perbuatan itu direpresentasikan dengan kata-kata “secara melawan hukum” itu sendiri, sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi. Misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan hukumnya termaktub dari istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Demikian pula misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan hukumnya direpresentasikan dengan perkataan “dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Mengingat melawan hukum menjadi sifat umum dari suatu delik, maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila suatu perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun perbuatan itu tidak akan menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis hakim dalam suatu putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun, termasuk bukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi ataupun ketentuan pidana lainnya. Begitu penting sebenarnya posisi pertimbangan tentang terpenuhi atau tidak terpenuhinya unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak pidana, yang boleh jadi tanpa disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana lainnya dalam kasus itu.
Konsepsi di atas membawa pada pemahaman bahwa “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah peristilahan yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menggambarkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Oleh karena itu, jika suatu perbuatan tindak melawan hukum menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, mengingat pasal tersebut menggunakan istilah “melawan hukum” untuk menggambarkan sifat melawan hukumnya, maka secara mutatis mutandis, perbuatan itu juga tidak dapat dipandang sebagai bentuk perbuatan melawan hukum menurut pasal manapun, termasuk bukan perbuatan menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Pada dasarnya hukum pidana tidak memberikan pengertian sendiri tentang penyalahgunaan kewenangan. Kendati hukum pidana mempunyai kewenangan spesial atau privelege dalam mengambil alih pengertian dalam hukum lainnya, pihak legislator hendaknya menyadari bahwa pengambilalihan makna dimaksud tidak diperkenankan merusak sendi-sendi atau asas-asas hukum administratif dan hukum lainnya. Dalam konteks ini, penerapan asas “autonomie van het materiele straftrecht” (hak otonomi hukum pidana materiel) hanya dibatasi pada hukum materielnya saja dan tidak boleh menyentuh asas-asas hukum lainnya sehingga berpotensi merusak asas hukum yang bersangkutan. Hak otonomi hukum pidana materiel yang diperkenalkan oleh HA Demeersemen berkaitan dengan harmonisasi makna atau pengertian yang terdapat dalam hukum pidana dengan pengertian atas hal yang sama baik dalam hukum administratif maupun hukum keperdataan. Dalam terjadi perbedaan makna, maka hukum pidana mempuyai hak otonomi untuk menentukan sendiri makna tersebut, namun jika hukum pidana tidak menetukan makna tersendiri, maka pengertian yang diberikan oleh hukum lain dapat digunakan dalam hukum pidana.
Penerapan hak otonomi hukum pidana tidak dibenarkan manakala hak tersebut menyentuh prinsip dasar hukum administratif atau hukum lainnya yang tertuang dalam asas-asas hukum yang bersangkutan. Karena, dikuatirkan terjadi benturan hukum sehingga menimbulkan disfungsionalisasi hukum. MIsalnya dalam hukum administrasi dikenal empat macam kewenangan. Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, Kewenangan karena Mandat dan Kewenangan yang timbul karena Diskresi. Masing-masing kewenangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Termasuk tetapi tidak terbatas pada bagaimana menilainya apakah telah terjadi suatu “penyalahgunaan wewenang”. Suatu wewenang yang bersifat Diskresi timbul bukan karena ditentukan dalam perundang-undangan. Bukan pula karena dilimpahkan dari pejabat yang lebih tinggi. Bukan juga karena diserahkan kewenangan dari pejabat lain yang setingkat. Oleh karena itu penilainnya, adalah berdasarkan asas-asas hukum pemerintahan yang baik (clean government and good governance). Praktek hukum pidana menyamaratakan jenis-jenis kewenangan tersebut, yang terutama mendasarkan apakah kewenangan tersebut telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan seorang pejabat administratif yang sebenarnya sedang menggunakan kewenangan diskresinya justru dinilai sebagai “penyalahgunaan wewenang” dalam tindak pidana korupsi. Prinsipnya ketiadaan diferensiasi penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana dan hukum administratif mencerminkan penegakan hukum sehubungan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi justru lebih menimbulkam kerusakan sendi-sendi dan asas-asas hukum administratif.
Dalam hukum administrasi, suatu perbuatan administrasi negara harus dilihat dari tiga aspek sehingga dapat dikualifikasi sebagai penyahagunaan kewenangan. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak adanya wewenang bagi pejabat yang bersangkurtan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak dipenuhinya prosedur untuk sampai kepada pengambilan keputusan melakukan suatu perbuatan administrasi negara tertentu. Ketiga, penyalahgunaan wewenang yang timbul karena substansi dari perbuatan administrasi negara perjabat yang bersangkutan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Tidak semua penyalahgunaan wewenag dalam hukum administrasi tersebut berbuah menjadi penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi. Menurut hemat penulis penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana hanya meliputi perbuatan pejabat administratif yang menyalahgunakan wewenang karena tidak adanya kewenangan yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan sisanya bukan penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana.

Sementara itu, pada saat sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih mendalam, apakah tindak pidana adalah “species” dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum, atau justru sebaliknya, melawan hukum itu hanya menjadi ciri, unsur atau bagian inti utama dalam setiap tindak pidana. Kecenderungan praktek peradilan telah menempatkan bahwa suatu tindak pidana adalah salah satu jenis dari sekelompok perbuatan yang melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan tidak ada lagi pengertian khusus ”melawan hukum” dalam hukum pidana, melainkan sama dan sebangun dengan melawan hukum pada umumnya, termasuk pemaknaan yang diberikan dalam bidang hukum perdata ataupun hukum administrasi. Dengan kata lain, memandang pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, seperti misalnya dipersamakan dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata, menyebabkan tindak pidana dipandang sebagai species dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum.
Hal ini berakibat tindakan penegakan hukum yang diambil atas suatu peristiwa, boleh jadi merupakan “keputusan politik” semata. Artinya, kalaupun digunakan instrumen hukum pidana dalam menyelesaikan suatu peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena perbuatan yang dipersoalkan bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi hal itu semata-mata sebagai “plilihan tindakan yang mungkin dilakukan” pemerintah. Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat pertahanan paling akhir (ultimum remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian menyebabkan penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang keputusan politik, tidak benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara berlandaskan hukum.
Kosekuensi di atas sepertinya tidak selalu disadari oleh para akademisi hukum yang mendukung pemikiran pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum (advokat, penyidik, penuntut umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus melawan hukum dalam hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan di luar hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian, yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah memiliki sifat melawan hukum yang umum itu.
 Dalam lintasan sejarah memang dapat disaksikan fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan. Hal ini tergambar dari praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur “dengan melawan hukum”. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel (bertentangan dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah materil, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pergeseran selanjutnya, melawan hukum materil diartikan pada pengertian dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan Terdakwa adalah “tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Mengartikan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif sama artinya memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata.
Mengenai praktek hukum yang menerapkan pengertian melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif, memang mulanya memiliki dasar dalam undang-undang yaitu penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Namun demikian, perlu diingat dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum” tidak selalu identik dengan “undang-undang”. suatu “aturan undang-undang” dapat kehilangan kekuatan mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai “aturan hukum”, misalnya jika hal itu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu “aturan undang-undang” yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Berkenan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar diterapkanya pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, “telah ditertibkan” dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, yang dengan menyatakannya bahwa hal itu “bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Namun demikian, berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007, yang tidak jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi “latah” menggunakan kembali penafsiran demikian.
Sifat keras kepala praktek peradilan, termasuk yang diperlihatkan oleh Mahkamah Agung, dengan tetap menggunakan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang poitif dan tidak hanya menerapkannya dalam fungsinya yang negatif, akan berbuah tindakan penegakan hukum yang semata-mata didasarkan pada pilihan dan kehendak politik dari penegak hukum dan hakim. Keingingan mereka sajalah sebenarnya yang menyebabkan suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana, dan bukan bersumber dari amanat pembentuk undang undang ketika melarang dan mengancam dengan pidana suatu perbuatan.  
             Sifat keterlaluan dan kebablasan dari praktek peradilan dalam menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan perbuatan melawan hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang menurut ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi pelanggaran-pelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi, yang dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai perbuatan melawan hukum (wedderchtelijk heid). Apabila pada bagian awal dari tulisan ini telah penulis kemukakan bahwa adanya kecenderungan untuk menjadikan seluruh tindak pidana sebagai bagian dari kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka lebih parah lagi disini, dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu perjanjian juga dipandang sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara melawan hukum dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad), melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk heid), maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi. Kontrak yang tadinya hanya dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat “layaknya undang-undang bagi yang membuatnya” (pacta sunc servanda), kini dipandang kontrak sebagai ”identik dengan undang-undang”. Sama kekuatannya antara undang-undang, yang tidak lain merupakan pengejawatahan kehendak rakyat melalui parlemen, dengan kontrak yang menjadi kehendak pribadi dari individu-individu yang melaksanakan kontrak.
            Pelanggaran kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu perbuatan melawan hukum, baik dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad) maupun dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk heid). Kalaupun terjadi perbuatan melawan hukum terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak, maka peristiwa itu bukan pelanggaran kontraknya, tetapi aturan hukum yang menjadi dasar diadakannya hubungan-hubungan kontraktual tersebut. Perbuatan melawan hukumnya terjadi karena adanya pelanggaran dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut.
            Product Sharing Contract (PSC) adalah bentuk kontrak yang dapat diadakan berkenaan kegiatan hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Dengan demikian, pelanggaran suatu PSC semata tidak dapat dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum, baik dalam lingkup hukum perdata (onrechtmatige daad) maupun dalam lingkup hukum pidana (wedderchtelijk heid). Pelanggaran PSC tidak dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat kemungkinan adanya perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan dan pelaksanaan PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak diturutinya perintah maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 berserta peraturan pelaksanaannya. 
            Salah satu hubungan hukum yang lahir berikutnya dalam pelaksanaan PSC adalah kontrak pelaksanaan Bioremediasi, yang diadakan untuk mengatasi dampak penting pada lingkungan akibat kegiatan hulu migas. Hubungan hukum ini, semata-mata merupakan hubungan kontraktual, antara kontraktor migas dalam PSC dengan mitra perdatanya dalam menjalankan kewajiban memulihkan, melindungi, menjaga keselamatan lingkungan akibat pelaksanaan kegiatan hulu migas yang diwajibkan dalam PSC.
            Dalam kontrak bioremediasi, tidak sama sekali adanya “unsur negara” dalam hubungan hukum tersebut. Kontrak tersebut dilaksanakan Antara dua badan hukum swasta, dengan pendanaan yang berasal dari kontraktor migas dalam PSC. Kaitannya dengan kepentingan negara adalah apabila kontrak bioremediasi dan pelaksanaannya nanti dijadikan dasar untuk mengajukan klaim cost recovery dalam kerangkan PSC. Inipun sepenuhnya merupakan hak kontraktor migas, yang pemenuhannya sangat tergantung dari persetujuan pemerintah, yang diwakili SKK Migas (dahulu BP Migas).
            Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya antara pembuatan kontrak bioremediasi ataupun pelaksanaanya dengan pemenuhan unsur melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi. Menjadikan dasar pembuatan kontak dan pelaksanaannya sebagai kontruksi pembuatan melawan hukum dan penyalahgunan wewenang, sama artinya menggunakan kontrak layaknya undang-undang sebgai ukuran-ukuran publik tentang sifat melawan hukumnya perbuatan. Konstruksi ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sifat privaat suatu kontrak yang tidak akan pernah menjadi suatu hal yang bersifat publik.