14 Februari 2012

KETIKA LOGIKA PUBLIK & LOGIKA HUKUM TIAK BERTEMU DI SANDAL JEPIT AAL


Senin, 9 Januari 2012 21:34 WIB

Chairul Huda: Ketika Logika Publik & Logika Hukum Tak Bertemu Di Sandal Jepit AAL
Jaring News
Chairul Huda
Pesan moral keliru yang boleh jadi terbentuk dari kasus AAL dan kasus serupa lain adalah 'mencuri yang kecil-kecil tidak layak diproses hukum', serta 'hal itu harus dimaklumi dan dimaafkan begitu saja'.
JAKARTA, Jaringnews.com - Sejauh ini, dalam hukum pidana, pengadilan masih difungsikan sebagai satu-satunya tempat memisahkan orang bersalah dari orang yang tidak bersalah. Tidak terkecuali bagi AAL, 15 tahun. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan khusus anak di Pengadilan Negeri Palu, hakim tunggal Rommel F Tampubolon berkeyakinan remaja tersebut bersalah mencuri sandal orang lain.
Perkara ini mendapat perhatian dunia, bukan saja karena sifat sepele dari kasus ini dan kenyataan bahwa AAL masih anak-anak, terlebih lagi karena pelapor kasus ini adalah Briptu Pol. Ahmad Rusdi Harahap, seorang anggota kepolisian. Akibatnya, anggapan seolah-olah hukum Indonesia tajam terhadap rakyat kecil dan sangat tumpul terhadap para koruptor, pengemplang pajak, pemilik rekening gendut dan obligor nakal, menjadi benar adanya.
Tidak mengherankan, gerakan 1.000 pasang sandal--yang kenyataannya mungkin telah terkumpul lebih dari itu--untuk Kapolri, menjadi simbol perlawanan publik terhadap official response yang dilakukan agent of law enforcement terhadap AAL. Tak hanya itu, gerakan ini sekaligus dukungan luar biasa terhadap sejumlah orang, terutama AAL, yang sedang berhadapan dengan kasus hukum--yang boleh jadi koor publik menyatakan 'release them!'.
Masalah sebenarnya tidak sesederhana itu. Pesan moral keliru yang boleh jadi terbentuk dari kasus AAL dan kasus serupa lain adalah 'mencuri yang kecil-kecil tidak layak diproses hukum', serta 'hal itu harus dimaklumi dan dimaafkan begitu saja', seperti halnya Bu Minah yang beberapa waktu lalu memungut empat biji kakao dari sebuah lahan perkebunan.
Adapun kekeliruan yang ditemukan di sini yakni 'nilai ekonomis objek pencurian' yang menjadi ukuran, bukan 'perbuatan tanpa hak' yang dilakukan AAL terhadap barang orang lain. Itu yang menjadi persoalan mendasar. Betapa logika publik dan logika hukum tidak bertemu, seolah melangkah menuju jalannya sendiri-sendiri.  
Ketidakmengertian publik terhadap logika hukum semakin menjadi, ketika dengan nada kecewa, banyak kalangan, semisal Kak Seto dari Komnas Perlindungan Anak, mempertanyakan putusan hakim terhadap AAL yang amarnya menyatakan 'bersalah melakukan tindak pidana pencurian', sekalipun tidak dipidana apapun dan 'dikembalikan kepada orang tuanya'. Amar yang paling bijaksana terhadap kasus ini pun ditolak publik, semata-mata karena adanya perbedaan antara sandal yang disebutkan dalam surat dakwaan dan fakta persidangan yang terbukti dari kasus pencurian tersebut.
Apakah pengadilan juga harus membebaskan, jika ternyata fakta persidangan membuktikan AAL mencuri sepuluh pasang sandal, sementara yang didakwakan hanya satu pasang? Apakah juga hakim harus membebaskan jika dalam suatu sidang pengadilan seorang terdakwa terbukti memperkosa, sementara yang didakwakan hanyalah pencabulan? Apakah seorang koruptor harus dibebaskan jika terbukti merugikan keuangan negara sebanyak Rp 10 miliar, cuma karena yang bersangkutan didakwa seratus juta rupiah?
Surat dakwaan tidak lebih daripada dasar pemeriksaan perkara di pengadilan, sedangkan hakim (majelis hakim) memutus berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Dalam hal ini, telah cukup alasan untuk menyatakan AAL bersalah melakukan tindak pidana pencurian, jika yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan 'mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum', dan tidak perlu sampai sejauh sandal yang dicurinya adalah sandal anggota polisi. Pencurian adalah 'mengambil barang sesuatu yang bukan miliknya secara tanpa hak', dan bukan melulu mengenai sandal merek Eiger ukuran 43 tersebut.  
Bahwa hukum Indonesia masih jauh dari usaha mewujudkan keadilan, itu benar adanya, tetapi keadilan itu tidak didikte oleh kemauan publik, pers, LSM, Facebooker dan lain-lain. Stakeholder hukum pidana adalah pelaku, korban, masyarakat dan negara. Keadilan yang dituntut bukan untuk salah salah satunya, tetapi untuk semua. Membela AAL bukan masalah, tetapi tidak mengabaikan hak Briptu Ahmad sebagai pelapor. Dan, menggalang gerakan 1.000 pasang sandal, 1.000 biji kakao, 1.000 buah semangka, ataupun jika mau 1.000 unit BlackBerry sekalipun, sah-sah saja, tetapi hormati putusan Hakim Tampubolon.
Justice for all, merupakan tuntutan keseluruhan proses dan prosedur hukum pidana, yang kalaupun, sekali lagi kalaupun AAL dihukum, bukan karena dia mencuri sepasang sandal merek Eiger atau merek Ando, melainkan supaya sandal-sandal lain tidak dicuri, apapun mereknya dan berapapun nomor ukurannya. Keadilan yang dituntut bukan sekedar keadilan prosedural, substansial, ataupun restoratif, tetapi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  
Masalah sebenarnya adalah, 'kemisikinan' hukum Indonesia atas mekanisme penyelesaian 'trivial cases' yang masih mengandalkan lembaga peradilan (Criminal Justice System), termasuk pengadilan anak, seperti proses yang dilakukan terhadap AAL. Mediasi penal belum bersifat imperatif dalam kasus seperti ini, hanya alternatif yang bersifat fakultatif. Kesepakatan perdamaian, terutama pelaku dan korban, menjadi satu-satunya sandaran dalam mewujudkan keadilan, dan out of court settlement in criminal cases masih bersandarkan police discretion dan bukan statutory order.
Kuncinya ada pada politisi Senayan, dalam kerangka mendesak mengeluarkan legislative policy terhadap pengadilan anak (perlindungan anak), dan dalam kerangka yang lebih luas memuluskan penal reform, melalui penyetujuan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai undang-undang.
DR. Chairul Huda, SH., MH, Penasihat Ahli Kapolri Bidang Hukum
(adm / Nky)