26 Oktober 2016

PEMBATASAN/STANDARISASI PENERAPAN HUKUMAN MATI BAGI TERPIDANA KEJAHATAN SERIUS



Dr. Chairul Huda, SH. MH.
Oleh: Dr. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.[1]

Pengantar
          Tema dari Seminar Internasional yang diprakarsai Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta) ini adalah “Pelaksanaan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, dalam hal mana saya diminta untuk membahas sub tema tentang “Pembatasan/Standardisasi Penerapan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius”. Dalam hal ini, pada temanya Panitia menggunakan istilah “pelaksanaan”, yang maknanya tertuju pada “eksekusi” pidana mati, tetapi pada sub tema yang menjadi porsi pembicaraan saya, panitia menggunakan istilah “penerapan”, yang berkonotasi pada  “penjatuhan” pidana bagi terdakwa oleh hakim. Masalah pada tema seminar merupakan wilayah executive policy, sedangkan dalam sub temanya merupakan domain judicative policy. Pada dasarnya kedua masalah ini memiliki problematik yang berbeda dalam Sistem Hukum Indonesia.

          Selain itu, dalam sub tema yang menjadi tugas saya, Panitia menggunakan istilah “pembatasan/standardisasi”, yang seolah-olah dimaksudkan untuk mencari dasar-dasar yang membatasi penjatuhan atau pelaksanaan pidana mati atau setidak-tidaknya dimaksudkan untuk menemukan standard penjatuhan atau pelaksanaan pidana mati. Dalam pandangan saya “pembatasan” hanya mudah dilakukan dalam tataran legislatif policy, ketika pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya menetapkan suatu perbuatan dengan “ancaman” pidana mati. Demikian juga “standardisasi”, menurut saya lazimnya digunakan sebagai instrumen yang seyogyanya dipedomani oleh hakim (guidelines sentencing), ketika akan “menjatuhkan” pidana mati bagi terdakwa. Tentu kedua issue di atas tidak relevan untuk dibahas disini, mengingat persoalan pelaksanaan dan/atau penerapan pidana mati disini dilakukan terhadap “terpidana”.  Sementara agak sukar menemukan “pembatasan/standardisasi” bagi “pelaksanaan” atau “eksekusi” (penerapan?) pidana mati oleh pemerintah (Jaksa) terhadap terpidana. Mengingat pada dasarnya pelaksanaan pidana mati tidak lain dan tidak lebih daripada apa yang dinyatakan didalam amar putusan tentang hal itu, dan tidak dapat diubah kecuali dengan “keputusan  politik” yang menjadi hak prerogatif Presiden (grasi, amnesti atau abolisi).
Sementara itu, jika pembahasan seminar ini fokus pada  persoalan pelaksanaan eksekusi mati, maka penggunaan istilah “kejahatan serius” di ujung tema dan sub tema,  menurut saya  hal ini sama sekali tidak lagi penting. Kejahatan serius terutama diartikan sebagai tindak pidana yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 huruf b United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Transnational Organized Crime” (Konvensi PBB menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi) atau seperti pendapat sebagian orang yang mengartikan kejahatan serius sebagai tindak pidana yang pelakunya dapat ditahan (arrested crime), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sehingga hal ini sebenarnya tidak bersangkut paut dengan eksekusi pidana.
Istilah kejahatan serius (serious crime), ataukah “kejahatan sangat serius” (most serious crime), seperti yang dimaksudkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP), tidak lagi relevan dikaitkan dengan  pembatasan/standardisasi pelaksanaan pidana mati. Dalam hal ini  ketika pidana mati telah dijatuhkan oleh hakim dalam kejadian konkrit, maka sudah barang tentu hal itu merupakan kejahatan serius atau kejahatan sangat serius. Persoalan Serious crime ataukah most serious crime keduanya hanya penting dalam tataran legislatif policy, dan bukan judicative policy apalagi executive policy.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya pelurusan-pelurusan harus terlebih dahulu dilakukan, supaya jalannya pembahasan seperti yang diharapkan. Tentunya hal ini juga dimaksudkan supaya para pembicara, terutama saya, dan audience, berada pada frekuensi yang sama.  Kekeliruan perabaan saya terhadap ruang lingkup seminar ini sepatutnya dimaafkan.

Problematika HAM dalam Pengancaman Pidana Mati
          Ketika Indonesia masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukumnya, maka tidak ada satu negara atau pihak manapun yang boleh ikut campur soal itu. Demikian pula halnya dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, saya kira ikut memprakarsai dan mendukung seminar ini juga bukan dalam rangka mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum nasional adalah “pilihan” Bangsa Indonesia, dan seyogyanya semua negara atau pihak lain menghormati hal itu. Tidak pula dengan Indonesia meratifikasi KIHSP seolah-olah timbul kewajiban Indonesia untuk melakukan abolisionisasi terhadap pidana mati, mengingat Kovenan masih “mentolelir” pengancaman dan penjatuhannya sepanjang tertuju pada most serious crime. Dengan kata lain, terkait legislative policy mestinya tidak ada perdebatan terkait issue HAM dalam menggunakan pidana mati untuk mengancam kejahatan dimaksud.
          Dalam Hukum Pidana Indonesia, pengancaman pidana mati dapat ditemukan dalam rumusan-rumusan tindak pidana sebagai berikut:


1.   Dalam KUHP, meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
a.    Makar dengan maksud membunuh Presiden dan Wakil Presiden, merampas kemerdekaannya atau membuatnya tidak dapat memerintah  (Pasal 104 KUHP);
b.   Pengkhianatan dengan mengadakan hubungan dengan negara asing untuk bermusuhan atau berperang apabila permusuhan atau perang itu jadi dilakukan (Pasal 111 ayat (2) KUHP);
c.    Pengkhianatan pada waktu perang, menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi dikalangan Angkatan Perang  (Pasal 124 ayat (3) KUHP);
d.   Makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut (Pasal 140 ayat (3) KUHP);
e.    Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 340 KUHP);
f.     Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP);
g.    Pemerasan dengan kekerasan yang berakibat orang lain luka berat atau mati (Pasal 368 ayat (2) KUHP);
h.   Perompakan di laut, pesisir atau sungai yang mengakibatkan kematian orang di kapal yang dirompak,  (Pasal 444 KUHP);
i.     Pembajakan pesawat yang dilakukan dua orang atau lebih, dengan direncanakan lebih dulu, dilakukan untuk merampas kemerdekaan orang dan mengakibatkan matinya seseorang atau kerusakan atau hancurnya pesawat udara (Pasal 479k ayat (2) KUHP;
j.     Perbuatan kekerasan terhadap seseorang di pesawat udara dalam penerbangan atau merusak pesawat dalam dinas yang  mengakibatkan matinya seseorang atau kerusakan atau hancurnya pesawat udara itu (Pasal 479o ayat (2) KUHP;
2.   Dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api), yaitu perbuatan memasukan ke atau mengeluarkan dari Indonesia, memproduksi, mendistribusikan, memiliki, mempergunakan   senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api);
3.   Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, memperjualbelikan, mempergunakan untuk orang lain yang mengakibatkan kematian Narkotika Golongan I  dan II yang  beratnya melebihi 5 (lima) gram, atau penganjurannya  (Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), dan Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);
4.   Dalam Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, yaitu perbuatan  korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara  yang  dilakukan dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi)
5.   Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM , yaitu perbuatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan  (Pasal 8, 9, 36, 37, 41, dan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
6.   Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu perbuatan menempatkan, membiarkan, melibatkan anak dalam perbuatan penyalahgunaan Narkotika (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)
7.   Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, yaitu menebarkan teror (Pasal 6, 8, 9, 10, 14, dan 16 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme);

Berdasarkan uraian di atas, dalam stadia perundang-undangan pidana Indonesia, tampak jelas bahwa pidana mati diancamkan terhadap most serious crime, yang terutama hal ini tertuju terhadap perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain atau setidak-tidaknya membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut mengancam hak dasar manusia, yang paling dilindungi oleh piagam hak asasi manusia manapun, dan sebagai hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan bagaimanapun (non derogable rights) Konstitusi.  Hanya tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yang relatif tidak terlalu berhubungan dengan kematian orang.
Apabila dicermati, sebagian delik yang diancam dengan pidana mati merupakan peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda (makar, penghianatan, pencurian dan pengancaman dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian, perompakan yang mengakibatkan kematian)  sebagian lagi merupakan tindak pidana-tindak pidana yang diadakan sebagai respons bangsa Indonesia terhadap konvensi-konvensi internasional (pembajakan pesawat, korupsi, terorisme, pelanggaran HAM berat). Jadi tidak ada sama sekali delik yang diancam dengan pidana mati yang merupakan buatan asli bangsa Indonesia.
Legal policy bangsa Indonesia sebenarnya hanya  “melanjutkan” atas perundang-undangan peninggalan kolonial yang mengancamkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu. Sekalipun Kerajaan Belanda telah menghapuskan pidana mati sejak 1870 (kecuali terhadap tindak pidana dalam keadaan perang dan didalam lingkungan angkatan bersenjata), tetapi pemerintahan kolonial Belanda tetap memberlakukan pidana mati di Indonesia (baca: nusantara) pada masa kolonial. Kebijakan hukum yang demikian itu, menyebabkan ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan Tahun 1945, pidana mati masih menjadi bagian dari Hukum Pidana Indonesia hingga sekarang ini. Jadi sebenarnya kalau Indonesia sekarang dengan pidana matinya dipandang melanggar HAM, maka hal itu bermula dari ulah bangsa Belanda yang secara tidak adil membawa dan menerapkan pidana mati di Indonesia, sementara di negaranya sendiri telah menghapuskannya. Perkenalan bangsa Indonesia dengan pidana mati semata-mata atas “jasa” bangsa Barat (Belanda), yang sekarang mengejar-ngejar kita dengan berbagai issue HAM (termasuk dengan seminar ini?).
Sementara itu, tetap “dipertahankannya” pengancaman pidana mati di Indonesia dilatarbelakangi oleh faktor-faktor objektif dan subjektif tertentu yang mempengaruhi social policy berkenaan dengan hal ini. Salah satu kondisi objektif bangsa Indonesia yang mempengaruhi social policy mengenai pidana di Indonesia adalah perlunya “sanksi yang berat” terhadap beberapa tindak pidana tertentu karena telah merebak pada tingkat yang sangat membahayakan keselamatan bangsa, seperti: korupsi, illegal traffic terhadap  narkotika dan psikotropika dan terorisme”. Belum lagi beberapa kondisi objektif bangsa Indonesia lainnya, seperti ancaman disintegrasi dan masih cukup tingginya angka kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan dengan kekerasan lainnya, menyebabkan kejahatan seperti makar, pemberontakan bersenjata dan pembunuhan berencana dipandang (masih) perlu untuk diancam dengan pidana mati.
Sementara itu, social policy yang secara subyektif ikut mempengaruhi penggunaan pidana mati adalah kenyataan bahwa  mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam yang menyebabkan resistensi terhadap pidana mati sangat kecil, sehingga mendorong legislator untuk mempertahankan dan menggunakan pidana mati dalam mengendalikan suatu perbuatan. Berbagai survey yang dilakukan menunjukkan bahwa penolakan pidana mati dibawah 20% dari umumnya mereka yang  mendukung hal itu.
Pengancaman pidana mati dalam undang-undang terhadap delik-delik tertentu sama sekali tidak relevan apabila dikaitkan dengan isu HAM. Memang benar penolakan pidana mati umumnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa jenis pidana ini:
      Inhuman;
      Conflict with human dignity;
      No positive effect on preventing crime;
      No positive effect on safety of society;
Namun demikian, kesemua alasan itu juga dapat terjadi terhadap setiap bentuk pidana yang lain, termasuk penjara ataupun denda. Argumentasi di atas, seharusnya dipandang gugur dengan sendirinya mengingat hal yang sama juga didapati pada jenis pidana manapun.
Sebenarnya jika Hukum Pidana ditempatkan sebagai symbol of sovereignty, maka tekanan, kritik, pertanyaan dari banyak kalangan dalam dan luar negeri, negara-negara yang warga negaranya ikut dieksekusi ataupun dari lembaga-lembaga internasional, termasuk Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat dengan mudah diabaikan. Meminjam kata-kata Sultan Brunei ketika memberlakukan syariah Islam (qisosh) yang ditentang banyak negara karena dipandang kejam dan tidak menghormati hak asasi manusia, yang jika diletakkan dalam konteks Indonesia, bahwa “orang-orang di luar Indonesia harus menghormati kami dengan cara yang sama  seperti kami menghormati mereka” memandang persoalan kebebasan, hak asasi manusia,  termasuk tempat pidana mati dalam Hukum Nasional.
Terlebih-lebih lagi masalah pengancaman Pidana Mati di Indonesia harus dipandang sudah selesai, dengan ditolaknya berbagai permohonan uji materiel terhadap undang-undang yang didalamnya mencantumkan pidana mati oleh Mahkamah Konstitusi, sekalipun tidak dapat dipungkiri masih terdapat sejumlah persoalan yang sebenarnya masih relevan dipersoalkan dan diperbandingkan dengan negara lain.
Bangsa Indonesia sejak kemerdekaan memang meningkatkan (menambah) jumlah penggunaan pidana mati dalam perundang-undangannya, tetapi jika diperhatikan di era Indonesia moderen, pada sisi lain telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan telah melakukan Amandemen Konstitusi sehingga mencantumkan pasal-pasal Hak Asasi Manusia. Penambahan beberapa tindak pidana yang diancamkan dengan pidana mati tidak lain sebagai refleksi atas kebutuhan respons yang keras atas bentuk-bentuk kejahatan tertentu, yang tidak sama bahayanya jika hal itu terjadi di negara-negara lain.


Problematika HAM dalam Penerapan Pidana Mati
          Mencermati penjatuhan pidana mati di Indonesia (penal policy) terhadap beberapa tindak pidana yang terdapat dalam perundang-undangan kolonial, bila dikaitkan dengan masalah HAM, sebenarnya bangsa Indonesia telah cukup banyak melakukan penyesuaian diri. Misalnya, terhadap tindak pidana makar, pidana mati cenderung telah dihapuskan secara de facto. Mengingat tidak terdapat tindak pidana makar yang terjadi yang termasuk makar yang diancam pidana mati. Tindak pidana ini masih cukup banyak terjadi di Papua, Papua Barat, dan Aceh, seperti yang dilakukan FORKORUS YOBOISEMBUT, SELPIUS BOBII, AUGUST MAKRAWEN SANANAY KRAAR, DOMINIKUS SORABUT, dan EDISON KLADUS WAROMI yang mendeklarasikan Negara Federal Papua Barat atau kasus pemberontakan bersenjata Colonel ISAK KALAIBIN sebagai Panglima Komando Daerah Militer II Sorong Raja Ampat, yang merupakan tindakan separatisme dan karenanya tidak berujung penjatuhan pidana mati.  Seperti halnya juga pengadilan yang tidak menjatuhkan pidana mati terhadap  XANANA GUSMAO, yang juga didakwa makar ketika Timor Timur masih menjadi bagian wilayah Republik Indonesia. Bahkan terhadap PANJI GUMILANG yang nyata-nyata mendirikan NII KW9 sama sekali tidak diterapkan pasal-pasal makar yang diancam dengan pidana mati. Dengan demikian, persoalan penjatuhan pidana mati terhadap perbuatan makar, hanya terjadi di masa lalu dan tidak terjadi pada Indonesia masa kini.
          Sebaliknya memang pada sisi lain harus diakui adanya peningkatan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku illegal traffic of drugs (misalnya Duo Bali Nine MYURAN SUKUMARAN dan ANDREW CHAN), RAHEEM AGBAJE SALAMI, SYLVESTER OBIEKWE NWOLISE dan OKWUDILI OYATANZE, MARTIN ANDERSON, RODRIGO GALARTE dan FREDDY BUDIMAN), terorisme (misalnya AMROZI, IMAM SAMUDRA,  dkk), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (misalnya FABIANUS TIBO dkk), atau pembunuhan berencana (misalnya SURYADI SWABUANA, JURIT bin ABDULLAH, IBRAHIM bin UJANG atau UDIN BOTAK dan DEDI MURDANI yang baru-baru ini divonnis Mahkamah Agung).  Kesemuanya itu, lebih kepada “respons sementara” tentang betapa mengkhawatirkannya kasus-kasus kejahatan tersebut. Menurut pendapat saya, ketika kejahatan-kejahatan di atas dipandang tidak lagi “membahayakan”, boleh jadi secara de facto terhadap kejahatan–kejahatan itu juga dilakukan penghapusan pidana mati, sekalipun secara de jure tidak demikian.
          Meskipun demikian, harus diakui tetap ada persoalan issue HAM dihubungkan dengan penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit, yang terutama lebih tertuju pada persoalan disparitas penjatuhan pidana  terhadap pelaku most serious crime yang masih kerap terjadi. Baik terhadap tindak pidana yang sama ataupun terhadap tidak pidana-tindak pidana yang berbeda. Penerapan pidana mati dalam kasus-kasus konkrit disinyalir  masih belum memiliki acuan yang memungkinkan hal itu dilakukan secara terukur dan non disparity. Khususnya belum memolanya penghindaran penerapan pidana mati terhadap terdakwa yang memiliki faktor-faktor yang meringankan, yang seyogyanya dapat menjadi alasan yang menyebabkan hakim tidak menjatuhkan pidana mati.
          Selain itu, disparitas juga  kerap terjadi dalam kasus peredaran gelap narkotika. Jumlah barang bukti selalu dijadikan dalil/alasan oleh lawyer untuk menunjukkan adanya disparitas, terutama dalam delik penyertaan. Pidana mati dijatuhkan terhadap pemilik narkotika yang jumlahnya lebih sedikit, sedangkan yang jumlahnya lebih banyak malah terhindar dari vonnis mati. Lihatlah MERI UTAMI pemilik 1 kg Heroin divonnis mati, sementara TOMY LIM dan APIP APRIANSYAH pemilik 25 Kg Sabu hanya divonnis 16 tahun penjara. 
          Kedepannya memang perlu diadakan evaluasi yang komprehensif terhadap penjatuhan pidana mati ini. Terutama tentang masih belum seragamnya penerapan hal ini jika dihadapkan pada adanya “faktor-faktor yang meringankan” bagi terdakwa. Sebenarnya setiapkali terdapat faktor yang meringankan, maka penjatuhan pidana mati seharusnya dihindari. Persoalannya adalah belum adanya satu pedoman nasional yang komprehensif tentang apa yang termasuk ke dalam faktor yang meringankan, yang menjadi pertimbangan akhir bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana mati.
          Lihatlah misalnya Pengadilan Negeri Pangkajene No. 57/PID.B/2013/PN.PANGKAJENE, yang menjatuhkan pidana mati terhadap MAARIF bin RUSDI karena pembunuhan berencana yang dilakukannya, yang oleh Pengadilan Tinggi vonnis mati tersebut dibatalkan hanya karena hakim banding melihat unsur perencanaan terbukti semata-mata sebagai pengakuan Terdakwa, sehingga hal itu harus dipandang sebagai faktor yang meringankan baginya. Satu peringanan saja menyebabkan penjatuhan pidana mati menjadi terhalang.
          Selain itu, pidana mati seharusnya juga tidak dijatuhkan ketika terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (first offender). Pidana mati dijatuhkan terhadap mereka yang memang sudah berkali-kali melakukan tindak pidana, dan telah pula dipidana atau menjalani pidana dengan pidana yang lebih ringan dari pidana mati. Jadi memang tertuju pada recidief, sehingga menggambarkan pidana lain semisal pidana penjara tidak membuatnya jera. Pidana mati memang pantas dijatuhkan terhadap FREDDY BUDIMAN, setelah sebelumnya pernah divonnis atas kejahatan yang sama dengan pidana penjara tahun 1997, tahun 2009, tahun 2011, yang kemudian divonnis mati tahun 2012 karena selagi dirinya menjalani pidana penjara tetap mengedarkan narkotika. 
          Pidana mati juga sebaiknya tidak dijatuhkan terhadap old offender, yaitu mereka yang berusia lebih dari 80 tahun. Prinsipnya hukum pidana tidak perlu mempercepat kematian orang ini, sekalipun kejahatannya sangat berat. Tentunya hal ini masih juga dihindari ketika tindak pidana terjadi karena yang bersangkutan menjadi korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Demikianlah misalnya MARY JENE FIESTA VELOSO yang disebut-sebut menjadi kurir narkotika karena yang bersangkutan terjebak  pada jaringan perdagangan manusia di Philipina. 
                   

Problematika HAM dalam Pelaksanaan Pidana Mati
Persoalan HAM yang terkait dalam pelaksanaan mati dalam kasus-kasus konkrit yang kerap menjadi sorotan, yang dapat menimbulkan ketidakadilan bagi sementara terpidana adalah adanya perbedaan perlakuan (non equal process) yang dialami sebagian terpidana mati, ketika waktu pelaksanaan eksekusi tiba. Maksudnya, kurun waktu pelaksanaan eksekusi yang kerapkali berbeda antara satu terpidana dengan tepidana yang lain, yang boleh jadi menimbulkan ketidakpastian, ketidakadilan, dan ketidaknyamanan. Lihatlah FABIANUS TIBO dkk, terpidana mati Kerusuhan Poso dan AMROZI Cs, terpidana mati Bom Bali, dieksekusi dalam kurun waktu yang cukup berbeda sejak putusan terhadap mereka berkekuatan hukum tetap, meskipun pada masa yang kurang lebih sama.  Demikian pula, para pengedar narkotika dalam jumlah besar cukup banyak yang tidak dijatuhi pidana mati, sementara mereka yang menguasai lebih sedikit justru divonnis mati.
             Kedepannya, seharusnya eksekusi pidana mati dilaksanakan bagi mereka yang putusan pidana matinya lebih dulu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini guna menghindari kesan “pilih-pilih”, dalam pelaksanaan pidana mati itu. Apa yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati tahap tiga di era pemerintahan Jokowi-JK,  dimana dari 14 terpidana mati yang dipersiapkan, akhirnya hanya 4 terpidana yang dieksekusi, yang mengesankan adanya “pilih-pilih” yang boleh jadi telah menim bulkan pelanggaran HAM.
Pelaksanaan (eksekusi) pidana mati sebaiknya tidak lagi dilaksanakan terhadap terpidana-terpidana tertentu, dengan alasan untuk menghindari pelanggaran HAM, karena dipandang double penalty karena selama ini menunggu eksekusi dilakukan dengan menjalani pidana penjara, mengingat notabene terpidana mati ditempatkan di lembaga pemasyarakatan seperti layaknya terpidana penjara. Untuk sementara ada baiknya digunakan ukuran yang terdapat dalam ius constituendum, RUU KUHP, dimana  kelemahan-kelemahan dalam penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati diatasi dengan memperkenalkan “pidana mati bersyarat”.
Pasal 89 ayat (1) RUU KUHP menentukan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun, jika:
a.    Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b.   Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki
c.    Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan;
d.   Ada alasan yang meringankan;
Sedangkan Pasal 89 ayat (2) RUU KUHP menentukan jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkn sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Berdasarkan ketentuan ini, maka sebaiknya terpidana mati yang telah lewat sepuluh tahun dari putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak lagi dieksekusi. Dengan grasi pidananya dapat diubah menjadi seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.
Persoalan pelaksanaan pidana mati kemudian harus dikaitkan dengan putusan   Mahkamah Konsititusi No. 34/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor: 107/PUU-XIII/2015, yang menyebabkaan hal itu harus ditunda. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menghapuskan ketentuan peninjauankembali hanya boleh satu kali dan pengajuan grasi yang hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pidana mati berkekuatan hukum tetap. Padahal ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP sangat penting untuk menjamin kepastian hukum pelaksanaan pidana mati, setelah permintaan kembali diajukan Terpidana ditolak oleh Mahkamah Agung. Demikian pula halnya dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi  sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010, yang diantaranya  sangat menentukan bagi pelaksanaan pidana mati dihubungkan dengan pengajuan grasi.
Pada gilirannya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut cukup berpengaruh terhadap “kepastian waktu“ pelaksanaan putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya berkenaan dengan kapan eksekusi dapat dilakukan, ketika ada upaya Peninjauankembali ataupun Grasi.  Pelaksanaan pidana mati dapat melanggar HAM jika terlalu cepat, juga jika terlalu lama tidak dieksekusi. Dalam KUHAP, sekalipun Peninjauankembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan, tertutama eksekusi jenis pidana yang lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 KUHAP, tetapi hal itu jelas-jelas berbeda jika dihadapkan pada persoalan eksekusi pidana mati, dengan mengacu juga pada Pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Selain itu, dalam pelaksanaan pidana mati juga harus memperhatikan Pasal 2 ayat (2)  Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang memberikan “hak” terhadap Terpidana untuk mengajukan grasi, dimana dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002  tersebut ditegaskan bahwa pengajuan grasi menunda pelaksanaan pidana mati.
Persoalan-persoalan di atas menyebabkan pelaksanaan pidana mati dapat tersandera dengan pelaksanaan hak Terpidana mengajukaan Peninjauankembali atau pengajuan Grasi kepada Presiden. Ujung-ujungnya ketika Jaksa pada Kejaksaan akan melakukan eksekusi putusan pidana mati, maka kotroversi tidak dapat dihindarkan. Pro kontra dalam masyarakat terhadap pidana mati semakin mengemuka, yang mengalahkan esensi penanggulangan kejahatan dengan memfungsionalisasi Hukum Pidana itu sendiri.
Persoalan menjadi semakin kompleks, ketika baik ketentuan mengenai Peninjauankembali maupun grasi, tidak menentukan tenggang waktu pengajuannya. Pasal 264 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa “permintaan Peninjauankembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”. Dengan demikian, pelaksanaan putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap seolah-olah “tersandera” oleh hak Terpidana untuk melakukan Peninjauankembali. Selain itu, ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tetang Grasi, yang semula “membatasi” permohonan grasi hanya dapat diajukan paling lama 1 (satu) tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, justru oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015 telah dinyatakaan bertentangan dengan konstitusi dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini tentunya semakin dapat “mengaburkan”, kapan sebenarnya pelaksanaan pidana mati tersebut dapat dilaksanakan oleh Jaksa dan/atau Kejaksaan.
Lebih-lebih lagi, juga tidak ada tenggat waktu yang pasti kapan Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauankembali dan begitu juga Presiden RI tidak dibatasi waktu tertentu yang rigit untuk memutuskan Pengajuan Permohonan Grasi Terpidana mati.

Pembatasan/Standardisasi Pelaksanaan Pidana Mati
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, pembatasan/standardisasi pelaksanaan pidana mati dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: (1) pidana mati yang tidak dapat dilaksanakan lagi, (2) pidana mati yang sebaiknya diubah dengan grasi menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun, dan (3) pidana mati yang pelaksanaannya ditunda karena alasan tertentu. 
Dalam hal ini pidana mati seharusnya tidak dilaksanakan jika dihadapi keadaan sebagai berikut ini:
1.   Pidana mati tidak dilaksanakan terhadap Terpidana yang telah berusia sangat tua, yaitu di atas 80 tahun;
2.   Pidana mati tidak dilaksanakan terhadap Terpidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap lebih dari 10 tahun;
3.   Pidana mati tidak dilaksanakan terhadap Terpidana yang melakukan tindak pidana karena dirinya sendiri menjadi korban dari tindak pidana yang dilakukan pihak lain;
Presiden dengan hak prerogatifnya agar didorong mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun, sehingga eksekusi hal itu tidak dilaksanakan, kecuali Presiden menolak memberikan Grasi, jika dihadapi keadaan sebagai berikut ini:
1.   Terpidana yang sebenarnya baru pertama kali melakukan tindak pidana (first offender) yang diancam dengan pidana mati;
2.   Terpidana yang dalam perkaranya sebenarnya memiliki alasan apapun yang dapat meringankan baginya, baik karena perbuatannya, kesalahannya, atau karena hal-hal lain diluar hal itu;
3.   Terpidana yang putusan pidana matinya berkekuatan hukum tetap telah lebih dari 10 tahun, tetapi belum  dieksekusi;
Selain itu, pelaksanaan  pidana mati ditunda apabila ditemui keadaan-keadaan tertentu, antara lain:
1.   Terpidana yang sedang mengajukan Peninjauankembali atau Grasi, kecuali untuk yang kedua kali dan seterusnya;
2.   Terpidana yang belum mengajukan Peninjauankembali dalam tenggang waktu lima tahun sampai 10 tahun sejak putusan yang menjatuhkan pidana itu berkekuatan hukum tetap;
3.   Pidana mati ditunda pelaksanaanya jika menurut pertimbangan Jaksa Agung atas perintah Presiden, pelaksanaanya tidak berguna bagi kepentingan umum, atau bertentangan dengan kepentingan nasional;

Penutup
          Persoalan HAM dikaitkan dengan pidana mati, hanya berkenaan dengan penjatuhan dan pelaksanaannya, dan tidak terkait dengan pengancamannya dalam undang-undang. Dalam pelaksanaan pidana mati, pelanggaran HAM mungkin terjadi karena adanya perbedaan perlakuan bagi Terpidana. Oleh karena itu,  memang diperlukan standardisasi, yang terutama untuk memilah mana terpidana mati yang sebaiknya tidak dieksekusi, atau pidana matinya sebaiknya diubah (melalui grasi) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, ataupun pelaksanaan pidana mati yang sebaiknya untuk sementara waktu ditunda karena alasan-alasan tertentu. Wallahualam.  



[1] Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota Tim Ahli Pemerintah dalam Pembahasan RUU KUHP, dan Anggota Penasihat Ahli Kapolri dalam bidang Hukum Pidana.

Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta) ini adalah “Pelaksanaan Hukuman Mati bagi Terpidana Kejahatan Serius dalam Perspektif HAM”, Jakarta, 24 Oktober 2016;