12 Agustus 2016

Percobaan Penyuapan



Dr. Chairul Huda, SH., MH.

Pada dasarnya delik suap tergolong sebagai delik berpasangan, yang tidak dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan satu pihak, tetapi  harus perbuatan dua pihak sekaligus, yaitu: perbuatan  pemberi suap (actieve omkoping) dan perbuatan penerima suap (passieve omkoping). Dalam literatur delik suap digolongkan sebagai noodzakelijke deelneming (penyertaan mutlak perlu),   yaitu tindak pidana yang hanya dapat terjadi karena kepesertaan pemberi suap dan penerima suap secara sekaligus. Singkatnya, bukan delik suap jika perbuatan yang terjadi hanya perbuatan pemberi saja, dan tidak ada penerimanya, sebaliknya tidak mungkin sebagai suap jika hanya ada penerimanya saja tanpa pemberinya.


 Konsepsi ini berpengaruh dalam ranah praktek, yaitu tidak mungkin menuntut pemberi suap tanpa ada penerimanya. Dalam dakwaan harus terurai tentang peranan kedua belah pihak ini, baik pemberi maupun penerimanya, sekalipun yang sedang didakwa salah satu pihak saja. Dengan demikian, perbuatan yang harus dibuktikan penuntut umum pun, meliputi perbuatan pemberi dan perbuatan penerima.  Menjadi tidak logis jika dalam suatu peristiwa pidana suap menyuap, hanya “berhasil” di tangkap tangan pemberi suap, tanpa penerimanya. Lalu kemudian didakwa telah memberi suap, tanpa ada penerimanya. Kondisi ini menunjukkan suap belum terjadi, karena hakekat dari suap adalah perjumpaan kepentingan pemberi dan penerima.


 Bagian inti delik (bestanddeel delict) suap adalah adalah adanya “kesepakatan”, “deal”, “transaksi” antara pemberi dan penerima. Tanpa adanya hal ini belum ada perbuatan yang menjurus kepada suap. Perlu dipahami, sekalipun dalam undang-undang suap dapat berbentuk “memberi janji”, tetapi hal ini tidak dapat diartikan bahwa kehendak dan keinginan pemberi saja telah dipandang cukup. Janji hanya dapat terjadi dengan keterlibatan dua pihak (atau lebih). Jika seseorang “berjanji” untuk memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara,  maka pada dasarnya belum dapat dipandang suap dalam bentuk “memberi janji”, jika tidak ada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang “menerima janji” tersebut. Dengan demikian, dalam kata “memberi janji” termaktub didalamnya ada perbuatan “menerima janji” itu.  Tanpa adanya hal itu, maka peristiwa yang demikian itu belum dapat dipadang “memberi janji”, tetapi hanya “niat” akan membuat “janji” dengan penerima suap.

 Perlu diingat pula, unsur-unsur delik suap bukan hanya adanya “janji”. Perlu adanya perbuatan yang lebih jauh lagi untuk sejauh mungkin mengarah pada perwujudan janji itu. Dengan kaata lain, unsur “dengan maksud membuatnya (pegawai negeri atau penyelenggara negara) berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”, bukan pajangan belaka. Unsur ini harus juga dibuktikan, yang diantaranya mengarah pada pemenuhan janji tersebut karena latar belakang unsur ini, yaitu keinginan pemberi dan kesanggupan penerima untuk “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.


 Menjadi persoalan, dapatkah penyuapan terjadi dalam bentuk percobaan (poging) ataau lebih tepatnya apakah dalam percobaan penyuapan, yang diperukan hanya perbuataan pemberi suap semata? Jawabannya tidak dapat dilepaskan dari konteeks bahwa suap adalah noozakelijke deelneming, dan percobaaan sebagai taatbestandausdehnungsgrund.


 Seperti telah saya jelaskan, suap adalah delik berpasangan, maka konstruksinya tetap harus ada pemberi maupun penerima suap, sekalipun perbuaatan itu masih dalam tahap percobaan. Misalnya seseorang berniat menyuap seorang pejabat, dan kemudian yang bersangkutan membawa sejumlah uang menuju kantor pejabat itu. Ditengah jalan ditangkap penyidik, sehingga “rencana” penyuapan itu tidak terlaksana. Peristiwa seperti ini belum dapat dipandang sebagai suap, kecuali sebelumnya telah ada “kesepakatan”, “deal”, “transaksi” antara pemberi dan penerima. Jadi perginya pemberi ke kantor itu hanya dapat dipandang sebagai perbuatan persiapan (dan bukan permulaan pelaksanaan dalam percobaan) jika perjumpaan kepentigan pemberi dan penerima belum terjadi.  Contoh lain yang lebih ekstrim, apabila sesampainya di kantor pejabat itu, yang bersangkutan menolak “pemberian” atau “hadiah” dari calon pemberi suap, juga tidak dapat dipandang sebagai suap. Hal ini karenakan dapat dipandang sebelumnya belum ada “kesepakatan”, “deal”, “transaksi” antara calon pemberi dan pejabat itu yang merupakan calon penerima. Disini percobaan suap juga belum terjadi,   tetapi hanya niat atau persiapannya saja. Niat menyuap belum dapat dipidana dan juga persiapan memberi suatu juga tidak dapat dipidana, sekalipun mengikuti teori subjektif  tentaang permulaan pelaksanaan.


 Dalam hal, pidana dijatuhkan terhadap  niat atau persiapan menyuap tetap yang dipandang sebagai percobaan, seperti ketika seseorang berniat menyuap seorang pejabat, dan kemudian yang bersangkutan membawa sejumlah uang menuju kantor pejabat itu, tetapi ditengah jalan ditangkap penyidik, atau  apabila sesampainya di kantor pejabat itu, yang bersangkutan menolak “pemberian” atau “hadiah” dari calon pemberi suap, maka kententuan tentang percobaan delik ditempatkan sebagai dasar memidana pembuat (strafaussdehnungsgrund), bukan dasar memperluas bekerjanya rumusan delik sehingga juga dapat diktakan sebagai tindak pidana sekalipun belum selesai sempurna  (taatbestandausdehnungsgrund). Dalam hal ini Hukum Pidana hanya dijadikan dasar untuk menghukum niat jelek seseorang, dan bukan sebagai dasar untuk memidana seseorang karena melakukan suatu tindak pidana dan bersalah karenanya.


 Percobaan yang dipandang sebagai strafausdehnungsgrund melanggar asas “tiada pidana tanpa tindak pidana”. Mengingat pada dasarnya keinginan untuk menghukum saja yang dicarikan dasarnya. Berbeda halya jika percobaaan dipandang sebagai taatbestandausdehnungsgrund. Disini pembuat percobaan suap dipidana karena melakukan tindak pidana mandiri yang bersifat khusus (sui generis delict), yaitu perbuatan yang dilarang (strafbaaar) dalam delik suap yang tidak selesai karena diluar kehendaknya. Perbuatan   memberi hadiah atau janji yang belum selesai sempurna, karena diluar kehendak pemberi dan penerimanya.


 Pada sisi lain, tujuan perundang-undangan pidana Indonesia terkait dengan tindak pidana korupsi terutama tertuju pada mengendalikan tindak pidana tersebut, termasuk suap didalamnya, dengan mengadakan penegakan hukum yang ditujukan untuk memulihkan kerugian keuangan atau perekonomian negara (asset recovery). Oleh karena itu, politik hukumnya tetap menjadikan percobaan melakukan kejahatan sebagai taatbestandausdehnungsgrund, dasar yang memperluas bekerjanya rumusan delik, sehingga menjadi delik yang bersifat khusus dan mandiri sekalipun belum selesai dilakukan. Pikiran yang menempatkan ratio leges undang-undang korupsi sebagai upaya pembenahan social culture, sebenarnya belum memiliki intrumen yuridis yang cukup. Makanya perbuatan memperdagangkan pengaruh (trading in inffluence) belum dikriminalisasi.


 Akal-akalah seseorang yang menggambarkan kepada orang lain bahwa dirinya dapat atau mempunyai kemampuan untuk “mengatur” pegawai negeri atau penyelenggara negara tertentu, untuk berbuat menyahgunakan kewenangannya demi kepentingan calon pemberi suap, yang menyebabkan yang bersangkutan percaya dan menyerahkan sejumlah uang “untuk menyuap” tersebut, tidak dapat dipandang sebagai percobaan suap, apalagi suap yang sempurna (vooltoid), ketika belum ada kesepahaman antara orang itu dengan  pejabat yang bersangkutan. Tidak dapat dipandang suap atau percobaan kejahatan itu karena belum ada penerima suapnya, melainkan hanya dapat dipandang perilaku memperdagangkan pengaruh (trading in inffluence) belum dikriminalisasi.   Hal ini menyebabkan unsur “dengan maksud membuatnya (pegawai negeri atau penyelenggara negara) berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya” menjadi tetap harus dibuktikan, sekalipun perbuatan masih dalam bentuk percobaan. Adanya unsur subjektif sifat melawan hukum dalam delik suap ini menyebabkan percobaan suap bukan dipandang terjadi semata-mata karena ada “janji”, tetapi karena janji itu hendak diwujudkan dengan serangkaian perbuatan yang relevan. Oleh karena itu, percobaan memberi suap juga berpasangan dengan percobaan menerima suap. Suap tidak dapat bertepuk sebelah tangan, sekalipun masih dalam tahap percobaan. Wallahualam.