20 Desember 2016

Dugaan Penodaaan Agama oleh Pak Ahok


Oleh: Dr. Chairul Huda., SH., MH.
(Dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Univ. Muhammadiyah Jakarta)

Penodaan agama (blasphemy) di Indonesia merupakan sebutan singkat untuk tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. Padahal pasal tersebut sebenarnya bukan hanya berisi perbuatan dilarang (strafbaar) “penodaan”, tetapi juga beberapa perbuatan lain juga diatur didalamnya. Lengkapnya pasal tersebut menyatakan:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
Yang pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
Dengan maskud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari rumusan ini jelas sekali bahwa, Pasal 156a KUHP setidaknya merumuskan dua ketentuan pidana, yang bagian inti (bestanddeel) deliknya adalah sebagai berikut:
Kesatu, “di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”;
Kedua, “di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maskud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

3 Desember 2016

KETERANGAN AHLI Tentang Konstitusionalitas Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 ayat (4) dan (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap UUD Negara Republik Indonesia 1945

oleh: 
Dr. Chairul Huda, SH., MH
(Ahli Hukum Pidana)


Yang Mulia Majelis Hakim Mahkmah Konstitusi RI;
Yang Terhormat Pemohon, Pemerintah dan DPR RI;
Yang Terhormat Pihat Terikait;
Yang Terhormat para ahli yang hadir; dan
Hadirin sekalian yang berbahagia.

Perkenankanlah  saya dalam kapasitas sebagai Ahli Hukum Pidana/Hukum Acara Pidana, menyampaikan beberapa pemikiran terkait pengujian  Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, Pasal 41 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 ayat (4) dan (5) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap UUD Negara Republik Indonesia 1945. Namun demikian, mengingat akan kompetensi yang saya miliki, maka saya membatasi diri hanya berpendapat terutama berkaitan dengan pengaturan kewenangan “penyelidikan” Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menjadi isu utama pengujian (judicial review) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini.



Berbicara tentang “penyelidikan” dalam criminal justice system, tidak dapat  dilepaskan dari konstruksi pengaturan KUHAP mengenai hal tersebut. Mengingat umumnya Hukum Acara Pidana di negara-negara lain, tidak memisahkan atau membedakan penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula halnya dengan  HIR sebagai acuan beracara pidana sebelum KUHAP, hanya mengenal istilah penyidikan (opsporing) dan tidak mengenal istilah dan tahap penyelidikan. Oleh karena itu, sekalipun diakui bahwa cukup banyak undang-undang yang “mengatur hukum acara sendiri”, yang sedikit banyak menyimpang dari KUHAP terkait penegakan hukum tindak pidana-tindak pidana tertentu, tetapi bagian besar dari criminal justice system yang didalamnya terdapat proses penyelidikan, harus mengacu pada  KUHAP.  Apalagi ketika suatu undang-undang menggunakan istilah “penyelidikan”, tetapi tidak mendefinisikan, menentukan tentang ruang lingkup kewenangan dan tata cara pelaksaaan wewenang penyelidikan, semisal UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,  maka  lex  generalis-nya ada di dalam KUHAP yang tentunya dijadikan acuan.

Motivasi utama pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan adalah upaya untuk lebih memberikan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan dengannya diharapkan dapat dihindari penggunaan upaya paksa yang bersifat eksesif. Dengan pembedaan penyelidikan dan penyidikan, maka penggunaan upaya paksa oleh penyelidik hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik (Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP) atau dalam keadaan yang sangat mendesak (Pasal 102 ayat (2) KUHAP). Dalam keadaan normal, penyelidikan sama sekali belum dimungkinkan upaya paksa. Selain itu, secara historis penggunaan istilah penyelidikan dalam Hukum Indonesia pertama kali diintrodusir dalam UU 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Mengingat ancaman pidana yang sangat berat yang diancamkan terhadap tindak pidana subversi, dan tentunya stigma sosial bagi mereka yang dipersangkakan, didakwakan atau dinyatakan bersalah melakuka subversi,  maka dari sejak semula UU Subversi menghendaki agar penggunaan upaya paksa dalam pemberantasan subversi dilakukan secara berhati-hati, terukur dan dalam keadaan yang benar-benar perlu. Semangat inilah yang diteruskan oleh KUHAP. Oleh karena itu, masalah pengaturan penyelidikan dalam undang-undang, bukan semata-mata sebagai persoalan yang berkaitan dengan koherensi dalam criminal justice system, tetapi juga menjadi bagian dari mandat yang dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak asasi manusia, melalui judicative control terhadap undang-undang dan pelaksanaannya.    

Upaya paksa yang notabene merupakan pembatasan,  pengurangan atau perampasan hak asasi manusia, pada hakekatnya merupakan kewenangan penyidik dalam tahap penyidikan. Penyalahgunaaan kewenangan ini dapat dipraperadilankan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 95 ayat (2)  KUHAP. Sementara itu, upaya paksa oleh penyelidik, hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik, supaya juga bisa diji keabsahannya, atau setidak-tidaknya dalam keadaan yang sangat mendesak dan perlu. Penyelidik dalam tahap penyelidikan tidak dibekali kewenangan “asli” untuk melakukan upaya paksa. Namun demikian, baik upaya paksa  yang dilakukan oleh penyelidik ataupun penyidik, pada dasarnya tidak boleh dilakukan, kecuali dimungkinkan oleh undang-undang, sebagai suatu pengaturan secara tertulis (lex scripta),  tegas (lex stricta) dan jelas (lex certa). Hal ini merupakan ejawantah asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana yang terkandung  dalam Pasal 3 KUHAP. Tekanan pengaturan Hukum Acara Pidana ada pada proses (pengurangan hak individu) dan prosedur (perlindungan hak individu), yang kesemuanya dijalankan oleh aparatur peradilan pidana menyebabkan persyaratan pengaturannya jauh lebih “ketat”, sehingga pengaturannya harus dengan undang-undang, dan tidak dimungkinkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana, maka upaya paksa dalam tahapan manapun dan segala aspek  berkenaan dengan pelaksana, ruang lingkup, persyaratan, tata cara dan pengujiannya, hanya dapat diadakan dengan undang-undang (strafordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien).

Konsep di atas, justru tampaknya kurang mendapat perhatian dalam ketentuan UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal  36 huruf c dan d undang-undang tersebut memberikan kewenangan penyelidikan kepada KPPU, tetapi tidak memberikan kepada komisi tersebut rincian wewenang dimaksud. Undang-undang tersebut tidak menentukan upaya paksa yang dapat dilakukannya oleh penyelidik atas perintah penyidik, atau upaya paksa yang dapat dilakukan penyelidik sendiri dalam keadaan mendesak dan perlu, dalam pelaksanaan kewenangannya tersebut. Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menentukan bahwa pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa “wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan” dan “dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan”, sesungguhnya dapat dipandang sebagai upaya paksa. Dalam hal ini sekalipun  ketentuan tersebut  merupakan pengaturan kewenangan penyelidikan KPPU yang bersifat “memaksa”,  tetapi tidak dipersyaratkan bahwa hal itu dapat dilakukan atas perintah penyidik. Artinya, upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan kewenangan “asli” penyelidik, yang sebenarnya menjadi kewenangan penyidik untuk kepentingan pro justicia dalam tahap penyidikan. 

Keberatan-keberatan tentunya dapat diajukan terhadap hal di atas, baik karena  pada hakekatnya ketentuan yang berisi upaya paksa tersebut seyogianya hanya dapat dilakukan oleh penyidik dalam tahap penyidikan, atau kalaupun hal itu menjadi kewenangan   penyelidik dalam tahap penyelidikan  maka seharusya hal itu hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik. Selain itu, penyalahgunaan kewenangan berkaitan hal tersebut  kemudian menjadi tidak dapat diuji keabsahannya dalam sidang praperadilan. Berbeda sekali apabila hal itu menjadi kewenangan penyidik, atau setidak-tidaknya sebagai upaya paksa yang dilakukan penyelidik dalam tahap penyelidikan yang dilakukan atas perintah penyidik. Sebagai bandingannya adalah Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP yang menentukan kewenangan penyelidik atas perintah penyidik melakukan penangkapan, melarang orang meninggalkan tempat, pemeriksaan dan penyitaan surat, ataupun membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Kesemua hal itu masih mungkin dipraperadilankan. Kewenangan KPPU sebagai penyelidik menggunakan Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat  justru dapat dipandang sebagai kewenangan-kewenangan atau setidak-tidaknya wewenang yang absurd. 

Kealpaan pembentuk undang-undang UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur upaya paksa oleh penyelidik tanpa persyaratan bahwa hal itu hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik, merupakan pengaturan tersebut  bersifat over reacting, dimana dalam prakteknya upaya-upaya paksa dapat dilakukan secara eksesif, dan tetunya non accountability. Hal ini menyebabkan hak asasi manusia yang menjadi sasaran norma (addressaat norm) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berada dalam keadaan yang sangat “terancam”. Dengan demikian, tidak hanya seperti yang dinyatakan Pemohon, bahwa pengaturan penyelidikan dalam UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seharusnya dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan asas lex sine scriptis, tetapi justru pengaturan oleh pembentuk undang-undang yang demikian itu sama sekali tidak mencerminkan pengujudkan cita-cita negara hukum. Tidak mengherankan jika KPPU dalam upaya membuat  kewenangan penyelidikan tersebut efektif, membuat pengaturan sendiri dibawah level undang-undang. Bayangkan hak asasi manusia seseorang dibatasi, dikurangi, atau bahkan dirampas oleh KPPU dengan melakukan upaya paksa  ketika melakukan penyelidikan, tanpa dapat diuji keabsahannya, karena semata-mata merupakan kewenangan penyelidik (tanpa atas perintah penyidik), dan rinciannya didasarkan pada ketentuan dibawah undang-undang. Tentunya pemberian kewenangan penyelidikan kepada KPPU dan pelaksanaanya yang demikian itu, dengan kasat mata telah dilakukan pembentuk undang-undang dengan  tidak memperhatikan  ketentuan Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

Selanjutnya dapat saya jelaskan, bahwa pengaturan  KUHAP mengenai   kewenangan “penyelidikan” berada di bab tentang “penyidikan” (bab XIV KUHAP). Sedangkan Pasal 1 angka 5 KUHAP menentukan bahwa “penyelidikan” adalah “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan  menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Penyelidikan (inquiry) oleh karenanya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kewenangan penyidikan (investigation). Mengingat bagian terpenting dari penyelidikan, bukan semata-mata “mencari dan menemukan  suatu peristiwa” yang bagi pelapor/pengadu/penyelidik sendiri “diduga sebagai tindak pidana”, tetapi lebih jauh lagi “menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan” atas adanya peristiwa tersebut. Apakah peristiwa dimaksud merupakan suatu tindak pidana atau bukan, ataupun apakah ada buktinya atau tidak sebagai tindak pidana, serta siapakah yang dapat ditetapkan sebagai tersangka atas hal itu, semuanya ditentukan dalam tahap penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. 

Dalam konstruksi  KUHAP di atas,  penyelidikan merupakan bagian (apart of) dari penyidikan, sehingga boleh jadi  jika suatu undang-undang telah mengatur tentang penyidikan maka pada hakekatnya telah pula mengatur tentang penyelidikan, karena penyelidikan adakan bagian dari penyidikan.  Namun demikian, tidak pada tempatnya jika dalam Hukum Acara Pidana yang ditentukan dalam undang-undang di luar KUHAP, pembentuk undang-undang hanya mengatur tentang penyelidikan, tetapi tidak mengatur bagian utamanya, yaitu ketentuan tentang penyidikan. Sementara itu,  Pasal 36 huruf c, d, h, dan i  dan Pasal 41 ayat (1) dan (2)  UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur kewenangan penyelidikan oleh KPPU, tetapi tidak memberikan kepada komisi tersebut kewenangan penyidikan. Penyidikannya menurut Pasal 44 ayat (4) dan (5)  UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, yaitu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 jo Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP. Dengan demikian, penyidikan tindak pidana dalam  UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat  dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP (Penyidik Polri), karena UU tersebut sama sekali tidak membentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP dan karenanya tidak mengatur kewenangannya sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. 

Konstruksi pengaturan penyelidikan tanpa pengaturan penyidikan yang dilakukan dalam UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, merupakan pengaturan yang tidak lengkap (incomplete), yang tidak sejalan dengan asas kepastian hukum (legal certainty), proses hukum yang adil dan penerapan prosedur yang tidak memihak (due process and fair procedure), serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.  Apalagi dalam pasal-pasal tersebut kewenangan “penyelidikan” KPPU selalu dialternatif-kumulatifkan (dan atau) dengan “pemeriksaan” administrasi yang juga merupakan wewenang lembaga tersebut.  Pembentuk undang-undang tidak melakukan diferensiasi dengan memadai antara kewenangan dalam domain Hukum (Acara) Pidana dan kewenangan dalam domain Hukum Administrasi. Akibatnya penyelahgunaan dengan “mempertukarkan” atau “mencampuradukkan” kedua kewenangan yang masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda tersebut sangat mungkin dilakukan oleh KPPU. Bukan tidak mungkin, pengaturan dalam UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut menjadi “lapak” memperdagangkan pengaruh (trading in infuence) bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, menjadi tugas Mahkamah Konstitusi menghentikan “praktek tidak sehat atau curang” yang mungkin dilakukan KPPU dengan  “mempertukarkan” atau “mencampuradukkan” kewenangan penyelidikan dan pemeriksaan tersebut.

Terakhir dapat saya kemukakan, dalam KUHAP pengaturan mengenai pejabat “penyelidik” (Pasal 4 dan 5 KUHAP) dan pengaturan tentang pejabat “penyidik” (Psal 6 s/d 12 KUHAP berada pada Bagian Kesatu tentang Penyelidik dan Penyidik, dalam bab IV KUHAP  tentang “Penyidik dan Penuntut Umum”. Hal ini menunjukkan bahwa penyelidik sepenuhnya subordinat  dari penyidik. Hubungan penyidik dan penyelidik adalah hubungan atasan-bawahan (superior-inferior), sehingga meraka berada dalam susunan hirartkis, dimana pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelidikan sepenuhnya dipertanggungjawabkan penyelidik kepada penyidik. Dalam rangka menjamin keterpaduan dalam pelaksanaan kewenangan penyelidik dan penyidik, kewenangan penyelidikan dan penyidikan seharusnya diberikan pada instansi yang sama. Ketentuan KUHAP tentang pejabat “penyelidik” dan pejabat “penyidik” di atas adalah pengaturan dalam institusi Polri sebagai general investigator. 

Berbeda halnya dengan UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, justru penyelidik dan penyidik merupakan   pejabat dari instansi yang berbeda. Penyelidik tindak pidana dalam UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah KPPU, sedangkan penyidiknya dalah Penyidik Polri. Sementara undang-undang tersebut tidak menentukan atau tidak mendelegasikan kepada peraturan perundangan yang lebih rendah tentang syarat pendidikan/pelatihan, kepangkatan, maupun kompetensi penyelidik KPPU. Oleh karena itu, hubungan hirarkhis yang seyogianya terbangun, sama sekali tidak diintrodusir dalam undang-undang tersebut    

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat justru “merusak” hubungan tata kerja antara penyidik dan penyelidik. Pasal 44 ayat (4) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat justru mengandung isyarat direktif dari penyelidik kepada penyidik. Dalam hal ini KPPU yang berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) menyerahkan “(ke)putusan” administrasi yang telah diambilnya kepada penyidik “untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dalam hal pelaku usaha tidak melaksanakannya dalam tenggang waktu (tiga puluh) hari sejak keputusan tersebt diberitahukan. Mengingat KPPU juga mempunyai kewenangan sebagai penyelidik, maka penyerahan (ke)putusan KPPU untuk dilakukan penyidikan oleh Penyidik Polri dapat dipandang sebagai “perintah” dan  bersifat “imperatif”. Dalam hal ini Penyidik Polri bukan “dapat” melakukan penyidikan sesuai KUHAP, tetapi karena penyerahan keputusan tersebut   “untuk dilakukan penyidikan”  menyebabkan seolah-olah hal itu merupakan direktif penyelidik terhadap penyidik, yang “harus” dilakukan, sehingga mendudukan Penyidik Polri justru  secara hirarkhi seperti “dibawah” penyelidik/KPPU. 

Ketentuan direktif juga terlihat dari Pasal   44 ayat (5) UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menentukan: “Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan”. Dengan undang-undang ini, Keputusan KPPU mau tidak mau harus dipandang oleh Penyidik Polri sebagai “bukti permulaan yang cukup”. Dalam KUHAP istilah “bukti permulaan” digunakan untuk penetapan tersangka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, dan istilah “bukti permulaan yang cukup” digunakan untuk melakukan penangkapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP. Kedua hal tersebut merupakan domain kewenangan penyidik, dan bukan penyelidik, sehingga adanya ketentuan tersebut telah menyebabkan penyidik kehilangan “independensinya”. Padahal pelaksanaan kewenangan penyelidik dan penyidik, merupakan bagian dari criminal justice system, yang dalam arti luas merupakan ejawantah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (1) jo ayat (2) UUD NRI tahun 1945.

Keseluruhan uraian di atas, menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Pidana, cukup menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan seluruh permohonan Pemohon, terkait konstitusionalitas UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, Pasal 41 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 ayat (4) dan (5), yang menjadi wilayah keahlian saya sebagai Ahli Hukum Pidana.  Memang ketika apa yang dialami Pemohon (principal) belum mengemuka, setelah lebih dari 17 tahun undang-undang ini berlaku, tidak dirasakan adanya pelanggaraan hak-hak konstitusional yang bersangkutan, karena penormaan dan penerapan pelaksanaaan kewenangan penyelidikan oleh KPPU berdasarkan UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Namun dilihat dari masa pembentukannya, UU  No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memang tergolong  panic regulation, ketika pemerintah transisional pada waktu itu berusaha membuktikan kepada publik bahwa tuntutan reformasi hukum telah dipenuhi. Akan  tetapi bukan tidak mungkin justru kebijakan legislasi itu disusupi  kepentingan ekonomi negara lain, yang pada gilirannya mengabaikan hak asasi manusia bagi pelaku usaha bangsa Indonesia sendiri.  Wallahu’alam.

26 Oktober 2016

PEMBATASAN/STANDARISASI PENERAPAN HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA KEJAHATAN SERIUS



Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.[1]
Pengantar
          Tema dari Seminar Internasional yang diprakarsai Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta) ini adalah “Pelaksanaan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, dalam hal mana saya diminta untuk membahas sub tema tentang “Pembatasan/Standardisasi Penerapan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius”. Dalam hal ini, pada temanya Panitia menggunakan istilah “pelaksanaan”, yang maknanya tertuju pada “eksekusi” pidana mati, tetapi pada sub tema yang menjadi porsi pembicaraan saya, panitia menggunakan istilah “penerapan”, yang berkonotasi pada  “penjatuhan” pidana bagi terdakwa oleh hakim. Masalah pada tema seminar merupakan wilayah executive policy, sedangkan dalam sub temanya merupakan domain judicative policy. Pada dasarnya kedua masalah ini memiliki problematik yang berbeda dalam Sistem Hukum Indonesia.

PEMBATASAN/STANDARISASI PENERAPAN HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA KEJAHATAN SERIUS



Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.[1]

Pengantar
          Tema dari Seminar Internasional yang diprakarsai Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta) ini adalah “Pelaksanaan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, dalam hal mana saya diminta untuk membahas sub tema tentang “Pembatasan/Standardisasi Penerapan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius”. Dalam hal ini, pada temanya Panitia menggunakan istilah “pelaksanaan”, yang maknanya tertuju pada “eksekusi” pidana mati, tetapi pada sub tema yang menjadi porsi pembicaraan saya, panitia menggunakan istilah “penerapan”, yang berkonotasi pada  “penjatuhan” pidana bagi terdakwa oleh hakim. Masalah pada tema seminar merupakan wilayah executive policy, sedangkan dalam sub temanya merupakan domain judicative policy. Pada dasarnya kedua masalah ini memiliki problematik yang berbeda dalam Sistem Hukum Indonesia.

18 September 2016

Haris Azhar Dapat Dipidanakan


Dr.Chairul Huda,SH.MH.

Jakarta, Tengokberita.com - Tim Pencari Fakta Polri yang bertugas menyelidiki tulisan Haris Azhar di media sosial tak menemukan adanya bukti dugaan tindak pidana oknum BNN, TNI, dan Polri yang disebut-sebut memeras dan menerima setoran ratusan miliar dari Freddy Budiman. Lantas bagaimana nasib Haris Azhar yang kadung mempublish tulisan tersebut hingga dilaporkan institusi BNN, TNI bahkan Polri yang merasa diserang kehormatannya?

Menurut pakar hukum pidana Chairul Huda, Bareskrim bisa melanjutkan proses hukum terhadap Koordinator Kontras tersebut. Sebab, hasil penyelidikan yang dilakukan TPF mengindikasikan tulisan Haris Azhar tersebut mengandung unsur penghinaan. "Ya tidak ada bukti bahwa yg dikemukakan Haris Azhar itu berasal dari Freddy Budiman," ujar Chairul Huda menjawab Tengokberita.com, Kamis (15/9/2016).
Chairul mengatakan, penghinaan yang dilakukan Haris Azhar bukan ditujukan kepada perorangan. "Kalau 311 KUHP itu kan fitnah terhadap perseorangan. Pernyataan Haris Azhar kan bukan tertuju pada orang perseorangan. Kalau terhadap institusi itu (melanggar) Pasal 207 KUHP," katanya menerangkan.
Sejatinya, Pasal 207 KUHP bisa dilakukan penyidikannya meskipun tanpa adanya aduan dari pihak korban. "Ini bukan delik aduan. Penyelidikan yang dilakukan Bareskrim bisa dilanjutkan lagi," katanya. Ketika ditanyakan apakah Polisi bisa atau harus melanjutkan proses hukum karena delik tidak bersifat aduan, Chairul menjawab "Ya bisa, bukan harus,  kan bisa saja laporan atas kasus tersebut dicabut. Dan di Indonesia penuntutan pidana menganut asas oportunitas. Penuntutan tersebut dalam arti luas termasuk penyelidikan tentunya," katanya.
Ketika diminta pendapatnya saat ditanya apakah baiknya Polisi melanjutkan proses hukum atau menghentikan, Chairul mengatakan sebaiknya tidak diteruskan sepanjang Haris mengklarifikasi tulisannya. "Tapi kalau ngotot terus merasa apa yg dikemukakan itu bisa dibuktikan, ya diproses aja," kata dia seraya menutup percakapan.

29 Agustus 2016

EKSEKUSI PIDANA MATI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 107/PUU-XIII/2015



Pengantar
Dr. Chairul Huda, S.H.,M.H.
Eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana menjadi tugas dan kewenangan Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia, seperti yang diamaanatkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan mengeksekusi putusan kerap mendapat perhatian masyarakat, terlebih-lebih berkenaan dengan eksekusi mati.  Kontroversi berkenaan pidana mati rupanya melebah hingga eksekusianya, dan bukan semata-mata dalam ranah legislative and judicatice policy. 
 Persoalan ini semakin riuh setelah Mahkamah Konsititusi mengeluarkaan Putusan Nomor: 107/PUU-XIII/2015. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menghapuskan ketentuan pengajuan grasi yang hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pidana mati berkekuatan hukum tetap. Padahal Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi  sebagaimana diubaah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010, menentukan bahwa pengajuan Permohonan Grasi menunda pelaksanaan putusaan pidana mati hingga Presiden memutuskan tentang diterima atau ditolaknya perohonan tersebut. Tentunya hal ini pada giirannya cukup berpengaruh terhadap Tugas Jaksa sebagai pelaksana putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap. Tentunya pembahasan ini juga tidak terlepas sorotan tentang apaakah hal tersebut  dapat menjadi kendala dalam melakanakan  putusan  dimaksud, terutama karena adanya Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor: 107/PUU-XIII/2015 tersebut.

19 Agustus 2016

Kesengajaan Dalam Penyertaan



Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
Pada masa sekarang terdapat kecenderungan bahwa umumnya pengujudan suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, dengan melibatkan lebih dari satu orang. Padahal umumnya rumusan delik itu hanya dipersiapkan untuk pembuat tunggal, sehigga ketentuan tentang penyertaan  (deelneming), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan 56 KUHP menjadi sangat strategis. Ketentuan tersebut itulah yang menyebabkan mereka yang bukan pelaku langsung dapat dipandang juga karena  telah “melakukan tindak pidana”. Mereka yang “menyuruh melakukan”, “menganjurkan”, ataupun  “turut serta melakukan” tindak pidana itu, juga dipandang melakukan delik itu dan dapat dipidana yang sama dengan mereka yang “melakukan”. Belum lagi mereka yang “membantu melakukan” suatu delik, juga dipandang telah melakukan tindak pidana, sekalipun pidana yang dapat dijatuhkan padanya sedikit lebih ringan (dikurangi sepertiga), kecuali dalam tidak pidana berat seperti makar, korupsi dan terorisme dapat dipidana yang sama dengan pembuat materielnya.
          Persoalan pokok yang hingga kini selalu menjadi masalah dalam praktek adalah “bentuk kerjasama” diantara mereka dan “persyaratan dapat dipertanggungjawabkannya” para peserta karena perbuatannya itu. Terutama  dalam penyertaan itu yang berupa “turut serta melakukan” atau “medeplegen”, yang sekarang   ini makin kabur batas-batasnya. Kesesatan yang paling menonjol berkenaan mengenai “turut serta” adalah  menyamaartikan hal itu dengan “bersama-sama” melakukan delik. Tidak dinilai adanya kesamaan kualitas personal atau tidak diantara mereka, dengan berada dalam rangkaian terjadinya delik, perannya besar atau kecil, serta  disadari atau tidak berada dalam rangkaian delik itu, mereka semua dipidana dengan perantaraan Pasal 55 KUHP tersebut.  Pasal ini telah dijadikan dasar menjatuhkan pidana (strafausdehnungsgrunde), dan bukan dasar menentukan apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (taatbetandausdehnungsgrunde) dan dapat dipersalahkan atas hal itu (schuldausdehnungsgrunde). Tidak mengherankan kalau pengadilan, terutama Pengadilan Tipikor, dituding sebagai “tempat menghukum”, dan bukan “tempat mengadili”. Pengadilan bukan lagi menjadi “tempat memisahkan orang tidak bersalah dari orang-orang yang bersalah”, tetapi telah menjelma menjadi “tempat menghukum mereka yang diajukan sebagai terdakwa”.
          Dalam penyertaan yang berbentuk turut serta melakukan, kerjasama antara mereka yang melakukan (pleger) dan mereka yang turut serta melakukan (medepleger) mutlak adanya. Dengan kata lain, hanya dengan adanya kerjasama itu delik dapat diujudkan atau tanpa kerjasama itu delik tidak akan terjadi. Para penulis menggunakan istilah “kerjasama yang erat” untuk menggambarkan hal itu, sekalipun diakui pula tidaklah semua mereka harus mengujudkan perbuatan secara bersama-sama dan berada pada tempat yang sama. Pendek kata, mereka “bekerja bersama-sama” dan “sama-sama bekerja” untuk mengujudkan delik itu. Dalam delik suap misalnya, jika pemberian suap  dilakukan oleh beberapa orang, maka masing-masing memainkan peranan penting dalam mengujudkan hal itu.  Dikatakan peranan penting disini tentunya perbuatan yang memiliki kontribusi significant terhadap terpenuhinya unsur  “memberi atau menjadikan sesuatu” kepada penerima suap. Dalam hal ini “deal”, “kesepakatan” atau “janji” memberikan sesuatu atau hadiah itu, karena mereka sepenuhnya berbuat untuk itu. Jika kesepakatan dengan penerima suap hanya dibuat oleh seorang saja, sementara yang lain tidak ambil bagian atas hal itu, maka penyertaan menyuap belum ada, melainkan penyuapan dengan pemberi suap tunggal.
          Selain itu,  kerjasama yang erat saja belum cukup untuk dapat memidana peserta delik. Kerjasama tersebut harus lahir dari kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens). Dengan kata lain, kerjasama dalam penyertaan harus dilakukan dengan kesengajaan (opzettelijke).  Seorang pengemudi taksi yang mengantar penumpangnya ke sebuah mini market, lalu penumpang  tersebut tanpa sepengetahuan pengemudi taksi ternyata merampok kasir mini market itu, dan melarikan diri dengan menumpang taksi yang mengantarnya itu, tidak dapat dipandang adanya kesengajaan  bekerjasama melakukan pencurian dengan pemberatan.    Secara lahiriah memang terlihat ada kerjasama diantara mereka, tetapi dilihat dari segi bathinnya si pengemudi taksi hal itu bukan karena kesadaran atau pengetahuannya (willen en wettens). Tidak ada pemahaman dan keinsyafan bagi pengemudi taksi bahwa perannya mengemudikan mobil menuju dan dari tempat kejadian perkara (crime scene) tersebut, dimaksudkan sebagai perbuatan ambil bagian dari kejahatan penumpangnya. Kerjasama antara pengemudi dan penumpang taksi tersebut bukan suatu hal yang disengaja oleh pengemudi taksi, maka tidak ada kesalahan baginya (zonder schuld).
          Dalam kasus penyuapan, jika pemberian suap (actieve omkoping) terkait dengan beberapa orang, maka kesepakatan yang dibuat salah satu diantara mereka dengan penerima suapnya, harus merupakan suatu hal yang disadari dan diketahui mereka yang lain. Dalam banyak kejadian, yang terjadi justru terputusnya hubungan kerjasama itu dengan kesengajaannya. Dalam pikiran mereka yang menyediakan atau memberikan dana dimaksud, sama sekali bukan  bagi kepentigan penyuapan, namun jelas-jelas dana yang digunakan untuk menyuap berasal darinya. Dalam hal ini tidak terbatahkan adanya kerjasama diantara mereka, tetapi tidak ada kesengajaan bagi penyandang dananya bahwa kontribusi yang disediakan atau diberikannya itu untuk kepentingan suatu delik.
Selanjutnya, setelah dapat dibuktikan adanya kesengajaan dalam berkerjasama dalam penyertaan, maka hal itu juga harus diikuti dengan kesengajaaan terhadap kejahatannya itu sendiri. Dalam literatur Hukum Pidana dikatakan hal itu sebagai “kesengajaan ganda” atau “double opzet”. Kesengajaaan pertama, tadi tertuju pada kepada kerjasamanya, yaitu adanya kesadaran atau pengetahuan dari mereka yang terlibat atas suatu kerjasama diantara mereka. Kesengajaaan kedua tertuju kepada kejahatannya itu sendiri, yatu kesadaran atau pengetahuan dari mereka bahwa keterlibatan mereka semua dalam mengujudkan suatu kejahatan.
Dalam delik penyuapan, inisiatif dan tindakan tersebut tidak boleh datang dari salah satu pihak saja. Dengan demikian, sekalipun hal itu merupakan kepentingan beberapa orang secara bersamaan atau kepentingan orang yang bukan pelaku langsungnya, maka tetap harus dapat dibuktikan kesadaran bersama atas kehendak menyuap dalam hal ini. Dengan demikian, adanya kesamaan kepentingan diantara mereka dalam pemberian suap tidak serta merta dapat dipandang sebagai kesengajaan berkerjasama  dalam memberi suap. Adakalanya berbagai pihak belum benar-benar dapat dipandang sengaja turut serta melakukan kejahatan, karena sebenarnya bagian inti delik itu sendiri masih sangat jauh dari dapat diwujudkan. Beberapa orang menyiapkan sejumlah uang dan menyerahkan kepada seseorang untuk dipergunakan sebagai suap. Sementara orang yang dipercayakan itu belum  memiliki “deal”, “kesepakatan” atau “janji” dengan penerima suapnya. Katakanlah jika telah ada penangkapan terhadap  orang itu, maka dapat dipandang belum ada kesengajaan untuk turut serta melakukan penyuapan bagi penyedia dananya. Dalam banyak kejadian  mereka yang menyatakan mampu “memperatarai” penyuapan sebenarnya hanya berusaha memperdagangkan pengaruh (trading in inffluence) calon penerima.
Betapa pentingnya memahami   “bentuk kerjasama” dan “persyaratan dapat dipertanggungjawabkannya” para peserta delik. Tentunya hal itu untuk benar-benar memastikan bahwa pidana dijatuhkan kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana (actus reus) dan bersalah karenanya (mens rea). Hanya dengan memisahkan kedua hal itu sebagai buah dari cara berfikir yang dualistis, maka pidana dapat dikenakan benar-benar terhadap orang yang memiliki kesalahan. Kesalahan yang memang dibuktikan, dan bukan sekedar diasumsikan ada di dalam tindak pidananya itu ssendiri (inheren), seperti selama ini menjadi cara gampang mereka yang berfikir monistis dalam melihat persoalan ini. Tidak mengherankan jika sekarang ini mereka yang menjadi terpidana banyak yang merasa sebagai orang yang terdzolimi, karena sebenarnya kesalahan mereka hanya berdasarkan asumsi-asumsi belaka. Wallahu’alam.

12 Agustus 2016

Percobaan Penyuapan



Dr. Chairul Huda, SH., MH.

Pada dasarnya delik suap tergolong sebagai delik berpasangan, yang tidak dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan satu pihak, tetapi  harus perbuatan dua pihak sekaligus, yaitu: perbuatan  pemberi suap (actieve omkoping) dan perbuatan penerima suap (passieve omkoping). Dalam literatur delik suap digolongkan sebagai noodzakelijke deelneming (penyertaan mutlak perlu),   yaitu tindak pidana yang hanya dapat terjadi karena kepesertaan pemberi suap dan penerima suap secara sekaligus. Singkatnya, bukan delik suap jika perbuatan yang terjadi hanya perbuatan pemberi saja, dan tidak ada penerimanya, sebaliknya tidak mungkin sebagai suap jika hanya ada penerimanya saja tanpa pemberinya.


 Konsepsi ini berpengaruh dalam ranah praktek, yaitu tidak mungkin menuntut pemberi suap tanpa ada penerimanya. Dalam dakwaan harus terurai tentang peranan kedua belah pihak ini, baik pemberi maupun penerimanya, sekalipun yang sedang didakwa salah satu pihak saja. Dengan demikian, perbuatan yang harus dibuktikan penuntut umum pun, meliputi perbuatan pemberi dan perbuatan penerima.  Menjadi tidak logis jika dalam suatu peristiwa pidana suap menyuap, hanya “berhasil” di tangkap tangan pemberi suap, tanpa penerimanya. Lalu kemudian didakwa telah memberi suap, tanpa ada penerimanya. Kondisi ini menunjukkan suap belum terjadi, karena hakekat dari suap adalah perjumpaan kepentingan pemberi dan penerima.

17 Juni 2016

Tanggapan Terhadap RUU Tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia



Oleh: Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.

Umum

    1.   Urgensi revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian)
a.    Kepentingan revisi UU Kepolisian harus juga diletakkan dalam konteks reformasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, mengingat salah satu fungsi Polri adalah sebagai “penegak hukum”. Dalam hal ini, Polri tidak dapat dipandang semata-mata  pelaksana fungsi pemerintahan, tetapi juga merupakan badan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
 b.Pelaksanaan fungsi Polri sebagai Penegak Hukum menempatkan lembaga ini bukan bagian dari kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, tetapi menjelma menjadi bagian dari kekuasaan yudikatif yang merdeka dan independen, dengan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun juga. Oleh karena itu, patut dipertanyakan “tempus” dari pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU kepolisian (RUU) ini, mengingat sekarang ini sedang dibahas DPR dan Pemerintah RUU KUHP, yang nantinya harus pula diikuti dengan pengajuan RUU KUHAP. Dengan demikian, RUU Perubahan UU Kepolisian seharusnya diajukan “setelah” RUU KUHP dan RUU KUHAP ditetapkan sebagai undang-undang;

     2.   Perubahan atau Penggantian UU Kepolisian
a.    Secara keseluruhan RUU mengadakan perubahan beberapa konsepsi yang bersifat fundamental, seperti berkenaan dengan kedudukan kelembagaan Polri dalam sistem ketatanegaraan, pengisian jabatan Kapolri, prinsip tata kelola dan pelaksanaan fungsi dan tugas, serta reposisi kedudukan Kompolnas. Oleh karena itu, RUU ini sebenarnya lebih tepat sebagai RUU yang mengganti UU Kepolisian dan bukan revisi hal itu. 
b.   Tambahan lagi beberapa perubahan yang lebih merupakan  perbaikan kebahasaan dan teknik perundang-undangan, juga turut direvisi, sehingga telah merubah hakekat undang-undang tersebut secara keseluruhan, dan karenanya kalaupun hal ini dilakukan tidak lagi bersifat perubahan semata; 

Khusus
    3.   Kedudukan Polri dalam Sistem Pemerintahan Negara
a.    Pada dasarnya suatu UU seperti layaknya “bejana berhubungan”, dimana perubahan suatu ketentuan akan berpengaruh pada ketentuan yang lain. RUU tampaknya mengadakan perubahan teknis perundang-undangan, tetapi hal itu justru menjadi “mengganggu” karena “tidak bersambungan” satu sama lain secara sistemis. Misalnya Pasal 2 ayat (1) dan  Pasal 1 angka 1 RUU yang pada dasarnya keduanya berisi “pengertian” dari Polri, yang dalam hal ini menggunakan pendekatan peran (role approach). Apabila disandingkan, revisi yang diusulkan justru membuat hal ini tidak selaras atau bahkan duplikasi yang tidak sama. Dalam hal ini ditentukan:
Pasal 1 angka 1 RUU
“…Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”
Pasal 2 ayat (1) RUU
“Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat”
b.   Dalam RUU, posisi Polri tampaknya ingin “didegradasi” menjadi tidak lagi langsung “dibawah Presiden”. Dalam Pasal 9 ayat (1)  RUU, Kapolri hanya ditempatkan “penanggung jawab penyelenggaraan” fungsi dan tugas  Polri, sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum, dan bukan lagi sebagai “policy maker”, seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 UU Kepolisian, yang bertanggung jawab “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) RUU ini menjadi “pintu masuk” untuk menempatkan Polri di bawah kementerian negara. Padahal posisi Polri berada langsung dibawah Presiden, bukan hanya didasarkan pada UU Kepolisian itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan pelaksanaan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR No. VI/MPR/200 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Fungsi dan Peran TNI dan Polri. Dengan demikian, Polri  di bawah Presiden, sebagai “norma Konstitusi”, yang hanya dapat diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan tidak dapat diubah melalui undang-undang, bentukan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk RUU Perubahan UU kepolisian ini. Dengan kata lain, hanya perubahan Konstitusi yang dapat merubah kedudukan Polri, dari berada dibawah langsung Presiden, menjadi dalam kedudukan lainnya, seperti dibawah lembaga tinggi Negara lain atau bahkan dibawah suatu kementerian negara; 
c.    Meskipun demikian, kedudukan Polri versi Konstitusi dan UU Kepolisian tersebut sangat unik, karena tidak menyebabkan  Presiden mempunyai kewenangan untuk melakukan “intervensi” terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, yang diselenggarakan Polri. Mengingat jika dilakukan hal itu bertentangan dengan Konstitusi dan Sumpah Jabatannya, misalnya dengan mengartikan kedudukan tersebut juga dimaknai dalam pelaksanaan fungsi Penyidik (Polri), maka berada “dibawah Presiden” menyebabkan kekuasaan eksekutif  dapat menentukan kelangsungan atau penghentian suatu proses hukum. Konstruksi ini menyebabkan makna kemerdekaan dan kemandirian proses penegakan hukum itu menjadi kabur, bahkan hilang sama sekali;
d.   Polri karenanya tidak dapat dan tidak boleh berada dibawah Presiden dalam pengertian yang sama dengan kedudukan Kementerian Negara apalagi dibawah suatu kementerian negara. Artinya, kalaupun dibentuk kementerian dibidang keamanan yang menterinya dijabat oleh Kapolri, hal itu tidak dimungkinkan secara konstitusional. Kapolri tidak boleh merangkap Menteri pada Kementerian Kamtibmas, karena hal itu menyebabkan penegakan hukum menjadi murni urusan pemerintahan. Amanat Konstitusi yang menempatkan Kapolri dibawah Presiden secara langsung hanya dalam hubungannya dengan “urusan pemerintahan dibidang keamanan”, tetapi bukan sama sekali dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penegakan hukum pidana melalui Sistem Peradilan Pidana;

    4.   Asas-asas Pelaksanaan Fungsi dan Tugas Polri
a.    Pasal 2A RUU pada dasarnya memuat ketentuan baru tentang asas-asas yang harus diperhatikan dalam “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian serta pelaksanaan fungsi dan tugas Polri. Dalam hal ini dtentukan:
Pasal 2A
Polri dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berlandaskan pada asas:
a.    profesionalitas;
b.   keterbukaan;
c.    akuntabilitas; dan
d.   netralitas.

b.   Tampaknya konseptor RUU kurang “memahami” konsepsi teoretis hubungan asas dan aturan Hukum dalam suatu norma UU. Ada baiknya dipelajari tulisan-tulisan dari Paul Scholten, Ronald Dworkin atau Roeslan Saleh mengenai hal ini. Pada dasarnya para ahli terkemuka itu menyatakan bahwa asas hukum adalah “pikiran-pikiran yang berada didalam atau dibelakang suatu aturan hukum”. Jadi penormaannya bukan dengan “menyebutkan” asas-asas dimaksud tetapi dengan membuat norma aturan yang mengandung atau menegaskan berlakunya suatu asas hukum. Oleh karena itu, justru seharusnya substansi “penjelasan” Pasal 2A RUU yang “diangkat” menjadi norma, dan penamaan asas-asas itu justru yang ditempatkan dalam penjelasan. Dengan demikian, sebaiknya hal ini dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 2A
Pelaksanaan fungsi dan tugas Polri dilaksanakan:
a.    berdasarkan keahlian, kapabilitas, dan sumpah sebagai Pimpinan, Pejabat dan Anggota Polri, serta senantiasa menjaga keluhuran dan kredibilitas Polri;
b.   secara terbuka, responsif, dan memudahkan akses informasi bagi masyarakat;
c.    dengan bertanggung jawab penuh, baik secara etik, disiplin, maupun hukum dan peraturan perundang-undangan.
d.   dengan berpegang pada kebenaran, tidak memihak, bebas intervensi, antidiskriminasi, dan menjunjung tinggi hukum demi terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara.

Penjelasan Pasal 2A
Pada dasarnya ketentuan memuat asas-asas yang harus diperhatikan dalam  “menetapkan” menyelenggarakan” dan “mengendalikan” kebijakan teknis kepolisian serta pelaksanaan fungsi dan tugas Polri., yaitu:
a.    profesionalitas;
b.   keterbukaan;
c.    akuntabilitas; dan
d.   netralitas.  
    5.   Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri
a.    Pasal 10A dan 11 RUU “membalik” kewenangan pengangkatan Kapolri dari executive heavy menjadi legislative heavy. Setidaknya, pada dasarnya ketentuan ini menyebabkan Presiden “tersandera” DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam hal ini tergambar dengan jelas dari ketentuan Pasal 10A ayat (3), (4) dan (5)  RUU, yang menentukan:
Pasal 10A
(3)  Sebelum mengusulkan pengangkatan Kapolri kepada DPR, Presiden terlebih dahulu mengusulkan pemberhentian Kapolri  kepada DPR beserta alasan dengan memperhatikan pertimbangan dari Komisi Kepolisian Nasional.
(4)  Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul pemberhentian Kapolri oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR.
(5)  Jika DPR menolak usul pemberhentian Kapolri maka Presiden menarik kembali usulannya dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.
 b.   Pada dasarnya pemberhentian Kapolri semata-mata harus ditempatkan sebagai bagian dari hak prerogatif Presiden, dan bukan sebagai “syarat” pengangkatan Kapolri. Pemberhentian Kapolri merupakan konsekuensi logis dari kehendak Presiden untuk menunjuk Kapolri “baru” dan karenanya Kapolri “lama” harus diberhentikan.
    6.   Hubungan Penyidik Polri dan PPNS
a.    Pasal 15 ayat (2) huruf j dan l RUU menegaskan kembali hubungan Penyidik Polri PPNS yang oleh berbagai undang-undang telah dibuat “merenggang”.  Hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS dan PPNS khas yang telah diatur dalam KUHAP telah diabaikan oleh pembentuk UU sendiri dalam berbagai produknya. Pola umum hubungan antara Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS dan PPNS berangsur-angsur dikecualikan atau dikesampingkan oleh  praktek,  termasuk oleh swa regulasi yang dibuat oleh Kejaksaan. Dampak hal ini antara lain:
1)   Penegakan hukum yang dilakukan oleh PPNS yang tidak terlebih dahulu menjalankan koordinasi dengan Penyidik Polri dapat berakibat fatal jika mendapatkan resistensi dari masyarakat atau perlawanan dari para kriminal;
2)   Adanya tindak pidana-tindak pidana yang murni menjadi kewenangan PPNS, dan undang-undang tidak memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana-tindak pidana tersebut kepada Polri, menimbulkan rechtsvacuum, dalam bentuk keabsenan negara melakukan tindakan penegakan hukum, jika PPNS tersebut belum terbentuk. Misalnya, tindak pidana-tindak pidana yang menjadi kewenangan PPNS Kereta Api, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian, yang sejauh pengetahuan penulis hingga kini belum terbentuk.
3)   Penyerahan  berkas perkara dari PPNS yang diserahkan ke Penuntut Umum tidak melalui penyidik Polri, padahal sesuai ketentuan dalam Pasal 107 ayat (3) KUHAP menyebutkan PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;
4)   Penyidik Polri tidak pernah menerima turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan yang dikirim Penuntut Umum ke pengadilan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Akibatnya Penyidik Polri juga tidak bisa melakukan pengawasan kepada PPNS yang “menyerahkan langsung” Berkas Perkara kepada Penuntut Umum, selain juga menyebabkan Penyidik Polri tidak dapat mengikuti perkembangan proses penuntutan perkara PPNS tersebut di pengadilan;     
5)   Dalam hal PPNS membutuhkan bantuan dalam penyidikan, maka kedudukan Penyidik Polri sebagai KORWAS PPNS seharusnya dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan kewenangan PPNS;
6)   Kedudukan Polri sebagai KORWAS PPNS juga terkait dengan kerjasama internasional penegakan hukum (mutual legal assistance)    yang selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara informal melalui kerja sama police to police.
b.   Persoalan “meregangnya” hubungan antara PPNS dengan Penyidik Polri selaku KORWAS PPNS, seharusnya diatasi dengan membangun sinkronisasi. Mengingat hal ini juga wujud dari terfragmentasinya sistem atau subsistem yang dapat berakibat pada penurunan daya guna dan hasil guna penanggulangan kejahatan,  baik substansi, struktural maupun kultural. Persoalan pokok mengenai hal ini perkembangan yang hendak diusung oleh RUU ini justru tidak sejalan dengan RUU KUHAP, yang membagi dan menjadikannya sebagai masing-masing penyidik yang independen, Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Lembaga.
     7.   Reposisi Kompolnas
a.    Tidak disangsikan lagi jika ketentuan tentang Kompolnas dalam UU Kepolisian sangat sumir bahkan bersifat lips service semata. Oleh karena itu empowerment Kompolnas yang dimuat dalam Pasal 37, 38, 38A, 38B, 39,  39A dan 39B RUU merupakan perkembangan positif.
b.   Kompolnas sebenarnya harus didorong menjadi Komisi Kepolisian yang berada disetiap Polres, sehingga dapat berfungsi sebagai police complaint committee.
c.    Beberapa hal yang seharusnya secara tegas menjadi kewenangannya dalam menjamin adanya akuntabilitas publik proses penegakan hukum. Baik pelaksanaan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan didepan pengadilan. Misalnya, menurut Roslyn Muraskin dan Albert R. Robert setiap lembaga kepolisian dituntut akuntabilitasnya setidaknya terhadap hal-hal sebagai berikut:
 1)   penggunaan kekuatan bersenjata/kekerasan;
2)   keputusan menangkap dan menahan  tersangka;
3)   hasil tes penggunaan narkotika dan zat psikoaktif lainnya;
4)   hasil dengar pendapat dan promosi pejabat kepolisian;
5)   diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin atau usia;
6)   pembukaan catatan rahasia (termasuk rahasia bank) dan privacy
7)   manajemen rumah tahanan